“Sabtu pagi, 27 Mei 2006 pukul 05:55 gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter melanda Yogyakarta dan sekitarnya. Gempa ini mengakibatkan ribuan infrastruktur runtuh dan rusak parah, bahkan meminta korban ribuan jiwa. Salah satu kawasan yang terdampak adalah Padukuhan Sengir, Desa Sumberharjo, Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bangunan-bangunan rumah di kawasan lereng bukit ini hancur dan tidak memungkinkan lagi untuk dihuni.”
Flashback di atas merupakan paparan dari Amin, salah satu pengelola Desa Wisata Rumah Domes. Ia juga menceritakan sejarahnya yang dimulai dari salah satu organisasi sosial non-profit, yaitu World Association of Non-Governmental Organization (WANGO) di Amerika Serikat yang memberikan bantuan khusus berupa rumah domes dengan nama Domes for the World untuk warga relokasi padukuhan Sengir pada September 2006 dengan jumlah 80 unit yang terdiri 71 hunian dan 9 fasilitas umum. Dimensi rumah domes berdiameter 7 meter untuk rumah hunian dan 9 meter untuk fasilitas umum.
Desain rumah domes yang unik dan pertama kali dibangun di Indonesia menjadi pertimbangan untuk Kunjungan Belajar mahasiswa yang tergabung dalam Stube HEMAT. Acara yang dipandu Daniel Prasdika ini membuka wawasan dan kesadaran mahasiswa terhadap ancaman bencana di Indonesia, khususnya yang mengancam daerah asal mahasiswa. Rombongan mahasiswa Stube HEMAT Yogyakarta disambut pengelola Kawasan Wisata Rumah Domes, yaitu Amin selaku sekretaris dan Heri selaku wakil ketua (Senin, 1/05/2023). Selanjutnya peserta membagi diri menjadi 4 kelompok, dengan masing-masing kelompok fokus pada satu topik yang mencakup dinamika desa wisata, struktur bangunan, bagaimana tinggal di rumah domes, dan keberadaan legalitas bangunan. Mereka berkeliling dan melihat secara langsung rumah domes untuk berdialog dengan warga.
Dalam presentasi, Kelompok dinamika desa wisata menyampaikan bahwa awalnya rumah domes bukan menjadi tempat wisata, tapi bentuknya yang unik seperti kue moci memancing publik untuk berkunjung. Akhirnya warga setempat mengambil peluang dengan membuat program desa wisata dan mengikuti pelatihan membentuk desa wisata, meskipun saat ini vakum karena Covid-19. Kelompok struktur bangunan mendeskripsikan rumah domes secara fisik yakni memiliki dua lantai dimana lantai bawah untuk ruang tamu, dua kamar tidur dan dapur, sedangkan lantai atas untuk menyimpan barang atau ruang serbaguna. Pembangunan diawali dengan membuat pondasi lantai tanpa menggali tanah dan dibangun di atas tanah. Ini menjadi ciri khas rumah rumah domes. Setelah kering sebuah balon besar disetting untuk membuat kerangka bentuk setengah bola dengan anyaman tulangan besi. Kelompok bagaimana tinggal di rumah domes mengungkap kekurangan rumah domes, antara lain temperatur dalam rumah cenderung panas karena dinding cor menyerap panas, sementara dinding luar butuh perawatan khusus. Kelebihannya adalah tahan terhadap gempa, badai dan bahkan kebakaran. Beberapa penduduk mengatakan bahwa setelah gempa bumi itu terjadi, mereka terpaksa tinggal di situ karena tidak punya tempat lain, dan mereka membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Kelompok legalitas bangunan menyampaikan status rumah domes belum hak milik tetapi sewa yang besarnya Rp. 1 juta/tahun ke pihak desa. Memang pemerintah desa setempat sudah mengurus menjadi hak milik, tetapi sampai kegiatan dilakukan statusnya belum ada kepastian.
Kunjungan ini membekali mahasiswa dengan ilmu baru, lebih peka ancaman bencana terhadap bangunan tempat tinggal, mengerti bagaimana mewujudkan rumah yang lebih aman dan menemukan peluang ekonomi sebagai desa wisata. Ini seperti blessing in disguise, berkat yang tak terlihat dari kesulitan yang terjadi. Berkat itu berupa pengetahuan, jaringan dan peluang wisata. ***