Publik Dan Masalah Yang Mengitarinya

pada hari Jumat, 18 Desember 2020
oleh Yedija Manulang

 

 

Program Multiplikasi Stube HEMAT di Bengkulu kembali menggelar diskusi bulanan, kali ini dengan topik Jurnalisme Publik.  Diskusi ini memperkenalkan apa itu Jurnalisme Publik pada mahasiswa dan pemuda dalam rangka membangun pemahaman publik atas permasalahan-permasalahan di lingkungan sekitar serta mencari solusi kolektif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Sebanyak 15 orang peserta yang terdiri dari pemuda dan mahasiswa lintas daerah dan pulau yakni Sumatera Utara, Medan dan Yogyakarta berhimpun dalam wadah aplikasi Zoom yang digelar pada Kamis (17/12/2020), pukul 19.00 hingga 21.00 WIB.

Sahat Jason Gultom seorang jurnalis media Antara News didaulat menjadi fasilitator dalam kegiatan diskusi tersebut. Jason sapaan akrabnya mengatakan bahwa Jurnalisme Publik merupakan praktik jurnalistik atau pemberitaan tentang masalah yang menyangkut kepentingan umum di tengah masyarakat dan melibatkan warga.

 

“Jurnalisme Publik adalah upaya untuk menjangkau publik yang dilakukan oleh wartawan profesional yang bekerja di sebuah media. Wartawan tersebut akan lebih agresif dalam proses pelaporannya untuk mendengarkan bagaimana warga negara membingkai masalah mereka dan apa yang dilihat warga sebagai solusi untuk masalah itu dan kemudian menggunakan informasi itu untuk memperkaya berita,” ujar Jason.

 

Lebih lanjut Jason menerangkan bahwa Jurnalisme Publik memperjelas posisi wartawan dan masyarakat, dimana wartawan melibatkan masyarakat dalam sebuah peristiwa untuk memperkaya sebuah berita. Tidak hanya itu, keterlibatan  ini bukti bahwa masyarakat secara langsung ikut serta dalam pembuatan berita dan menjadi sumber informasi dalam berita tersebut.

Tidak hanya itu, Jason memberikan contoh Jurnalisme Publik yang juga mengekspose masalah yang dihadapi oleh masyarakat (to cover) dan mencari solusi bersama. Hal ini berbeda dengan jurnalisme biasa yang dominan memberitakan sebuah peristiwa tanpa ikut mencari solusi.

“Jurnalisme Publik juga mencari solusi dari sebuah permasalahan yang diberitakan. Wartawan yang meliput sebuah persoalan ikut serta memberi ruang pada masyarakat untuk menampung solusi yang tepat. Sebagai contoh sebuah berita yang tentang banjir di Bengkulu, tidak luput juga pendapat masyarakat untuk menyelesaikan persoalan banjir ketika hujan deras,” jelas Jason.

Hal ini juga sejalan dengan visi jurnalisme publik sebagai media ruang publik yang menjadi wadah untuk mempersatukan semua warga masyarakat untuk saling berbicara, berdialog, membahas permasalahan publik dan mencari solusi terhadap masalah tersebut secara bersama-sama.

Selain itu, Jason yang juga Ketua Persatuan Wartawan Indonesia wilayah Tapanuli Tengah  menerangkan terkait peran media yang kini tengah digelutinya yakni Media pers terhadap jurnalisme Publik.

 

“Laporan dari media pers yang disiarkan kepada masyarakat luas jangan sampai hanya pada tahap pemberitaan saja, namun bagaimana para pembaca mengalami kesadaran atas persoalan yang tengah dihadapi, serta terdorong untuk terlibat dalam menyelesaikan persoalan itu secara langsung,” pungkas Jason. 

Meski di tengah hujan baik di Yogyakarta, Sumatera Utara dan Bengkulu namun diskusi semakin hangat ketika setiap peserta silih berganti mengajukan pertanyaan dan pendapat tentang Jurnalisme Publik.

Diskusi diakhiri dengan sebuah pemahaman bahwa Jurnalisme publik memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk berdialog dan berdebat tentang segala hal yang mempengaruhi kehidupannya. Media memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mencari solusinya, dengan demikian, berita dalam konsep jurnalisme publik berasal dari bawah (bottom up).***

 


  Bagikan artikel ini

Dialog Lintas Iman : Kunjungan ke Pura Dharma Yatra Argamakmur

pada hari Senin, 26 Oktober 2020
oleh adminstube

Kunjungan ke Pura Dharma Yatra Argamakmur (Minggu, 25/10/2020) menjadi satu pengalaman baru bagi peserta yang ikut dalam kegiatan ini. Kunjungan kali ini bertujuan untuk mempertemukan para peserta yang berbeda keyakinan, yakni Kristen dan Hindu, sekaligus dialog lintas agama guna mempererat rasa persaudaraan antara mahasiswa aktivis program multiplikasi Stube HEMAT di Bengkulu dan pemuda-pemudi Hindu di Argamakmur yang tergabung dalam perkumpulan Sekaa Teruna-Teruni (STT) Aditya Buana yang juga bagian dari Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI).

 

Perkenalan menjadi awal yang menyenangkan antara peserta dari dua kelompok ini. Masing-masing mengenal nama, pendidikan, pekerjaan mau pun kesibukan dan hobi yang dilakukan. Penjelasan singkat mengenai organisasi dan kegiatan dari STT Aditya Buana, maupun penjelasan singkat dari pemuda-pemudi Kristen, menambah informasi dan pemahaman antara keduanya. Tak kalah menarik sesi tanya jawab yang terjadi untuk melengkapi pemahaman masing-masing. Pemuda-pemudi Gereja menjelaskan kegiatan yang dilakukan, latar belakang suku dan sejarah singkat jemaat, sementara pihak STT Aditya Buana menjelaskan kegiatan yang dilakukan organisasi tersebut serta menjelaskan adat, penamaan, dan struktur pembagian tempat ibadah Hindu yang ada di Argamakmur. Banyak hal menarik tentang Hindu yang tidak diketahui teman-teman dari Kristen menjadi bahan pertanyaan saat kunjungan tersebut seperti, adat, tradisi, dan struktur.

 

Pembahasan, percakapan dan tanya jawab dalam kunjungan ini memberi pengetahuan baru, khususnya bagi pemuda-pemudi Gereja mengenai agama Hindu di Indonesia. Banyak istilah-istilah menarik terkait penamaan, struktur keagamaan, adat, maupun tradisi yang dibicarakan saat dialog. Pemuda-pemudi STT Aditya Buana sangat baik dalam penguasaan materi maupun pengetahuan terkait kepercayaan yang mereka anut. Selain menambah pengetahuan terkait agama dan budaya Hindu khususnya Hindu Bali, dialog tersebut juga meluruskan beberapa hal yang sudah terlanjur salah di masyarakat.

 

Hal-hal terkait multikultur dan lintas iman sangat menarik untuk dibicarakan. Pertemuan dan dialog tersebut mengajarkan bahwa setiap budaya, tradisi, adat, dan agama yang ada di Indonesia adalah indah dalam keberagaman. Toleransi harus tetap dijunjung tinggi agar keberagaman tetap ada dalam kesatuan warga negara Indonesia.***


  Bagikan artikel ini

Kunjungan ke Gereja Khatolik St. Fidelis, Doloksanggul

pada hari Sabtu, 24 Oktober 2020
oleh adminstube

 

Gerakan untuk terus menghidupkan dan membumikan rasa persatuan dan kesatuan ditengah perbedaan iman walaupun ditengah Pandemi Covid-19 terus digiatkan oleh Program Multiplikasi Stube Hemat di Bengkulu melalui volunteer Yedija Manullang yang kebetulan saat ini berada di kampung halamannya, Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Usai melakukan kunjungan ke Masjid Raya Doloksanggul (20/09/2020), Stube HEMAT melakukan kunjungan ke Gereja Katholik St. Fidelis Doloksanggul (23/10/2020). Harusnya kunjungan ke gereja ini dilakukan bulan September, namun ditunda karena lonjakan drastis jumlah pasien positif Covid-19 di Humbang Hasundutan, yang mengakibatkan aktivitas gereja ditiadakan sementara.

Kunjungan Stube HEMAT diterima langsung di wisma gereja oleh Romo Etus selaku pelayan di gereja tersebut. Tetap menerapkan protokol kesehatan (mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak), Yedija Manullang mengucapkan terima kasih dan mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan mereka yang ingin belajar dan mendiskusikan lebih dalam mengenai toleransi yang ada di Doloksanggul.

 

Romo Etus mengutarakan bahwa keanekaragaman dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika merupakan sebuah fakta yang tidak bisa diingkari, bahkan sudah jauh oleh para pendahulu sebelum generasi yang saat ini ada. "Keanekaragaman dan kemajemukan yang ada di Indonesia ini adalah rencana Tuhan, saya sebagai seorang NTT tidak memilih dan merencanakan lahir sebagai seorang NTT, begitu juga dengan saudara sekalian yang dilahirkan dari Suku Batak," ujar Romo Etus. Romo Etus merupakan pendatang di Doloksanggul yang berasal dari Nusa Tenggara Timur dan ditempatkan kembali pada tahun 2019 setelah sebelumnya sudah pernah melayani di Doloksanggul pada tahun 2008 hingga 2010. Selama tinggal di Doloksanggul, Romo Etus melihat bahwa budaya orang Batak sangat kuat, bahkan budaya menjadi salah satu perekat anggota masyarakat kendati berbeda marga dan kepercayaan. Romo menambahkan bahwa selama tinggal di Doloksanggul belum pernah melihat peristiwa persekusi atau intimidasi terhadap orang-orang yang berbeda kepercayaan. "Sejauh penglihatan saya, tidak pernah ada kejadian intimidasi terhadap beberapa orang maupun sekelompok orang yang jumlahnya sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa kerukunan sesama masyarakat humbahas masih sangat baik, mungkin berbeda dibeberapa tempat yang lain," ujar Romo Etus.

Diskusi yang berlangsung lebih dari satu jam tersebut semakin hangat dengan jamuan dari gereja yang menyuguhkan teh manis hangat dan pisang goreng. Laura Manalu salah satu peserta diskusi bersyukur mengikuti kegiatan-kegiatan Stube dari mulai kunjungan ke Masjid hingga ke Gereja Katholik, karena selain menambah wawasan akan toleransi juga membuka paradigma dan pandangan tentang orang-orang yang berbeda kepercayaan dengannya. Pada kesempatan itu, tak lupa Yedija Manullang memperkenalkan program Jurnalisme Publik dan mengajak teman-teman pemuda Paroki Doloksanggul untuk bergabung. Program ini mengangkat topik upaya warga menemukan permasalahan, menggumulinya, dan mencoba merumuskan solusi. Program ini akan berjalan selama bulan Oktober hingga Desember 2020.

Semoga jalinan persaudaraan yang erat ini bisa memperkokoh rasa persatuan di Doloksanggul, juga Indonesia. ***


  Bagikan artikel ini

Bersama dalam Perbedaan

pada hari Selasa, 25 Agustus 2020
oleh Marta Yuli Kristianti Tambunan
 

 

 

Pengalaman bersama dalam kegiatan STUBE HEMAT memberikan pengertian yang mendalam bagi kami. Jujur awalnya ajakan untuk mengikuti kegiatan ini karena sahabat-sahabat saya mengikuti kegiatan STUBE HEMAT. Namun, pada akhirnya saya rasa tidak ada kata rugi setelah mengikutinya. Kegiatan ini membawa kami dalam diskusi kebersamaan terkait keberagaman beragama. Sejak SD hingga SMA, saya hidup dalam rasa mayoritas karena bersekolah di sekolah Katolik. Toleransi satu sama lain selalu dirasakan, apalagi mengenai keimanan, kami belajar religiusitas bukan hanya kekatholikan tetapi juga pandangan agama lain yang diakui di Indonesia. Maka, tak bisa dipungkiri bahwa secara garis besar kami diajar untuk saling mengerti satu sama lain tanpa memandang diri sendiri lebih baik dari yang lain.

Kegiatan ini membangun kembali kenangan rasa kebersamaan  yang sudah jarang saya rasakan dalam empat tahun perkuliahan saya. Diskusi bersama Hendra P. Luat Sihombing dari pemuda Katolik (OMK) menggambarkan bahwa saling menghargai antar umat beragama di lingkungan gereja Katolik selalu dirasakan, dilihat dari acara-acara besar yang dirayakan umat Katolik seperti Paskah maupun Natal akan hadir teman-teman BANSER dari pemuda Muslim yang ikut menjaga keberlangsungan ibadah, juga dari pihak kepolisian. Hendra P. Luat Sihombing adalah pembicara dalam sesi pertama diskusi Stube-HEMAT Bengkulu pada 22 Agustus 2020 di hotel Adeeva. Rasa toleransi di Bengkulu masih sangat dijunjung tinggi, walaupun tak bisa dipungkiri untuk kelancaran izin pembangunan rumah ibadah masih sulit dilakukan berdasarkan beberapa kasus yang terjadi di Bengkulu. Poin penting yang didapat selama kami berdiskusi bersama dengan teman-teman pemuda Katolik yakni bagaimana kita bisa mewarnai negeri kita, menjadi sahabat bagi siapa pun, dengan menghargai waktu-waktu penting dari saudara kita yang berbeda keyakinan dan menghormati  siapa pun yang ada disekeliling kita.

Kegiatan ini juga dilakukan dengan diskusi bersama Arnold Hok, perwakilan pemuda Buddhayana kota Bengkulu dengan rombongan STUBE HEMAT yang langsung berkunjung ke vihara Buddhayana. Hal utama yang diperoleh selama berdiskusi adalah bagaimana umat Buddha merefleksikan ibadah mereka untuk selalu mensyukuri hidup dengan menghargai mahluk hidup lain dan segala bentuk kehidupan. Hal itu terlihat jelas dengan tulisan yang terpampang di papan struktur organisasi umat Buddhayana kota Bengkulu, yakni “Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta” artinya “semoga seluruh mahluk hidup berbahagia”. Kami bersama-sama berkeliling gedung vihara yang berlantai 5 ini, dari lantai satu yang berisi patung-patung dewa atau tokoh agama Buddha sebagai bentuk penghormatan, lilin doa untuk mendoakan leluhur mereka yang sudah meninggal, dan persembahan sebagai wujud syukur atas hasil bumi yang mereka peroleh. Selanjutnya, lantai dua merupakan tempat ibadah besar, dengan 3 patung besar Buddha. Lantai tiga berisi kamar untuk para bikhu yang datang ke Bengkulu  menghadiri acara-acara penting umat Buddha. Lantai 4 dan 5 sebagai gudang dan rooftop dengan pemandangan langsung menghadap pantai dan benteng Malborough. Kebersamaan dalam perbedaan, sungguh kenangan yang tak terlupakan.

Marta Yuli Kristianti Tambunan, Peserta Pelatihan Multikultur dan Dialog Lintas Iman, Stube-HEMAT Bengkulu.

 

 


  Bagikan artikel ini

Merawat Toleransi Bersama Stube-HEMAT Bengkulu

pada hari Senin, 24 Agustus 2020
oleh Marta Sihotang

Sabtu, 22 Agustus 2020, program Multiplikasi Stube HEMAT di Bengkulu menyelenggarakan diskusi sehari dalam dua sesi menghadirkan narasumber Pemuda Katholik, Hendra P. Luat Sihombing di sesi pertama dan Arnold Hok, seorang aktivis Angkatan Muda Vihara Budhayana Bengkulu. Diskusi berlangsung dengan menarik di Hotel Adeeva, Pantai Panjang, Kota Bengkulu. Setiap peserta diminta menulis pengalamannya mengikuti setiap program Stube HEMAT. Catatan berikut ini ditulis oleh Marta Sihotang peserta program multiplikasi Stube HEMAT di Bengkulu, usai mengikuti rangkaian program diskusi tersebut. 

 

Kebhinekaan atau keberagaman merupakan hal sensitif dalam kerukunan bangsa. Sikap toleransi dibutuhkan dalam menjaga benteng kerukunan. Toleransi memerlukan sarana edukasi dan pembinaan kepribadian bangsa Indonesia harus konsisten ditanamkan. Pribadi yang toleran pada generasi muda menjadi salah satu jaminan untuk persatuan negeri dan bangsanya. Saya mengapresiasi kegiatan yang diadakan program multiplikasi Stube HEMAT di Bengkulu karena ini menjadi sarana edukasi bagi kaum muda dan masyarakat. Kegiatan ini menarik terlebih mengangkat tema “Multikultural dan Dialog Lintas Iman”. Di Indonesia, konflik agama masih sering terjadi, sehingga diskusi ini memberi kesempatan bagi peserta untuk lebih mengenal bagaimana keadaan atau kebiasaan dari agama yang berbeda.

 

 

Diskusi ini dimulai bersama Pemuda Katolik, Hendra Luat Sihombing dan Rikkot Malau. Diskusi dan percakapan yang terjadi sungguh luar biasa karena menambah pengalaman peserta terkhusus peserta yang bukan beragama Katolik. Jumlah masyarakat yang beragama Katolik Provinsi Bengkulu berkisar 12.000 jiwa dan gereja Katolik menilai bahwa masyarakat Bengkulu merupakan orang-orang yang cukup toleran. Bukan hanya masyarakat tetapi juga pemerintah setempat yang cukup memberi perhatian terhadap gereja dan umat. 

 

Pada sesi kedua disampaikan bahwa umat Buddha juga merasakan perhatian dan sikap toleran dari masyarakat juga pemerintah di Bengkulu. Hal yang menarik adalah kunjungan ke Vihara yang menjadi pengalaman baru dan pertama bagi peserta. Ketika peserta diajak memasuki ruang ibadah agama Buddha (Vihara Buddahaya), kesan pertama adalah ruangannya sangat rapi. Seorang aktivis muda Buddhayana, Arnold Hok, menyampaikan banyak hal tentang agama Buddha serta perkembangannya di kota Bengkulu. Bagi saya, salah satu ajaran yang menarik dari agama Buddha adalah ‘Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata’ yang artinya Semoga Semua Mahkluk Bahagia, sebuah harapan kebaikan untuk seluruh ciptaan Tuhan.

Kegiatan ini perlu dilakukan berkala guna menambah wawasan dan memupuk sikap toleransi bagi pemuda pemudi di Bengkulu, sebuah usaha untuk merawat toleransi yang sama sekali tidak bisa diabaikan. Terima kasih Stube HEMAT. ***


  Bagikan artikel ini

Pengalaman Interfaith Pemuda Katholik di Bengkulu

pada hari Minggu, 23 Agustus 2020
oleh adminstube

Stube-Hemat Bengkulu memasuki periode program Multikultur dan Dialog Lintas Iman pada bulan Juli — September 2020. Rangkaian program itu berjalan dengan menerapkan protokol kesehatan (cuci tangan, pakai masker). Peserta yang dalam kondisi tidak fit dipersilahkan mundur dan mengikuti diskusi di kemudian hari. Program multikultur bertajuk “Percaya dan menjadi lebih baik” ini kemudian mengambil tempat di Kota Bengkulu selama bulan Agustus 2020. 

 

Pada 22 Agustus 2020, Stube-HEMAT Bengkulu menggelar diskusi yang terdiri dari dua sesi. Sesi pertama dipandu oleh Hendra P. Luat Sihombing, seorang pemuda yang aktif dalam organisasi Pemuda Katholik di Bengkulu. Sesi kedua dipandu oleh Arnold Hok, Aktivis organisasi Angkatan Muda Vihara Buddhayana (AMVB) Kota Bengkulu.

 

Sesi pertama dilakukan pada pukul 10.00 WIB di hotel Adeeva. Pertemuan dilakukan terbatas pada 10 Peserta dengan memperhatikan batasan kerumunan yang ditetapkan pemerintah selama masa pandemi. Enam orang mahasiswa Universitas Bengkulu dan empat orang pemuda gereja hadir dalam diskusi ini.

Hendra P. L. Sihombing menyebutkan bahwa di kota Bengkulu ada sekitar 6000 umat Katholik. Protestan ada sekitar 13.000 jiwa. Jumlah ini adalah sekitar 1,7% dari total masyarakat Bengkulu. Adakah problem yang dihadapi selama ini berkaitan dengan hubungan agama-agama lain? Bersyukur sekali karena Bengkulu dikaruniai kerukunan dan keharmonisan. SETARA Institut menyebutkan, Bengkulu memang tidak termasuk daerah intoleran, hanya kadangkala kita menjumpai ibadah dari rumah ke rumah belum bisa diterima masyarakat luas.

 

Hendra mendorong peserta agar tidak terkungkung pada prasangka negatif kita sendiri. Bila ibadah kita dilarang orang, itu bukan karena orang itu fanatik. Kita harus lebih aktif berkomunikasi menjelaskan ibadah yang kita jalani. Sering ibadah itu mendapat larangan masyarakat hanya persoalan kita kurang mampu menjelaskan apa yang kita lakukan.

 

Masyarakat Bengkulu semakin maju. Kebiasaan setiap suku itu berbeda-beda. Semakin maju sebuah kota maka masyarakatnya semakin inklusif. Namun, gereja Bengkulu sebenarnya punya masalah. Kita tidak mampu untuk membuat diri kita rajin berkomunikasi. Orang Kristen masih saja merasa nyaman dengan keadaannya sekarang. Dalam kondisi ini, anak-anak muda harus ada terobosan. Kenyamanan jangan sampai meninabobokkan sehingga kita tidak lagi berusaha merajut keharmonisan.

 

Mari kita pandang negara ini seperti bangunan rumah. Multikultur adalah sebuah rumah. Pancasila adalah fondasi. Tiangnya adalah Undang-Undang Dasar. Bangunan rumah ini yang harus kita jaga. Kekuatan rumah itu bisa terganggu setidaknya oleh tiga hal 1) globalisasi, 2) Demokrasi yang melemah sementara dibutuhkan leader yang kuat, 3) egois pada pekerjaan sendiri jadi harus berpikir untuk menjadi pemimpin.

 

Pada tahun 2006, teman-teman mahasiswa Katholik Bengkulu yang tergabung dalam PMKRI aktif mendampingi petani, buruh, dan nelayan. Pelayanan itu tulus untuk melakukan pendampingan tetapi kadangkala ditolak karena label Kristen yang melekat. Oleh karenanya, Stube-HEMAT Bengkulu tidak perlu lelah untuk melakukan berbagai pendekatan kepada mahasiswa Bengkulu.

 

Toleransi yang tumbuh subur di Bengkulu dibuktikan ketika hari-hari besar keagamaan, Orang-orang Kristen diundang merayakan Idul Fitri dan hari raya kurban. Orang-orang Kristen sudah mulai mau mengundang orang yang berbeda agama dalam perayaan Natal dan Paskah. Kepada Stube-HEMAT Bengkulu, Hendra menutup diskusi dengan pesan bahwa tanggung jawab toleransi itu bukan hanya milik pemuka agama tetapi juga milik kita semua kaum muda, karena pemuka gereja sudah berat dengan tanggung jawab internal.

Demikian paparan dari Hendra P. Luat Sihombing dalam diskusi yang sangat terbatasi oleh waktu. Semoga di lain kesempatan dapat kembali berkumpul bersama dalam diskusi Stube-HEMAT Bengkulu berikutnya.


  Bagikan artikel ini

Mengunjungi Masjid Doloksanggul

pada hari Jumat, 21 Agustus 2020
oleh Yedija Manullang

Isu-isu kondusif penting dibangun bagi masyarakat. Peringatan 75 tahun kemerdekaan Republik Indonesia menjadi momentum untuk menggalakkan isu positif di tengah kemajemukan dan ke-Bhinneka-an Indonesia. Suatu ironi ketika peringatan 75 tahun kemerdekaan ini, masih ada kabar tokoh agama di Solo dipersekusi oleh sekelompok orang(https://www.google.com/amp/s/jateng.tribunnews.com/amp/2020/08/11/cerita-saat-habib-umar-assegaf-dipukuli-diinjak-kepalanya-oleh-ormas-disolo). Kasus intoleransi ini bukan yang pertama kali. Sederet kasus yang pernah terjadi menambah buram ke-Bhinneka-an.

Momentum Peringatan hari jadi Bangsa Indonesia menarik direfleksikan bersama. Usia 75 tahun bagi manusia, merupakan kategori tua. Sewajarnya bila tiba waktunya menikmati hasil kerja keras dan perjuangan di masa muda. Namun negara ini masih berjuang dengan berbagai hal, salah satunya kasus intoleransi. Republik Indonesia memang lahir pada tahun 1945, tetapi bangsa ini telah ada ribuan tahun. Kearifan lokal warisan leluhur terpatri dalam setiap gugusan kepulauannya. Perbedaan tidak menjadi persoalan bahkan sejarah mencatat kemerdekaan Indonesia adalah hasil persatuan di tengah perbedaaan!

Sebagai usaha terus merajut komunikasi, delapan pemuda Doloksanggul, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara mengikuti program follow-up program multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu untuk mengunjungi masjid Doloksanggul. Peserta terlihat cukup antusias mengikuti kegiatan. Ramli Nababan, seorang pengurus Masjid dan sekaligus wakil ketua bidang prasarana dan pembangunan, menyambut peserta dengan hangat serta menemani para pemuda mengelilingi masjid pada hari itu (Kamis, 20/8/2020).

Ramli menilai hubungan antar umat beragama di Doloksanggul terjaga dengan baik. Mayoritas warga sekitar masjid adalah kristiani. “Silahturahmi antar umat beragama di lingkungan masjid ini sangat kita jaga, misalkan dalam perayaan Idul Adha yang baru saja diperingati bulan lalu, kami tidak membiarkan para tetangga masjid ini hanya mencium bau daging kurban saja, tetapi semua kami bagi merata,” ujar Ramli. Ramli menuturkan bahwa dia baru sekitar 10 tahun terakhir kembali ke Doloksanggul, setelah 30 tahun merantau bersama keluarga. Lahan masjid sekitar 10.000 m2 berasal dari wakaf kakek dan neneknya. Akhirnya Ramli terpanggil mengurus masjid tersebut. Ramli menilai bahwa di masa lampau orang-orang berhubungan erat walaupun berbeda iman, dan momentum perayaan hari besar menjadi ajang mereka mempererat silaturahmi.

“Dulu waktu saya muda dan berada di Doloksanggul, momen malam pergantian tahun baru selalu saya manfaatkan untuk mengunjungi tetangga yang beragama Kristen. Bagi orang Batak Kristen, tradisi tahunan tersebut selalu diawali dengan berdoa dengan tata ibadah gereja masing-masing dan acara “Mandok Hata”, sebuah acara saling memaafkan ala suku Batak. Tidak masalah bagi saya mengikutinya, malahan saya dihargai dan dihormati di sana,” ujar Ramli. “Namun tradisi tersebut sudah mulai hilang pada masa ini,” lanjut Ramli.

Yedija Manullang salah seorang peserta menanggapi pernyataan tersebut serta bertanya kepada Ramli terkait tradisi silahturami yang sudah mulai hilang tadi. “Sewaktu kecil saya orang yang paling rajin untuk mengetuk pintu para tetanga dengan membawa piring berisi kue tahun baru, namun seiring berjalannya waktu, tradisi itu seolah hilang.  Rindu rasanya mengulang waktu-waktu itu. Menurut Pak Ramli kira-kira apa yang membuat tradisi yang sangat baik dalam membangun silahturahmi ini kemudian berangsur menghilang?” ujar Yedija seraya bertanya kepada Ramli.

“Perkembangan teknologi menumbuhkan individualisme dan rasanya sangat sulit untuk mengembalikan masa-masa indah itu. Pemudalah yang perlu berperan membangun silahturahmi supaya tetap terbangun di masa sekarang dan mendatang,” jelas Ramli.

Sambil berjalan berkeliling, Ramli menunjukkan tempat wudhu, batas suci, aula, tempat sholat, arah kiblat serta tempat mengumandangkan adzan. Salah seorang peserta bertanya mengenai kondisi dan hubungan masjid dengan dua gereja yang berdiri di dekatnya. “Bagaimana Pak, komunikasi antara dua gereja yang berdekatan dengan masjid ini, misalkan pada hari Minggu gereja melaksanakan ibadah hingga lewat jam 12 siang padahal tepat pada jam tersebut adzan harus berkumandang untuk memanggil orang Muslim  melaksanakan Sholat,” ujarnya. “Komunikasi kami baik dan tidak merasa terganggu satu akan yang lain berhubung juga suara adzan yang hanya sebentar dan tidak mengganggu jalannya peribadatan di gereja. Itulah perbedaan, apakah kita harus ribut karena hal tersebut? Toh juga sama-sama menjalankan kewajiban dan panggilan iman kita masing-masing. Justru hal itu yang memperindah perbedaan tersebut,” ujar Ramli.

Lebih dari 45 menit berlalu, jam menunjukkan hampir pukul 12 siang, waktu  Ramli dan umat muslim lainnya akan melaksanakan sholat. Para peserta kunjungan mengakhiri percakapan dan undur diri. Laura salah seorang peserta kegiatan merasa beruntung karena belajar hal baru. Dia menyatakan bahwa perbedaan itu ternyata indah dan ini pertama kalinya Laura berkunjung ke masjid, serta berharap dapat berkunjung bersama Stube-HEMAT ke tempat peribadatan lainnya, seperti gereja Katholik di Doloksanggul.***


  Bagikan artikel ini

Multikultur dan Lintas Iman di Kampus

pada hari Senin, 17 Agustus 2020
oleh Ratna Andriani

Minggu, 16 Agustus 2020, bertempat di rumah multiplikator Stube HEMAT di Bengkulu, enam pemuda-pemudi Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS) Kurotidur wilayah MT berkumpul untuk sharing beberapa cerita serta pengalaman multikultur dan lintas iman. Dalam kesempatan itu, multiplikator menghadirkan Ratna Andriani, mahasiswi tingkat akhir Institut Pertanian Bogor (IPB).

 

Institut Pertanian Bogor (IPB), merupakan salah satu kampus rakyat yang menerima mahasiswa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Mahasiswa dan mahasiswi IPB sangat heterogen dengan berbagai suku, agama dan budaya. IPB menyatukan keberagaman mahasiswa tersebut melalui Program Persiapan Kompetensi Umum (PPKU) saat tingkat I dan asrama. PPKU bersifat wajib diikuti mahasiswa selama dua semester pertama, serta berbagai events kampus seperti Gebyar Nusantara. IPB dapat dikategorikan kampus yang cukup menolerir keberagaman agama di lingkungannya.

 

Walaupun sempat ada beberapa isu mengenai “kampus radikal” dan hal-hal lain yang menyangkut ideologi, hal tersebut tidak berpengaruh terhadap proses kehidupan kampus sehari-hari, baik kegiatan belajar maupun lingkaran pertemanan. Sebagai mahasiswa Kristen di IPB yang merupakan agama minoritas, saya tidak merasakan adanya pengaruh negatif dari isu-isu ideologi dan intoleransi yang ada. Lingkungan pertemanan di departemen/jurusan maupun kegiatan-kegiatan kampus yang lain cukup beragam dari segi suku, agama, dan budaya, hal tersebut malah semakin menambah pengetahuan, pengalaman, dan jejaring pertemanan.

 

 

Saya adalah mahasiswi IPB asal Bengkulu, keturunan Jawa. Keadaan tersebut membuat saya lebih mudah beradaptasi di lingkungan kampus yang berada di pulau Jawa. Walaupun civitas akademika kampus cenderung heterogen, tetapi pada akhirnya saya sering bergaul dengan orang Jawa atau dengan orang Kristen yang memang berbeda suku. Ketertarikan yang sama, merasa senasib dan sepenanggungan menjadikan dirinya nyaman dengan circle pertemanan tersebut. Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia akan cenderung berkumpul dengan yang memiliki sifat dan kegemaran yang sama. Sifat mudah beradaptasi memang diperlukan jika kita berada pada lingkungan yang heterogen. Beradaptasi bukan berarti mengubah diri, tetapi menyesuaikan dengan berbagai keadaan yang ada. Toleransi dan sikap saling menghargai sangat diperlukan dalam menghadapi situasi keberagaman, terutama dalam kehidupan kampus. Tujuan kita menempuh pendidikan tinggi selain memperoleh ilmu pengetahuan dan gelar, adalah juga untuk membangun relasi dengan berbagai orang dari berbagai bidang keahlian.

Sharing kali ini membuat teman-teman Bengkulu mengerti bahwa pergaulan di lingkungan kampus penuh dengan nilai-nilai keberagaman dan toleransi. Semoga bisa menjadi semangat pemuda Bengkulu untuk terus membuka diri dan menghargai perbedaan. ***


  Bagikan artikel ini

Membuka Pemikiran, Menerima Perbedaan

pada hari Kamis, 30 Juli 2020
oleh Yedija Manullang
Semua agama mengajarkan kebaikan dan menghargai sesama, tidak hanya manusia melainkan seluruh ciptaan di dunia ini. Walaupun diakui ada yang mengatasnamakan agama membuat perpecahan di masyarakat. Selain itu, Indonesia sebenarnya sudah final dengan keberagaman dan kemajemukan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya suku, bahasa dan kebudayaan di Indonesia yang satu, dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
 
Berangkat dari hal tersebut, Yedija Manullang, aktivis program Multiplikasi Stube HEMAT di Bengkulu mengajak pemuda gereja dan lingkungannya untuk mengenal Stube HEMAT serta membicarakan perbedaan iman di tengah-tengah masyarakat.
 
Kegiatan diskusi digelar di kediaman Yedija Manullang, Jl. Sisingamangaraja, Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (Rabu, 29/07/2020). Humbang Hasundutan (Humbahas) merupakan kabupaten yang jauh dari gesekan, konflik dan perpecahan antar umat beragama. Kabupaten ini baru saja merayakan hari jadinya yang ke-17 tahun. Secara khusus, kota Doloksanggul tempat Yedija tinggal, menjadi ibu kota Humbahas, didiami mayoritas masyarakat beragama Kristen, namun di pusat kotanya berdiri tegak sebuah masjid, bahkan banyak rumah makan dan usaha-usaha milik orang muslim.
Sebelum kegiatan dimulai, Yedija menghimbau kepada seluruh peserta agar menyempatkan waktu sekitar 10 menit untuk membaca buku, dalam rangka mendorong literasi dan semangat membaca bagi pemuda. Selanjutnya, Yedija memperkenalkan Stube-HEMAT kepada para peserta termasuk pengalaman Yedija yang sudah satu tahun berkecimpung di lembaga yang fokus pada pendampingan mahasiswa dan pemuda ini. Peserta antusias mendengarkan karena nama Stube-HEMAT unik dan belum pernah mereka dengar.
Dalam proses diskusi tersebut, Yedija membagikan kertas kepada peserta untuk bisa menuliskan kesan dan apa yang dirasakan ketika bertemu atau berinteraksi dengan orang yang tidak satu iman dengan mereka. Jawaban para peserta mengejutkan karena ada yang sampai merasa jijik, tidak enak, takut dan tidak percaya diri. Hal yang sama juga dirasakan Yedija saat menjadi salah satu peserta di acara Pelatihan Multikultur dan Dialog Antar-agama di Stube-HEMAT Yogyakarta, dengan topik ‘Menghubungkan Jiwa, Merayakan Perbedaan’. Awalnya Yedija merasa canggung dengan acara tersebut karena terbiasa mengikuti kegiatan dalam zona nyaman, yaitu bersama orang yang satu suku dan satu agama, terlebih acara tersebut bertaraf internasional.
Analogi pelangi dan taman bunga yang indah dengan beragam warna dan bunga yang menghiasinya menjadi contoh sederhana memasuki topik keberagaman ini. “Pelangi akan sangat tidak menarik dan monoton ketika hanya satu warna saja yang melekat, demikian juga dengan taman bungan yang hanya diisi oleh satu jenis bunga saja, orang akan cepat bosan. Namun akan sangat indah pelangi jika warna yang ada padanya beragama, serta taman bungan akan enak dipandang ketika banyak bunga menghiasinya. Begitu juga akan indah jika masyarakat dan lingkungan kita diisi oleh orang yang berbeda, baik suku, bahasa ataupun agama”, ujar Yedija.
 
Namun ironi sering terjadi ketika perpecahan dan konflik ada karena perbedaan yang sudah melekat sejak lama. Hal ini akan menguras energi dan mencederai ke-Bhinneka-an yang dimiliki oleh bangsa ini, serta akan mengganggu persiapan-persiapan Indonesia menghadapi Bonus Demografi dan Indonesia Emas 2045. Jika masyarakat secara khusus pemuda masih berkutat pada perdebatan perbedaan yang menyebabkan konflik dan perpecahan, maka bonus demografi akan jadi bencana. “Pemuda Indonesia nantinya akan menjadi pemimpin, pengelolah sistem, pengatur dan pemangku kebijakan di Indonesia. Agar siap menghadapi tantangan dan persoalan maka pemuda harus berfikir kritis, kreatif, komunikatif, serta mampu bekerjasama”, jelas Yedija.
 
Kerjasama membutuhkan persatuan, persatuan ini diawali dengan menerima segala perbedaan dan kemajemukan yang ada. Oleh karena itu perbedaan yang ada harus diubah menjadi harmoni kehidupan karena perbedaan itu akan terus ada dan melekat selama bangsa ini masih ada. Mari kita berhenti memperdebatkan perbedaan melainkan mengkampanyekan persatuan dengan saling menghargai, menerima, dan bersiap menyongsong perubahan.
Rijon Silaban, salah seorang peserta menanggapi topik yang dibawakan dengan menceritakan bahwa di lingkungan tempat ia menuntut ilmu, di luar kabupaten Humbahas masih belum sepenuhnya bisa menerima perbedaan. “Lokasi kampus saya berada di tengah-tengah lingkungan Muslim, sayangnya masih banyak orang di lingkungan tersebut enggan berinteraksi bahkan ada yang sampai menjauhi kami mahasiswa Kristen karena makan daging babi”, ujar Rijon, mahasiswa Theologia semester 7. “Padahal perbedaan itu hal yang lumrah bagi masyarakat kita dan justru itulah yang memperindah masyarakat Indonesia seperti analogi taman bunga dan pelangi tersebut, sehingga forum-forum dialog dan semangat keterbukaan menerima perbedaan harus terus dilakukan”, lanjutnya.
 
Yedija selanjutnya bertanya apa yang mereka rasakan nanti ketika bertemu dengan orang yang berbeda iman. Peserta yang awalnya takut, canggung dan tidak percaya diri, selanjutnya menyatakan akan menjadi biasa saja, serta akan menikmati perbedaan itu. Namun ada satu peserta yang masih merasa takut, karena selama ini belum pernah berinteraksi dengan orang yang berbeda iman. “Semenjak saya sekolah dasar, sekolah menengah pertama, saya tidak pernah berinteraksi dengan orang non-Kristen. Semua teman-teman saya adalah orang Kristen,” ujarnya dengan gugup dan wajah yang memerah. Oleh karena itu, Yedija dan peserta diskusi akan mengadakan kunjungan ke Masjid yang berada di tengah-tengah kota Doloksanggul, untuk memberi pengalaman berinteraksi dengan perbedaan. ***

  Bagikan artikel ini

Bincang-Bincang Mahasiswa Indonesia-Jerman

pada hari Senin, 27 Juli 2020
oleh Linda Titiwijayanti
 
Program Multiplikasi STUBE-HEMAT di Bengkulu melalui salah satu program "Redaksi Simple-B" mengadakan siaran langsung via instagram (Minggu, 26/07/2020). Siaran tersebut berlangsung selama 45 menit (14.00-14.45 WIB) dipandu oleh Linda Titiwijayanti, redaktur Simple-B dengan menghadirkan narasumber Lidia Hotmaida Naibaho, SP. Lidia adalah mahasiswa asal Sidikalang Sumatera Utara yang saat ini menempuh program pendidikan pascasarjana di Georg August Goettingen University, Jerman. Ia mengambil program studi Sustainable Internasional-Agriculture. Lidia telah menyelesaikan program sarjananya di Universitas Sriwijaya jurusan pertanian. 
 
 
Di awal siaran, Lidia menuturkan bahwa saat ini perkuliahan di Jerman dilakukan secara daring menghindari penyebaran Covid-19. Ia juga menceritakan perbedaan antara kehidupan mahasiswa di Jerman dan di Indonesia. Ia mengakui jika perkuliahan di Jerman lebih santai, dalam artian interaksi antara dosen dan mahasiswa seperti sahabat, ketika dosen tidak dapat menjawab pertanyaan mahasiswa, mereka akan meminta maaf. Biaya hidup di Jerman jelas lebih tinggi. Bagi mahasiswa non-beasiswa, setidaknya harus memiliki tabungan sekitar 130 juta rupiah per-tahun. Biaya sewa kos perbulannya mencapai 4 juta rupiah, sangat jauh berbeda dengan di Indonesia. Tidak perlu khawatir soal makanan, di sana tersedia beberapa toko Asia yang menyediakan bahan pangan dari benua Asia. 
 
Lidia kemudian menjelaskan bagaimana cara memperoleh beasiswa. Yang sangat penting ialah selalu menjaga semangat karena banyak proses yang harus dilalui, harus terus percaya diri dan optimis berhasil, serta memenuhi syarat yang dibuat oleh penyedia beasiswa seperti skor IELTS minimal 6 (skala 0-9), memiliki pengalaman kerja, aktif berorganisasi dan menjadi relawan. Untuk menambah penilaian, Lidia menyarankan, sebelum mendaftar beasiswa akan lebih baik jika mengikuti shortcourse. Shortcourse adalah salah satu jenis perkuliahan singkat yang biasanya berdurasi selama 1 hingga 8 minggu. Bentuknya bisa berupa pertukaran mahasiswa, pelatihan mengenai studi ilmu tertentu, dan pengenalan budaya serta pendidikan di negara penyelenggara atau universitas di seluruh dunia. Lidia juga berpesan supaya mahasiswa-mahasiswa Indonesia menggunakan ponsel dengan cerdas untuk menggali informasi seputar beasiswa seperti beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan DAAD (German Academic Exchange Service) yang mendukung mobilitas siswa internasional yang ingin melanjutkan studi di Jerman. 
 
 
Di akhir perbincangan, Lidia kembali menegaskan untuk para pengejar beasiswa, jangan pernah takut mencoba, kita tidak akan rugi karena kita akan memperoleh pengalaman dan belajar dari pengalaman itu sendiri. Sebelum melangkah tentu kita harus memiliki perencanaan dan tujuan yang jelas serta menyusun rencana jangka panjang maupun jangka pendek. 
 
Program Live di Instagram oleh program Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu diujicoba pada Juli 2020 dan diharapkan makin banyak peserta yang mau berpartisipasi dalam setiap diskusinya karena akan selalu membahas topik-topik yang menarik.****

  Bagikan artikel ini

Tes Cepat: Sejauh Mana Mengenal Perbedaan

pada hari Senin, 27 Juli 2020
oleh Yohanes Dian Alpasa, S.Si.
Istilah tes cepat (rapid test) menjadi populer ketika masa pandemi di Indonesia tiba. Empat bulan sudah masa ini berlangsung dan sekarang setiap orang sudah melakukan aktifitas dengan mematuhi protokol kesehatan. Tes cepat dan dokumen hasil tesnya menjadi syarat bagi seseorang untuk bepergian ke luar kota. Kehidupan kembali berjalan, khususnya di Bengkulu. 
 
 
Pada 25 Juli 2020, Multiplikator Bengkulu mengadakan pertemuan untuk mempersiapkan program diskusi ‘Multikultur dan Dialog Antar Agama’. Peserta diskusi juga mengikuti tes cepat untuk mengetahui pengalaman masing-masing ketika mengunjungi rumah ibadah agama lain atau berinteraksi dengan pemeluk agama yang berbeda. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Dari enam peserta yang mengisi metaplan, tidak ada satu pun yang pernah pergi ke rumah ibadah Katholik, meski mereka pernah mempunyai teman dari gereja Katholik tetapi belum pernah berbicara ajaran dari gereja itu. 
 
Pertanyaan kedua, “Pernahkah teman-teman pergi ke Pura?” Tetangga desa Margasakti adalah desa Kurotidur dan di situlah Pura Agama Hindu yang terdekat berada. Enam peserta belum pernah masuk ke area pura, belum pernah berbicara tentang agama Hindu, namun sudah mengerti lokasi Pura itu berada yakni di Rama Agung, Argamakmur, Bengkulu Utara. 
 
Pertanyaan ketiga tentang Vihara, tempat ibadah agama Budha. Tidak ada satu pun yang pernah mengunjunginya. Bahkan, tidak ada ketertarikan atau kebutuhan untuk browsing di internet. 
 
 
Pertanyaan keempat, “Apakah teman-teman peserta pernah pergi ke Masjid?” Lima dari enam peserta menjawab sudah pernah, satu belum pernah. Rata-rata menyatakan bahwa kadangkala melihat siaran rohani di televisi ataupun pelajaran agama Islam di sekolah. Jadi, kesimpulan pertama, pengajaran agama Islam sudah tidak asing lagi bagi peserta. 
 
Pertanyaan terakhir adalah, “Sudahkah teman-teman mendengar tentang aliran kepercayaan? Aliran kepercayaan itu seperti Kejawen, Kaharingan, Sunda Wiwitan, atau Marapu. Meskipun mayoritas orang tua peserta adalah orang-orang dari suku Jawa yang mengenal aliran kepercayaan, tetapi sudah tidak pernah lagi mentransfer pengajaran ataupun ritual kejawen yang pernah dilakukan. 
 
 
Hasil tes sederhana ini memberi kesimpulan bahwa Program Multikultur dan Dialog Lintas Iman adalah program yang mendesak untuk dilakukan untuk memberi ruang interaksi antar penganut agama dan keyakinan yang berbeda. Tentu saja manfaatnya akan bagus untuk peserta sebagai langkah memperluas wawasan, memberi ruang komunikasi dan network. 
 
Dalam rangka sosialisasi, Multiplikator membuka kesempatan bagi teman-teman mahasiswa untuk bergabung dalam program diskusi dan pelatihan di pertengahan Agustus ini. Lets Join Us!

  Bagikan artikel ini

Pemuda Bengkulu & Kepemimpinan Kristen

pada hari Senin, 20 Juli 2020
oleh Dahlia Sitohang

Bumi terus berputar, waktu terus bergulir tanpa bisa kembali. Generasi milenial telah menguasai dunia karena mereka tumbuh dengan teknologi, komputer dan dunia internet. Hal ini berbeda dibanding generasi sebelumnya. Ada hal positif dan negatif yang bisa diambil sesuai peran dan keputusan mereka. Seperti apakah ‘Kepemimpinan Kristen’ saat ini?

 

Kepemimpinan ialah cara mempengaruhi orang lain agar mau mencapai tujuan yang diinginkan sang pemimpin dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Banyak anak muda telah mengambil peran mendorong dan meraih kesuksesan secara digital, seperti mengumpulkan donasi bagi yang memerlukan, menyuarakan keadilan dan ketidakberesan yang terjadi, mengumpulkan suara dukungan atas sebuah petisi, dll.

 

Minggu, 19 Juli 2020, saya, Dahlia Sitohang dari program Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu melakukan siaran langsung bersama nara sumber Made N. Supriadi, S. Th, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Alkitab di Bengkulu (STIAB). Program ini menjadi salah satu diskusi online sebagai rangkaian kegiatan Program Multikultur dan Dialog Lintas Iman di Bengkulu. Melalui diskusi ini diharapkan mahasiswa Kristen memiliki karakter dan nilai-nilai kepemimpinan Kristiani sehingga dapat semakin dipercaya dan menjadi lebih baik. Siaran langsung melalui Instagram adalah salah satu cara menjangkau dan berbagi pengalaman di media sosial. Perbincangan ini dimulai pada pukul 20.00–20.45 WIB.

 

Poin utama dalam diskusi tersebut adalah membahas kepemimpinan anak muda Kristen di era globalisasi. Apa tujuan anak muda menjadi pemimpin? Siapa pemimpin yang layak? Lantas, kapan anak muda harus bergerak menjadi pemimpin? Dimana anak muda ini berada?  Mengapa anak muda sebaiknya menjadi pemimpin? Dan bagaimanakah cara anak muda menjadi pemimpin yang baik dan benar? Berikut adalah pemaparan hasil diskusi yang dilakukan degan narasumber.

 

“Pemuda memiliki semangat dan kemauan yang tinggi. Mereka layak menjadi pemimpin  karena anak muda dipanggil untuk memuliakan Tuhan. Ini prinsip utama. Tuhan  memuliakan diri-Nya melalui generasi muda pada saat ini melalui sosok pemimpin. Memimpin adalah panggilan Tuhan di dalam dirinya. Tidak ada seorang pun manusia yang mampu melayakkan dirinya menjadi  seorang pemimpin, meskipun anak muda itu memiliki kapabilitas, skil,  kemampuan, karunia atau rupa kepemimpinan, karena kelayakan itu ialah pemberian, panggilan, dan kepercayaan dari Tuhan”, papar narasumber.

 

“Setiap anak muda bertanggungjawab dalam memimpin dirinya sendiri; cara hidup, cara bersekolah, cara belajar dan cara berkomunikasi. Generasi milenial harus siap memimpin hidupnya berelasi dengan Tuhan dan berelasi dengan sesama. Sekaranglah waktunya untuk anak muda memimpin”, tambahnya.

 

“Sementara dalam konteks formal, anak-anak muda akan menghadapi peraturan. Butuh kesiapan diri, umur, dan  waktu yang tepat bagi anak muda memimpin secara formal. Kelak anak muda akan menggantikan pemimpin-pemimpin saat ini seperti rektor atau pun presiden. Semua itu membutuhkan waktu yang tepat sehingga mulai dari sekarang anak muda harus mempersiapkan dirinya untuk menjadi pemimpin di waktunya nanti”, jelas narasumber berkaitan waktu dan pemimpin.

 

Hal yang menarik dan perlu menjadi evaluasi bersama adalah anak muda kadang ingin memimpin dari pada dipimpin. Ego yang tinggi cenderung membuatnya kadang sulit menerima arahan, cenderung ingin terlepas dari tanggung jawab dan beban. Lantas, dimana anak muda yang bertanggung jawab itu sekarang? Inilah yang menjadi permasalahan saat ini. Banyak yang lari dan bersembunyi, banyak yang takut dan tidak percaya diri. Karena hal yang paling utama untuk memimpin ialah teruji karakternya, tanggung jawabnya dan spiritualitasnya.

 

“Jadilah pemimpin yang berintegritas, seorang anak muda yang memimpin dengan  pikiran, hati, dan perkataan yang seimbang dalam kebenaran. Jadilah pemimpin yang berani mengakui kesalahan, berani bertanggung jawab, berani berubah dan berani menyelesaikan masalah. Beranilah maju untuk menghadapi persoalan dan beranilah jujur. Cobalah dan persiapkan diri. Jangan menunggu predikat menjadi sempurna, tetapi biarlah proses itu sendiri perlahan membuat layak dan pantas”, nara sumber mengakhiri pemaparannya.

Nah, bagaimana teman-teman muda? Mantapkan langkah supaya Tuhan berkenan dan memampukan kita menjadi pemimpin. ***


  Bagikan artikel ini

Pelatihan Menulis: Fakta dan Seharusnya  

pada hari Senin, 15 Juni 2020
oleh adminstube

 

 

 

Situasi nasional yang terus waspada akan bahaya pandemi Covid-19, membuat rencana kunjungan Menteri Lingkungan Hidup yang akan melihat persiapan bank sampah yang ditekuni oleh pemuda dusun VII Desa Margasakti sekaligus melihat mata air yang terletak di pinggir desa pada bulan Juni 2020 dibatalkan. Pembatalan ini dikonfirmasi oleh M. Jauhari Fajri, seorang Aparat Desa Margasakti yang aktif melakukan pendampingan pada Karang Taruna Dusun VII Desa Margasakti. Kuat dugaan bahwa bepergian ke Bengkulu (yang termasuk zona Merah COVID-19) terlalu beresiko. Mengingat kunjungan ini dapat ditunda maka pihak kementerian barangkali memilih lain waktu untuk memenuhi agenda perkunjungan ke Bengkulu.

 

 

 

 

 

 

Pertemuan-pertemuan masih dilarang sehingga semua sosialisasi dilakukan dengan media sosial dan digital. Jadi, Juni terlihat lengang di Bengkulu. Untuk menjaga komunikasi dan semangat, Multiplikator Bengkulu menggelar pertemuan dengan maksimal peserta 5 orang dalam satu ruangan. Bila dalam kondisi flu dan batuk maka yang bersangkutan tidak diundang. Siang hari teman-teman bekerja dan sore harinya menanam sayuran, pada malam hari mempelajari latihan penulisan jurnalisme publik. Pemuda Desa ini berlatih menulis untuk dijadikan buletin. Hingga dua bulan ke depan selama seminggu sekali, mereka berlatih bersama multiplikator untuk menulis. Harapannya akan ada tulisan dan terbitan ringan untuk menjangkau warga dusun VII dalam berbagai segmen usia.

 

 

 

Pada pertemuan pertama, 14 Juni 2020, Yohanes Dian Alpasa membentuk struktur kepengurusan untuk mengoordinasikan kerja Buletin. Setelah struktur terbentuk, maka langkah berikutnya adalah menulis dan menyaring berita. Tugas ini sederhana tetapi menjadi sulit bila disepelekan. Pertemuan kedua dilanjutkan pada 21 Juni 2020, dengan metode sederhana tentang bagaimana merumuskan sebuah masalah sosial. Kadangkala masalah yang terlihat kecil akan menjadi besar ketika dibedah. Metodenya adalah dengan menemukan hal-hal ideal atau “seharusnya”, kemudian teman-teman peserta harus melihat realitas dengan melihat “fakta riilnya”.

 

 

Multiplikator menyadari ragam kemampuan masing-masing peserta. Namun, hasil yang ditulis cukup mengesankan. Teman-teman mampu untuk melihat kenyataan dan memberikan tanggapan. Konsep buletin sudah ditulis dan dijadwalkan pada minggu awal Agustus sudah bisa menulis untuk warga dusun VII Desa Margasakti. Multiplikator Bengkulu merasa bersyukur dapat belajar bersama pemuda Desa Margasakti. Dengan demikian kemampuan jurnalistik yang selama ini dimiliki dapat dibagikan kepada teman-teman pemuda di Bengkulu. (YDA).


  Bagikan artikel ini

Sosialisasi New Normal dan New Program Multiplikasi di Bengkulu

pada hari Senin, 15 Juni 2020
oleh adminstube

 

 

 

Geliat aktivitas Program Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu telah tampak kembali. Pada hari Sabtu, 4 Juli 2020, Multiplikator Stube-HEMAT di Bengkulu melakukan sosialisasi Program Baru Multiplikasi dan sosialisasi New Normal di masa Pandemi Covid-19. Remaja gereja, Yerikho Ardani Ananta bertindak sebagai tuan rumah diskusi. Ada enam pemuda remaja gereja yang hadir dalam diskusi ini.

 

 

 

Yohanes Dian Alpasa bertindak sebagai narasumber dan membagikan materi tentang protocol New Normal dan program baru yang akan dilakukan oleh Multiplikator Bengkulu. Materi diskusi berupa Handout yang berisi kilasan aktivitas program dalam 12 pekan ke depan. Dua video dibagikan untuk melengkapi handout yakni Video yang diproduksi oleh Dinas Koperasi dan UKM DIY dan video tentang protocol kebersihan sederhana selama pandemic.

 

 

Aktivitas belajar dan aktivitas ekonomi harus berjalan demi melanjutkan kehidupan. Tanpa dua aktivitas ini, kehidupan terlihat lesu dan mati suri. Dengan protocol sederhana, aktivitas ekonomi dapat berjalan dan menjamin keberlangsungan kehidupan selanjutnya. Apa saja protocol yang disosialisasikan dalam pertemuan 4 Juli ini?

 

 

 

Yang pertama adalah tentang tata cara cuci tangan, sebelum dan sesudah beraktivitas, setelah memegang uang atau memegang pegangan pintu dan kunci. Tidak menyentuh muka sebelum cuci tangan. Kita harus memakai masker dan penutup kepala. Makanan yang kita makan harus bergizi, olahraga, dan istirahat di rumah bila kondisi tubuh sedang sakit.

 

 

 

Kita bersyukur karena Bupati Bengkulu Utara telah mengijinkan kegiatan keagamaan berskala kecil dengan jumlah peserta yang dibatasi. Kegiatan sosial juga boleh dilakukan. Oleh karenanya, hadirnya program baru Multiplikasi layak untuk diikuti dan didukung.

 

 

 

Masing-masing peserta harus menonton video pertama tentang protocol kesehatan yang ditulis oleh Yohanes Dian Alpasa. Video kedua juga diperlihatkan kepada peserta, kemudian barulah selama 15 menit, Yohanes Praworo membacakan handout yang sudah ditulis Multiplikator. Peserta menyimak dan kemudian menuliskan dalam metaplan yang sudah disediakan.

 


 

Apa saja yang didapat oleh teman-teman peserta? Hosea Vega Rian menulis, “Kita harus mengikuti peraturan-Peraturan pencegahan Covid-19”. Sementara itu, Friskila Damar Ratri menulis “1. Kita tidak boleh menyepelekan Covid-19, kita harus tetap waspada untuk mencegahnya. Selalu jaga kebersihan, selalu pakai masker dan penutup kepala, jauhi kerumunan dan keluar rumah seperlunya.”

 

 

 

Yusnita Novianti menulis,”Untuk mencegah Covid-19 selalu pakai masker, cuci tangan pakai sabun, jaga jarak, dan lingkungan harus selalu bersih.” Selanjutnya, Yusnita menambahkan,”New Normal bukan berarti kita bisa melakukan hal bebas seperti biasa, tetapi harus tetap mematuhi protocol kesehatan.”

 

 

 

Amelia Dinda Cahyani menulis,”Untuk mencegah terjadinya Covid-19 yakni dengan cara mentaati tata tertib yang sudah diinfokan yaitu mencuci tangan, memakai masker jika keluar rumah, keluar rumah jika ada kepentingan. Dan harus menjaga kebersihan supaya terhindar dari Covid 19. Menjaga jarak.”

 

 

 

Yohanes Praworo menuliskan,”New Normal bukan berarti kita bisa melakukan kegiatan/aktifitas bebas di luar lingkungan, melainkan kita memulai kegiatan dengan anjuran pemerintah yang ditaati. Stube menyiarkan kegiatan New Normal dengan cara yang interaktif yaitu dengan membuat video yang dapat diterima oleh semua kalangan usia.”

 

 

Pada sesi tambahan, Multiplikator menjelaskan bahwa dalam tiga bulan ke depan, topik yang akan kita usung adalah Dialog dan Multikultur. Jadi, kita akan banyak bertemu dengan tokoh-tokoh dari agama yang berbeda. Tujuannya agar kita mampu membangun toleransi dan hidup berdampingan secara harmonis dengan pemeluk agama yang berbeda. Semoga program ini berjalan lancar dan bermanfaat bagi mahasiswa dan pemuda. 


  Bagikan artikel ini

Produksi Sayuran dari Rumah

pada hari Sabtu, 30 Mei 2020
oleh Yohanes Dian Alpasa, S.Si.
 
Bulan Mei 2020 adalah bulan ke dua darurat wabah Covid-19 ditetapkan di Indonesia. Situasi ekonomi lesu, semua mata tertuju pada upaya penanganan dan pencegahan pandemik, sehingga anggaran dan sumbangan pun diarahkan ke usaha penanganan.
 
Program Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu pun merasakan keprihatinan atas situasi ini dan berdoa agar pandemi segera berlalu dan aktivitas boleh kembali normal secepatnya. Beberapa referensi berita baik dalam dan luar negeri, multiplikator menangkap tanda bahwa pandemi global mempengaruhi produksi pangan dunia dan hal ini perlu direspon secara cerdas.
 
 
Mayoritas produk pangan yang masuk dapur kita dipasok dari impor. Gula, beras, kedelai untuk tempe, tahu, kecap, semuanya diimpor. Produksi dalam negeri rupanya selama ini belum mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia, dan itu beresiko karena kondisi rentan yang mudah sekali dijatuhkan. Brazil misalnya, telah berhasil keluar dari impor minyak karena sebagian tebu diolah menjadi bahan baku ethanol. Jerman mengurangi ketergantungan akan gandum dengan mengajarkan warganya mengonsumsi dan menanam kentang. Indonesia juga mengkampanyekan sumber karbohidrat dari umbi-umbian selain beras padi.
 
Kemandirian pangan ditopang oleh kemandirian pupuk, benih, dan pasar. Kita tidak sedang berbicara hal-hal besar mencakup satu bangsa atau satu daerah. Kemandirian harus dimulai dari rumah kita tinggal. Persiapan program kemandirian pangan di rumah telah dipersiapkan sejak awal tahun 2020. Sekretariat Program Multiplikasi Bengkulu telah memproduksi benih mandiri dan dapat diminta secara gratis bila ingin menanam.
 
Benih-benih yang tersedia di sekretariat yakni sawi, cabai, terong, ubi sayur, kelapa, kemangi, lumai, kayu manis, salam, jahe, kopi, pokak, kencur, kacang gude, papaya, cipir, koro, dan pisang cebol. Bila tanaman mati atau gagal panen, polibek bisa dikembalikan ke sekretariat dan diganti dengan tanaman yang baru.

Adapun pemuda Bengkulu yang telah memulai menanam di rumah yang pertama adalah Bibit Hariadi. Awalnya dia sudah punya tanaman sendiri berupa ubi jalar, cabai, dan ubi sayur. Pada bulan Mei ini Multiplikator menyerahkan bibit sawi untuk ditanam sendiri. Bibit adalah ketua pemuda di Dusun VII dan beternak kambing sehingga tidak sulit memenuhi kebutuhan pupuk kompos. Yang kedua adalah Yohanes Suherman. Bibit cabai yang dibawa pada bulan Maret yang lalu tidak tumbuh sempurna, maka pada bulan Mei mulai menanam sawi dan dalam beberapa hari lagi akan panen. Yohanes Suherman telah aktif mendukung program multiplikasi sejak 2017. Yang ketiga, Marta Lita Viani menanam cabai dengan dikerudung sak semen. Pada tanaman yang lalu, ayam masuk lokasi dan menghancurkan bedengan cabai. Kali ini ia menanam ubi dan cabai dan dapat dipanen dalam dua bulan ke depan. Sementara multiplikator, Yohanes Dian Alpasa telah menanam cabai, ubi kayu, dan ubi sayur. Namun, selama program pangan rumahan ini berlangsung, multiplikator ingin menjaga agar pasokan benih tetap terjaga seperti cabai dan lumai. Saat ini benih terong minyak yang dikenal tahan hama sedang dikembangkan. Dengan cara tanam sendiri di rumah, multiplikator berharap separuh kebutuhan sayuran harian dapat terpenuhi. Program ini diharapkan dapat menjangkau lebih dari delapan pemuda Bengkulu sehingga dampaknya akan lebih terasa.
 
Program Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu berharap agar teman-teman pemuda tidak lesu, tetap semangat dalam berkreativitas, dan tidak kehilangan ketajaman intelektualitas. Mari menjadi garda tengah di masa pandemik. Terima kasih kepada teman-teman Stube-HEMAT di mana pun berada yang senantiasa memberi dukungan dan perhatian pada teman-teman Bengkulu. (YDA).
 

  Bagikan artikel ini

Simple-B Online   Sarana Diskusi Di Masa Pandemi  

pada hari Kamis, 30 April 2020
oleh adminstube
 
Bulan April 2020 adalah masa lengang bagi sebagian teman-teman mahasiswa Bengkulu. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah menjadi alternatif mencegah penyebaran virus Covid-19. Pemerintah membubarkan berbagai bentuk pertemuan dan kerumunan dan melarang kegiatan yang melibatkan banyak orang. Ditemukannya satu orang pasien meninggal dengan status positif terinfeksi COVID-19 menyebabkan Bengkulu memasuki zona merah.
 
Menyikapi hal ini, komunitas mahasiswa di Stube-HEMAT Bengkulu memilih bersikap tenang dan mempelajari situasi yang ada. Pada minggu ke-3 bulan April 2020, masyarakat cukup tertib dalam mematuhi anjuran dari pemerintah. Kondisi lengang, tidak banyak aktifitas di luar rumah, demikian juga pada aktifitas diskusi mahasiswa di Bengkulu.
 
Agar program tetap berjalan di masa pandemic tanpa mengesampingkan protokol kesehatan dari Organisasi Kesehatan Dunia, maka program multiplikasi berencana membuat diskusi dengan mengikuti protokol, mulai dari pengaturan tempat, jarak peserta diskusi, pemakaian masker, dan mencuci tangan. Namun, rencana ini tidak dapat dilakukan karena resikonya cukup besar, karena aparat bisa saja datang dan waktu yang tepat bagi mahasiswa dan pemuda tidak sama.
 
Setelah mengamati berbagai referensi termasuk bagaimana cara pemerintah berkoordinasi via teleconference, belajar via TVRI, mahasiswa berdiskusi dengan aplikasi zoom, koordinasi Stube dengan aplikasi Whatsapp, maka multiplikator memutuskan untuk berdiskusi dengan mahasiswa dengan platform digital via aplikasi. Beberapa aplikasi membutuhkan tampungan memori yang besar. Operasi suatu aplikasi juga membutuhkan kekuatan jaringan yang besar, maka komunikasi via aplikasi memiliki beberapa kelemahan. Setelah berdiskusi dengan beberapa mahasiswa Bengkulu, multiplikator kemudian mengajak teman-teman mahasiswa Bengkulu untuk membangun media berdiskusi yang bisa diakses dengan paket data termurah. Empat orang menyatakan bergabung menjadi penulis seperti Yedija Manullang, Linda Titi Wijayanti, Dahlia Sihotang, dan Martha.



Mahasiswa Bengkulu kemudian membentuk media bersama yang dinamakan Simple-b.online. Simple-B berisi artikel yang ditulis oleh mahasiswa Stube-HEMAT selama bekerja dan belajar dari rumah. Pada bulan April, ada 30 tulisan yang terkumpul dan kemudian diunggah selama bulan Mei 2020. Tentu saja Stube memberikan apresiasi atas kerja-kerja kepenulisan ini. Untuk bulan April disepakati menghasilkan 30 tulisan. Setiap artikel akan menjadi bahan diskusi setiap harinya. Diharapkan setiap hari ada ilmu baru yang dipelajari dengan membaca Simple-B. Penulis masing-masing artikel akan terbantu memperbaiki kualitas tulisan melalui komentar-komentar dari pembaca.
 
Program Multiplikasi akan memberikan masukan-masukan dan inspirasi selama masa brainstorming ini. Tulisan-tulisan akan terus diapresiasi sehingga kualitas penulisan akan tumbuh dengan penuh semangat dan kegembiraan. Semoga ke depan platform ini dapat semakin baik. (YDA)

Link:
https://www.simple-b.online/

  Bagikan artikel ini

Menyambut Kunjungan Menteri Lingkungan Hidup

pada hari Senin, 16 Maret 2020
oleh adminstube
Pemuda dusun VII desa Margasakti nampak bersemangat mendengar rencana kunjungan Mentri Lingkungan Hidup Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc, pada bulan Juni 2020 yang akan datang. Para pemuda menyelenggarakan pertemuan-pertemuan sebagai langkah-langkah persiapan. Seperti pada pertemuan saat ini (14/03/2020), Eri Purnawan selaku sekretaris membuka pertemuan dan kemudian menyepakati topik yang akan dibahas, sementara M. Jauhari Fajri selaku Pembina Pemuda, memaparkan program-program pemuda yang akan dijalankan, seperti penggalangan dana sosial, aksi sosial ramadhan, dan persiapan kunjungan Menteri Lingkungan Hidup. Mutiplikator Stube HEMAT, Yohanes Dian Alpasa, bertindak sebagai tuan rumah sekaligus penyumbang ide-ide, penyemangat dan pendorong bagi kelompok pemuda ini.

 


 

Program Multiplikasi Stube HEMAT beberapa waktu yang lalu pernah melakukan diskusi berkaitan dengan manajemen sampah bersama mahasiswa-mahasiswa di Bengkulu, dan pada akhir tahun 2019, pemuda dusun VII telah mengumpulkan botol plastik dan sampah guna mengurangi beban lingkungan untuk mengurai sampah plastik. Perkiraan awal tidak mungkin banyak sampah plastik di dusun kecil ini. Alangkah terkejutnya saat di akhir kegiatan, sama sekali di luar dugaan, perkiraan itu ternyata keliru. Pada ruas jalan aspal Dusun VII saja, pemuda berhasil mengumpulkan 2 karung botol plastik! Para pemuda selanjutnya melakukan cara bagaimana mengolah plastik tersebut menjadi berbagai bentuk kerajinan.

 

 

 

“Ide-ide teman-teman pemuda ini sudah sangat baik. Hanya saja, perlu diingat agar teman-teman pemuda tidak mudah patah semangat di kala teman-teman lain sedang lesu. Aktivitas kepemudaan biasanya membara di awal, muram di tengah perjalanan, kemudian surut pada batas akhir. Kesempatan mendapat kunjungan menteri adalah kesempatan langka, karena tidak banyak desa dapat dikunjungi oleh seorang menteri. Oleh karena itu persiapan harus dilakukan matang sehingga nanti bulan Juni tidak mengecewakan. Kolaborasi dengan yang lain tentu saja penting dilakukan”, kata Yohanes Dian Alpasa memberi masukan. “Teman-teman pemuda juga bisa memamerkan karya seperti kerajinan kentongan atau karya seni lainnya, kuliner lokal tiwul, peternakan itik dan program reboisasi yang pernah dilakukan periode lalu”, imbuhnya.

 


 

Menteri Lingkungan Hidup dijadwalkan akan meninjau lokasi mata air yang berada dalam kampung Dusun VII Desa Margasakti. Keberadaan sumber air ini telah digunakan warga selama puluhan tahun untuk keperluan mencuci dan mandi. Keberadaan mata air ini bisa dilihat di Youtube melalui kanal 

 

https://m.youtube.com/watch?feature=youtu.be&v=iohhNcOu1B0 (Merawat Mata Air Bengkulu). Secara kasat mata, areal ini sangat subur dengan potensi air yang selalu mengalir yang tentunya diharapkan bisa dioptimalkan penggunaannya untuk kesejahteraan penduduk setempat dan sekitarnya.

 

 

 

 

Program Multiplikasi Stube-HEMAT Bengkulu menyambut baik persiapan ini dan siap mendukung  kegiatan-kegiatan pemuda dusun VII. Jayalah pemuda, nadi penggerak bangsa! #Stay safe# di tengah pandemi Covid-19. (YDA)


  Bagikan artikel ini

Menambah Jejaring   dalam Pertemuan Alumni BfdW            

pada hari Sabtu, 15 Februari 2020
oleh adminstube
Pada awal bulan Februari 2020, Multiplikator Stube-HEMAT Bengkulu diundang untuk menghadiri pertemuan alumni BfdW (Brot fuer die Welt) sebuah lembaga donor dari gereja-gereja Lutheran, Jerman yang memberi beasiswa pendidikan kepada para mahasiswa di Indonesia dan negara-negara lain di dunia. Pertemuan ini bertujuan untuk menjalin komunikasi antara BfdW dengan para alumni yang selama ini sudah mendapat beasiswa dan mengetahui apa yang dilakukan oleh para alumni setelah lulus studi. Pertemuan dilangsungkan di Yogyakarta, pada tanggal 7–10 Februari 2020 dan kegiatan utama berlangsung di Universitas Kristen Duta Wacana dengan mengusung tema besar “Hunger for Justice” disesuaikan dengan tema ulang tahun ke 60 BfdW. Tema ini memiliki keinginan luhur dan harapan bahwa setiap alumni terus bekerja dalam bidangnya untuk menegakkan dan memberi keadilan di mana pun ditempatkan.

 



 

Para alumni diberi kesempatan untuk mempersiapkan materi, yang disampaikan baik dalam seminar ataupun dalam diskusi panel dan paralel. Banyak dari mereka telah bekerja sebagai pendeta, dosen, dan pekerja sosial. Mayoritas peserta berpendidikan Pascasarjana (S2/S3) dan berfokus pada bidang ilmu dan penelitian masing-masing yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Bagi mutiplikator Stube HEMAT di Bengkulu, acara ini sangat berkesan dan bermanfaat karena bisa bertemu dengan para cendikiawan, ilmuwan dan orang-orang yang memiliki pengalaman di bidangnya, seperti Dr. Ferry Kawur, pakar Biosains dan pengajar Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Beliau memaparkan perkembangan pemahaman biosains dan dinamikanya di Indonesia. Pada akhir paparan, Dr. Ferry memberikan empat buku tulisannya agar bisa dipelajari lebih lanjut.

 

 

 

Saat menyampaikan paparan sebagai alumni Theologi, UKDW dan saat ini sebagai multiplikator Stube HEMAT, lebih banyak bercerita tentang apa yang dikerjakan di Bengkulu bersama dinamika masyarakatnya. Inilah yang membedakan antara akademisi dengan pekerja social, dan masing-masing punya caranya sendiri dalam melayani masyarakat. Bengkulu, adalah daerah yang diklaim sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, sementara industri manufaktur belum banyak berkembang. Akses keluar masuk masih tergolong minim. Tiga tahun bekerja di Bengkulu membuat multiplikator semakin memahami realitas kehidupan yang ada. Saat ini sarana pendidikan Bengkulu terus dibangun, infrastruktur dikembangan, dan sarana kesehatan diperluas, sementara akses kredit perbankan dipermudah. Namun, usaha-usaha tersebut tidak serta-merta menyelesaikan masalah yang menerpa anak-anak mudanya, seperti tingginya kasus narkoba di kalangan pemuda dan kasus-kasus intoleransi yang menjadi-jadi. Program Multiplikasi Stube-HEMAT menghadirkan warna tersendiri dalam pergaulan mahasiswa dan anak muda Bengkulu. Dua minggu sekali mereka berkumpul bersama sebagai mahasiswa dan pemuda desa, membahas permasalahan aktual, satu minggu sekali berkumpul untuk merenungkan firman Tuhan, dan satu bulan sekali berjumpa dengan dosen-dosen dalam suatu diskusi bagi mahasiswa Bengkulu.

 




Pertemuan dengan para alumni BfdW yang lain, tentu saja menambah gairah pelayanan karena pada akhirnya, dosen, pendeta, dan pekerja sosial dimungkinkan untuk bekerjasama dalam menghadapi permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Pertemuan-pertemuan seminar yang mewadahi para alumni untuk bertemu seperti ini sangat penting untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman dalam kerja-kerja pemberdayaan. Terimakasih kepada Stube-HEMAT Yogyakarta dan BfdW, semoga semakin banyak jejaring yang mau belajar dan beraktivitas bersama. (YDA).

 

 

 

 

 

 

 


  Bagikan artikel ini

Reformasi Gereja dalam Perspektif Anak Muda

pada hari Jumat, 31 Januari 2020
oleh adminstube

 

 

 

Reformasi Gereja hendaknya bukan hanya diperingati maupun direfleksikan hanya pada saat 31 Oktober. Namun sepanjang menjalani hari-hari secara khusus bagi warga gereja dan pemuda gereja sebagaimana slogan dan makna dari Reformasi Gereja itu, yakni Ecclesia reformata, semper reformanda est secundum verbum Dei”. Slogan ini pertama kali digaungkan dalam tulisan devosional, yang bernama Jodocus van Lodenstein (1620-1677). Waktu Lodenstein mengatakan kalimat ini, yang ada dalam pikirannya adalah: bahwa reformasi yang terjadi di zaman Luther, Calvin, Zwingli, dsb. Reformasi doktrin Gereja seharusnya terus berjalan masuk ke kehidupan dan praktek nyata dalam diri umat Allah.

 

 

 

 

 

 

 

 

Hari ini kita melihat praktek tersebut sudah jauh bagi gereja dan warga gereja. Bukan menjadi berita yang baru ketika terjadi perpecahan dalam tubuh gereja yang mengakibatkan dualisme kepemimpinan bahkan membuat organisasi gereja yang baru. Hal ini dikarenakan tidak jauh-jauh dari persoalan uang dan egoisme dari beberapa individu yang mementingkan kepentingan pribadi dan golongan (Egois) yang berakibat buruk bagi pertumbuhan iman jemaat dan jauh dari cita-cita reformasi. Tuhan berkarya melalui hambanya Martin Luther untuk memberantas masalah-masalah dalam tubuh gereja salah satunya adalah praktik uang yang celakanya masih ada hingga saat ini.

 

 

 

 

 

 

Berangkat dari dasar Ecclesia reformata, semper reformanda est secundum verbum Dei, Yedija Manullang, mahasiswa Volunteer Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu mengajak beberapa pemuda gereja di lingkungannya yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar untuk membicarakan reformasi gereja dan sejauh mana pemahaman mereka mengenai reformasi gereja yang ada di sana. Kegiatan diskusi digelar di kediaman Yedija Manullang di Jl. Sisingamangaraja, Doloksanggul, Sumatera Utara (Kamis, 30/01/2020) dimulai pada jam 20.00 WIB. Kegiatan ini diikuti 8 orang mahasiswa yang belum mengenal Stube-HEMAT, sehingga Yedija memulai dengan menjelaskan sejarah pelayanan Stube-HEMAT, dilanjutkan dengan pokok diskusi yaitu Reformasi Gereja. Sebelum masuk pada pembahasan, setiap peserta diminta menyampaikan denominasi gereja masing-masing yang ternyata 4 orang peserta berasal dari gereja aliran Lutheran dan 4 lainnya dari Gereja Pentakosta.

 

 

 

 

 

“Di zaman teknologi dan keterbukaan infomasi serta anak muda yang tidak bisa lepas dari gadged, sungguh mengherankan teman-teman tidak tahu apa itu Reformasi Gereja, sementara masalah artis atau hal viral saat ini cepat untuk mengaksesnya,” ujar Yedija Manullang disertai tawa para peserta, setelah kebanyakan dari mereka tidak tahu sejarah Reformasi gereja.

 

 

 

 

 

 

 

Yedija kembali menceritakan sejarah Reformasi Gereja yang “berhasil” dicetuskan oleh Martin Luther. Sebelum Martin Luther ternyata sudah ada orang membuat gerakan Reformasi, yakni Jan Hus seorang cendikiawan yang berujung pada kematian karena dituduh melawan Paus dengan menuding perilaku gereja yang tidak terpuji. Pasa zaman itu melawan Paus sama dengan bunuh diri. Martin Luther seorang pemuda pada masa itu mengalami titik balik dalam kehidupannya dalam melayani Tuhan menjadi seorang biarawan saat dirinya disambar petir, ia menjerit lalu berdoa, "Tolong! Santa Anna, aku akan menjadi seorang rahib!" Hingga pada akhirnya dia mengambil pendidikan theologia dan meninggalkan kuliah hukum dan filsafatnya. Setelah lulus dan mengambil pelayanan dalam gereja, Luther melihat praktik uang yang dilakukan gereja melalui penjualan Indulgensi atau surat pengampunan dosa. Luther memprotes keras praktik tersebut hingga mengumumkan 95 tesis mengenai indulgensi, ditulis dalam selembar poster yang ditempelkan di pintu utara Gereja Istana Frederik di Wittenberg. Kejadian tersebut terjadi pada 31 Oktober 1517 yang menandai gerakan Reformasi Gereja yang hari ini kita peringati yang ke-502 tahun. Saat mencetuskan tesis tersebut Martin Luther masih berumur 33 tahun, usia yang tergolong masih muda.

 

 

 

 

 

 

Peran Pemuda

 

 

Menilik umur Martin Luther yang masih muda kala itu, Yedija mengaitkan perjuangan Luther dengan para pemuda Indonesia dalam siklus 20 tahunan, yakni pergerakan-pergerakan pemuda dan mahasiswa kala itu, diawali pada tahun 1908 oleh pergerakan Boedi Oetomo, 1928 Sumpah Pemuda, 1948 Ujian Ideologi, 1968 Orde lama Tumbang, diganti Orde Baru, 1978 Orde Baru dilawan, 1998 Orde Baru tumbang, dan bangsa ini masuk di era Reformasi. Hal ini menandakan bahwa Pemuda memiliki peran sentral sejak dahulu dalam membuat kebijakan hingga manfaatnya dirasakan hingga saat ini. Tugas pemuda saat ini belajar dari tokoh-tokoh pemuda, salah satunya Martin Luther untuk selalu memegang kebenaran dan meneruskan perjuangan di era teknologi ini.

 

 

 

Sebelum mengakhiri diskusi, Yedija berbagi hasil diskusi mengenai 502 tahun Reformasi dan bagaimana perkembangan gereja di Bengkulu dengan nara sumber Jonny Simamora, seorang akademisi dan majelis gereja HKBP. Sebagai perenungan akhir, Yedija bertanya kepada para peserta bagaimana perkembangan Reformasi Gereja yang sedang menjalani 503 tahun di Doloksanggul.

 

 

 

Rahel Silaban salah satu peserta mengakui bahwa masih banyak jemaat bahkan pemuda gereja yang apatis dengan kondisi gereja, hal ini dibuktikan dengan hanya yang sedikit yang ikut rapat ketika membahas kepentingan gereja. Mereka berfikir bahwa urusan organisasi gereja biarlah dilimpahkan hanya kepada pelayan dan para majelis gereja.

 

 

 

Yedija berharap dan mengingatkan bahwa anak muda harus ikut ambil peran di dalam gereja supaya belajar dan bisa memaknai Reformasi gereja sebagaimana Slogan “Ecclesia reformata, semper reformanda est secundum verbum Dei” yang artinya gereja yang telah melakukan reformasi adalah gereja yang terus diperbaharui sesuai dengan firman Tuhan. Bagaimana mungkin warga gereja diperbaharui jika masih apatis dan tidak ambil bagian  mengikuti perkembangan Gereja, bahkan jarang pergi ke Gereja? Patut menjadi perenungan bersama. ***


  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2023 (11)
 2022 (20)
 2021 (21)
 2020 (19)
 2019 (8)
 2018 (9)
 2017 (17)

Total: 105