Menyentuh Perempuan Bersuara Dan Terbuka

pada hari Minggu, 17 Oktober 2021
oleh Elizabeth Uru Ndaya, S.Pd.

Oleh: Elizabeth Uru Ndaya, S.Pd.

 

 

Berbicara tentang perempuan maka kita berbicara tentang keberadaan dan perjuangannya. Ketika dalam keluarga representasi suara perempuan sangat minim atau bahkan tidak ada, hal itu cenderung dianggap wajar dan bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan. Jika perempuan terus diam maka tidak akan ada perubahan, oleh karena itu perempuan harus bersuara dan menanggalkan semua ketakutan untuk menceritakan kisah dan pengalamannya. Seperti yang dialami oleh sebagian peserta kelompok perempuan tenun ikat Kawara Panamung, di desa Tanatuku. Ada bermacam-macam masalah yang mereka alami dalam rumah tangga mereka, baik itu kekerasan dalam rumah tangga, atau seringkali keberadaan mereka tidak dianggap baik sebagai istri atau anggota keluarga, mereka jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Lalu apa tindakan mereka selama ini? Bungkam adalah pilihan mereka dengan alasan agar tidak memperpanjang masalah dan ancaman kekerasan.

 

 

 

 

Hal seperti inilah yang harus terus diperjuangkan, penting sekali perempuan bersuara dan mengekspresikan apa yang dirasakan untuk mendapatkan persamaan hak. Adanya kelompok perempuan ini menjadi wadah bagi mereka untuk saling berbagi. Untuk itu multiplikator program pemberdayaan perempuan Stube-HEMAT, mengajak kelompok perempuan yang tengah menyelesaikan proses panyusunan benang tenun mengambil waktu sharing kisah merekadilanjutkan berdiskusi tentang isi buku karya Rachmi Larasati dan Ratna Noviani yang berjudul Melintas Perbedaan-suara perempuan, agensi, dan politik solidaritas (16/10/2021). Buku ini fokus pada gagasan para pemikir perempuan dimana perempuan bisa dengan bebas berbagi pengalaman dan pemikirannya, dan spectrum pemikiran perempuan mengenai problem sosial, budaya, ekonomi maupun politik yang cenderung kurang terdengar, kurang dikenal dan juga kurang dipahami  posisionalitasnya dalam kartografi pemikiran akademik.

 

 

Topik pertama yang dibahas pada pertemuan itu tentang konsumerisme, kemakmuran sejati, dan gaya hidup berkelanjutan oleh Juliet B. Schor, pemikir perempuan kritis dari Amerika Serikat yang memiliki perhatian pada dampak perilaku konsumtif, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan gender. Hal yang paling banyak diperdebatkan oleh peserta kelompok tenun ialah membedakan mana yang benar-benar menjadi kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan. Seperti kebanyakan orang membeli sesuatu bukan sekedar membeli fungsinya tetapi juga mengkonsumsi tanda sebagai pembeda sosial yang mengarah pada simbol kesuksesan. Ada yang mengatakan membeli sesuatu hanya karena tetangga memilikinya sehingga ikut-ikutan membeli. Ada yang mengatakan, tergiur mata untuk membeli meski bukan hal yang dibutuhkan. Juliet B. Schor mengungapkan bahwa tindakan konsumtif yang merebak itulah sumber pemborosan, hutang, aliensi terhadap komoditas, dan lain sebagainya.

 

 

Beberapa langkah konkrit dari Juliet B. Schor yang multiplikator bagikan ke peserta kelompok perempuan untuk membantu membuka pola pikir, wawasan dan pemahaman mereka,  yaitu hak atas standard hidup yang layakmemahami perbedaan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want), mengutamakan kualitas hidup dari pada kuantitas barangDari penjelasan itu semua peserta belajar untuk mengubah perilaku konsumtif mereka. Pada pertemuan selanjutnya kelompok perempuan Tanatuku akan terus dicerahkan dengan topik-topik lain dan akan lebih banyak belajar bagaimana memperjuangkan hak mereka sebagai perempuan.*** 


  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2024 (1)
 2023 (10)
 2022 (27)
 2021 (31)
 2020 (23)
 2019 (22)
 2018 (27)
 2017 (26)
 2016 (7)
 2015 (11)
 2014 (16)
 2013 (4)
 2012 (5)

Total: 210

Kategori

Semua