Evaluasi Dan Konsolidasi Kelompok Tenun

pada hari Senin, 14 Desember 2020
oleh adminstube

 

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga mengungkapkan, berdasarkan data BPS pada tahun 2019, sebanyak 131 juta jiwa hampir setengah dari populasi penduduk Indonesia adalah perempuan. Data ini menggambarkan bahwa perempuan merupakan penyumbang setengah kekuatan sumber daya manusia di Indonesia. Saat ini Indonesia diperhadapkan dengan berbagai tantangan dalam menangani pandemic covid 19, baik segi kesehatan, sosial maupun  ekonomi perempuan. Pada segi ekonomi, banyak pekerja perempuan diberhentikan dari pekerjaannya, di sisi lain, semakin sulitnya perempuan kepala keluarga dan perempuan pra-sejahtera sebagai pelaku usaha, karena kehilangan distributor atau pasar.

 

 

Hadirnya program pemberdayaan perempuan melalui program Multiplikasi Stube HEMAT di Sumba turut membantu menjawab permasalahan ekonomi yang dihadapi kebanyakan perempuan Sumba saat ini, khususnya di Desa Tanatuku, Kecamatan Nggaha Ori Angu. Upaya strategis menjawab masalah ketidakberdayaan adalah dengan melakukan  pemberdayaan perempuan melalui program tenun ikat yang saat ini sedang dilakukan.

 

Minggu, 13 Desember 2020, pukul 15.00 WITA peserta kelompok tenun ikat Stube HEMAT berkumpul melakukan evaluasi kegiatan dan konsolidasi kelompok yang telah berjalan sekitar 6 bulan. Kegiatan ini dipandu oleh May Nggiri, wakil BPMJ GKS Karunggu juga peserta kelompok tenun. Beliau sangat bersyukur dan berterimakasih dengan hadirnya program dari Stube HEMAT membuat para pemudi dan ibu-ibu di GKS Karunggu menjadi lebih produktif. Program ini telah membantu gereja dalam hal pemberdayaan jemaat.

 

 

Selanjutnya Mama Yustina sebagai pelatih tenun mengevaluasi hasil kerja kelompok juga memberikan motivasi kepada peserta agar terus bersemangat dalam berlatih, juga beberapa hal seperti  suasana kelompok, kekompakan kelompok, hasil kerja dan keefektifan kelompok dalam mengikuti setiap tahapan tenun ikat. Ia mengapresiasi semangat kerja kelompok dalam menyelesaikan setiap tahapan yang ada.  Saya sangat senang dengan semangat peserta belajar membuat  kain tenun, walaupun sedikit sulit dan sering melakukan kesalahan tetapi tidak membuat peserta berhenti belajar. Kalau mau ikut saya menjadi seorang penenun, harus terus semangat dan mengikuti setiap proses yang saya ajarkan biar cepat bisa,” tegasnya. Beberapa peserta tenun diberi kesempatan menceritakan pengalaman mereka selama ikut pelatihan. Mariance Danga (27 tahun) mengatakan bahwa ia baru pertama kali mengetahui berbagai macam tahapan dalam tenun.

Setelah melakukan evaluasi dan konsolidasi kelompok, Bapak Nikodemus Makanggunggal, seorang penolong guru injil memimpin doa bersama. Kelompok tenun ini akan terus berjalan menyelesaikan segala tahapan yang ada, dan saat ini sedang persiapan pencelupan benang yang sudah diikat untuk melakukan pewarnaan. Semoga ketrampilan yang diperoleh oleh perempuan dalam kelompok tenun ini dapat membantu mereka melakukan usaha produksi untuk meningkatkan perekonomian di tengah situasi pandemi. Ayo lawan pandemi dengan menjadi trampil dan terus berkreasi.***


  Bagikan artikel ini

Ramah Lingkungan Dengan Tenun Pewarna Alam

pada hari Sabtu, 12 Desember 2020
oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd.

 

Keindahan kain tenun Sumba diakui sungguh memikat, terlebih dengan bahan warna alami, akan terlihat megah dan elegan. Setiap tumbuhan dapat menjadi sumber zat pewarna alami karena mengandung pigmen alam, baik kulit kayu, batang, daun, akar dan daging buah. Potensi sumber pewarna alami ditentukan oleh intensitas warna yang dihasilkan serta bergantung pada jenis warna yang ada pada tanaman tersebut. Zat warna alam telah direkomendasikan banyak orang sebagai pewarna yang ramah baik bagi lingkungan maupun kesehatan karena komponen alaminya mempunyai nilai beban pencemaran yang relatif rendah dan tidak beracun.

 

Salah satu materi yang perlu dipahami oleh kelompok tenun perempuan Tanatuku adalah pengenalan tanaman pewarna tenun ikat. Tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna dapat diperoleh di sekitar lingkungan tempat tinggal, sehingga hemat biaya. Keunggulan dari zat warna alam yaitu warna yang dihasilkan sangat variatif dan unik, intensitas warna terhadap kornea mata terasa menyejukkan sehingga akan menyehatkan mata, dan mengandung antioksidan sehingga nyaman dan aman apabila kita gunakan. Kain tenun ikat Sumba Timur pada umumnya menggunakan zat pewarna dari daun pohon nila (Indofera) penghasil warna biru, akar mengkudu (Morinda citrifelia) penghasil warna merah, kunyit (curcuma) penghasil warna kuning dan kemiri.

 

Tanggal 10 dan 11 Desember 2020, di sela menyelesaikan ikat motif benang, peserta kelompok tenun mendalami cara tahapan perendaman dari pewarna alam. Mama Yustina pelatih tenun menjelaskan kepada mereka langkah-langkah pemanfaatan pohon nila untuk bahan pewarna mulai dari daun, batang dan akar. Beliau mengajak peserta untuk memetik tumbuhan nila yang ada di depan rumah untuk mempraktekkan cara perendamannya hingga nanti mendapatkan hasilnya. Kain tenun yang menggunakan zat warna alam memiliki nilai jual atau nilai ekonomi yang tinggi karena memiliki nilai seni dan warna khas sehingga berkesan etnik dan ramah lingkungan. Setiap proses pewarnaan butuh waktu hampir sepekan karena satu kain bisa terdiri dari tiga warna, sehingga proses pewarnaannya bisa memakan waktu satu bulan. Setelah semua pewarnaan selesai, kain harus dicelup ke dalam minyak kemiri, baru kemudian dikeringkan.

 

 

Saat ini tahapan untuk ikat benang sudah selesai, tinggal menunggu hasil dari racikan pewarna untuk melakukan perendaman. Para peserta kelompok tenun sudah tidak sabar melihat kain tenun buatan mereka direndam pada pewarna alam, sekaligus sebagai acuan pembuktian kualitas ikatan yang mereka lakukan pada benang. Setelah tahapan pewarnaan, barulah masuk proses yang sesungguhnya yaitu menenun. Proses ini adalah akhir dari sebuah pembuatan kain tenun yang masih membutuhkan waktu yang cukup lama hingga berbulan-bulan. Tetapi karena dilakukan secara bersama-sama dan bergotong royong maka proses ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya.

 

Dengan semangat kekompakan yang dimiliki membuat kelompok ini aktif dan hidup. Saat ini program tenun ini sudah diketahui oleh banyak orang, tidak hanya di desa Tanatuku tetapi di desa-desa tetangga juga mengetahui ada kelompok tenun yang sedang berjalan. Banyak dari mereka yang sudah memesan dibuatkan selendang, sarung dan kain jika nanti kelompok tenun Stube HEMAT ini sudah banyak menciptakan karya tenunnya. Terus semangat kaum perempuan.***


  Bagikan artikel ini

Mencari Sumber Tanaman Pewarna Alami

pada hari Senin, 7 Desember 2020
oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd

Sabtu, 4 Desember 2020, kelompok tenun Tanatuku kembali melanjutkan tahapan pelatihan ikat benang motif yang belum selesai. Kegiatan dimulai pukul 13.00 sampai 17.00 WITA didampingi mama Yustina sebagai pelatih. Kemajuan-kemajuan dalam berlatih melalui segala tahapan tenun ditunjukkan oleh para peserta, ada yang sudah sangat bagus walaupun masih ada beberapa kesalahan, seperti ikatan benang yang harus dibuka dan diulangi kembali karena ikatannya kurang kencang. Dari kesalahan ini pelatih menegaskan kembali jika ikatan benang kurang kencang maka motif tidak akan terlihat seperti bentuk motif yang diinginkan. Para peserta pun menyadari bahwa berkualitas atau tidaknya hasil tenunan mereka ditentukan dari kegigihan dalam berlatih. Para peserta pun kembali bersemangat untuk memperbaikanya kembali. Begitulah pemula harus melalui proses panjang, dari yang tidak bisa menjadi bisa.

 

 

Disamping proses menyelesaikan tahapan ikat benang, peserta juga harus mempersiapkan bahan pewarnaan untuk 20 sarung yang sedang dikerjakan. Apabila menggunakan pewarna alam, tentu harus dipikirkan bagaimana mendapakan bahannya, sementara tanaman sumber pewarna alami tidak ada di daerah tempat tinggal. Tanaman sumber warna alam ada banyak di daerah yang pada umumnya warganya penenun. Kebetulan mama Yustina, pelatih tenun berasal dari Lambanapu yang merupakan daerah pengrajin tenun dan mempunyai kebun khusus tanaman nila.

Minggu, 6 Desember 2020, seusai gereja, bersama pelatih tenun dan beberapa perwakilan dari kelompok tenun berangkat ke kampung Lambanapu, Kecamatan Kambera untuk mendapatkan bahan pewarna alam tersebut. Dengan transportasi pick up kami habiskan sekitar 2 jam di perjalanan. Karena saat itu musim hujan, kami pun kehujanan dan kedinginan namun itu semua tidak mengurangi semangat kami untuk mendapatkan bahan pewarna alam. Setibanya di kebun nila, kami takjub dengan begitu banyaknya tanaman nila yang terlihat sangat hijau dan subur. Kami pun segera memotong dan masukkannya ke dalam 6 karung besar dan segera kembali pulang ke Tanatuku.

 

 

Daun nila yang sudah tersedia selanjutnya dibersihkan dan siap direndam di wadah yang disediakan. Proses perendaman dilakukan sampai menghasilkan ampas, barulah selesai perendaman. Selanjutnya ampas dari daun nila dijemur sampai kering dan pada akhirnya kain tenun yang motifnya sudah diikat direndamkan ke dalam wadah berisi air dengan mencampurkan ampas nila hasil jemuran. Terus semangat perempuan Tanatuku, untuk tahapan berikutnya.***


  Bagikan artikel ini

Berlatih Tenun Di Sela Berkebun

pada hari Senin, 30 November 2020
oleh Elisabeth Uru Ndaya

Sebagian besar penduduk di desa Tanatuku, Kecamatan Nggaha Ori Angu adalah petani. Keseharian mereka dari tahun ke tahun yaitu mengolah lahan untuk menghasilkan pangan. Seperti menanam jagung, padi, kacang, ubi-ubian serta tanaman lainnya. Namun waktu efektif mengolah lahan hanya pada saat musim hujan, karena mengolah lahan ditentukan oleh curah hujan yang dapat mengairi lahan mereka. Saat ini musim hujan tiba dengan rentang waktu November hingga Maret mendatang. Hamparan bukit-bukit dan pepohonan pun tampak hijau dan segar kembali, sawah-sawah kembali dipenuhi air dan terlihat hijau indah memukau. Sumba kembali tampil dengan wajah baru.

 

Kegembiraan untuk kembali mengolah lahan dirasakan oleh kelompok tenun perempuan di desa Tanatuku, mereka mulai sibuk menanam berbagai macam tanaman. Hari Sabtu, tanggal 28 November 2020, seusai berkebun, kelompok tenun perempuan ini kembali berkumpul untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan tenun mereka bersama mama Yustina sebagai pelatih. Beliau berkata, peserta kelompok tenun sudah mulai ada peningkatan dalam memahami setiap tahapan yang ada. Sekali lagi ditegaskan pentingnya keseriusan saat mengikat benang motif untuk menghasilkan kain tenun yang motifnya bagus.

 

Pada kesempatan yang sama, kelompok ini juga membahas persiapan lahan pembibitan tanaman bahan pewarna, yang bibitnya sudah tersedia dan tinggal ditanam di lahan. Jenis Tanaman  yang nantinya akan di tanam yaitu tanaman Nila (wuara) penghasil warna biru dan Mengkudu (Kombu) penghasil warna merah. Dua jenis inilah yang sering dibudidayakan oleh pengrajin tenun pada umumnya, namun pewarna alami lainnya juga dapat diperoleh dengan cara mengambil langsung dari hutan atau membelinya. Pewarna alami dapat diperoleh dari berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, kulit kayu, daun, buah, biji dan bunga-bunga.

 

Setelah motif selesai diikat, selanjutnya akan masuk pada tahap pewarnaan. Benang-benang lungsin (hemba) tersebut dicelup ke dalam zat pewarna alam. Masing-masing bahan pewarna dituang ke dalam wadah tersendiri, kalau jaman dulu menggunakan periuk tanah. Peserta kelompok tenun tidak lagi sabaran untuk melakukan pewarnaan, karena pada umumnya langkah ini belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Namun mereka tidak akan masuk pada proses pewarnaan kalau tahapan mengikat benang motif belum mereka selesaikan. Tetapi dengan semangat kekompakan yang mereka miliki menambah niat mereka untuk terus berproses menyelesaikan tahapan demi tahapan pada tenun.

Hadirnya Program Multiplikasi Stube HEMAT ini memberi warna dan harapan baru bagi warga desa Tanatuku khususnya peserta kelompok tenun yang sedang berproses. Yang sebelumnya mereka hanya sibuk berkebun, kini mereka juga sibuk menenun. Program diharapkan membantu meningkatkan perekonomian mereka ketika hasil tenunan bisa diperjualbelikan.***


  Bagikan artikel ini

Mengenal Karakteristik Petani Hortikultura di Pesisir Pantai Laipori

pada hari Minggu, 29 November 2020
oleh Frans Fredi Kalikit Bara

 

Kondisi suhu udara di pinggiran pantai lebih panas dan kering dibandingkan kondisi udara di dataran menengah dan dataran tinggi. Sebagian besar petani tidak melakukan aktivitas bertani pada kondisi suhu udara panas yang tinggi, namun berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh Welem. Saat ini Welem (37 thn) mengambil keputusan untuk melakukan usaha pertanian, hal ini sudah dilakukan sejak tahun 2012. Pekerjaan awalnya adalah sebagai pegawai swasta di PT. Kapas dan juga bekerja di PT. Emas Waangga Meti. Kedua perseroan terbatas ini mengalami degradasi dan akhirnya berhenti melakukan aktivitas produksi. Dalam kondisi ini, Welem dan teman–teman sekerjanya kehilangan pekerjaan dan putusnya sumber pendapatan. Akhirnya Welem mengambil keputusan menggeluti usaha pertanian hortikultura. Kisah awal memulai usaha ini banyak mengalami kegagalan, namun bagi Welem gagal adalah pengalaman berharga untuk belajar, evaluasi diri dan bangkit untuk berusaha lagi.

 

 

Ada beberapa kendala yang dialami Welem ketika memulai usaha yakni kurangnya pemahaman tentang benih, pengendalian hama dan penyakit, nutrisi tanaman (kurang pemahaman tentang teknik budidaya tanaman hortikultura). Ada beberapa hal penting yang disampaikan oleh Welem dalam diskusi ini yakni; 1) Jadi petani itu harus berbasis inovasi sehingga kita bisa mencapai angka produksi yang maksimal, 2) Jangan pernah malu dengan pekerjaan ini. Saat ini banyak orang muda malu bertani oleh karena itu mereka menghindar dari pekerjaan ini, 3) Olah pikiran untuk mengangkat derajat petani untuk motivasi diri menekuni usaha pertanian, karena hasilnya tidak jauh beda dengan mereka yang bekerja di lembaga, 4) Jangan takut dengan permintaan pasar, petani harus memiliki kalender pasar dan kalender tanam tujuannya adalah untuk mengetahui volume produksi dan tingkat serapan pasar, 5) Petani selalu punya waktu, baik untuk usaha dan pengembangan maupun untuk keluarga, oleh karena itu petani yang bahagia ditandai dengan ciri-ciri fisik yang gemuk dan muka cerah.

 

 

Diskusi yang diadakan langsung di lahan pada 28 November 2020 diikuti oleh sepuluh peserta dengan antusiasme yang cukup tinggi, karena selain mendengarkan pemaparan yang menarik dari pemateri mereka juga bisa melihat lahan sekitar yang dipenuhi tanaman buah, juga sambil menikmati semangka segar yang disuguhkan. Selain mahasiswa beberapa kalangan yang hadir ada yang berprofesi guru, petani dan majelis gereja. Dari latar belakang profesi yang berbeda ini memiliki satu tujuan untuk belajar bagaimana berdaulat atas pangan yang ada di Sumba.

Salah satu orang tua yang ada dalam diskusi tersebut Bora Ghunu (65 thn) memberi nasihat, ”Kalau mau hidup jangan pamalas, sekolah tinggi-tinggi harus kembali bertani”, dengan maksud memotivasi peserta muda yang hadir dalam pelatihan ini. Usaha pertanian adalah usaha yang menghidupkan, mengingat kondisi saat ini sebagian besar orang muda tidak berprofesi petani, sehingga banyak potensi sektor riil yang ditinggalkan dan tidak dikelola. Semangat bertani anak muda! ***


  Bagikan artikel ini

Kelompok Peternak & Dinas Peternakan Sumba Timur

pada hari Sabtu, 14 November 2020
oleh Apriyanto Hangga

Oleh Apriyanto Hangga


Satu hal menggembirakan di tengah serangan virus ASF pada babi di Sumba Timur yakni, para peternak terus berkonsolidasi dalam kelompok dan terus mencari jawaban bagaimana mengatasinya. Dimotivasi oleh tim mutiplikasi Stube HEMAT di Sumba, Apriyanto Hangga, mengundang para peternak dan narasumber dari Dinas Peternakan Sumba Timur di kediamannya untuk bertemu dan berinteraksi tentang ternak babi dalam sebuah pelatihan sehari (13/11/2020).

 

 

Kegiatan ini merupakan rangkaian Program Pelatihan Peternakan dari beberapa tahap yang sudah dilaksanakan. Atas kerjasama yang baik, Dinas Peternakan mengutus 3 orang dokter hewan untuk berinteraksi dengan masyarakat. Topik besar yang dibahas dalam pertemuan tersebut yakni Perkembangan Terkini Peternakan Babi di Sumba Timur baik dari Segi Populasi, Pemberantasan Penyakit dan Pemenuhan Kebutuhan akan ternak. Banyak hal dibahas pada kesempatan tersebut, karena orang yang berkompeten di bidang ternak babi hadir sehingga suasana sangat cair dan masyarakat bisa menyampaikan persoalan yang dihadapi berkaitan dengan ternak mereka. Drh. Umbu Ridwan Premajangga berbicara khusus tentang ‘Populasi dan perkembangan ternak babi, dan pemberantasan penyakit’, sementara Drh. Hendrina Meha berbicara khusus tentang Nutrisi untuk ternak, dan Drh. Rambu Mersy menyampaikan tentang perkembangbiakan ternak dan penyakit menular pada ternak serta pencegahannya.

Dinas Peternakan telah memberi vaksin 70.000 ekor babi, namun riil jumlah babi jauh lebih besar dari jumlah tersebut karena ada banyak babi yang tidak divaksin karena berbagai hal. Sejak Februari 2020, babi di Sumba Timur telah terserang Virus ASF dengan jumlah kematian diperkirakan lebih dari 5.000 ekor. Disinyalir hal ini terjadi karena ada pengiriman babi antar pulau dan penjualan makanan berbahan daging babi yang didatangkan dari daerah tertular seperti pengiriman se’i babi dan roti isi daging babi dari Kupang sehingga babi di Sumba Timur terjangkit virus mematikan yang belum ada obatnya ini.

 

 

Pemenuhan daging babi untuk sementara menggunakan daging ternak besar seperti sapi maupun ternak unggas seperti ayam karena sampai saat ini masyarakat dilarang mendatangkan ternak atau makanan yang mengandung babi dari mana saja. Beberapa hal yang bisa disimpulkan adalah sebagai berikut:

1. Telah terbentuk kelompok Peternak dengan anggota 20 peternak.

2. Kandang harus bersih dan harus disteril.

3. Jangan memberi ternak makanan sisa apalagi mengandung babi.

4. Jangan mengkonsumsi daging babi bila mencurigakan

5. Babi harus rutin diberi vaksin 6 bulan sekali

6. Jika ada babi yang mati, bangkainya harus dikubur atau dibakar habis

7. Ternak harus diberi makanan yang bersih dan bergizi

8. Jangan mendatangkan ternak atau makanan mengandung babi dari luar

9. Jika ada gejala sakit pada ternak jangan disuntik sendiri tetapi dilaporkan pada penyuluh atau Dinas Peternakan

10. Jangan takut memelihara ternak babi yang penting kandang layak, bersih, dan kontrolnya bagus.

Tetap semangat para peternak babi di Sumba Timur untuk membawa kemajuan.***


  Bagikan artikel ini

Kelompok Peternak & Dinas Peternakan Sumba Timur

pada hari Sabtu, 14 November 2020
oleh Apriyanto Hangga

Oleh Apriyanto Hangga

Satu hal menggembirakan di tengah serangan virus ASF pada babi di Sumba Timur yakni, para peternak terus berkonsolidasi dalam kelompok dan terus mencari jawaban bagaimana mengatasinya. Dimotivasi oleh tim mutiplikasi Stube HEMAT di Sumba, Apriyanto Hangga, mengundang para peternak dan narasumber dari Dinas Peternakan Sumba Timur di kediamannya untuk bertemu dan berinteraksi tentang ternak babi dalam sebuah pelatihan sehari (13/11/2020).

 

Kegiatan ini merupakan rangkaian Program Pelatihan Peternakan dari beberapa tahap yang sudah dilaksanakan. Atas kerjasama yang baik, Dinas Peternakan mengutus 3 orang dokter hewan untuk berinteraksi dengan masyarakat. Topik besar yang dibahas dalam pertemuan tersebut yakni Perkembangan Terkini Peternakan Babi di Sumba Timur baik dari Segi Populasi, Pemberantasan Penyakit dan Pemenuhan Kebutuhan akan ternak. Banyak hal dibahas pada kesempatan tersebut, karena orang yang berkompeten di bidang ternak babi hadir sehingga suasana sangat cair dan masyarakat bisa menyampaikan persoalan yang dihadapi berkaitan dengan ternak mereka. Drh. Umbu Ridwan Premajangga berbicara khusus tentang ‘Populasi dan perkembangan ternak babi, dan pemberantasan penyakit’, sementara Drh. Hendrina Meha berbicara khusus tentang Nutrisi untuk ternak, dan Drh. Rambu Mersy menyampaikan tentang perkembangbiakan ternak dan penyakit menular pada ternak serta pencegahannya.

 

Dinas Peternakan telah memberi vaksin 70.000 ekor babi, namun riil jumlah babi jauh lebih besar dari jumlah tersebut karena ada banyak babi yang tidak divaksin karena berbagai hal. Sejak Februari 2020, babi di Sumba Timur telah terserang Virus ASF dengan jumlah kematian diperkirakan lebih dari 5.000 ekor. Disinyalir hal ini terjadi karena ada pengiriman babi antar pulau dan penjualan makanan berbahan daging babi yang didatangkan dari daerah tertular seperti pengiriman se’i babi dan roti isi daging babi dari Kupang sehingga babi di Sumba Timur terjangkit virus mematikan yang belum ada obatnya ini.

 

Pemenuhan daging babi untuk sementara menggunakan daging ternak besar seperti sapi maupun ternak unggas seperti ayam karena sampai saat ini masyarakat dilarang mendatangkan ternak atau makanan yang mengandung babi dari mana saja. Beberapa hal yang bisa disimpulkan adalah sebagai berikut:

 

1. Telah terbentuk kelompok Peternak dengan anggota 20 peternak.

 

2. Kandang harus bersih dan harus disteril.

 

3. Jangan memberi ternak makanan sisa apalagi mengandung babi.

 

4. Jangan mengkonsumsi daging babi bila mencurigakan

 

5. Babi harus rutin diberi vaksin 6 bulan sekali

 

6. Jika ada babi yang mati, bangkainya harus dikubur atau dibakar habis

 

7. Ternak harus diberi makanan yang bersih dan bergizi

 

8. Jangan mendatangkan ternak atau makanan mengandung babi dari luar

 

9. Jika ada gejala sakit pada ternak jangan disuntik sendiri tetapi dilaporkan pada penyuluh atau Dinas Peternakan

 

10. Jangan takut memelihara ternak babi yang penting kandang layak, bersih, dan kontrolnya bagus.

 

Tetap semangat para peternak babi di Sumba Timur untuk membawa kemajuan.***


  Bagikan artikel ini

Hondung, Mengikat Benang (Kelompok Perempuan Tanatuku Belajar Tenun)

pada hari Kamis, 5 November 2020
oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd

Oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd

 

 

 

 

Seni tenun berkaitan erat dengan sistem pengetahuan, budaya, kepercayaan, lingkungan dan sistem organisasi sosial dalam masyarakat. Kualitas tenunan biasanya dilihat dari mutu bahan, keindahan tata warna, motif, pola dan ragam hiasannya. Untuk menghasilkan karya yang bermutu maka perlu kerja keras dalam belajar dan mengikuti setiap proses tahapan tenun yang ada. Seperti dalam proses mengikat benang pada lungsin (hemba). Kolom-kolom yang sudah digambar atau didesain, diikat erat agar benang tidak bergeser saat sedang atau sesudah digambar motif ataupun saat diikat. Tahapan ini harus benar-benar teliti (menggambar dan mengikat) karena lembaran benang lungsin yang diikat erat terdiri dari 4 sampai 10 liran/lapisan (hanai). Dalam 1 liran terdapat sekitar 2.520 helai benang, dan untuk menghasilkan 1 lembar kain dibutuhkan minimal 2 liran sehingga ada sekitar 5.040 helai benang dalam satu lembar kain tenun. Dan untuk satu kali gambar atau mengikat motif akan menghasilkan beberapa kain dengan motif yang sama.

 

Rabu, 4 Nopember 2020, kelompok tenun di Tanatuku kembali berkumpul untuk terus mempelajari proses menggambar dan mengikat motif yang dipandu oleh pelatih tenun Mama Yustina. Tujuan dari mengikat benang (hondung) yaitu benang yang awalnya berwarna putih jika diikat, maka motif yang ditutup tali tidak terkena pewarna. Begitu juga dengan motif yang akan diberi warna merah dan warna lainnya, sehingga nantinya saat dicelup warna biru, bagian yang telah diikat tidak akan terkena pewarna biru. Mama Yustina menegaskan bahwa yang perlu diperhatikan saat menggambar dan mengikat motif yaitu membedakan simpul ikatannya agar saat melakukan pewarnaan tidak keliru dalam urutan membuka ikatan.

 

Sherli Konda Ngguna, peserta kelompok tenun bertanya dalam bahasa daerah, “Nggiki hama ka nyuma yia ba ndapa pingu a pa gambar, ma nggambar la karata a ma njala manu, rihi ka la luakamba?” (bagaimana dengan kami yang tidak lihai dalam menggambar, gambar di kertas saja salah terus apalagi gambarnya di untaian benang?) Mama Yustina menjelaskan, “Memang untuk menggambar langsung di benang dilakukan oleh yang sudah ahli menggambar motif, karena jika salah menggambar maka susah untuk menghapus bekas gambar karena nanti untaian benang akan semakin menipis, tetapi tidak ada salahnya jika kalian mau melatih diri, karena selanjutnya kalian yang akan menggambar sendiri, maka harus lebih giat lagi dalam belajar mendesain motif”, tegasnya. Ikat benang atau hondung biasanya dilakukan dengan sangat kencang supaya bagian yang terikat tidak ikut terkena warna. Tidak semudah kelihatannya, tali raffia harus diperlakukan dengan hati-hati, jika terlalu dipaksa akan putus, dan jika tidak kencang pewarna bisa masuk dan merusak hasil kain tenun ikat.

Saat ini ada 5 lungsin (hemba) yang dibentangkan di alat yang dinamakan kapala yang sedang  dalam proses ikat. Dan masing-masing kapala terdapat 8 lapisan/liran. Jadi dari 8 liran ini yang nantinya akan menghasilkan 20 lembar kain motif tenun ikat. Oleh karena itu, peserta kelompok tenun ikat sangat antusias dalam mengerjakan tahapan ikat ini. Dengan semangat untuk dapat menghasilkan kain buatan sendiri membuat mereka tidak sabaran untuk memasuki tahapan berikutnya. Ada rasa bangga dari mereka dalam menekuni kerajinan tenun. Semoga kebersamaan dan kekompakkan yang terus mereka bangun membuat mereka terus bersinergi demi kesejahteraan bersama.***


  Bagikan artikel ini

Sapaan Pagi 2: Para Aktivis Muda Pulau Sumba

pada hari Selasa, 20 Oktober 2020
oleh adminstube

 

Perjalanan mengunjungi para multiplikator di dua pulau yakni pulau Alor dan Sumba memberikan kesan bagi pengurus yang berkesempatan bertemu dengan mereka. Berikut adalah catatan dan kesan dari Pdt. (Emiritus) Bambang Sumbodo, S.Th., M.Min setelah melihat lapangan dan bertemu langsung.

 

Elisabeth Uru Ndaya, telah menempuh studi S1 bahasa Inggris di Yogyakarta. Ayahnya seorang Guru Injil (pembantu Pendeta) GKS (Gereja Kristen di Sumba), di sebuah gereja kecil di Tanatuku, Makamenggit, sekitar 50 km dari Waingapu. Setelah selesai studi di Yogya, ia pulang ke kampung halaman untuk menghimpun para ibu dan nona Sumba membuat kerajinan tenun Sumba. Usaha menghimpun dan memberdayakan para perempuan tidak mudah, banyak halangan dan tantangan salah satunya dari suami yang melarang istrinya untuk tidak ikut pelatihan. Pendekatan Elis luar biasa terhadap suami yang melarang istrinya, bahkan ia melibatkan gereja dalam hal ini pendeta. Akhirnya semua merelakan istri ikut aktivitas perempuan Stube HEMAT di kampungnya.

Sekarang para perempuan telah belajar membuat tenun Sumba juga pewarnaan dari tumbuh-tumbuhan dan mereka telah punya pusat latihan tenun Sumba. Ada seorang ibu yang sudah memiliki galeri dan yang menggembirakan sudah menghasilkan uang untuk menunjang perekonomian rumah tangga. Waktu para ibu latihan, anak-anak yang masih kecil ikut juga dan memang repot tetapi secara tidak langsung mereka mengajari anak-anak bagaimana membuat tenunan Sumba, khususnya anak-anak perempuan untuk mencintai tenun Sumba yang sudah mulai pudar.

Elis juga seorang guru Bahasa Inggris sehingga ia terpanggil mendirikan sanggar Bahasa Inggris untuk anak-anak, dan semua dilakukan penuh dengan dedikasi. Pelatihan tenun Sumba sekitar 20 kaum ibu dan para nona. Kiranya Tuhan memberkati para ibu  memperkuat keluarganya juga gereja karena para ibu dan para nona inilah pewarta kabar baik. Selamat berjuang Elis selamat menghadapi tantangan. Imanuel.

 

 

 

 
 

 

Yulius Rihi Anawaru, seorang sarjana kehutanan dari kampus di Yogyakarta. Kami banyak berdiskusi tentang Sumba dan anak-anak mudanya. Penghijauan dengan menanam seribu pohon sudah dilakukan Yulius di kampungnya. Selanjutnya ia mendapatkan berkat Tuhan, bersama sama bergotong-royong membeli kapal untuk budi daya rumput laut di pantai Warabadi, Sumba Timur. Yulius mengajak Andreas untuk mengawasi dan menunggui kapal dan merawat rumput laut, dari hasil rumput laut bisa membiayai anak-anaknya kuliah. Puji Tuhan, hasilnya sangat lumayan. Anak-anak dan remaja juga diajak ke tengah laut untuk dikenalkan laut dan budi daya rumput laut.

 

 


 

 

Apriyanto Hangga, menempuh studi Ilmu Pemerintahan di Akademi Pembangunan Masyarakat Desa  di Yogyakarta. Sejak kuliah di Yogyakarta, dia seorang aktifis mahasiswa dan saat ini menggerakan masyarakat di Mbinudita, kira-kira 120 km dari Waingapu, Sumba Timur membangun kembali sekolah dasar paralel yang pada tahun 2019 roboh diterjang angin besar. Melalui media sosial, Yanto berhasil menggalang sponsor untuk membangun gedung SD dan menggerakkan masyarakat bergotong-royong. Saat ini pekerja bangunan utama dari Nganjuk Jawa Timur. Lokasi gedung berada di atas bukit dan di antara desa yang satu dengan yang lain. Sekolah paralel ini mendekatkan sekolah dengan anak-anak yang jaraknya sekitar 4 sampai 6 km yang ditempuh dengan jalan kaki. Dengan berdirinya sekolah paralel ini anak-anak menjadi lebih dekat, sekitar 2-3 km. Direncanakan akhir tahun sekolah ini selesai, sehingga akhir pandemi ini bisa digunakan. Solusi saat ini guru mendatangi siswa satu persatu dari rumah ke rumah. Apriyanto juga beternak babi, tetapi karena virus yang menyerang babi di Sumba, ribuan babi di Sumba mati termasuk ternak Apriyanto dan kelompoknya. Bersama Stube HEMAT, Apriyanto dan beberapa mahasiswa berdiskusi dan belajar bagaimana menanggulangi virus ini

 

 

 

 

Frans Fredi Kalikit Bara, dulu Frans adalah calon Romo, tetapi tidak jadi karena orang tuanya minta agar membatalkan demi melanjutkan garis keturunan. Sekarang baru menyusun skripsi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kristen di Wangapu, Sumba Timur. Frans pernah diundang ke Yogyakarta untuk mengikuti pelatihan di Stube HEMAT Yogyakarta seperti pelatihan produk kreatif, jurnalistik, pertanian organik, dan pelatihan lahan pasir. Sudah hampir 5 tahun, ia mengembangkan tanaman cabai, tomat, semangka, sawi, kol, dengan hasil yang sangat lumayan. Sampai saat ini kebutuhan pertanian Sumba, masih mendatangkan dari luar pulau Sumba, sehingga ia membentuk kelompok petani muda untuk mengembangkan pertanian organik. Anak-anak muda ini adalah aset bangsa di bidang pangan, lumbung beras dan hasil pertanian yang lain.

 

 


  Bagikan artikel ini

Potensi Lokal Mengatasi Virus Babi

pada hari Senin, 19 Oktober 2020
oleh Apriyanto Hangga

Oleh Apriyanto Hangga

 

 

 

 

Sabtu (17/10/2020) bertempat di Wai-Wai, Lewa, Pameti Karata, 25 orang mahasiswa, pemuda dan peternak berkumpul bersama, Multiplikator Stube HEMAT di Sumba konsentrasi bidang peternakan, didampingi Yahya Rohi Aba, S.Pd sebagai fasilitator dalam diskusi peternakan yang merupakan kelanjutan dari Pelatihan Peternakan  tahap 1, II, III dan saat ini tahap yang ke IV. Ada 2 agenda yang dilakukan kali ini yakni (1) berkunjung dan melihat langsung proses pengembangan babi induk, dan (2) meracik makanan ternak babi dengan bahan lokal yang murah, bergizi, dan sehat untuk ternak.

 

 

 

 

Yahya Rohi Aba S,Pd., memiliki peternakan babi dengan babi induk sebanyak 15 ekor, pejantan 3 ekor dan anak babi 50 ekor yang siap dipasarkan karena sudah berumur 1-2 bulan, dengan kisaran harga paling murah Rp 1.500.000 untuk umur 1 bulan 2 minggu. Peternakan ini menjadi salah satu contoh peternakan yang sehat di tengah wabah virus babi yang menyerang Sumba. Dengan kolaborasi mahasiswa 30% dan para peternak babi 70%, peserta belajar banyak hal: (a) melihat langsung cara pemeliharaan dan perawatan, (b) mempelajari cara memilih bibit unggul baik yang betina maupun pejantan, (c) cara mengawinkan dan proses perawatan babi pasca kawin/babi bunting, (d) cara merawat babi beranak serta strategi khusus merawat dan memelihara anak babi agar sehat dan tumbuh subur.

 

 

Belajar langsung di kandang ternak menjadi satu hal yang menarik setelah sesi pengantar dan diskusi tanya jawab. Yahya menyampaikan beberapa hal penting seperti pemilihan jenis bibit unggul baik betina maupun pejantan, karena untuk mendapatkan induk yang baik maka kita harus memilih varietas/gen yang baik dan unggul, seperti jenis varietas durog, leandris, pedaging atau peranakan. Pejantan super merupakan faktor penting karena walaupun induknya bukan varietas super tapi pejantannya super, maka anak-anaknya akan super semua. Banyak hal menjadi pelajaran bagi peserta seperti proses mengawinkan babi, memahami masa babi bunting, dan perawatan induk menyusui serta anak babi.

 

 

 

 

 

Bagian akhir adalah meracik pakan ternak dari bahan lokal. Pakan ternak menjadi salah satu faktor utama dalam proses pemeliharaan babi secara modern di Sumba karena kebanyakan pakan ternak didatangkan dari pulau Jawa sehingga membuat harganya mahal, untuk itu peternak harus bisa memanfaatkan bahan lokal untuk menekan biaya pakan yang berkisar 65% dari harga ternak. Bahan pakan ternak sangat tersedia di Sumba namun karena masyarakat berpikir bahwa yang dijual di toko paling baik dan bergizi, maka ternaknya dibelikan pakan yang tersedia di toko dengan harga yang sangat mahal. Bahan lokal yang tersedia dan tinggal diracik meliputi jagung, ubi kayu, ampas padi, umbi-umbian lain dan ampas tahu. 

 

Akhirnya, diharapkan kegiatan ini membuka pemikiran dan cara baru dalam beternak babi di Sumba.***


  Bagikan artikel ini

Potensi Lokal Mengatasi Virus Babi

pada hari Senin, 19 Oktober 2020
oleh Apriyanto Hangga

Oleh Apriyanto Hangga

 

 

 

Sabtu (17/10/2020) bertempat di Wai-Wai, Lewa, Pameti Karata, 25 orang mahasiswa, pemuda dan peternak berkumpul bersama, Multiplikator Stube HEMAT di Sumba konsentrasi bidang peternakan, didampingi Yahya Rohi Aba, S.Pd sebagai fasilitator dalam diskusi peternakan yang merupakan kelanjutan dari Pelatihan Peternakan  tahap 1, II, III dan saat ini tahap yang ke IV. Ada 2 agenda yang dilakukan kali ini yakni (1) berkunjung dan melihat langsung proses pengembangan babi induk, dan (2) meracik makanan ternak babi dengan bahan lokal yang murah, bergizi, dan sehat untuk ternak.

 

 

Yahya Rohi Aba S,Pd., memiliki peternakan babi dengan babi induk sebanyak 15 ekor, pejantan 3 ekor dan anak babi 50 ekor yang siap dipasarkan karena sudah berumur 1-2 bulan, dengan kisaran harga paling murah Rp 1.500.000 untuk umur 1 bulan 2 minggu. Peternakan ini menjadi salah satu contoh peternakan yang sehat di tengah wabah virus babi yang menyerang Sumba. Dengan kolaborasi mahasiswa 30% dan para peternak babi 70%, peserta belajar banyak hal: (a) melihat langsung cara pemeliharaan dan perawatan, (b) mempelajari cara memilih bibit unggul baik yang betina maupun pejantan, (c) cara mengawinkan dan proses perawatan babi pasca kawin/babi bunting, (d) cara merawat babi beranak serta strategi khusus merawat dan memelihara anak babi agar sehat dan tumbuh subur.

 

Belajar langsung di kandang ternak menjadi satu hal yang menarik setelah sesi pengantar dan diskusi tanya jawab. Yahya menyampaikan beberapa hal penting seperti pemilihan jenis bibit unggul baik betina maupun pejantan, karena untuk mendapatkan induk yang baik maka kita harus memilih varietas/gen yang baik dan unggul, seperti jenis varietas durog, leandris, pedaging atau peranakan. Pejantan super merupakan faktor penting karena walaupun induknya bukan varietas super tapi pejantannya super, maka anak-anaknya akan super semua. Banyak hal menjadi pelajaran bagi peserta seperti proses mengawinkan babi, memahami masa babi bunting, dan perawatan induk menyusui serta anak babi.

 

 

 

Bagian akhir adalah meracik pakan ternak dari bahan lokal. Pakan ternak menjadi salah satu faktor utama dalam proses pemeliharaan babi secara modern di Sumba karena kebanyakan pakan ternak didatangkan dari pulau Jawa sehingga membuat harganya mahal, untuk itu peternak harus bisa memanfaatkan bahan lokal untuk menekan biaya pakan yang berkisar 65% dari harga ternak. Bahan pakan ternak sangat tersedia di Sumba namun karena masyarakat berpikir bahwa yang dijual di toko paling baik dan bergizi, maka ternaknya dibelikan pakan yang tersedia di toko dengan harga yang sangat mahal. Bahan lokal yang tersedia dan tinggal diracik meliputi jagung, ubi kayu, ampas padi, umbi-umbian lain dan ampas tahu. 

 

Akhirnya, diharapkan kegiatan ini membuka pemikiran dan cara baru dalam beternak babi di Sumba.***


  Bagikan artikel ini

Mendalami Desain Motif Tenun Ikat Sumba

pada hari Senin, 19 Oktober 2020
oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd

Oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd

 

Menjaga nilai dan tradisi dari nenek moyang agar budaya dan keanekaragaman yang ada tidak terkikis oleh masa, penting dilakukan. Kelompok tenun Tanatuku sebagai pemula terus semangat berlatih menenun melewati berbagai tahapan yang ada. Kali ini mendalami desain motif tenun ikat Sumba.

 

 

Pelatihan (7 dan 17/10/2020) ini mengajak dan mengarahkan mereka untuk  mendesain motif tenun pada lembaran kertas dengan berbagai macam motif seperti motif kuda, ayam, mamuli, manusia, bunga, naga, dan juga rumah. Proses ini rupanya  tidak mudah karna yang diminta menggambar bukan lagi anak PAUD atau TK, melainkan mahasiswa, pemuda dan ibu-ibu. Ada yang mengaku bahwa dari kecil tidak pernah menggambar, sehingga ketika diperhadapkan dengan lembaran kertas dan alat tulis, terlihat kebingungan dan enggan memulai. Ada juga yang mencoba menggambar motif kuda tetapi hasilnya tidak lagi berbentuk kuda. Namun dengan tersedianya contoh gambar motif yang sudah dicetak, memudahkan mereka untuk berlatih menggambar motif.

 

 

Ada banyak tingkat kesulitan yang mereka alami selama menggeluti tenun, namun tidak sedikit pun mengurangi semangat untuk terus berlatih. Seorang penenun professional dituntut memiliki ide kreatif dalam mendesain motif, selain itu dapat menghasilkan ciri khas desain kelompok itu sendiri. Ada 3 bagian corak atau motif kain yang terkenal di Sumba Timur seperti bagian figuratif yaitu representatif bentuk manusia dan binatang, bagian skematis yaitu menyerupai rangkaian bagan, cenderung geometris, dan bentuk pengaruh asing yaitu salib, singa, mahkota, corak petola (kain india), atau naga (kain cina).

 

Keunikan desain yang diciptakan adalah suatu karya yang mencerminkan unsur-unsur yang erat hubungannya dengan budaya wilayah itu sendiri. Berikut adalah contoh variasi pembuatan motif berdasarkan wilayah sentra produksi di Sumba Timur.

 

(1) Kecamatan Kambera memiliki 18 motif seperti patuala ratu (kain patola), habaku (cicak terbang), karihu (kupu-kupu), andung (tugu tengkorak), mahang (singa), kurang (udang), manu (ayam), wuya (buaya), karawulang (penyu), lodu (matahari), wulang (bulan).

 

(2) Kecamatan Kanatang memiliki 3 motif yaitu ruha (rusa), mahang (singa), Kaka (kakatua).

 

(3) Kecamatan Pahunga Lodu memiliki 11 motif yaitu Andung (tugu tengkorak), mahang (singa), kurang (udang), habaku (cicak terbang), wuya (buaya), karawulang (penyu), karihu (kupu-kupu), mandu (ular), kaka (kakatua), ngganda (sejenis bunga), tanga wahil (tempat sirih), dan

 

(4) Kaliuda memiliki 3 motif yaitu kuda, ayam dan burung pesisir.

 

 

Motif-motif di atas merupakan hasil karya di 3 dari 22 kecamatan yang ada di Sumba Timur. Dengan demikian disimpulkan bahwa baru ada 3 kecamatan yang sudah dan sedang menggeluti tenun ikat ini. Oleh karna itu, harapannya dengan adanya kelompok tenun ikat yang sedang didampingi sekarang bisa mewakili Kecamatan Nggaha Ori Angu untuk menghasilkan karya tenun ikat sumba timur dan dapat menciptakan corak atau motifnya sendiri. Semoga semangat belajar kelompok tenun ini terus ada hingga pada akhirnya benar-benar menjadi seorang penenun yang terus memproduksi kain tenun ikat Sumba Timur.


  Bagikan artikel ini

Mengenali Desain Motif Tenun Ikat Orang Sumba

pada hari Sabtu, 19 September 2020
oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd

Oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd

 

 

Sebuah wadah atau komunitas yang berhasil dibentuk tentu sudah melewati berbagai macam proses dan dinamika yang panjang. Komitmen untuk tergabung dalam sebuah komunitas merupakan semangat dan prinsip baru yang dilakukan oleh kaum perempuan yang ada di desa Tanatuku. Tenun yang dulunya asing di telinga mereka kini sudah menjadi bagian dari aktivitas dan cerita hidup mereka. Rasa keingintahuan yang besar dan kerinduan untuk menjadi bagian dari budaya tenun ikat Sumba Timur menjadikan kaum perempuan Stube HEMAT semangat berlatih menggeluti tenun, dan kekompakkan pun menjadi modal utama yang terus diciptakan oleh mereka untuk dapat melakukan sebuah aktivitas yang berkelanjutan.

 

Mulai tanggal 16 September 2020 dan seterusnya, setiap hari Rabu dan Jumat merupakan agenda rutin untuk berlatih. Tahapan demi tahapan dari tenun terus mereka ikuti dan pelajari. Dari gulung benang, penggabungan benang dan saat ini masuk pada tahapan desain motif dan ikat benang. Sebelum masuk pada proses mengikat, benang yang sudah digabungkan dikencangkan dan didiamkan selama seminggu dalam sebuah alat (Kapala) agar nantinya mudah diikat. Selama proses penggabungan benang berlangsung, peserta mulai diajak berpikir mengenai berbagai macam motif tenun ikat yang ada di Sumba Timur beserta makna setiap motif. Walaupun sudah mengerti banyak tentang motif kain tenun, sedikit dari mereka yang paham akan setiap makna dan symbol dari setiap motif yang ada.

 

Oleh karena itu pada kesempatan yang ada, Mama Yustina sebagai pelatih menceritakan makna dari beberapa motif yang sering dipakai. Motif Kuda adalah penentu status sosial orang Sumba. Kuda melambangkan kejantanan, keberanian, ketangkasan dan kepahlawanan. Motif Ayam menunjukkan pekerjaan utama orang Sumba adalah peternak. Ayam melambangkan kesadaran, kejantanan, tanda kehidupan dan pemimpin yang siap melindungi. Motif Kakatua melambangkan persatuan dan kesatuan, mencerminkan jiwa orang Sumba dalam pengambilan keputusan berbagai urusan melalui musyawarah atau mufakat. Motif Manusia melambangkan penolak kejahatan, dan mengandung makna kesaktian dan setiap manusia membutuhkan pengakuan, perhatian, penghargaan dan cinta kasih dari sesamanya. Motif Manusia telanjang, melambangkan kepolosan, kesendirian, ketakutan dan kemiskinan. Motif Ular melambangkan kesombongan, keangkuhan, watak atau sifat manusia yang penuh amarah, pendendam dan selalu mencari celah untuk mengalahkan lawannya. Motif Rusa dengan kemegahan tanduknya melambangkan keberanian, keagungan dan kebijaksanaan seorang pemimpin di tengah masyarakat. Motif Udang melambangkan persaudaraan, persatuan dan kesatuan. Motif Buaya dan Kura-Kura melambangkan kebesaran, kesaktian dan memiliki pengaruh besar.

 

 

Saat ini, komunitas perempuan Stube HEMAT mencoba membuat motif kuda. Sambil menyelesaikan penggabungan benang, mereka mulai membayangkan cara mendesain dan menggambar motif kuda pada benang yang tersedia. Motif tersebut didesainkan di benang yang telah digabungkan dan diikat berdasarkan desain yang sudah ada. Pertemuan selanjutnya masuk pada proses mendesain dan ikat benang. Proses ini membutuhkan konsentrasi lebih karena harus memikirkan desain motif apa, cara mendesainnya bagaimana dan proses ikatnya seperti apa. Terus semangat komunitas perempuan untuk menguasai budaya sendiri.


  Bagikan artikel ini

Seluk Beluk Tenun Ikat Sumba

pada hari Senin, 10 Agustus 2020
oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd

Oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd


Manusia baik individu mau pun kelompok tidak bisa terpisahkan dengan identitas mereka sebagai makhluk yang berbudaya. Dalam budaya itu sendiri terdapat sekumpulan sikap, keyakinan dan perilaku yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi dengan beberapa sarana yang dianut oleh setiap masyarakat.  Seni tenun adalah budaya tua yang ditekuni manusia untuk menghasilkan busana juga merupakan peradaban yang hampir merata ditemukan di seluruh pelosok bumi. Dari beragam kain tenun Indonesia Timur, Nusa Tenggara Timur, Sumba merupakan salah satu pulau penghasil kain tenun yang sangat terkenal akan keindahannya dengan beragam desain motif. Oleh karna itu, untuk tetap menjaga kelestarian budaya maka perlu ada warisan dan regenerasi yang diteruskan kepada anak muda sebagai generasi penerus

 

Minggu, 09 Agustus 2020, Program Multiplikasi Stube-HEMAT di Sumba mengadakan diskusi di gedung GKS Karunggu yang bertajuk pada tema Menelisik Sejarah Tenun Ikat Sumba dengan menghadirkan belasan kaum perempuan yang mempunyai kerinduan menggeluti dunia tenun. Narasumber yang dihadirkan adalah Marta Harakay, seorang pengrajin tenun dari Kalu, Kec. Kambera, Waingapu. Marta menceritakan bahwa masyarakat mulai menggeluti tenun sejak abad ke-4 untuk menghasilkan kain penglapis badan. Dan saat itu bahan kain tenun bukan dari benang melainkan dibentuk langsung dari kapas sampai menghasilkan selembar kain tenun. 

Setiap tahapan mulai dari ikat benang, pewarnaan hingga tenun harus dicermati dengan baik cara pembuatannya dan terkadang prosesnya menghabikan waktu 6 bulan hingga 3 tahun karena selain menenun dan membuat motif, ada sebuah tahapan dimana kain harus diangin-anginkan selama sebulan sebelum dicelup dalam minyak kemiri. Tahapan lain dalam pembuatan kain Sumba juga menguji kesabaran seperti menyimpannya dalam keranjang tertutup untuk mematangkan warnanya dengan harapan biarkan alam ikut campur agar kain menjadi lebih indah. Ia juga menjelaskan makna dari motif-motif yang terdapat pada kain tenun.

Peserta pun sangat antusias mendengar penjelasan dari narasumber. Dari semua yang hadir, ada 3 orang perempuan yang juga menggeluti tenun, memang tidak semua dari mereka bisa menenun. Dalam proses tahapannya ada yang hanya paham di bagian benang, ada yang hanya paham di bagian pewarnaan dan ada juga yang hanya bisa tenun tetapi tidak bisa melakukan tahap demi tahap. Lainnya malah tidak paham tentang tenun. Astry Banju menceritakan kisahnya, dia dikenal seorang pengrajin tenun tetapi sebenarnya tidak bisa menenun, hanya bisa di tahapan pewarnaan dan pengelompokan benang, selanjutnya ibu mertuanyalah yang menenun, karena setiap mencoba untuk menenun, hasilnya selalu tidak memuaskan.

 

Kisah berbeda dari Mama Ferdi, ia bisa melakukan semua hingga menenun, namun kurang pengalaman dalam pewarnaan, dan hasilnya selalu kurang bagus, sementara Adriana Tanggu Hana punya kerinduan untuk menenun namun karena tidak ada yang mengajarinya, akhirnya tidak bisa melakukan apa-apa. Ia pun berharap dengan adanya program ini, ke depannya ia dapat belajar menenun. Dari beberapa pengalaman peserta di atas, memberi pemahaman baru bahwa untuk menggeluti tenun harus melalui proses yang panjang dan tekun. Hal ini membuka peluang bagi mereka untuk saling berkolaborasi, saling belajar dan bertukar pengalaman. 

 

Marta Harakay yang sudah ahli dalam menenun memberi semangat kepada peserta bahwa belajar tenun memang tidak mudah, namun dengan tekad dan kemauan yang kuat pasti bisa. Tak lupa ia memberikan trik bagaimana cara menenun yang baik agar mendapatkan hasil yang bagus seperti memperhatikan posisi duduk, postur tubuh yang sesuai, ikatan belakang harus kencang dan posisi tendangan kaki ke alat tenun harus kuat. Begitu juga dengan pewarnaan, harus memperhatikan bahan-bahan yang dicampur dan perpaduan warna agar menghasilkan warna yang cantik

Di akhir diskusi, peserta membentuk kelompok tenun yang dinamakan kelompok Kawara Panamung yang dalam bahasa Indonesia artinya “saling merangkul”. Setelah itu, peserta menuliskan di kertas metaplan sebagai pesan dan harapan mereka untuk kemajuan komunitas yang sudah mereka bentuk. Harapannya semoga dengan terbentuknya kelompok tenun ini dapat membantu para kaum perempuan untuk terus berkreasi dan menghasilkan kain-kain tenun bagus yang merupakan tenun khas Makamenggit, yang pada akhirnya dapat membantu perekonomian kaum perempuan di sini. Langkah selanjutnya adalah kunjungan ke salah satu kampung tenun untuk melihat langsung dan belajar hal baru mengenai tenun.***


  Bagikan artikel ini

Perempuan Dan Potensi Sumba

pada hari Selasa, 4 Agustus 2020
oleh Elisabeth Uru Ndaya
 
Oleh Elisabeth Uru Ndaya 
 
Perempuan adalah pelopor perubahan, dan hal ini bisa dimulai dari lingkungan keluarga hingga di lingkungan masyarakat. Perempuan memiliki kekuatan ekstra dalam dirinya untuk bertahan di tengah situasi penuh krisis termasuk di masa pandemi Covid-19. Terbukti banyak perempuan yang mencari alternatif usaha lain selama masa pandemi Corona untuk kelangsungan hidup keluarganya. 
 
 
Minggu, 26 Juli 2020 pada diskusi Multiplikasi Stube HEMAT di Sumba, narasumber Pdt. Suryaningsih Mila, M.Si, Teol, dosen STT GKS mengatakan bahwa pada prinsipnya, laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, perempuan (istri) seringkali menanggung beban lebih daripada suami karena mereka harus bekerja di ruang domestik dan ruang publik. Dalam konteks Indonesia, NTT dan khususnya Sumba, perempuan adalah penjaga lumbung keluarga, ujung tombak ekonomi keluarga. 
 
 
Diskusi dengan dihadiri 30 peserta perempuan ini, mengangkat tema tentang perempuan dan potensi Sumba. Pdt Suryaningsih sangat mengapresiasi perjuangan para perempuan Sumba pada umumnya. “Siapakah yang paling peduli tentang kebutuhan rumah dan anak-anak? Jika tiba musim panen siapakah yang sering naik bis ke kota dan duduk di emperan toko untuk berjualan?”, tanya ibu pendeta. Dengan serentak, peserta pun menjawab “perempuan”. Selanjutnya nara sumber memetakan kekuatan, potensi, ketrampilan yang dimiliki perempuan. 
 
 
 
Dalam banyak kasus, perempuan lebih tekun, teliti, rajin, bertanggung jawab, peka, peduli yang merupakan kekuatan perempuan untuk mengembangkan potensi yang ada. Perempuan juga lebih tahan banting, tangguh dan menjadi kreatif ketika berhadapan dengan krisis ekonomi. Di tengah diskusi, peserta diberi kesempatan dalam kelompok kecil untuk berbagi pengalaman. Iche Hana seorang guru muda di SMP, masih single membagikan pengalamannya di masa pandemic Covid ini, dengan mengembangkan potensi lain yakni menenun dan berjualan kue. Adriana, seorang ibu rumah tangga bercerita jika mau berjualan harus naik bis atau truk ke kota, sesampainya di kota (Waingapu) ia berjualan jagung keliling sambil berjalan kaki dan pada malam hari lanjut berjualan di emperan trotoar. Yohana seorang ibu rumah tangga bercerita, “Saya pernah berjualan kue di kota tetapi karna ada Corona saya di kejar polisi pamong praja, dan kue tidak ada yang laku. Saya menangis, akhirnya kue saya kasih untuk dihutang tetangga, tetapi sampai sekarang belum ada yang bayar. Tepung yang masih sisa busuk semua dan saya buang kasih makan babi”. Mereka pun berharap untuk terus dilibatkan dalam program Multiplikasi Stube-HEMAT ini.

Pdt. Suryaningsih Mila, M.Si, Teol kembali memberikan semangat dan memberikan pandangan bahwa ada banyak hambatan yang dialami oleh perempuan-perempuan Sumba saat ini. Budaya patriarki yang melahirkan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, dominasi laki-laki sebagai kepala/penerus keluarga cenderung meminggirkan peran perempuan, yang menempatkan perempuan sebagai pekerja di ruang domestik (rumah tangga), yang cenderung merendahkan kekuatan dan potensi perempuan. Relasi kuasa juga melemahkan posisi perempuan, menciptakan kekerasan dan eksploitasi pada perempuan dan anak perempuan. Dengan demikian, banyak perempuan tidak berani untuk menggali potensi dirinya dan mengembangkan potensi budaya/alam yang ada di sekitarnya. Perempuan menjadi kurang memiliki rasa percaya diri dan memiliki ketergantungan pada laki-laki. 
 

 
Dengan adanya program pemberdayaan ini, sangat diharapkan perempuan Sumba dapat berkontribusi dengan kemauan yang kuat untuk memunculkan potensi diri dan mengembangkan potensi yang ada untuk kebaikan bersama. Perempuan Sumba juga perlu terus belajar memperlengkapi diri dengan sejumlah pengetahuan, informasi penting, dan ketrampilan yang dipakai. Sebagai bentuk dari follow up, langkah kecil yang akan dilakukan dalam waktu dekat oleh komunitas perempuan di tempat ini adalah pembuatan bedeng sayur dilengkapi pagar keliling dan pembibitan bahan alami untuk pewarnaan tenun.***

  Bagikan artikel ini

Perempuan Dan Pekarangan Rumah: Solusi Pangan Masa Pandemi

pada hari Selasa, 4 Agustus 2020
oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd

Oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd

 

Musim kering atau kemarau merupakan musim saat petani di bagian selatan Sumba Timur pada umumnya beristirahat, tidak bertani atau mengolah lahan karena kondisi tanah mengering sehingga jika ditanami tumbuhan apa saja susah tumbuh. Kondisi ini dirasakan setiap tahun oleh petani khususnya di daerah Lewa–Makamenggit. Hanya saat musim hujan sajalah mereka sibuk mengolah lahannya kembali. Rentang waktu musim kemarau yaitu bulan Mei hingga November (8 bulan), dan selama musim itu kebanyakan petani khususnya kaum perempuan berada di rumah saja dan jarang melakukan aktivitas lain. Terlebih masa pandemik covid 19 ini memaksa setiap orang tinggal di rumah, membuat kaum perempuan menjadi tidak produktif.

 

Seharusnya kondisi ini tidak selalu membuat orang menjadi tidak produktif. Beragam aktivitas bisa dilakukan khususnya yang bisa menopang kebutuhan pangan rumah tangga. Salah satu yang bisa dilakukan adalah berkebun sayuran di pekarangan rumah. Hal seperti inilah yang sedang dilakukan oleh komunitas perempuan Stube-HEMAT di tempat ini. Berangkat dari pemahaman bagaimana memanfaatkan potensi yang ada sebagaimana disampaikan oleh narasumber pada pertemuan lalu, Pdt. Sryaningsih Mila, M.Si, Teol , menjadi semangat baru untuk memanfaatkan pekarangan rumah dengan membuat bedeng sayur sebagai aksi tindak lanjut.

 

 

Pada tanggal 3 Agustus 2020, kaum perempuan di tempat ini mulai membuat pagar keliling yang merupakan tempat untuk pembuatan bedeng sayur. Ada dua lokasi yang digunakan yaitu di pekarangan gereja untuk ditanami sayur dan pekarangan rumah keluarga Iche Hana untuk tempat pembibitan tanaman sumber pewarna tenun alami. Iche Hana, seorang penenun dan aktivis muda mengaku sangat senang dengan semangat kaum perempuan di tempat ini untuk memanfaatkan lahan pekarangan rumah, yang meskipun tanah kering, tidak mengurangi semangat mereka untuk tetap bersinergi. 

 

 

 

Kalita Mboru, aktivis perempuan, kepala PAUD Bina Kasih, dan juga ketua tim kesehatan desa Tanatuku, memberikan komentarnya mengenai terbentuknya komunitas perempuan di tempat ini. “Saya senang ada program Stube HEMAT di tempat ini, sehingga para perempuan di sini tidak hanya urus makan tidur saja di rumah, tetapi kita bisa bantu ekonomi keluarga kita dengan tanam sayur dan belajar tenun” tegasnya. Ia berharap tetap ada kerja sama yang baik dan berterima kasih kepada Stube HEMAT yang siap mendukung kegiatan ini.

Dua bedeng yang sudah dibuat membutuhkan air yang cukup, sedangkan saat ini adalah masa kekeringan, namun hal itu tidak menurunkan niat komunitas untuk memanfaatkan potensi yang ada dan bisa membantu kehidupan keluarga setiap harinya. Cara yang di lakukan pun dengan iuran per bulan Rp.5.000,- per peserta dari 20 orang anggota, untuk membeli air satu tangki seharga Rp. 100.000,- per bulan untuk kebutuhan bedeng sayur dan pembibitan bahan alam tenun ikat. Sementara untuk mengurus bedeng seperti menyiram dan merawat tanaman, komunitas ini berbagi jadwal. Terus maju kaum perempuan, kobarkan semangat dan kerjasama di dalam jiwa.***


  Bagikan artikel ini

Semangat Bertani VS Virus Corona

pada hari Senin, 3 Agustus 2020
oleh Frans Fredi Kalikit Bara

Oleh Frans Fredi Kalikit Bara)

Akhir tahun 2019 adalah salah satu momentum yang melahirkan sejarah baru bagi seluruh manusia di muka bumi, satu jenis virus baru muncul di Cina tepatnya di kota Wuhan. Jenis virus ini menyerang sistem pernafasan, infeksi paru–paru hingga kematian. Corona adalah jenis baru yang menular dari manusia ke manusia, virus ini menular sangat cepat dan telah menyebar hampir di semua negara. Beberapa negara mulai ambil langkah atau kebijakan untuk mencegah penyebaran virus corona dengan cara lockdown.

 

Pada 2 Maret 2020, virus Corona mulai masuk Indonesia diawali dengan dua kasus positif. Melalui Satuan Tugas Penanganan Covid- 19 dalam liputan harian Kompas Rabu (29/07/2020), kasus positif Corona berjumlah 104.432. Jumlah pasien yang terinfeksi oleh virus ini makin hari makin bertambah dan tidah bisa diketahui kapan wabah ini akan berakhir. Kehadiran virus Corona menciptakan banyak perubahan pada beberapa aspek kehidupan. Ada banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan, banyak pelaku usaha yang bangkrut, ada yang mengalami stres akibat ruang gerak yang terbatas dan ekonomi negara mulai mengalami defisit.

 

 

Sebagai Komunitas Petani Hortikultura Stube HEMAT, kami meyakinkan diri bahwa kami lebih kuat dari virus Corona. Pernyataan ini adalah salah satu motivasi bagi kami untuk menghilangkan rasa takut. Corona bukanlah penghalang bagi kaum muda untuk tetap produktif meskipun ruang geraknya dibatasi. Dalam kondisi saat ini pangan adalah salah satu kebutuhan yang mendasar dan utama untuk mempertahankan hidup. Dari kementrian pertanian sendiri menganjurkan agar produksi hasil pertanian tetap dipertahankan atau kalau bisa total output produk pertanian harus meningkat.

 

Secara tidak langsung, ada peluang yang muncul di balik ancaman virus Corona, yakni bisnis pertanian menjadi unggulan karena berperan penting untuk menopang kebutuhan pangan manusia untuk bisa bertahan hidup. Komunitas Petani Hortikultura Stube HEMAT melihat hal ini sebagai tanggung jawab kaum muda untuk melanjutkan tongkat estafet pertanian di Indonesia dan disisi lain ini adalah peluang bisnis bagi kaum muda. Bisnis pertanian adalah salah satu bisnis yang tidak pernah akan mati, karena berhubungan langsung dengan kebutuhan pokok manusia.

Dengan tetap mengikuti protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah, kaum muda Sumba, khusunya komunitas petani hortikultura Stube HEMAT akan terus berkarya dan menumbuhkan semangat bertani yang lebih kuat dari virus Corona.***


  Bagikan artikel ini

Mencari Solusi Ancaman Ternak Babi

pada hari Kamis, 30 Juli 2020
oleh Apriyanto Hangga, A.Md

Oleh Apriyanto Hangga, A.Md

Peternakan Babi adalah kegiatan yang menjadi kebiasaan pokok orang Sumba, yang sifat kegiatannya masih tradisional. Memelihara ternak babi bukan sebagai mata pencaharian tetapi sebuah rutinitas karena babi merupakan kebutuhan utama masyarakat Sumba dalam urusan adat istiadat, kematian, pernikahan atau acara-acara apa pun lainnya.

 

Saat ini masyarakat Sumba sangat terpukul karena penyakit yang menyerang ternak babi yakni Hog Kolera maupun virus ASF. Ribuan ekor babi di Sumba mati mendadak dan tidak bisa diatasi sampai saat ini. Masyarakat terlihat pasrah dengan kondisi yang terjadi dan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya.

 

 

 

Karena itulah maka Program Peternakan Multiplikasi Stube HEMAT di Sumba melakukan pendampingan dan pelatihan baik itu kepada para mahasiswa, kaum muda gereja dan masyarakat peternak yang sudah merasakan dampak dari kejadian ini. Kegiatan diskusi ini sangat menarik karena sesuai dengan konteks yang menjadi realita masyarakat. Peserta yang ditargetkan di acara Diskusi tentang Ternak Babi pada hari Rabu 29 Juli 2020 sekitar 25 orang membengkak menjadi 43 orang, sementara waktu yang diperkirakan berkisar paling lama 3 jam, menjadi 5 jam karena antusiasme yang sangat tinggi. Terlebih nara sumbernya adalah Yessy Tamu Ina, S.Pt, M.Si, dosen Fakultas Peternakan Unkriswina Sumba dan tim pendamping lapangan masyarakat peternak kecil, menjawab semua pertanyaan dan rasa penasaran peserta.

 

 

Materi yang disampaikan menggambarkan bahwa sebenarnya ada banyak jenis penyakit yang sering menyerang ternak babi dan perlu diketahui oleh peternak yakni:

 

  1. Defisiensi vitamin A
  2. Anemia
  3. Diare Putih
  4. Hog Cholera
  5. Agalactia
  6. Cacar
  7. Cacing bulat
  8. Pneumonia
  9. Virus African swine fever (ASF).

 

 

Hog Kolera adalah penyakit yang sering menyerang ternak babi tetapi penyakit ini sudah bisa diatasi karena sudah ada vaksin, sehingga tidak terlalu menakutkan bagi masyarakat. Apabila ternak rutin divaksin pasti dijamin aman. Namun yang paling berbahaya adalah virus African Swine Fever (ASF) atau dikenal dengan istilah demam babi Afrika. ASF ini sangat berbahaya karena akibatnya fatal dan dapat membunuh semua babi yang ada di sekitar lokasi yang terjangkit. Kemungkinan virus inilah yang menyebabkan ribuan bahkan sampai belasan ribu babi di seluruh Sumba mati. Parahnya, sampai saat ini virus ini belum ada vaksinnya.

 

 

Dari hasil diskusi ini ditarik beberapa kesimpulan:

  1. Setiap peternak harus menjaga kebersihan kandang
  2. Menjaga keseimbangan gizi ternak
  3. Melakukan vaksinasi rutin 6 bulan sekali dengan sistem 1 spuit/jarum suntik untuk tiap ekor babi
  4. Jika ada babi yang mati/sakit segera melapor pada penyuluh/dinas Peternakan.
  5. Jika ada ternak yang sakit harus dipisah dari kawanan ternak yang lain.
  6. Jika mengkonsumsi daging babi usahakan sisa makanan yang bercampur daging babi yang diberikan pada ternak babi.

 

Selama proses diskusi, peserta begitu aktif bertanya dan menyampaikan pengalamannya karena topik ini benar-benar baru menjadi permasalahan di Sumba dan sangat berkaitan dengan kegiatan masyarakat sehari-hari.***




  Bagikan artikel ini

Tanah, Media Tumbuh Tanaman

pada hari Senin, 27 Juli 2020
oleh Frans Fredi Kalikit Bara

Oleh: Frans Fredi Kalikit Bara

 

 

Tanah adalah media alami yang dibutuhkan petani untuk bercocok tanam. Langkah pertama yang harus dilakukan oleh petani sebelum melakukan proses penanaman adalah melakukan proses pengolahan atau persiapan  lokasi penanaman. Dalam proses ini harus bisa dipastikan derajat keasaman tanah. Tujuan dari hal ini adalah untuk memastikan tingkat kesuburan tanah pada lokasi tertentu. Kondisi PH tanah yang baik berada di kisaran angka 6,5–7,5. Sedangkan PH tanah yang berada di angka enam kurang baik untuk tanaman sebagai media tumbuh. Tanah sebagai media tumbuh diibaratkan seperti tempat tidur bagi tanaman yang mampu memberikan kenyamanan, apabila tempat tidurnya kurang nyaman maka tanaman pun tidak akan mengalami pertumbuhan maksimal.

 

Ada beberapa ciri yang akan ditampilkan oleh tanaman, apabila tanah berada dalam kondisi  PH asam atau PH netral. Ciri–ciri tanaman yang tumbuh pada tanah yang asam yaitu; kondisi tanaman akan kerdil karena pertumbuhan akar terhambat sehingga tidak mampu menyerap unsur hara secara maksimal, permukaan daun akan kelihatan kuning pucat karena unsur nitrogen dalam tanah tidak mampu diserap oleh tanaman, tingkat kekebalan terhadap serangan hama dan penyakit akan melemah sehingga tanaman mudah terserang penyakit, tingkat produksi hasil akan menurun, bahkan bisa berakibat  gagal panen. Adapun ciri–ciri tanamam yang berada dalam kondisi tanah yang netral yakni; kondisi tanaman terlihat hijau royo–royo karena penyerapan unsur hara berjalan secara maksimal, kondisi akar dan batang terlihat kokoh, menampilkan bentuk daun yang lebar, tebal dan hijau pekat, dan tingkat produksi hasilnya maksimal, serta memiliki tingkat kekebalan yang tinggi terhadap serangan hama dan penyakit.

Beberapa strategi yang bisa dilakukan oleh petani apabila derajat keasaman tanah sudah berada di bawah angka enam, yakni; 1) Petani melakukan rotasi penanaman dengan jenis tanaman atau famili yang berbeda. Hal ini dilakukan agar kondisi PH tanah kembali netral atau dengan kata lain mengembalikan unsur hara makro dan mikro dalam tanah yang sudah hilang. Contoh rotasi tanaman dengan beda famili yaitu apabila pada fase pertama lokasi ditanami cabe, maka pada musim berikutnya diganti dengan tanaman jenis kacang-kacangan, 2) Pemberian kapur pertanian atau dolomit. Kapur pertanian yang ditaburkan pada tanah asam akan mampu mengembalikan tanah pada kondisi netral, 3) Kondisi tanah yang asam perlu ditambah kandungan unsur hara makro, yaitu fosfat. Unsur fosfat akan memampukan tanaman tetap tumbuh dalam kondisi PH tanah yang tidak normal. Unsur hara fosfat akan bekerja untuk pertumbuhan akar baru dan memaksimalkan pertumbuhan batang pada tanaman, sehingga tanaman mampu menyerap unsur hara dalam tanah, serta mampu bertumbuh dan berproduksi secara maksimal.***


  Bagikan artikel ini

Pertanian: Tanah adalah Ibu, maka Hargailah Ibumu

pada hari Selasa, 14 Juli 2020
oleh Frans Fredi Kalikit Bara


Oleh: Frans Fredi Kalikit Bara
Seiring berjalannya waktu dan percepatan pembangunan di Indonesia, kaum muda semakin dituntut menjadi pribadi yang mampu beradaptasi dengan perubahan waktu. Untuk menjawab tantangan zaman, ruang belajar kaum muda semestinya tidak hanya berada dalam ruang belajar yang bersifat formal tetapi juga menciptakan ruang belajar baru yang bersifat langsung menyentuh persoalan–persoalan sosial yang ada di sekitar. Pada tahun 2018 salah satu media cetak di Jerman yakni majalah Focus menobatkan Pulau Sumba sebagai pulau terindah di dunia bahkan dikatakan bahwa Sumba adalah kepingan surga yang tersembunyi. Potensi sumber daya alam Sumba bagaikan harta karun yang tersembunyi dan belum diolah secara intensif untuk kemajuan ekonomi masyarakat di pulau ini.



Sebagai bentuk gerakan sadar terhadap potensi riil yang ada di Sumba, pada tanggal 13 Juli 2020 tiga belas orang muda berkumpul dan menyatukan visi untuk ikut ambil bagian membangun pertanian di Sumba. Kelompok ini adalah Komunitas Petani Hortikultura STUBE HEMAT. Kami benar-benar sadar bahwa Sumba adalahh salah satu pulau yang kaya akan sumber daya alam dan menunggu tangan kaum muda Sumba untuk mengembangkannya.



Secara umum orang Sumba menyebut tanah sebagai Ibu. Ini adalah filosofi yang sangat mengikat orang Sumba untuk memposisikan tanah sebagai warisan leluhur yang berharga, sebagai sumber kehidupan. Menjual tanah sama halnya menjual Ibu dan perilaku ini semestinya tidak terjadi di Sumba namun pada kenyataannya harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Sebagai komunitas yang sedang bertumbuh, kami berkomitmen untuk mengembalikan filosofi tanah sebagai Ibu yang menghidupkan. ***



  Bagikan artikel ini

Pemberdayaan Perempuan: Gerakan Budaya dan Potensi Perempuan Sumba

pada hari Senin, 13 Juli 2020
oleh Elisabeth Uru Ndaya
 
Oleh Elisabeth Uru Ndaya

Hadirnya program Multiplikasi Stube-HEMAT di Sumba menjawab dan membantu para anak muda Sumba untuk terus berkembang dan menjadi anak muda yang berkualitas. Khususnya para perempuan muda Sumba saat ini, dengan adanya berbagai permasalahan dan ketidakadilan yang dialami membantu membuka wawasan pemikiran mereka untuk terus berjuang mempertahankan keberadaan mereka sebagai seorang perempuan yang layak diperlakukan adil seperti yang lain. Selain itu, program Multiplikasi Stube-HEMAT di Sumba membantu mereka untuk memanfaatkan potensi lokal yang kini semakin mendunia seperti pemanfaatan dan pengelolaan tenun ikat Sumba.
 
 
Sabtu, 11 Juli 2020 menjadi awal pertemuan kami bersama kaum perempuan di desa Tanatuku, Kec. Nggaha Ori Angu, Kab. Sumba Timur, NTT. Pertemuan yang dihadiri 18 peserta perempuan menggugah semangat Elisabeth Uru Ndaya sebagai Multiplikator Stube-HEMAT di Sumba untuk sosialisasi dan menyampaikan beberapa materi berkaitan dengan program Multiplikasi Stube-HEMAT di Sumba. Para peserta sangat antusias mendengarkan setiap materi yang di sampaikan. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan muda tamatan SMA dan tidak lanjut ke tingkat universitas. Ada juga beberapa mahasiswa yang sedang dan sudah menyelesaikan studinya di beberapa universitas yang ada.
 
 
Pertemuan kami awali sekitar pukul 19.00 WITA, dibuka dengan doa oleh seorang Guru Injil muda Yuni Njurumbaha. Setelah itu masuk pada pengenalan lembaga Stube-HEMAT, pengenalan program Multiplikasi Stube di Sumba dan penjelasan tentang maksud dan tujuan dari program pemberdayaan perempuan melalui program tenun ikat Sumba. Diskusi selanjutnya meminta para peserta menuliskan kesan dan pesan mereka terhadap lembaga Stube-HEMAT dan program yang akan dilaksanakan. Hasil pertemuan tersebut dapat dilihat dari metaplan yang mereka tulis, mereka sangat bangga Stube-HEMAT hadir untuk mereka dan sangat antusias untuk terus bergabung dalam program Multiplikasi melalui program pemberdayaan perempuan.
 
 
Di akhir pertemuan mereka berkomitmen untuk terus ikut diskusi-diskusi yang akan datang. Dan pada tanggal 22 Juli 2020 mendatang, kami bersepakat untuk bertemu kembali dalam ruang diskusi dengan membahas sejarah dan asal usul daripada kain tenun di Sumba. Semoga hadirnya program Multiplikasi Stube-HEMAT di Sumba dapat bermanfaat, program berjalan lancar dan kaum perempuan di Sumba menjadi produktif.

  Bagikan artikel ini

        Stube-HEMAT: ‘Sustainable Project’ untuk kaum muda Sumba Intelektual – Kritis – Kreatif 

pada hari Senin, 16 Maret 2020
oleh adminstube
 
 
Partisipasi saya dalam beberapa kegiatan Stube-HEMAT Sumba berawal ketika kuliah di Sumba, dengan tema yang berkaitan erat dengan hobi, bakat dan studi saya, seperti membaca, menulis, membuat kerajinan tangan dan teater. Selanjutnya saya memilih pelatihan jurnalistik, kreasi kerajinan tangan dan kelompok membaca, untuk meningkatkan keterampilan saya sehingga bisa berkelanjutan. Saya, Yustiwati Angu Bima, dari Sumba Timur, saat itu saya masih kuliah di STT GKS Lewa dan sekarang melanjutkan studi Pascasarjana di Fakultas teologi UKDW Yogyakarta.
 
Bagi saya, Stube-HEMAT Yogyakarta telah menanamkan motivasi yang kuat bagi Stube-HEMAT Sumba, meskipun saya sendiri tidak mengetahui mendalam sistem apa yang digunakan Stube untuk mengembangkan sayapnya. Berdasarkan pengalaman saya selama ini, Stube-HEMAT seperti menjalankan Sustainable Project, dalam istilah saya. Ini cocok untuk memayungi kegiatan-kegiatan yang diinisiasi oleh Stube untuk kaum muda dengan kelebihan dan keterbatasan mereka. Kegiatan Stube-HEMAT Sumba dengan pelatihan, transfer ilmu dan pengalaman selama tiga hari memang tidak langsung nampak hasilnya. Namun, Stube-HEMAT mendorong para aktivisnya untuk ‘do something’. Setelah kegiatan berakhir mereka menindaklanjuti dengan merancang proyeknya sesuai pengetahuan yang mereka miliki. Inilah Sustainable Project, kegiatan yang berkelanjutan dari satu proyek ke proyek berikutnya, dari satu narasumber menjadi beberapa narasumber, dari satu bahan menjadi beberapa bahan lainnya.
 
 
 
Saya mendapatkan manfaat Sustainable Project ini ketika Betriks Lay, aktivis Stube-HEMAT Sumba yang mendapat kesempatan belajar di Stube-HEMAT Yogyakarta pda tahun 2013. Sekembalinya di Sumba, Betriks ‘do something’ dengan mentransferkan pengalaman kepada teman-teman di kampus, termasuk saya. Tidak banyak orang yang bertahan lama untuk ‘menyerap’ ilmunya, tapi saya sangat ingin belajar kerajinan tangan darinya, dan perlahan saya berhasil. Saya dan Betriks sepakat untuk menekuni kerajinan tangan dan menghasilkan produk menggunakan bahan yang ada, dari gantungan kunci dan boneka kain flanel berkembang ke asesoris kalung, gelang, anting, dan tas, memanfaatkan kain Sumba, daun lontar dan mendaur ulang barang bekas. Awalnya kami gunakan sendiri asesoris tersebut, dan kemudian Stube-HEMAT Sumba memfasilitasi dengan menyewa stand untuk memasarkannya dalam sebuah bazar di Universitas Kristen Wira Wacana di Waingapu pada tahun 2017. Selanjutnya, kami bekerjasama dengan pengrajin sepatu dan tas daun lontar untuk membuat sepatu dan tas sesuai desain kami menggunakan bahan kain Sumba, sehingga produk kami memiliki keunikan dan aksen tersendiri.
 

 

 

Bekal analisa sosial, ekonomi dan sosial-budaya, publik speaking serta jurnalistik yang saya pelajari di Stube terwujud dalam bagian karya teater, khususnya saat menciptakan narasi, naskah adegan dan puisi bersama Fiani, salah satu sahabat saya, sebab kami berdua suka menulis dan terasah melalui pelatihan jurnalistik. Teman-teman yang telah mendapat pembekalan sosial-kebudayaan tidak akan malu-malu untuk menari, menggunakan pakaian tradisional bahkan berpuisi dalam sastra Sumba, sekaligus memodifikasi tarian menjadi bagian naskah teater. Aktivitas ini berlangsung dalam kelompok Teater Ungu di kampus. Seiring keberadaan saya di Yogyakarta untuk kuliah, saya hanya memiliki sedikit waktu luang untuk mengerjakan asesoris, bukan untuk dijual tetapi untuk kebutuhan sendiri seperti modifikasi baju-baju saya dengan menambah manik2, mengganti kancing dan bentuk krah baju dan kreasi lainnya.

 

 

Tulisan pengalaman ini merupakan wujud terima kasih kepada Stube-HEMAT sekaligus menunjukkan betapa kuat semangat Sustainable Project Stube-HEMAT dari satu orang yang mendapatkan pengalaman, merambah ke beberapa orang dan terus beregenerasi tidak saja di kampus tapi juga gereja dan masyarakat. Ini menjadi suatu rangkaian jejaring berkelanjutan dan harapannya mampu menjangkau masyarakat Sumba secara luas. Sustainable Project Stube-HEMAT ini relevan untuk meningkatkan intelektual, daya kritis dan kreativitas anak muda.
 

 

Satu pesan untuk aktivis Stube-HEMAT di mana pun berada, mulailah mewujudkan apa yang didapat dari Stube-HEMAT sebagai bagian sustainable project, mulai dari menulis, menyanyi, memotret, menjahit, seni panggung, daur ulang, bertani, merintis komunitas, bahasa Inggris dan lainnya, lakukan itu dengan tekun dan menjadi berkat untuk lebih banyak orang. Hidup Efisien Mandiri Analitis Tekun. (Yustiwati Angu Bima).

  Bagikan artikel ini

Semangat Bertani Ana Tana Junior              

pada hari Jumat, 31 Januari 2020
oleh adminstube
Jika anak muda ditanya tentang cita-cita, berapa orang yang bercita-cita menjadi petani? Tentu menjadi petani bukan cita-cita yang diminati banyak kaum muda, padahal bangsa Indonesia selain perairan, memiliki kawasan pertanian yang subur untuk tanaman pangan dan hortikultura. Beberapa alasan berkaitan keengganan menjadi petani, misalnya orang tua tidak bangga jika anaknya menjadi petani, kehidupan cenderung miskin, tidak prospektif mendatangkan keuntungan, dan bahkan dianggap tidak prestis karena bekerja dengan kotoran hewan, tanah dan lumpur.

 

 

 

 

 

 

Pemahaman bahwa pertanian tidak prospektif ini sempat saya miliki, karena sudah menjadi kegiatan sehari-hari kami, penduduk di Sumba, maka bertani bukan suatu yang istimewa dan prospektif di tengah  era modern yang serba instan seperti saat ini. Namun pemahaman ini berubah setelah saya mengikuti pelatihan Stube-HEMAT Sumba dengan topik-topik yang berkaitan dengan kehidupan anak muda Sumba. Apalagi di tahun 2019 tepatnya bulan September saya mendapat kesempatan menjadi peserta program Eksposur Stube-HEMAT Yogyakarta. Di sana saya belajar berbagai hal yang menambah pengetahuan dan pengalaman, seperti jurnalistik, fotografi, kruistik dan pertanian. Pembelajaran tentang pemetaan potensi pertanian membuka mata saya tentang pemanfaatan lahan tidur dan tingginya permintaan pasar akan sayuran.

 

 

 

 

Setibanya di Sumba, sebagai ketua komunitas, saya bertanggung jawab membagikan hal-hal yang inspiratif dan pengalaman belajar di Stube HEMAT bagi anggota komunitas Ana Tana. Informasi data dari BPS Kabupaten Sumba Timur tahun 2019 menggambarkan bahwa luasan lahan sawah ditinjau dari frekuensi penanaman tanaman pangan di kecamatan Pandawai, terdapat 1.208 ha yang terdiri dari 941 ha hanya bisa satu kali tanam padi, 112 ha bisa dua kali tanam padi dan 75 ha tanaman selain padi. Selain itu ada 80 ha lahan sawah yang dibiarkan menganggur. Kondisi sawah yang menganggur ini menjadi peluang bagi anak muda untuk budidaya sayuran guna mencukupi kebutuhan rumah tangga dan suplai permintaan pasar sekitar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Akhirnya, komunitas membentuk kelompok kecil pertanian yang terdiri dari anak-anak dan remaja usia 7-14 tahun dengan nama Pertanian Ana Tana Junior yang beranggotakan 10 orang. Awal Januari 2020 kami mulai menggarap lahan di belakang rumah di Kawangu, Sumba Timur sebagai lahan pertanian dan menanam berbagai sayuran yang benihnya saya dapatkan dari Stube-HEMAT Yogyakarta, seperti sawi, kangkung, lombok, kacang panjang, bayam, tomat, terong, jagung dan singkong. Kendala yang dihadapi saat memulai adalah hama tanaman, cuaca yang kurang bersahabat dan keraguan orang tua terhadap kami. Tapi semua ini tidak mengurangi semangat anggota, bahkan termotivasi belajar membuat pembasmi hama berbahan alami bersama Bapak Martinus Ndapangadung, pembina pertanian yang mendampingi kami bertani secara organik memanfaatkan pupuk kandang dan pupuk daun.

 

 

 

 


Saat ini mereka sudah memanen hasil sayurnya, selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pribadi, kami juga menjualnya ke pasar dan beberapa warung sayur terdekat. Hasil dari penjualan sayur dibagi rata untuk mendukung kebutuhan sekolah anggota komunitas. Dalam menjalani profesi ini kami memiliki prinsip ’sukses kami ditentukan oleh diri sendiri, kalau bukan sekarang, kapan lagi? dan kalau bukan kita, siapa lagi?’ Untuk itu anak muda, janganlah menunggu sampai tua baru menjadi petani. Kalau bisa mulai dari sekarang, kenapa tidak? Jadilah anak muda petani yang berhasil dengan memanfaatkan perkembangan teknologi untuk menambah pengetahuan tentang pengolahan tanah, pemeliharaan tanaman dan pemasaran hasil panen demi peningkatan kehidupan masyarakat Sumba. (Kristiani Pedi)


  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2024 (1)
 2023 (10)
 2022 (27)
 2021 (31)
 2020 (23)
 2019 (22)
 2018 (27)
 2017 (26)
 2016 (7)
 2015 (11)
 2014 (16)
 2013 (4)
 2012 (5)

Total: 210

Kategori

Semua