Membuka Asa dengan BaHiTus

pada hari Senin, 30 November 2020
oleh -
 

Pendampingan Baca Hitung Tulis untuk Anak di Waidim dan Kapatlap, Raja Ampat.

 

Ketika berbicara tentang Raja Ampat biasanya tergambar sebagai kawasan kepulauan. Ini benar, karena Raja Ampat, salah satu kabupaten di provinsi Papua Barat yang memiliki 600an pulau besar dan kecil di luasan 59 ribu km2 berupa lautan dan hanya 7,5 ribu km2 berupa daratan, namun demikian hanya beberapa pulau saja yang dihuni penduduk dan sebagian besar pulau belum ada namanya. Berdasar Sensus Penduduk 2020 jumlah penduduk Papua Barat adalah 1.134.068 jiwa, yang terdiri 597.128 laki-laki dan 536.940 perempuan.

Keberadaan penduduk yang tersebar di pulau-pulau inilah yang menjadi tantangan besar baik bagi pemerintah, gereja maupun lembaga lainnya dalam melayani dan mendampingi masyarakat baik di bidang administrasi pemerintahan, pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan bidang-bidang lainnya. Sarana transportasi dan komunikasi belum menjangkau setiap pulau dengan lancar, terlebih jika situasi laut sedang tidak bagus maka pulau-pulau menjadi terisolasi. Kendala ini juga terjadi di bidang pendidikan dimana PAUD dan Sekolah Dasar hanya ada di kampung-kampung tertentu sehingga anak-anak dari pulau kecil harus menumpang di tempat terdekat sekolah jika ingin bersekolah, karena tidak setiap hari bisa menyeberang dengan perahu karena keterbatasan biaya. Keadaan makin berat ketika pandemi, sekolah diliburkan dan belajar mengajar tidak bisa dilakukan secara daring karena sinyal internet sangat terbatas dan anak-anak tidak memiliki gadget.

 

Ini yang menjadi kegelisahan Multiplikator Stube HEMAT di Raja Ampat dan beberapa mahasiswa aktivisnya ketika melihat anak-anak tidak bersekolah dan sebagian belum bisa membaca, berhitung dan menulis. Mereka hanya bermain, berlarian dan sebagian membantu orang tuanya di kebun dan di laut mencari ikan. Tidak banyak yang bisa dilakukan, akhirnya tim Multiplikasi Stube HEMAT di Raja Ampat merancang pendampingan Membaca, Berhitung dan Menulis (BaHiTus) untuk anak-anak di beberapa kampung di pulau Batanta dan pulau Salawati agar anak-anak bisa tetap belajar meskipun pandemi.

Dalam pelaksanaannya ternyata baru bisa mengadakan BaHiTus di dua lokasi, yaitu kampung Waidim, Samate dan Kapatlap di distrik Salawati Utara pada 26 dan 27 November 2020. Pdt Grace Nanuru dan Mince Inseruy, mahasiswa keguruan di kampus Unimuda, kota Sorong bersamaan dengan kegiatan pelayanan Pdt. Grace di gereja di Waidim. Mereka mendampingi dua kelompok belajar yang dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelas kecil terdiri dari tujuh anak dan kelompok tanggung terdiri dari lima belas anak. Kelas anak kecil belajar mengenal huruf, mengucapkan dan merangkai suku kata, sedangkan anak usia tanggung belajar merangkai kata, membaca dan menulis. Memang tidak mudah untuk belajar hal baru, salah membedakan huruf, salah tulis maupun kehilangan kata ketika membaca karena kurang fokus dan belum terbiasa, tetapi mereka bersemangat dan senang mengikutinya.

Respon positif diungkap oleh kepala kampung Waidim, Abner Parajal, “Ini kegiatan bagus sekali karena anak-anak bisa belajar, tidak hanya main terus karena pandemi sekolah diliburkan. Saya berharap kegiatan ini dapat berlangsung terus untuk anak-anak di Waidim.”

Dukungan dan perhatian ini menjadi penyemangat bagi tim Multiplikasi Stube HEMAT di Raja Ampat untuk terus bergerak di kampung-kampung lainnya dan memberikan manfaat untuk masyarakat setempat melalui kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan oleh mahasiswa Raja Ampat untuk kampung halamannya. (TRU).


  Bagikan artikel ini

Generasi Harapan

pada hari Selasa, 24 November 2020
oleh Pdt. (Em) Bambang Sumbodo (Board-in-charge Stube HEMAT)

 

Selamat Pagi dari Ufuk Timur Indonesia #4, Raja Ampat, Papua Barat

 

 

 

Di Pulau Waigeo, yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Raja Ampat, kami diberi kesempatan untuk bertemu dengan mahasiswa UNIPA (Universitas Papua), jurusan Eko-Wisata. Dua orang dosen menyambut kami dengan hangat, mereka adalah Bapak Marjan yang berasal dari Toraja, Sulawesi Selatan, dan Ibu Novelin dari Medan, Sumatera Utara. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang ikut berjuang memajukan pendidikan di tempat ini.

 

Kami sangat bahagia karena kami bisa memberi motivasi belajar dan motivasi hidup kepada mereka. Kami menekankan bahwa mahasiswa sebagai generasi penerus, harus mempunyai idealisme tentang masa depan dan menjadi jalan berkat bagi dirinya, bagi bangsa dan negara. Hampir 80% mahasiswa datang dari daerah di luar pulau Waigeo. Mahasiswa-mahasiswa ini terlihat masih murni dan polos, sehingga harapan kami kepada mereka agar bisa mengatur hidup mereka secara efisien, punya motivasi untuk mandiri, bisa menganalisa situasi dan peluang, serta tekun berusaha. Mereka menyambut kami dengan muka gembira dan memiliki harapan meneruskan belajar ke pulau Jawa. Kami sangat optimis, ke depan mereka bisa mengelola kekayaan Raja Ampat, Papua yang begitu kaya raya dengan alamnya untuk negara dan bangsa Indonesia.

 

Pertemuan kami akhiri dengan menyanyi Padamu Negeri, dan mereka lebih hafal lagu ini dibandingkan lagu Tanah Papua. Kiranya Tuhan memberkati para mahasiswa ini untuk bangsa dan negara Indonesia. ***

 

 


  Bagikan artikel ini

Masyarakat yang Saling Mengasihi

pada hari Senin, 23 November 2020
oleh Pdt. (Em) Bambang Sumbodo (Board-in-charge Stube HEMAT)

Selamat Pagi dari Ufuk Timur Indonesia #3, Raja Ampat, Papua Barat

 

 

Kunci dan ciri dan tanda-tanda masyarakat yang tenteram dan damai bagi saya adalah gotong royong. Gotong royong karena di dalamnya ada hidup kebersamaan, saling membantu memperhatikan kebutuhan sesama "sangkul sinangkul ing bot repot". Selama kami di Raja Ampat mengunjungi 4 pulau, kami diantar oleh Pak Kahar. Pak Kahar sudah menggeluti pekerjaan melaut menjadi juru mudi speed boat sejak dia masih muda. Dia berasal dari Pulau Misool, Raja Ampat bagian selatan yang dikenal dengan arus ombaknya yang kuat, tak heran apabila Pak Kahar menjadi pelaut yang tangguh. Berbadan kekar dan sehat, Pak Kahar mampu bertahan dari terpaan angin, maupun hujan sepanjang perjalanan mengemudikan speed boat.

 

 

Pak Kahar seorang Muslim yang menikah dengan orang Kristen dari Pulau Salawati yang ditempati hampir 99% orang Kristen. Pak Kahar tetap menganut Islam sampai istrinya meninggal karena sakit kanker lidah. Beliau hidup nyaman dengan menjalankan imannya dan orang Kristen juga nyaman dalam beribadah. Anak-anaknya diberi kebebasan untuk menentukan pilihan agamanya. Dari nama anaknya Yustus jelas nama Kristen yang satu Mustamin nama Muslim tetapi kedua anaknya bergereja. Memang agama adalah pilihan hidup, tidak boleh dipaksa untuk memilih karena itu adalah hak azasi yang paling azasi, adalah menentukan pilihan agama dan menjalankan ibadah.

 

Dari Raja Ampat kita belajar Hak Azasi Manusia yang paling azasi di situlah hukum kasih yang disabdakan Tuhan Yesus diterapkan Matius 22:37-40, ‘Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukun Taurat dan kitab para nabi”. Imanuel.***


  Bagikan artikel ini

Diciptakan untuk memuliakan-Nya

pada hari Minggu, 22 November 2020
oleh Pdt. (Em) Bambang Sumbodo (Board-in-charge Stube HEMAT)

 

Selamat Pagi dari Ufuk Timur Indonesia #2, Raja Ampat, Papua Barat

 

 

Hari pertama kaki kami menginjakkan Raja Ampat adalah di Kampung Kapatlap, Pulau Salawati bagian utara. Di kampung ini Pdt. Grace Nanuru melayani jemaat Gereja Kristen Injili Solideo. Anak-anak sekolah minggu di gereja ini sangat senang bertemu dengan kami. Kami ingin mereka semua menjadi anak-anak Tuhan yang menjadi berkat untuk mensejahterakan pulaunya, negara dan gereja. Mereka hidup serba kekurangan fasilitas sekolah dan ekonomi karena orang tuanya nelayan tradisional. Tetapi mereka sangat gembira dengan suasana keluarga, masyarakat, gereja, alam pantai dan laut. Kami sangat senang mereka menyanyi tentang Tuhan Yesus yang akan datang. Bagi saya pemahaman teologis yang dalam karena di sana tidak ada perbedaan sosial. Dari kampung Kapatlap, kami menyeberang laut menuju Yenanas, pulau Batanta.

 

 

Kami merasakan keramah-tamahan masyarakat Kami merasakan keramahtamahan masyarakat yang luar biasa, juga budaya gotong royongnya, tidak ada rasa curiga, bahkan kami selalu disambut dengan makan bersama. Saat kami pulang pun mereka mengantar sampai dermaga pantai meski panas atau hujan. Lambaian tangan perpisahan menjadi romantisme ikatan persaudaraan erat yang kami rasakan, meskipun kami baru kenal. Hal semacam ini sulit kita dapat, mungkin hampir punah di masyarakat perkotaan atau di daerah lain.

 

Kami diingatkan dengan Firman Tuhan dalam Roma 15:9-13,’....dan untuk memungkinkan bangsa-bangsa, supaya mereka memuliakan Allah karena rahmat-Nya, ....’. Jadi apabila tujuannya untuk memuliaan Tuhan Allah, tentu terjadi ada rasa persaudaraan, solidaritas, sehati, dan sejiwa. Apa yang dialami masyarakat Papua juga kita alami, apa yang dirasakan masyarakat Papua juga kita rasakan, itulah yang kami temui dari pulau ke pulau.***


  Bagikan artikel ini

Grace Nanuru, Meski Kecil Bernyali Besar

pada hari Sabtu, 21 November 2020
oleh Pdt. (Em) Bambang Sumbodo (Board-in-charge Stube HEMAT)

Selamat Pagi dari Ufuk Timur Indonesia #1 Raja Ampat, Papua Barat

 

 

 

 

Perjalanan dari Sorong ke Pulau Salawati, Pulau Batanta, Pulau Waigeo dan Pulau Arborek, Raja Ampat dilakukan dengan speed boat. Perjalanan laut memiliki dinamikanya sendiri,  ada kalanya tenang enak segar, ada kalanya mendung hujan dan gelombang yang menakutkan. Itu kami alami selama perjalanan, sehingga kami bisa merasakan tantangan pelayanan ibu Pdt.Grace Nanuru bersama teman-teman pendeta di Raja Ampat. Ada kalanya ibu pendeta membawa sendiri speed boat tanpa atap, bermesin kecil dengan kapasitas 4 orang dalam pelayanannya. Saat hujan tiba, tentu kehujanan kalau panas mesti kepanasan. Perjalanan antar pulau ditempuh minimal 90 menit (satu setengah jam).

 

Biaya hidup boleh dikatakan tidak besar (dalam kisaran 2 juta rupiah) dengan tanggungan 2 anak, kelas 2 SMP dan kelas 3 SD. Kami tetap melihat semangat pelayanan yang luar biasa tidak mengenal lelah, meski tubuhnya kecil tetapi nyalinya besar, karena hampir tiap hari melakukan pelayanan yang berisiko, bahkan sering kali anak perempuannya yang kecil diajak mengarungi laut. Saat bersama pendeta Grace di perahu, tak terasa saya meneteskan air mata. Kalau saya bandingkan dengan pelayanan yang saya lakukan, saya belum ada apa-apanya. Tuhan Yesus memanggil dan mengutus Pdt. Grace untuk mewartakan Injil antar pulau yang hanya didasarkan Kasih dan Penyertaan Tuhan Yesus.

 

Beliau dan jemaat melihat para turis yang menikmati liburan dengan mengeluarkan puluhan juta naik kapal pesiar menikmati daerahnya, ibu pendeta dan jemaat tetap tersenyum karena bisa membuat turis gembira walaupun hidupnya sendiri penuh perjuangan. "Bersukacitalah di dalam Tuhan sekali lagi Ku-katakan bersukacita di dalam Tuhan Yesus" Filipi 4:4. ***


  Bagikan artikel ini

Diskusi Mahasiswa: Fenomena Kotak Kosong

pada hari Jumat, 6 November 2020
oleh adminstube

Multiplikasi Stube HEMAT di Raja Ampat

 

 

 

Pemilihan kepala Daerah (Pilkada) kabupaten Raja Ampat tahun 2020 ini menjadi pemilihan yang berkesan karena ada fenomena menarik di dalamnya, yaitu hanya ada satu pasangan calon dan calon tersebut bertanding dengan kotak kosong. Kejadian ini menjadi pelajaran menarik berkaitan politik dan membuat pertanyaan bermunculan seperti mengapa hanya bisa ada satu calon, tidak adakah kandidat lain yang punya kapasitas, apakah dunia politik tidak menarik lagi, apakah orang-orang enggan terlibat politik dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

 

Pilkada sebenarnya menjadi bagian dari demokrasi yang memberi kesempatan rakyat ikut ambil bagian dalam menentukan pemerintahan yang diwujudkan dalam memilih pemimpin secara langsung maupun wakil-wakilnya. Berkait pertanyaan di atas tadi maka edukasi politik penting dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat berpatisipasi dalam demokrasi, dalam kasus ini adalah memilih pemimpin daerahnya.

 

Edukasi politik dalam rangka Pilkada kabupaten Raja Ampat menjadi penting karena akan membekali masyarakat dengan pengetahuan dan pemahaman yang benar dalam menentukan sikap politik, dalam hal ini dalah memberikan suaranya. Multiplikasi Stube HEMAT di Raja Ampat yang mendampingi anak muda dan mahasiswa memfasilitasi mahasiswa aktivisnya di Raja Ampat dan Sorong untuk belajar tentang pilkada dan fenomena kotak kosong. Ini merupakan bagian edukasi politik untuk anak muda dan mahasiswa sehingga mereka nanti tidak asal memilih saja tetapi juga memiliki alasan kuat dalam menentukan pilihannya.

 

Diskusi diadakan pada tanggal 4 November 2020 di ruang pertemuan resto Wong Solo dan dihadiri belasan mahasiswa aktivis program Multiplikasi Stube HEMAT di Raja Ampat. Pdt. Grace Nanuru, S.Th., yang juga Multiplikator Stube memandu diskusi mahasiswa yang berasal dari kampus Unamin, Unimuda dan Stikes Sorong. Dalam diskusi ini terungkap bahwa dinamika politik yang ada akhirnya membuat situasi persiapan pilkada kabupaten Raja Ampat menghangat. Petahana yang mendapat dukungan dari dua belas partai menyebabkan bakal calon lain kesulitan untuk mendapat dukungan untuk maju dalam pilkada. Ini menimbulkan gejolak baik di tingkat elit maupun masyarakat karena menghambat proses demokratisasi dan rakyat tidak memiliki pilihan alternatif.

 

Bahkan dengan perkembangan berikutnya ada gerakan yang akhirnya membentuk ‘tim sukses’ untuk mempromosikan ‘kotak kosong’ di pilkada Raja ampat. Munculnya dua kelompok antara pro calon dan pro kotak kosong membuka peluang terjadinya perselisihan antar kelompok pendukung dan ini nampak dengan memanasnya perang komentar di grup-grup media sosial.

Di akhir diskusi, sebagai simpulan bersama, bahwa para mahasiswa tidak perlu bersikap secara frontal tetapi bisa memberikan pengertian yang benar bahwa kondisi ini merupakan bagian dari dinamika politik, jangan sampai menimbulkan perselisihan yang merugikan masyarakat. Mahasiswa diharapkan berpartisipasi pada tanggal 9 Desember 2020 untuk memberikan suara sebagai wujud nyata berdemokrasi di kabupaten Raja Ampat. (TRU)


  Bagikan artikel ini