Membuka Pemikiran, Menerima Perbedaan

pada hari Kamis, 30 Juli 2020
oleh Yedija Manullang
Semua agama mengajarkan kebaikan dan menghargai sesama, tidak hanya manusia melainkan seluruh ciptaan di dunia ini. Walaupun diakui ada yang mengatasnamakan agama membuat perpecahan di masyarakat. Selain itu, Indonesia sebenarnya sudah final dengan keberagaman dan kemajemukan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya suku, bahasa dan kebudayaan di Indonesia yang satu, dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
 
Berangkat dari hal tersebut, Yedija Manullang, aktivis program Multiplikasi Stube HEMAT di Bengkulu mengajak pemuda gereja dan lingkungannya untuk mengenal Stube HEMAT serta membicarakan perbedaan iman di tengah-tengah masyarakat.
 
Kegiatan diskusi digelar di kediaman Yedija Manullang, Jl. Sisingamangaraja, Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (Rabu, 29/07/2020). Humbang Hasundutan (Humbahas) merupakan kabupaten yang jauh dari gesekan, konflik dan perpecahan antar umat beragama. Kabupaten ini baru saja merayakan hari jadinya yang ke-17 tahun. Secara khusus, kota Doloksanggul tempat Yedija tinggal, menjadi ibu kota Humbahas, didiami mayoritas masyarakat beragama Kristen, namun di pusat kotanya berdiri tegak sebuah masjid, bahkan banyak rumah makan dan usaha-usaha milik orang muslim.
Sebelum kegiatan dimulai, Yedija menghimbau kepada seluruh peserta agar menyempatkan waktu sekitar 10 menit untuk membaca buku, dalam rangka mendorong literasi dan semangat membaca bagi pemuda. Selanjutnya, Yedija memperkenalkan Stube-HEMAT kepada para peserta termasuk pengalaman Yedija yang sudah satu tahun berkecimpung di lembaga yang fokus pada pendampingan mahasiswa dan pemuda ini. Peserta antusias mendengarkan karena nama Stube-HEMAT unik dan belum pernah mereka dengar.
Dalam proses diskusi tersebut, Yedija membagikan kertas kepada peserta untuk bisa menuliskan kesan dan apa yang dirasakan ketika bertemu atau berinteraksi dengan orang yang tidak satu iman dengan mereka. Jawaban para peserta mengejutkan karena ada yang sampai merasa jijik, tidak enak, takut dan tidak percaya diri. Hal yang sama juga dirasakan Yedija saat menjadi salah satu peserta di acara Pelatihan Multikultur dan Dialog Antar-agama di Stube-HEMAT Yogyakarta, dengan topik ‘Menghubungkan Jiwa, Merayakan Perbedaan’. Awalnya Yedija merasa canggung dengan acara tersebut karena terbiasa mengikuti kegiatan dalam zona nyaman, yaitu bersama orang yang satu suku dan satu agama, terlebih acara tersebut bertaraf internasional.
Analogi pelangi dan taman bunga yang indah dengan beragam warna dan bunga yang menghiasinya menjadi contoh sederhana memasuki topik keberagaman ini. “Pelangi akan sangat tidak menarik dan monoton ketika hanya satu warna saja yang melekat, demikian juga dengan taman bungan yang hanya diisi oleh satu jenis bunga saja, orang akan cepat bosan. Namun akan sangat indah pelangi jika warna yang ada padanya beragama, serta taman bungan akan enak dipandang ketika banyak bunga menghiasinya. Begitu juga akan indah jika masyarakat dan lingkungan kita diisi oleh orang yang berbeda, baik suku, bahasa ataupun agama”, ujar Yedija.
 
Namun ironi sering terjadi ketika perpecahan dan konflik ada karena perbedaan yang sudah melekat sejak lama. Hal ini akan menguras energi dan mencederai ke-Bhinneka-an yang dimiliki oleh bangsa ini, serta akan mengganggu persiapan-persiapan Indonesia menghadapi Bonus Demografi dan Indonesia Emas 2045. Jika masyarakat secara khusus pemuda masih berkutat pada perdebatan perbedaan yang menyebabkan konflik dan perpecahan, maka bonus demografi akan jadi bencana. “Pemuda Indonesia nantinya akan menjadi pemimpin, pengelolah sistem, pengatur dan pemangku kebijakan di Indonesia. Agar siap menghadapi tantangan dan persoalan maka pemuda harus berfikir kritis, kreatif, komunikatif, serta mampu bekerjasama”, jelas Yedija.
 
Kerjasama membutuhkan persatuan, persatuan ini diawali dengan menerima segala perbedaan dan kemajemukan yang ada. Oleh karena itu perbedaan yang ada harus diubah menjadi harmoni kehidupan karena perbedaan itu akan terus ada dan melekat selama bangsa ini masih ada. Mari kita berhenti memperdebatkan perbedaan melainkan mengkampanyekan persatuan dengan saling menghargai, menerima, dan bersiap menyongsong perubahan.
Rijon Silaban, salah seorang peserta menanggapi topik yang dibawakan dengan menceritakan bahwa di lingkungan tempat ia menuntut ilmu, di luar kabupaten Humbahas masih belum sepenuhnya bisa menerima perbedaan. “Lokasi kampus saya berada di tengah-tengah lingkungan Muslim, sayangnya masih banyak orang di lingkungan tersebut enggan berinteraksi bahkan ada yang sampai menjauhi kami mahasiswa Kristen karena makan daging babi”, ujar Rijon, mahasiswa Theologia semester 7. “Padahal perbedaan itu hal yang lumrah bagi masyarakat kita dan justru itulah yang memperindah masyarakat Indonesia seperti analogi taman bunga dan pelangi tersebut, sehingga forum-forum dialog dan semangat keterbukaan menerima perbedaan harus terus dilakukan”, lanjutnya.
 
Yedija selanjutnya bertanya apa yang mereka rasakan nanti ketika bertemu dengan orang yang berbeda iman. Peserta yang awalnya takut, canggung dan tidak percaya diri, selanjutnya menyatakan akan menjadi biasa saja, serta akan menikmati perbedaan itu. Namun ada satu peserta yang masih merasa takut, karena selama ini belum pernah berinteraksi dengan orang yang berbeda iman. “Semenjak saya sekolah dasar, sekolah menengah pertama, saya tidak pernah berinteraksi dengan orang non-Kristen. Semua teman-teman saya adalah orang Kristen,” ujarnya dengan gugup dan wajah yang memerah. Oleh karena itu, Yedija dan peserta diskusi akan mengadakan kunjungan ke Masjid yang berada di tengah-tengah kota Doloksanggul, untuk memberi pengalaman berinteraksi dengan perbedaan. ***

  Bagikan artikel ini

Bincang-Bincang Mahasiswa Indonesia-Jerman

pada hari Senin, 27 Juli 2020
oleh Linda Titiwijayanti
 
Program Multiplikasi STUBE-HEMAT di Bengkulu melalui salah satu program "Redaksi Simple-B" mengadakan siaran langsung via instagram (Minggu, 26/07/2020). Siaran tersebut berlangsung selama 45 menit (14.00-14.45 WIB) dipandu oleh Linda Titiwijayanti, redaktur Simple-B dengan menghadirkan narasumber Lidia Hotmaida Naibaho, SP. Lidia adalah mahasiswa asal Sidikalang Sumatera Utara yang saat ini menempuh program pendidikan pascasarjana di Georg August Goettingen University, Jerman. Ia mengambil program studi Sustainable Internasional-Agriculture. Lidia telah menyelesaikan program sarjananya di Universitas Sriwijaya jurusan pertanian. 
 
 
Di awal siaran, Lidia menuturkan bahwa saat ini perkuliahan di Jerman dilakukan secara daring menghindari penyebaran Covid-19. Ia juga menceritakan perbedaan antara kehidupan mahasiswa di Jerman dan di Indonesia. Ia mengakui jika perkuliahan di Jerman lebih santai, dalam artian interaksi antara dosen dan mahasiswa seperti sahabat, ketika dosen tidak dapat menjawab pertanyaan mahasiswa, mereka akan meminta maaf. Biaya hidup di Jerman jelas lebih tinggi. Bagi mahasiswa non-beasiswa, setidaknya harus memiliki tabungan sekitar 130 juta rupiah per-tahun. Biaya sewa kos perbulannya mencapai 4 juta rupiah, sangat jauh berbeda dengan di Indonesia. Tidak perlu khawatir soal makanan, di sana tersedia beberapa toko Asia yang menyediakan bahan pangan dari benua Asia. 
 
Lidia kemudian menjelaskan bagaimana cara memperoleh beasiswa. Yang sangat penting ialah selalu menjaga semangat karena banyak proses yang harus dilalui, harus terus percaya diri dan optimis berhasil, serta memenuhi syarat yang dibuat oleh penyedia beasiswa seperti skor IELTS minimal 6 (skala 0-9), memiliki pengalaman kerja, aktif berorganisasi dan menjadi relawan. Untuk menambah penilaian, Lidia menyarankan, sebelum mendaftar beasiswa akan lebih baik jika mengikuti shortcourse. Shortcourse adalah salah satu jenis perkuliahan singkat yang biasanya berdurasi selama 1 hingga 8 minggu. Bentuknya bisa berupa pertukaran mahasiswa, pelatihan mengenai studi ilmu tertentu, dan pengenalan budaya serta pendidikan di negara penyelenggara atau universitas di seluruh dunia. Lidia juga berpesan supaya mahasiswa-mahasiswa Indonesia menggunakan ponsel dengan cerdas untuk menggali informasi seputar beasiswa seperti beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan DAAD (German Academic Exchange Service) yang mendukung mobilitas siswa internasional yang ingin melanjutkan studi di Jerman. 
 
 
Di akhir perbincangan, Lidia kembali menegaskan untuk para pengejar beasiswa, jangan pernah takut mencoba, kita tidak akan rugi karena kita akan memperoleh pengalaman dan belajar dari pengalaman itu sendiri. Sebelum melangkah tentu kita harus memiliki perencanaan dan tujuan yang jelas serta menyusun rencana jangka panjang maupun jangka pendek. 
 
Program Live di Instagram oleh program Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu diujicoba pada Juli 2020 dan diharapkan makin banyak peserta yang mau berpartisipasi dalam setiap diskusinya karena akan selalu membahas topik-topik yang menarik.****

  Bagikan artikel ini

Tes Cepat: Sejauh Mana Mengenal Perbedaan

pada hari Senin, 27 Juli 2020
oleh Yohanes Dian Alpasa, S.Si.
Istilah tes cepat (rapid test) menjadi populer ketika masa pandemi di Indonesia tiba. Empat bulan sudah masa ini berlangsung dan sekarang setiap orang sudah melakukan aktifitas dengan mematuhi protokol kesehatan. Tes cepat dan dokumen hasil tesnya menjadi syarat bagi seseorang untuk bepergian ke luar kota. Kehidupan kembali berjalan, khususnya di Bengkulu. 
 
 
Pada 25 Juli 2020, Multiplikator Bengkulu mengadakan pertemuan untuk mempersiapkan program diskusi ‘Multikultur dan Dialog Antar Agama’. Peserta diskusi juga mengikuti tes cepat untuk mengetahui pengalaman masing-masing ketika mengunjungi rumah ibadah agama lain atau berinteraksi dengan pemeluk agama yang berbeda. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Dari enam peserta yang mengisi metaplan, tidak ada satu pun yang pernah pergi ke rumah ibadah Katholik, meski mereka pernah mempunyai teman dari gereja Katholik tetapi belum pernah berbicara ajaran dari gereja itu. 
 
Pertanyaan kedua, “Pernahkah teman-teman pergi ke Pura?” Tetangga desa Margasakti adalah desa Kurotidur dan di situlah Pura Agama Hindu yang terdekat berada. Enam peserta belum pernah masuk ke area pura, belum pernah berbicara tentang agama Hindu, namun sudah mengerti lokasi Pura itu berada yakni di Rama Agung, Argamakmur, Bengkulu Utara. 
 
Pertanyaan ketiga tentang Vihara, tempat ibadah agama Budha. Tidak ada satu pun yang pernah mengunjunginya. Bahkan, tidak ada ketertarikan atau kebutuhan untuk browsing di internet. 
 
 
Pertanyaan keempat, “Apakah teman-teman peserta pernah pergi ke Masjid?” Lima dari enam peserta menjawab sudah pernah, satu belum pernah. Rata-rata menyatakan bahwa kadangkala melihat siaran rohani di televisi ataupun pelajaran agama Islam di sekolah. Jadi, kesimpulan pertama, pengajaran agama Islam sudah tidak asing lagi bagi peserta. 
 
Pertanyaan terakhir adalah, “Sudahkah teman-teman mendengar tentang aliran kepercayaan? Aliran kepercayaan itu seperti Kejawen, Kaharingan, Sunda Wiwitan, atau Marapu. Meskipun mayoritas orang tua peserta adalah orang-orang dari suku Jawa yang mengenal aliran kepercayaan, tetapi sudah tidak pernah lagi mentransfer pengajaran ataupun ritual kejawen yang pernah dilakukan. 
 
 
Hasil tes sederhana ini memberi kesimpulan bahwa Program Multikultur dan Dialog Lintas Iman adalah program yang mendesak untuk dilakukan untuk memberi ruang interaksi antar penganut agama dan keyakinan yang berbeda. Tentu saja manfaatnya akan bagus untuk peserta sebagai langkah memperluas wawasan, memberi ruang komunikasi dan network. 
 
Dalam rangka sosialisasi, Multiplikator membuka kesempatan bagi teman-teman mahasiswa untuk bergabung dalam program diskusi dan pelatihan di pertengahan Agustus ini. Lets Join Us!

  Bagikan artikel ini

Pemuda Bengkulu & Kepemimpinan Kristen

pada hari Senin, 20 Juli 2020
oleh Dahlia Sitohang

Bumi terus berputar, waktu terus bergulir tanpa bisa kembali. Generasi milenial telah menguasai dunia karena mereka tumbuh dengan teknologi, komputer dan dunia internet. Hal ini berbeda dibanding generasi sebelumnya. Ada hal positif dan negatif yang bisa diambil sesuai peran dan keputusan mereka. Seperti apakah ‘Kepemimpinan Kristen’ saat ini?

 

Kepemimpinan ialah cara mempengaruhi orang lain agar mau mencapai tujuan yang diinginkan sang pemimpin dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Banyak anak muda telah mengambil peran mendorong dan meraih kesuksesan secara digital, seperti mengumpulkan donasi bagi yang memerlukan, menyuarakan keadilan dan ketidakberesan yang terjadi, mengumpulkan suara dukungan atas sebuah petisi, dll.

 

Minggu, 19 Juli 2020, saya, Dahlia Sitohang dari program Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu melakukan siaran langsung bersama nara sumber Made N. Supriadi, S. Th, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Alkitab di Bengkulu (STIAB). Program ini menjadi salah satu diskusi online sebagai rangkaian kegiatan Program Multikultur dan Dialog Lintas Iman di Bengkulu. Melalui diskusi ini diharapkan mahasiswa Kristen memiliki karakter dan nilai-nilai kepemimpinan Kristiani sehingga dapat semakin dipercaya dan menjadi lebih baik. Siaran langsung melalui Instagram adalah salah satu cara menjangkau dan berbagi pengalaman di media sosial. Perbincangan ini dimulai pada pukul 20.00–20.45 WIB.

 

Poin utama dalam diskusi tersebut adalah membahas kepemimpinan anak muda Kristen di era globalisasi. Apa tujuan anak muda menjadi pemimpin? Siapa pemimpin yang layak? Lantas, kapan anak muda harus bergerak menjadi pemimpin? Dimana anak muda ini berada?  Mengapa anak muda sebaiknya menjadi pemimpin? Dan bagaimanakah cara anak muda menjadi pemimpin yang baik dan benar? Berikut adalah pemaparan hasil diskusi yang dilakukan degan narasumber.

 

“Pemuda memiliki semangat dan kemauan yang tinggi. Mereka layak menjadi pemimpin  karena anak muda dipanggil untuk memuliakan Tuhan. Ini prinsip utama. Tuhan  memuliakan diri-Nya melalui generasi muda pada saat ini melalui sosok pemimpin. Memimpin adalah panggilan Tuhan di dalam dirinya. Tidak ada seorang pun manusia yang mampu melayakkan dirinya menjadi  seorang pemimpin, meskipun anak muda itu memiliki kapabilitas, skil,  kemampuan, karunia atau rupa kepemimpinan, karena kelayakan itu ialah pemberian, panggilan, dan kepercayaan dari Tuhan”, papar narasumber.

 

“Setiap anak muda bertanggungjawab dalam memimpin dirinya sendiri; cara hidup, cara bersekolah, cara belajar dan cara berkomunikasi. Generasi milenial harus siap memimpin hidupnya berelasi dengan Tuhan dan berelasi dengan sesama. Sekaranglah waktunya untuk anak muda memimpin”, tambahnya.

 

“Sementara dalam konteks formal, anak-anak muda akan menghadapi peraturan. Butuh kesiapan diri, umur, dan  waktu yang tepat bagi anak muda memimpin secara formal. Kelak anak muda akan menggantikan pemimpin-pemimpin saat ini seperti rektor atau pun presiden. Semua itu membutuhkan waktu yang tepat sehingga mulai dari sekarang anak muda harus mempersiapkan dirinya untuk menjadi pemimpin di waktunya nanti”, jelas narasumber berkaitan waktu dan pemimpin.

 

Hal yang menarik dan perlu menjadi evaluasi bersama adalah anak muda kadang ingin memimpin dari pada dipimpin. Ego yang tinggi cenderung membuatnya kadang sulit menerima arahan, cenderung ingin terlepas dari tanggung jawab dan beban. Lantas, dimana anak muda yang bertanggung jawab itu sekarang? Inilah yang menjadi permasalahan saat ini. Banyak yang lari dan bersembunyi, banyak yang takut dan tidak percaya diri. Karena hal yang paling utama untuk memimpin ialah teruji karakternya, tanggung jawabnya dan spiritualitasnya.

 

“Jadilah pemimpin yang berintegritas, seorang anak muda yang memimpin dengan  pikiran, hati, dan perkataan yang seimbang dalam kebenaran. Jadilah pemimpin yang berani mengakui kesalahan, berani bertanggung jawab, berani berubah dan berani menyelesaikan masalah. Beranilah maju untuk menghadapi persoalan dan beranilah jujur. Cobalah dan persiapkan diri. Jangan menunggu predikat menjadi sempurna, tetapi biarlah proses itu sendiri perlahan membuat layak dan pantas”, nara sumber mengakhiri pemaparannya.

Nah, bagaimana teman-teman muda? Mantapkan langkah supaya Tuhan berkenan dan memampukan kita menjadi pemimpin. ***


  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2023 (11)
 2022 (20)
 2021 (21)
 2020 (19)
 2019 (8)
 2018 (9)
 2017 (17)

Total: 105