Tak Sama tapi Setara
Pelatihan Maskulinitas dan Feminitas
Kesetaraan laki-laki dan perempuan menjadi harapan yang harus mewujud dalam kehidupan manusia. Terwujudnya kesadaran setiap insan terhadap hal tersebut membutuhkan proses pemahaman dan refleksi terhadap hakekat laki-laki dan perempuan. Memang benar bahwa saat ini masih ada kesenjangan antara laki-laki dan perempuan yang berdampak adanya pembedaan perlakuan terhadap laki-laki atau perempuan, seperti kesempatan untuk belajar dan pekerjaan, hak untuk berpendapat dan mengambil keputusan, dan laki-laki dianggap lebih berkuasa dan perempuan dianggap lemah.
Stube-HEMAT Yogyakarta melalui program pelatihan Maskulinitas dan Feminitas berusaha menumbuhkan kesadaran kesetaraan laki-laki dan perempuan di kalangan anak muda dan mahasiswa. Pelatihan yang diadakan hari Jumat – Minggu, 27 – 29 November di Wisma Pojok Indah, Condongcatur, Yogyakarta bertujuan untuk mendapat informasi yang benar tentang maskulinitas dan feminitas dalam pemahaman gender, mampu menganalisa dalam konteks Indonesia dan mampu mengkampanyekan kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Pdt. Hendri Wijayatsih, M.A., dosen UKDW Yogyakarta dan anggota Pokja Gender Justice Mission 21, yang menjadi fasilitator pelatihan mengungkapkan bahwa masih ada salah paham antara seks dan gender. Ia memaparkan bahwa seks adalah ciri biologis yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender adalah sifat yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial dan kultural (budaya).
Sesi Maskulinitas dan Feminitas dalam Tradisi Nusantara (konteks Indonesia) dipaparkan oleh Dr. Inayah Rohmaniyah, M.Hum., M.A., dosen UIN Yogyakarta dan konsultan Komunitas Indonesia untuk Adil dan Setara (KIAS Indonesia). Ia mengungkapkan bahwa kesetaraan laki-laki dan perempuan di Indonesia belum terwujud seutuhnya dan masih ada pembedaan perlakuan yang dipengaruhi oleh budaya lokal di Indonesia, akibatnya muncul perbedaan pemahaman gender di satu daerah dengan daerah yang lain. Bentuk-bentuk diskriminasi dari ketidaksetaraan, antara lain 1) stereotype (label negatif yang digeneralisir), 2) adanya subordinasi, posisi superior dan inferior, 3) marjinalisasi atau peminggiran, 4) triple burden atau beban berlebih, dan 5) kekerasan berbasis gender.
Kemampuan komunikasi sangat penting dalam kampanye kesetaraan laki-laki dan perempuan di masyarakat. Proses ini diawali dengan pengenalan seseorang terhadap dirinya serta konteks masyarakat di mana ia berada, memahami pesan-pesan yang hendak disampaikan, mampu mengemas pesan-pesan secara menarik dan unik, serta cerdas dalam memilih media, baik secara langsung, cetak atau sosial. Hal-hal ini diungkapkan oleh Majes Maestra, fasilitator dari PKBI Bantul.
Praktisi hukum, Setyoko, S.H., M.H.I., dari P2TPA DIY memaparkan fakta kekerasan dalam keluarga itu masih terjadi sampai sekarang, kekerasan suami terhadap istri, istri terhadap suami, maupun orang tua terhadap anak. Satu kekerasan akan memicu kekerasan yang lain, karena itu kekerasan di dalam rumah tangga harus dihentikan dari sekarang. Selain itu, ia juga membagikan langkah-langkah pengaduan jika mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Korban, setelah mengalami kekerasan langsung ke rumah sakit dan meminta visum, kemudian mengadukan kekerasan yang dialami di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yang ada di Mapolres setempat.
Langkah akhir dari pelatihan ini adalah membuat project work. Project work ini merupakan hasil refleksi peserta terhadap materi yang telah mereka dapat sebelumnya dan topik yang ia minati. Hasilnya dikemas menarik dan unik dan kemudian dipublikasikan kepada masyarakat sebagai bentuk edukasi kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Mari anak muda, wujudkan kesetaraan laki-laki dan perempuan! (TRU).