Selasa, 31 Oktober 2017, dengan mengangkat tema diskusi “Budaya dan Modernisasi”, Jay Akhmad, pemantik Ngaji Gus Dur #8 sore ini di Griya Gusdurian Jogja, memaparkan catatan Gus Dur dari tahun 80-90an tentang “posisi sistem budaya kita (Indonesia) dan pengaruh modernisasi”.
Menurut Gus Dur, ada penelitian LIPI tentang empat belas sistem budaya daerah dari Aceh sampai Nusa Tenggara Timur. Sistem budaya ini masih bisa dipakai di tengah kehadiran modernitas yang tidak bisa diprediksi. Salah satu contoh, budaya Ngada dari Manggarai, dapat menggantikan hukum pengadilan pada zaman itu, sebelum ada pengadilan seperti sekarang ini. Di pondok pesantren, para Kyai berperan sebagai penyortir untuk segala informasi dan budaya yang masuk sebelum disebarluaskan ke masyarakat. Hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari hal-hal negatif dengan pertimbangan bahwa tentu masyarakat memiliki reaksi yang bermacam-macam dalam menghadapi modernitas, apalagi dengan berbagai latar belakang budaya dan kehidupan masyarakat di Indonesia.
Modernitas sangat dekat dengan teknologi dan informasi dan salah satu produk modernitas adalah kurikulum pendidikan. Pesantren dulu tidak ada kurikulum pelajaran, hanya ada pengajian dan para santri belajar sesuatu bergantung pada Kyai, kelulusan pun bergantung pada Kyai. Ada yang lulus dengan cepat, ada juga yang harus menetap di pesantren dalam jangka waktu yang lama. Dalam perjalanannya, ada pondok pesantren yang masih bertahan dengan model lama tanpa kurikulum dan hanya mengaji, salah satunya adalah aliran Salafiyyah. Ada juga yang semi modern yang menggabungkan mengaji dan kurikulum, tetapi ada juga yang modern hanya memasukan kurikulum seperti sekolah formal.
Para lulusan pondok pesantren saat ini bisa lebih leluasa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan Gus Dur menjadi presiden lulusan pondok pesantren. Universitas yang mengakomodir lulusan pondok pesantren yang tidak punya ijasah sekolah formal adalah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.
Peserta diskusi diminta menceritakan pengaruh modernitas terhadap budaya lokal mereka masing-masing. Elis, peserta diskusi asal Sumba menceritakan bagaimana proses pernikahan di Sumba dengan mahar kuda, “Kami di Sumba kalau mau menikah belis-nya pakai kuda dan jumlahnya pun beragam, jika si pria ingin menikah dengan perempuan keturunan raja, jumlah kudanya bisa sampai 100 ekor, jika dari kalangan menengah 50 ekor dan untuk golongan bawah bisa di-nego 10-15 ekor”.
Indah dari Medan menceritakan Sinamot budaya Batak dalam hal pernikahan. Sinamot diberikan pihak pengantin pria untuk meminang wanita pujaan. Dulu Sinamot diberikan dalam bentuk ternak dan hasil tani, tetapi seiring berkembangnya jaman, Sinamot diberikan dalam bentuk uang. Peserta diskusi dari Jawa tak ketinggalan menambahkan bahwa sistem perkawinan di Jawa pun masih ada yang memperhitungkan tanggal weton (hari lahir) yang dipercaya jika weton kedua pasangan tidak sesuai, maka pasangan tidak bisa menikah. Saat ini sebagian besar orang cenderung praktis dan tidak lagi melibatkan perhitungan weton dalam pernikahan.
Perwujudan budaya yang ada saat ini adalah warisan dari generasi yang hidup di masa lalu. Jadi sangat mungkin terjadi benturan antara modernitas dengan budaya masyarakat setempat. Kita mesti melihat kembali bahwa perwujudan budaya itu ada karena adanya sistem budaya yang berlaku di masyarakat setempat, kemudian sistem budaya yang berlaku di masyarakat bersumber dari ide atau gagasan dari orang-orang di generasi terdahulu dalam rangka menata kehidupan masyarakat. Jadi, memang tidak mudah bagi kita di zaman ini menelusur sampai ke asal-usul atau latar belakang munculnya suatu budaya tersebut. Tetapi ada pendekatan, jika adanya suatu budaya itu menghargai keberadaan manusia (humanisasi) maka perlu dipertahankan, tetapi jika keberadaan budaya tidak menghargai keberadaan manusia (dehumanisasi), maka budaya itu perlu ditelaah kembali.
Dari proses diskusi sore itu, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah budaya dan modernitas harus membuat manusia lebih manusiawi dan dan bukan sebaliknya membelenggu dan men-dehumanisasi. (ML)