Mengungkap Potensi dan Kerawanan Lampung Barat

pada hari Sabtu, 19 Juni 2021
oleh Eksposur Mahasiswa ke Lampung Barat
(Eksposur Mahasiswa ke Lampung Barat)

 

Kegiatan eksposur Multiplikasi Stube HEMAT di Lampung menjadi daya tarik tersendiri bagi anak muda dan mahasiswa di Lampung karena memberi pengalaman berbeda bagi mereka. Terlebih, kegiatan eksposur merupakan kegiatan belajar yang dilakukan di wilayah berbeda. Ada lima belas belas peserta mahasiswa, pelajar, multiplikator dan pendukung yang terlibat dalam perjalanan ke Lampung Barat (17-18/06/2021). Bermula dari Batanghari Lampung Timur menuju sisi Barat yang ditempuh selama 6 jam melalui beberapa kabupaten. Menjelang sore perjalanan sampai di Sekincau, Lampung Barat, kawasan yang sering diguyur hujan karena hampir setiap hari hujan turun. Suhu saat kami tiba adalah 18°C dan terasa dingin, terlebih di malam hari suhu turun menjadi 13-16°C, jadi wajar jika dikatakan identik dengan Bogor.

 

 

Ibadah pembukaan bersama dengan pemuda gereja di Sekincau menjadi awal kegiatan. Pdt. Theofilus Agus Rohadi, S.Th. Multiplikator Stube HEMAT di Lampung menyampaikan apa itu Stube HEMAT dan tujuan kegiatan untuk mengenal potensi dan kerawanan di Lampung Barat. Kegiatan sarasehan dipandu oleh Ester Riris Rohani, mahasiswa STT Bandung dan peserta saling berbagi tentang keadaan masing-masing dan apa yang dilakukan. Yohana Kesi memunculkan pertanyaan apa saja kegiatan anak-anak muda di Lampung Barat, dan apa tantangan yang dihadapi. Devid Ronal Nababan menanggapi dengan menyampaikan, “Anak-anak muda di Sekincau rata-rata mengikuti pekerjaan orang tua, mengolah pertanian dan perkebunan. Potensi pertanian mayoritas di Lampung Barat adalah perkebunan kopi, sayuran, dan cengkeh.” Ia sendiri mahasiswa Teknik Sipil di Universitas Negeri Lampung yang mengeluti produksi kopi jenis Robusta. Ia memilih kopi ini karena berkualitas dan menjual kopi bubuk dalam kemasan dengan merk Sinar Mentari. Sebenarnya banyak anak muda mengelola kopi sejenis, namun produksinya untuk kebutuhan lokal dengan kemasan sederhana.

 

 

 

 

Di sesi malam, para peserta mengikuti sarasehan mengenal ‘Potensi dan Kerawanan di Lampung Barat’ bersama Sunardi, seorang tokoh gereja dan tokoh masyarakat di Sekincau. Ia mengungkapkan bahwa sejak pembukaan lahan dulu, lahan di daerah ini sangat subur sehingga setiap tanaman yang bisa menyesuaikan dengan suhu di sini akan tumbuh dengan mudah dan subur. Ini nampak dari dari lapisan tanah yang berwarna hitam menunjukkan humus yang ada. 

Kesokan harinya Sunardi mendampingi para peserta melihat langsung kawasan pertanian dan perkebunan di Sekincau seluas kurang lebih 1.360 Ha dengan tanaman sayuran berupa cabe, tomat, wortel, kol, labu, kopi, cengkeh dan beberapa tanaman lainnya. Petani di tempat ini menjadi pemasok kebutuhan sayuran di Lampung, bahkan sampai pulau Jawa. Ia memaparkan bahwa kerawanan di Sekincau berupa gangguan babi hutan dan binatang buas karena kawasan pertanian berbatasan dengan kawasan hutan. Gangguan lainnya berupa tindak kriminal yakni pencurian hasil-hasil pertanian dengan motif untuk memenuhi kebutuhan. Beruntung sudah ada upaya yang dilakukan pihak desa, aparat dan tokoh-tokoh masyarakat untuk menekan kasus ini. Selanjutnya, masalah identitas kesukuan antara perantau dan penduduk asli. Sebenarnya sudah ada upaya untuk membangun kerukunan bersama namun tetap saja ada orang yang berselisih kemudian membawa suku dan agama. Gereja pernah mengalami hambatan untuk pendirian gereja pada tahun 1978, namun, justru dari pamong desa yang berasal dari penduduk Lampung berperan besar untuk memastikan gereja boleh berdiri di Sekincau.

 

 

Mahasiswa mendapat kesempatan mewawancarai Heri Kurniawan, seorang petani sayur yang memiliki ¾ Ha lahan untuk cabe dan tomat. Ia bersyukur karena tahun ini harga cabe sangat bagus, mencapai 80 ribu per kilo, padahal biasanya 20-30 ribu saja. Kegiatan eksposur berlanjut dengan mempelajari sejarah istana Sekala Brak, kebun dan hutan lindung di pesisir barat Lampung.

 

 

 

Potensi Lampung Barat begitu mengesankan, namun dari pengamatan yang dilakukan, anak muda belum optimal memanfaatkan potensi yang ada. Dari pengalaman yang pernah dialami, kerawanan di Lampung Barat bisa diminimalisir lewat kearifan lokal yang ada dan komunikasi yang baik. Ke depan, melalui kegiatan eksposur dari Stube HEMAT di Lampung, anak muda Pondok Diakonia semakin terbuka wawasannya untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi alam di daerahnya untuk sebuah kemandirian.***


  Bagikan artikel ini

Wawasan Keberagaman Beragama di Lampung Timur

pada hari Selasa, 15 Juni 2021
oleh Lusiana Sih Ayuning Tiyas
Oleh: Lusiana Sih Ayuning Tiyas.          

 

 

Masyarakat Indonesia perlu terus belajar dan menyadari pentingnya bagaimana hidup bertoleransi di tengah keberagaman. Catatan-catatan peristiwa yang menodai kerukunan beragama terus ada di negri ini, seperti perusakan tempat ibadah, sulitnya mendirikan tempat ibadah, merasa benar sendiri dan masih banyak lagi. Peristiwa-peristiwa ini menjadi petunjuk bahwa sikap sadar keberagaman dan toleransi perlu terus ditumbuhkan di Indonesia.

 

 

Upaya menumbuhkan sikap sadar keberagaman dan toleransi menjadi bagian dari program Multiplikasi Stube-HEMAT di Lampung dengan acara dialog lintas agama bersama pemuka-pemuka agama di gedung gereja Kutosari dengan tema ‘Pertemuan dan Dialog Lintas Iman’ (14/6/2021). Dialog ini menghadirkan 4 pemuka agama yakni Kristen, Katolik, Islam dan Buddha sebagai narasumber. Para pemuda lintas iman di Lampung Timur menghadiri dialog tersebut dan membekali diri mereka agar mampu mampu meminimalisir kerawanan di Lampung, salah satunya konflik agama. Dalam kegiatan yang dikemas dalam bentuk diskusi panel para tokoh lintas agama menyampaikan pesan dan pengajaran tentang keberagaman di Lampung.

Pembicara pertama Pdt. Hadi Nuranto, S.Th, menyampaikan bahwa dalam kekristenan jelas sekali mengajarkan tetang kerukunan yang harus diupayakan bersama dengan cara mengasihi orang lain seperti mengasihi dirinya sendiri. Tak jauh berbeda, Bernadus Bambang Susanto dari Katholik mengungkapkan bahwa Katholik melihat kerukunan di bumi Indonesia adalah situasi yang tidak boleh ditawar-tawar untuk dilakukan. Ajaran cinta kasih Tuhan Yesus menjadi dasar untuk membangun pertemanan baik dengan agama lain. Berikutnya dari agama Buddha, Limarjuna Panjaitan menyampaikan bahwa umat Buddha memiliki ajaran untuk tidak melakukan yang jahat kepada orang lain jika ia tidak ingin mengalami apa yang buruk dalam hidupnya. Kemudian ustad Sokin, menegaskan bahwa ia sebenarnya menyayangkan jika kejadian yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia seolah-olah dilakukan oleh umat Islam yang tidak toleran dengan agama lain. Ia juga menegaskan bahwa ajaran Islam harus menjadi pembawa damai bagi seluruh ciptaan. Sama dengan ajaran agama yang lain, Islam juga mengajarkan untuk mengasihi, dan menghormati satu dengan yang lain.

Sebagai ruang interaksi dalam kegiatan, para peserta mendapat kesempatan bertanya untuk memperdalam pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan kepada para tokoh agama, dan mereka cukup antusias mengungkapkan rasa ingin tahunya.

Dari seminar tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu agama pun yang menginginkan konflik dan perpecahan. Semua agama berharap bisa hidup rukun dan damai dengan semua orang yang berbeda dengan dirinya. Hanya beberapa oknum saja yang belum paham tentang semua itu, sehingga memicu konflik yang terjadi. Keragaman agama harus dipandang sebagai kekuatan positif untuk membangun bangsa dan negeri ini. Adanya komunikasi yang baik antara satu dengan yang lain menjadi kunci untuk  mengelola potensi daerah yang bersumber dari kekayaan keberagaman yang ada.***

 

 


  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2023 (7)
 2022 (9)
 2021 (15)
 2020 (7)

Total: 38