Seluk Beluk Tenun Ikat Sumba

pada hari Senin, 10 Agustus 2020
oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd

Oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd


Manusia baik individu mau pun kelompok tidak bisa terpisahkan dengan identitas mereka sebagai makhluk yang berbudaya. Dalam budaya itu sendiri terdapat sekumpulan sikap, keyakinan dan perilaku yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi dengan beberapa sarana yang dianut oleh setiap masyarakat.  Seni tenun adalah budaya tua yang ditekuni manusia untuk menghasilkan busana juga merupakan peradaban yang hampir merata ditemukan di seluruh pelosok bumi. Dari beragam kain tenun Indonesia Timur, Nusa Tenggara Timur, Sumba merupakan salah satu pulau penghasil kain tenun yang sangat terkenal akan keindahannya dengan beragam desain motif. Oleh karna itu, untuk tetap menjaga kelestarian budaya maka perlu ada warisan dan regenerasi yang diteruskan kepada anak muda sebagai generasi penerus

 

Minggu, 09 Agustus 2020, Program Multiplikasi Stube-HEMAT di Sumba mengadakan diskusi di gedung GKS Karunggu yang bertajuk pada tema Menelisik Sejarah Tenun Ikat Sumba dengan menghadirkan belasan kaum perempuan yang mempunyai kerinduan menggeluti dunia tenun. Narasumber yang dihadirkan adalah Marta Harakay, seorang pengrajin tenun dari Kalu, Kec. Kambera, Waingapu. Marta menceritakan bahwa masyarakat mulai menggeluti tenun sejak abad ke-4 untuk menghasilkan kain penglapis badan. Dan saat itu bahan kain tenun bukan dari benang melainkan dibentuk langsung dari kapas sampai menghasilkan selembar kain tenun. 

Setiap tahapan mulai dari ikat benang, pewarnaan hingga tenun harus dicermati dengan baik cara pembuatannya dan terkadang prosesnya menghabikan waktu 6 bulan hingga 3 tahun karena selain menenun dan membuat motif, ada sebuah tahapan dimana kain harus diangin-anginkan selama sebulan sebelum dicelup dalam minyak kemiri. Tahapan lain dalam pembuatan kain Sumba juga menguji kesabaran seperti menyimpannya dalam keranjang tertutup untuk mematangkan warnanya dengan harapan biarkan alam ikut campur agar kain menjadi lebih indah. Ia juga menjelaskan makna dari motif-motif yang terdapat pada kain tenun.

Peserta pun sangat antusias mendengar penjelasan dari narasumber. Dari semua yang hadir, ada 3 orang perempuan yang juga menggeluti tenun, memang tidak semua dari mereka bisa menenun. Dalam proses tahapannya ada yang hanya paham di bagian benang, ada yang hanya paham di bagian pewarnaan dan ada juga yang hanya bisa tenun tetapi tidak bisa melakukan tahap demi tahap. Lainnya malah tidak paham tentang tenun. Astry Banju menceritakan kisahnya, dia dikenal seorang pengrajin tenun tetapi sebenarnya tidak bisa menenun, hanya bisa di tahapan pewarnaan dan pengelompokan benang, selanjutnya ibu mertuanyalah yang menenun, karena setiap mencoba untuk menenun, hasilnya selalu tidak memuaskan.

 

Kisah berbeda dari Mama Ferdi, ia bisa melakukan semua hingga menenun, namun kurang pengalaman dalam pewarnaan, dan hasilnya selalu kurang bagus, sementara Adriana Tanggu Hana punya kerinduan untuk menenun namun karena tidak ada yang mengajarinya, akhirnya tidak bisa melakukan apa-apa. Ia pun berharap dengan adanya program ini, ke depannya ia dapat belajar menenun. Dari beberapa pengalaman peserta di atas, memberi pemahaman baru bahwa untuk menggeluti tenun harus melalui proses yang panjang dan tekun. Hal ini membuka peluang bagi mereka untuk saling berkolaborasi, saling belajar dan bertukar pengalaman. 

 

Marta Harakay yang sudah ahli dalam menenun memberi semangat kepada peserta bahwa belajar tenun memang tidak mudah, namun dengan tekad dan kemauan yang kuat pasti bisa. Tak lupa ia memberikan trik bagaimana cara menenun yang baik agar mendapatkan hasil yang bagus seperti memperhatikan posisi duduk, postur tubuh yang sesuai, ikatan belakang harus kencang dan posisi tendangan kaki ke alat tenun harus kuat. Begitu juga dengan pewarnaan, harus memperhatikan bahan-bahan yang dicampur dan perpaduan warna agar menghasilkan warna yang cantik

Di akhir diskusi, peserta membentuk kelompok tenun yang dinamakan kelompok Kawara Panamung yang dalam bahasa Indonesia artinya “saling merangkul”. Setelah itu, peserta menuliskan di kertas metaplan sebagai pesan dan harapan mereka untuk kemajuan komunitas yang sudah mereka bentuk. Harapannya semoga dengan terbentuknya kelompok tenun ini dapat membantu para kaum perempuan untuk terus berkreasi dan menghasilkan kain-kain tenun bagus yang merupakan tenun khas Makamenggit, yang pada akhirnya dapat membantu perekonomian kaum perempuan di sini. Langkah selanjutnya adalah kunjungan ke salah satu kampung tenun untuk melihat langsung dan belajar hal baru mengenai tenun.***


  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2024 (1)
 2023 (10)
 2022 (27)
 2021 (31)
 2020 (23)
 2019 (22)
 2018 (27)
 2017 (26)
 2016 (7)
 2015 (11)
 2014 (16)
 2013 (4)
 2012 (5)

Total: 210

Kategori

Semua