Selasa, 9 Juli 2019 adalah pertama kali saya menginjakkan kaki di Sumba, salah satu pulau di bagian timur Indonesia. Saya mengingat satu hari sebelumnya saya begitu bersemangat menempuh perjalanan menggunakan travel dari Yogyakarta menuju Surabaya dan disambung pesawat dari Surabaya ke Waingapu. Sepanjang perjalanan dipenuhi rasa penasaran terhadap pengalaman baru yang akan saya temukan nanti di pulau itu.
Setelah hampir tiga jam dari Surabaya dan transit di Denpasar, pesawat mulai menurunkan ketinggian untuk mendarat di bandara Umbu Mehang Kunda di Waingapu. Dari jendela pesawat nampak pemandangan layaknya Afrika yang hanya saya lihat di televisi, kini terhampar di depan mata saya. “Wow, menakjubkan” terucap dari mulut ketika melihat bukit dan padang savanna yang seolah tak berujung.
Di Waingapu saya tinggal bersama keluarga Apriyanto Hangga, salah satu team Stube-HEMAT Sumba, yang membekali informasi awal tentang Sumba dan desa yang akan saya tinggali beberama minggu ke depan. Sesampainya di Tanaraing, ada sambutan yang begitu hangat dari keluarga ibu Pendeta Katrina Remihau, pendeta GKS Tanaraing. Keesokan harinya saya mengikuti ibadah dengan jemaat setempat yang menyambut dengan ramah dan hangat sekalipun saya datang sebagai orang asing. Para pemuda gereja pun menyambut dengan ramah, berkenalan, ngobrol, bercanda dan berfoto di tepi pantai.
Hari-hari berikutnya saya beraktivitas bersama masyarakat dan remaja setempat berkaitan dengan topik ‘Konselor Sebaya’. Menjadi konselor sebaya tidak mudah karena harus ada sikap saling percaya satu sama lain. Saya selalu menemukan hal baru dan menyenangkan dalam setiap pertemuan. Suatu ketika saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan tapi mereka bilang semua yang diceritakan adalah hal baik mengenai saya. Jadi, saya berusaha belajar bahwa saya juga harus mempercayai orang lain dan menurut saya untuk mempercayai orang lain ini bukan sesuatu yang salah.
‘Konselor Sebaya’ sangat penting dipahami oleh remaja agar mereka bisa saling memberikan perhatian kepada teman-temannya. Ketika mereka saling terbuka satu dengan lainnya maka mereka dapat mengelola masalah mereka lebih baik, karena mendapat masukan dari teman-temannya. Selain itu, mereka akan bisa merangkul kembali pemuda gereja yang sebelumnya jarang ke gereja untuk bersemangat kembali aktif di lingkungan gereja, atau remaja yang jarang mengobrol dalam keluarga mau berkomitmen untuk lebih perhatian kepada keluarga masing-masing. Awalnya, kegiatan wirausaha tidak masuk dalam rencana saya tetapi saya mengusulkan ini ketika remaja gereja akan menggalang dana pemuda dan mereka bisa melakukannya.
Bagi saya, berada di Sumba, di tengah masyarakatnya bagai perjalanan untuk menemukan diri dan kehidupan, menemukan diri saya menjelajah, bertemu banyak orang, berbagi cerita dan canda tawa. Dalam perjalanan di Sumba terbersit rasa RINDU yang selalu mengikuti, rindu suasana rumah di Kalimantan Barat saat bersenda gurau dengan anggota keluarga, makan masakan mama, memijat bapak, bermain dengan keponakan dan bahkan berkelahi dengan saudara-saudara saya. Merekalah orang-orang penting di hidup saya dan saya ingin mereka bahagia seperti yang saya rasakan. Perasaan kebersamaan dan perhatian melalui konselor remaja inilah yang saya harap terus ada dan berdampak di tengah-tengah remaja di Sumba, khususnya Tanaraing.