Sampah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari, terlebih sampah dari rumah tangga. Pada umumnya banyak orang tidak peduli akan sampah yang dihasilkan dari pola konsumsinya. Sampah menjadi masalah sosial yang muncul di masyarakat dan mempengaruhi lingkungan dan kesehatan. Masalah sosial dapat diatasi dengan penanganan yang tepat melalui ide-ide kreatif dalam bentuk wirausaha maupun skills untuk mengolah limbah menjadi produk yang memiliki nilai tambah untuk dijual. Kegiatan mengatasi masalah seperti ini bisa digolongkan sebagai kewirausahaan sosial, yakni menggagas peluang kewirausahaan untuk menjawab masalah sosial.
Salah satu kegiatan untuk memahami Social Entrepreneurship, Stube HEMAT Yogyakarta mengadakan pelatihan untuk membantu mahasiswa memetakan dan menemukan ide-ide dari masalah sosial di daerahnya. Tak ketinggalan, mahasiswa belajar langsung dengan mengikuti eksposure di Bank Sampah Lintas Winongo, kelurahan Bumijo RW 11, Kota Yogyakarta (Sabtu 12/11/2022). Di tempat eksposur ini mahasiswa berdialog dengan Joko Sularno dan Siti Rojanah, perintis Bank Sampah Lintas Winongo, untuk belajar dari pengumpulan sampah, pemilahan, sampai menjadi produk layak jual.
Narasumber menceritakan tentang keprihatinan akan permasalahan sampah karena adanya penumpukan sampah di rumah-rumah warga, baik dari warga asli maupun pendatang dan belum ada upaya pemilahan. Mereka memulai dengan penyadaran dan mengajak warga untuk menciptakan lingkungan yang asri dan bebas sampah melalui Bank Sampah. Sampah yang menjadi masalah sosial berubah menjadi peluang dengan terbentuknya Bank Sampah Lintas Winongo. Sejak 2009 nasabah mencapai 224 orang dengan omzet 1.500.00-2.000.000 per bulan, sementara tabungan nasabah Bank Sampah mencapat 18 juta. Ini menjadi inspirasi di daerah lain untuk menyelesaikan masalah bahkan menciptakan peluang dari masalah sampah.
Mahasiswa mendapat pengetahuan dan pengalaman dari pemilahan sampah plastik, kertas, bekas botol minuman, dan bekas kulit buah, kemudian pengolahan sampah menjadi produk kerajinan, dan eko-enzim. Dengan istilah Bank Sampah, maka istilah ‘nasabah’ dipakai oleh warga yang mengumpulkan sampah di rumahnya dan dijual di Bank Sampah. Ada sistem bagi hasil 10 % dari hasil penjualan antara nasabah dan bank sampah. Mayoritas nasabah adalah lansia dan tidak banyak dari anak muda atau mahasiswa.
Topik tentang eko-enzim memancing rasa penasaran peserta, Chandra mahasiswa dari Kalimantan bertanya tentang bahan pembuatan ekoenzim. Narasumber menanggapi bahwa eko-enzim berasal dari fermentasi limbah kulit buah. Pembuatannya dilakukan dalam wadah botol mineral dan membutuhkan air dan gula sebagai sumber karbon dan limbah kulit buah. Proses fermentasi selama kurang lebih 3 bulan.
Dari eksposur ini mahasiswa belajar tentang sampah dan memulai kepedulian atas masalah sosial dari diri sendiri, bahkan diharapkan mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang pengelolaan lingkungan yang bebas sampah. Ini adalah tantangan bagi anak muda untuk peduli masalah sosial, bergerak mencari penyelesaian dan menghasilkan profit demi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. ***