Manis-Getir Penyadap Karet

pada hari Sabtu, 11 Februari 2017
oleh adminstube
 


Kembali ke daerah asal, Bengkulu Utara di awal Februari 2017 menjadi tantangan tersendiri bagi Yohanes Dian Alpasa. Pengenalan pada warga setempat dan menyelami kehidupan mereka merupakan suatu hal yang harus dilakukan untuk memetakan potensi dan tantangan yang ada.
 
Pengenalan medan bukan hanya soal keadaan sosial dan budaya saja tetapi juga pertanian. Kehidupan ekonomi warga Bengkulu Utara, khususnya desa Margasakti Kecamatan Padang Jaya ini bertumpu pada sektor perkebunan. Sawit dan karet menjadi andalan di tengah situasi ekonomi yang masih terasa sulit seperti sekarang ini.
 
 
Budi Prasetyo, seorang petani karet yang juga menjabat sebagai Majelis GKSBS Kurotidur bertutur tentang suka-duka menjadi seorang penyadap karet. Pada kisaran tahun 1996–1998, mayoritas petani di desa Margasakti menggarap lahan pertanian berupa sawah. Irigasi dibangun dengan membendung sungai air Lais dan diklaim dapat mengairi 4000 hektar (1 kecamatan Padang Jaya). Air Bendungan Air Lais membelah kecamatan dari timur ke barat. Lahan pertanian berada di sisi selatan bangunan irigasi.
 
Petani bekerja menanam padi di sawah. Namun, kondisi ini berubah sejak tahun 2005. Warga desa berbondong-bondong mereformasi lahannya menjadi perkebunan karet dan sawit. Orang tidak lagi menunggu siklus panen padi tiga bulanan (90 hari panen) tetapi mulai dengan pola 2 minggu sekali memulung karet atau memanen kelapa sawit.
 
Mulai tahun-tahun inilah kondisi ekonomi mulai menanjak. Sekitar 6 tahun warga desa menikmati hasil panen kelapa sawit dan karet. Daya beli meningkat dan menurut pantauan, tahun-tahun itu warga mulai mampu membeli sepeda motor secara kontan dan mulai membangun rumahnya secara permanen atau semi permanen.
 
Pertengahan tahun 2011, kondisi krisis global mempengaruhi harga getah karet. Harga jatuh dari angka Rp 22.000 menjadi Rp 6.000. Menurut Mas Budi, dua tahun belakangan harga pernah sampai pada angka Rp 4.000 per kilogram. Jatuhnya harga juga terjadi pada komoditas kelapa sawit, dari harga Rp 1.700/kg menjadi Rp 500/kg. Dua perkebunan besar yang dulunya menyerap sebagian besar tenaga kerja dari desa Margasakti, terpaksa harus mengurangi tenaga kerjanya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja untuk menekan biaya operasional. Pada pertengahan tahun 2016 hingga sekarang, harga karet mulai stabil pada kisaran Rp 8.500 s.d. Rp 9.500,-/kg. Penyadap karet berangsur-angsur bisa kembali merasakan berkat.
 
Pohon karet tidak seperti pohon lainnya dalam hal pemupukan. Salah prosedur dalam pemupukan akan membuat akar membusuk akibat tumbuh jamur. Mas Budi menuturkan bahwa pohon karet tidak perlu sering dipupuk, karena pemupukan bisa dilakukan secara berkala misalnya sekali dalam tiga bulan untuk menambah produktifitas.

Pada saat karet disadap, ada pupuk yang harus ditaburkan pada wadah getah karet untuk membekukan getah itu. Bila hujan tiba, petani tidak akan menyadap batang karet. Bila musim kemarau tiba, pohon karet juga tidak disadap. Kita bisa bayangkan bahwa bila hujan atau kemarau tiba, penyadap karet tidak mendapat penghasilan dari kebunnya.
 
Kedepannya pengetahuan tentang pembuatan pupuk organik, pengolahan pasca panen getah karet, dan distribusi penjualan penting diketahui oleh komunitas petani karet ini. Inilah beberapa hal yang bisa dilakukan dalam program multiplikasi ini. Semoga petani senantiasa mendapat berkat dalam menyadap karet. (YDA).

  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2023 (11)
 2022 (20)
 2021 (21)
 2020 (19)
 2019 (8)
 2018 (9)
 2017 (17)

Total: 105