Transfer Pengetahuan, Wujud Nyatakan Pengalaman

pada hari Rabu, 29 April 2020
oleh adminstube
 

 

 

 

Guru merupakan profesi dengan tantangan unik, tidak hanya mentransfer pengetahuan kepada anak didik, tetapi juga mewujudkan ‘ruang belajar’ supaya anak didik bisa ‘mengalami’ langsung materi yang ia pelajari. Terlebih sebagai guru Pendidikan Agama Kristen, aspek spiritual siswa juga menjadi perhatian dalam proses pendidikan tersebut. Proses pendidikan merupakan kerjasama sinergis antara guru, anak didik, lembaga pendidikan, keluarga dan masyarakat, yang membutuhkan partisipasi masing-masing pihak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.

 


 

Hal di atas menjadi tantangan saya, Sukaningtyas, guru Pendidikan Agama Kristen di SMKN 3 Wonosari, kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti, saya juga mendapat peran sebagai wali kelas jurusan Mekatronika dengan siswa sebanyak 35 orang dengan beragam latar belakang keluarga dan agama. Ada ‘image’ di masyarakat bahwa siswa SMK lebih sulit dihadapi dari pada anak SMA, dan ini saya hadapi apalagi sebagian besar dari mereka adalah laki-laki. Perkelahian, bolos sekolah, masalah pertemanan, ekonomi hingga masalah keluarga pernah saya hadapi selama mendampingi mereka. Awalnya tidak mudah karena selama ini saya lebih ‘concern ke pendidikan anak bukan remaja, namun bekal tambahan melalui pelatihan dan sharing pengalaman berbagai interaksi yang pernah saya ikuti bersama Stube-HEMAT membantu saya dalam upaya mendampingi mereka sebagai guru mata pelajaran maupun wali kelas.

 

 

 

 

 

 

Pengalaman pelatihan Pendidikan Alternatif, Gender, Multikultur dan eksposur lapangan dengan berkunjung dan berdiskusi langsung dengan praktisi pendidikan, lintas agama dan gender membuka perspektif, mengubah paradigma tentang pendidikan dan menginspirasi bahwa anak didik bukan sekedar obyek tetapi memiliki keunikan dalam setiap pribadinya, khususnya saya sebagai guru adalah fasilitator, menempatkan diri sebagai rekan belajar’ dalam proses pembelajaran dan mendorong mereka aktif bertanya, menemukan dan mengungkapkan pemikiran mereka, terinspirasi dari pepatah kuno Konfusius ‘aku mendengar aku lupa, aku melihat aku ingat, aku melakukan aku paham’ sampai pada ‘aku menemukan sendiri aku menguasai.

 


 

 

Partisipasi keluarga dan pendekatan personal

 

Keberhasilan proses pendidikan membutuhkan peran orang tua dan masyarakat sehingga ini memberikan semangat saya mengunjungi ke rumah setiap anak didik untuk mengenal keluarga, kondisi keluarga dan lingkungannya, pastinya sangat berpengaruh pada hidup keseharian dan kepribadian mereka. Kegiatan ini sangat menantang, karena mereka tersebar di tujuh kecamatan di Gunungkidul dengan geografis daerah datar sampai berbukit-bukit, dan beraneka kondisi jalan dari aspal sampai berbatu. Ini mengungkap perjuangan mereka untuk bersekolah sekaligus latar belakang keluarga, pekerjaan orang tua, kehidupan sehari-hari dan keadaan ekonomi. Temuan-temuan ini membantu saya mengenal mereka dan menemukan pendekatan personal yang tepat.

 

 

 

Pengalaman Keberagaman Agama

 

Dalam mengajar Pendidikan Agama Kristen khususnya materi Keberagaman, saya mendorong anak didik menemukan masalah yang terjadi seputar keberagaman dan alternatif solusi mengatasi permasalahan tersebut. Untuk itu saya mengajak mereka berkunjung ke tempat ibadah agama lain dan berdialog dengan pemuka agama lain untuk memperluas pandangan mereka dan menumbuhkan sikap inklusif. Salah satu kunjungan adalah ke Vihara Buddha Jina Dharma Sada di desa Siraman, Gunungkidul untuk berdiskusi dengan Banthe Bandrasugato tentang berbagai hal berkaitan dengan agama Buddha, antara lain inti ajaran Buddha, perangkat dan tata ibadah, simbol-simbol dan maknanya.

 

 

 

Inspirasi Kesetaraan Gender

 

Saya juga membuka kesempatan anak didik melakukan observasi peran laki-laki dan perempuan dengan mengajak mereka melakukan proyek peran. Pertama, mereka menemukan masalah di seputar permasalahan gender, kemudian mempelajari apa kata Alkitab tentang gender selanjutnya menyusun aksi. Berangkat dari sebagian besar siswa adalah laki-laki, maka saya mengajak mereka melakukan aktivitas yang selama ini mereka anggap sebagai tugas perempuan, misalnya mencuci, membersihkan rumah, memasak di rumah masing-masing. Ini benar-benar mengubah paradigma mereka.

 

 

 

Kesadaran terhadap realitas sosial

 

Sejalan dengan visi Stube-HEMAT untuk memiliki kesadaran terhadap masalah yang terjadi di sekitarnya, anak didik dilatih memetakan masalah dan menemukan solusi. Dalam hal ini saya menerapkan problem-based learning, dengan meminta mereka mengamati masalah di sekitar mereka, apa kata Alkitab dan mendiskusikannya untuk menemukan solusi. Metode ini mampu mendekatkan mereka dengan realitas kehidupan, menumbuhkan kesadaran terhadap permasalahan di sekitar dan tergerak melakukan perubahan kecil yang bermanfaat. Sebagai contoh masalah kekeringan di Gunungkidul, mereka melakukan kampanye penanaman pohon di sekitar rumah mereka dan perilaku cuci tangan sebagai wujud pola hidup bersih dan sehat menghadapi Covid-19.

 

 

 

Pengalaman mengajar saya sampai saat ini masih dalam perjalanan, sehingga dinamika pembelajaran akan terus terjadi, bagi saya dan anak didik. Saya berharap tulisan ini bisa memperkaya wawasan teman-teman Stube-HEMAT di berbagai daerah di tanah air, khususnya bagi mereka yang bekerja sebagai guru. Teruslah menyemai kebaikan dan kebajikan. (Sukaningtyas).

 


  Bagikan artikel ini