Pemasaran Digital, Produk Semakin Dikenal

pada hari Minggu, 14 Mei 2023
oleh adminstube

Pemberdayaan UMKM istri nelayan di Tileng, Girisubo

 

        

 

Rangkaian kegiatan Ekonomi Kelautan Stube HEMAT Yogyakarta juga mencakup pemberdayaan masyarakat, setelah mahasiswa mendapatkan wawasan baru tentang potensi kelautan Indonesia dan tantangannya ketika belajar di pesisir selatan Yogyakarta. Wujud pemberdayaan masyarakat di sini adalah pendampingan digital marketing dan pemanfaatan media sosial, yang ditujukan kepada istri-istri nelayan di dusun Nanas, Tileng, Girisubo, Gunungkidul, DIY (Sabtu, 13/05/2023).

 

 

 

 

Mereka telah merintis pengolahan produk laut berupa abon, nugget, bakso tuna dari hasil melaut di pantai selatan yang berpusat di pelabuhan Sadengnamun pemasaran masih di kecamatan setempat dan mereka ingin memasarkan produk lebih luas namun belum mengetahui langkah seperti apa yang harus diambil. Di sinilah Stube HEMAT Yogyakarta berbagi pengetahuan dan membantu mereka.

 

 

 

Dalam penguatan kapasitas digital marketing, Kresensia Risna Efrieno, tim Stube HEMAT Yogyakarta  dengan latar belakang kuliah Komunikasi Pemberdayaan mengungkapkan perkembangan internet sangat cepat bahkan sampai pelosok desa dan informasi menyebar masif, di sisi lain masyarakat dituntut untuk adaptif dalam menerapkan kebiasaan baru yang cepat dan praktis, termasuk hadirnya platform digital dalam wujud media sosial yang menjadi tempat berinteraksi setiap segmen usia, bahkan mereka tak pernah lepas darinya. Ini menjadi peluang pemasaran atau promosi sebuah brand atau produk menggunakan media digital atau internet untuk menarik calon konsumen secara luas, cepat, dan tepat. Media sosial menjadi alternatif untuk saling berpartisipasi, berinteraksi, berbagi secara cepat memasarkan atau mempromosikan produk, bukan tak mungkin produk akan sangat cepat tersebar luas dan penjualan meningkat.

 

 

Di sesi berikutnya Yonatan Pristiaji Nugroho, mahasiswa Ekonomi Akuntansi memetakan media sosial apa yang mereka gunakan dan media sosial yang ramai digunakan masyarakat yang menjadi target konsumen, apakah melalu WhatsApp, Facebook, Tiktok atau media sosial lainnya. Pendampingan ini juga melatih peserta untuk membuat video yang berisi penjelasan produk mereka, menampilkan foto produk yang menarik, cara mengambil gambar dan menentukan kata-kata pendukung atau caption yang menarik minat pembeli, dan mencermati waktu yang tepat untuk posting promosinya.

 

 

Kegiatan pun berlanjut, tim Stube HEMAT Yogyakarta berganti belajar membuat abon ikan Tuna, produk istri nelayan setempat. Bahan-bahan yang dibutuhkan meliputi ikan tuna segar, minyak goreng, gula merah, garam, ketumbar, jahe, bawang putih, bawang merah, asam jawa, serai dan daun jeruk. Tahapannya adalah (1) bersihkan ikan dari kotoran, kepala, dan kulitnya, kemudian kukus ikan tuna sampai matang dan bersihkan duri dan lumat sampai halus, (2) haluskan bumbu dan rempah dan campur semua bahan dan goreng selama kurang lebih 45 menit, (3) tiriskan dari minyak menggunakan spinner untuk  hasil yang lebih baik, (4) setelah dingin, masukkan dalam kemasan 50 gram dengan harga 10-20 ribu per buah.

 

 

Kegiatan ini menjadi transfer ilmu antara Stube HEMAT Yogyakarta dan istri-istri nelayan sebagai pelaku UMKM untuk meningkatkan kapasitas, khususnya menangkap peluang baru dalam bisnis. Meskipun dari desa tetap bisa menjangkau pemasaran yang lebih luas karena teknologi komunikasi sudah masuk ke desa. Mari, para pelaku UMKM merambah pemasaran digital supaya produk semakin dikenal.***


  Bagikan artikel ini

Aman-Nyaman dan Berani Beda

pada hari Minggu, 7 Mei 2023
oleh Kresensia Risna Efrieno
 

Apakah yang terbersit dalam pikiran ketika membayangkan rumah untuk tinggal? Material? BiayanyaModelnya? Siapa yang mengerjakan? atau lainnya? Pernahkah berpikir mengenai konsep rumah aman dan nyaman dengan biaya terjangkau? Konsep rumah ekonomis tanpa membuat dompet menipis dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar, tentu menarik bukan?

 

 

 

Stube HEMAT Yogyakarta bersama beberapa mahasiswa mengunjungi sebuah rumah di Tamanmartani, Kalasan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memperkaya pengetahuan dan wawasan mahasiswa tentang infrastruktur yang tangguh. Para mahasiswa bertemu langsung dengan Iswanti Suparma, pemilik rumah dengan model tidak biasa, berbeda dari rumah biasa dijumpai di Indonesia, yaitu rumah Earthbag Roundhouse (Sabtu, 6 Mei 2023).

 

 

 

Rumah ini bermula dari keinginan seorang Iswanti yang tahu kondisi tempat tanahnya rawan bencana alam, seperti gempa bumi. Ia mencari cara bagaimana membangun rumah di kawasan rawan gempa, namun rumahnya tak sekedar berdiri tapi juga nyaman ditinggali. Ia mencari-cari literatur termasuk di internet hingga menemukan konsep bangunan yang disebut bangunan tahan gempa, yaitu SuperAdobe atau rumah berbasis sumber daya lokalSuperAdobe ini dirancang oleh seorang arsitek berdarah Iran-Amerika Nader Khalili. Iswanti mengadopsi konsep ini untuk rumahnya yang berbentuk bulat dan terbuat dari tanah dan unsur lain, seperti pasir, tanah liat yang ditumpukkan dalam karung panjang dan disusun melingkar hingga membentuk dinding rumah.

 

 

 

 

Model rumah dan material yang tak biasa menggugah rasa penasaran masyarakat, bahkan tukang bangunan pun tidak pernah mengerjakan rumah seperti ini sebelumnya. Butuh waktu bagi Iswanti untuk meyakinkan para tukang dan ia memberikan pemahaman kepada mereka untuk memahami konsep bangunan melalui beragam cara, dari berdiskusi sampai belajar dari video-video tentang bangunan sejenis. Material utama dalam konstruksi ini adalah karung panjang, tanah, kawat berduri, kotoran sapi steril dan dolomit. Untuk membuat satu lapis dinding butuh karung sepanjang 24 meter, sedangkan dinding setinggi 1 meter butuh 6 lapis karung atau karung sepanjang 144 meter. Jadi untuk membangun satu rumah setinggi 8 meter perlu 1.152 meter. Rumah berbentuk bundar dengan atap kerucut adaptif terhadap angin dan cenderung aman ketika gempa terjadi karena distribusi beban dialirkan ke segala arah dan materialnya tidak kaku. Keunikan lain rumah ini adalah penggunaan aksesoris barang-barang bekas, seperti botol bekas, kayu bekas, sisa buis beton dan ranting pohon untuk menambah estetika rumah. Proses pembangunan dua bangunan rumah berlangsung selama tiga tahun sampai siap huni.

 

 

 

Peserta antusias untuk melihat dan berkeliling rumah tersebut dan menemukan banyak pertanyaan. Iswanti mengakui bahwa pembangunan rumah ini sebenarnya tidaklah mahal, “Konsep bangunan rumah ini tidak membutuhkan uang banyak karena material tidak harus membeli di toko bangunan dan bisa dilakukan siapa saja dan bukan tukang profesional,” ungkapnya. Perjumpaan mahasiswa dengan Iswanti dan earthbag roundhouse memancing imajinasi peserta untuk menemukan desain rumah yang berbeda dan unik tetapi ekonomis dan tahan (resilient) terhadap ancaman bencana.

 

Kesiapan rumah atau tempat hunian yang aman dan nyaman adalah bentuk kepedulian kita untuk keberlanjutan kehidupan, oleh karena itu, seperti apakah rumah impianmu? Berani beda? Ciptakan rumah impianmu yang nyaman, kuat dan tangguh tanpa meninggalkan kekayaan potensi lokal di sekitar kita.***

 


  Bagikan artikel ini

Barrataga: Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa

pada hari Selasa, 2 Mei 2023
oleh Sarlota Wantaar, S.Pd.
         

 

 

Bencana sewaktu-waktu mengancam kehidupan manusia, untuk itu perlu hidup berdampingan dengan bencana dan memiliki bekal pengetahuan dan kesiapan diri menghadapinya. Di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan bahwa tahun 2022 terjadi 3.544 kejadian bencana yang didominasi oleh banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, gempa bumi, gelombang pasang dan abrasi, serta kekeringan. Sebagian masyarakat belum sepenuhnya paham bagaimana mengantisipasi dan menghadapi bencana, sehingga timbul banyak korban dan kerugian ketika terjadi. Jadi penting bagi setiap orang memiliki pengetahuan berkaitan kesiapan menghadapi bencana.

 

 

 

Pemikiran di atas menjadi titik pijak Stube HEMAT membekali mahasiswa di Yogyakarta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, untuk mengetahui ancaman bencana di daerahnya, bagaimana menyiapkan diri dan seperti apa edukasi yang tepat untuk masyarakat setempat. Dengan tema ‘Siapkah Kita Menghadapi Bencana?’ Stube HEMAT Yogyakarta bersama mahasiswa melakukan kunjungan belajar ke museum gempa Prof Dr. Sarwidi di Kaliurang, Daerah Istimewa Yogyakarta (Senin, 01/05/2023).

 

Dalam eksposur ini Trustha Rembaka, koordinator Stube HEMAT Yogyakarta memperkenalkan lembaga dan mahasiswa kepada Prof. Dr. Sarwidi dan staff museum. Ia juga menyampaikan tujuan kunjungan belajar untuk memperkaya wawasan mahasiswa tentang kesiapsiagaan terhadap gempa dan referensi bangunan tahan gempa. Selanjutnya Prof. Dr. Sarwidi memperkenalkan museum gempa, dimana keberadaannya dimulai sejak Juli 2006 sebagai edukasi masyarakat sekaligus tempat wisata edukatif. Gagasan ini muncul karena masyarakat Indonesia belum sepenuhnya paham bahaya dari bencana alam.

 

 

Ia mengatakan bahwa gempa bumi terjadi karena bumi ‘hidup’ artinya bumi bergerak. Ketika bergerak itulah bumi melepaskan energi dan menyebabkan gempa dari kekuatan kecil sampai besar. Sebenarnya apabila bumi tidak melepaskan energi, itu berbahaya karena bumi bisa meledak. Jadi manusianyalah yang harus beradaptasi dengan fenomena gempa baik dari kesadaran diri, pengetahuan sampai kualitas infrastruktur untuk bangunan fasilitas publik. Peserta mendalami model-model gempa bumi, replika bangunan yang hancur dan miniatur konstruksi Barrataga yang ditemukan oleh Prof Dr. Sarwidi sejak 2003.

 

 

Barrataga sendiri adalah bangunan rumah tahan gempa dengan mempertimbangkan bentuk rumah dengan lokalitas, jadi desain bangunan menggunakan rumah seperti biasanya dengan penguatan di bagian-bagian tertentu, seperti dinding, rangka, pondasi sampai struktur atap. Bagian-bagian ini dirancang menjadi sistem yang integral. Lapisan pasir di bawah pondasi dengan ketebalan tertentu sebagai peredam, tulangan beton modifikasi untuk beradaptasi dengan gaya tarik dan tetap lentur, penguatan dinding dengan kolom menggunakan angkur, modifikasi tembok berserat untuk mengurangi getas tembok.

 

 

Dengan perkembangan teknologi saat ini, peserta mempelajari aplikasi InaRISK, sebuah aplikasi yang menyajikan data wilayah dan ancaman bencana, populasi yang terdampak, potensi kerugian, termasuk panduan mitigasi bencana sehingga masyarakat bisa mengenali ancaman bencana tertentu di daerah tempat mereka tinggal dan langkah pengurangan resiko bencana. Para mahasiswa pun mendownload aplikasi ini dan berlatih untuk memetakan ancaman bencana. Tak ketinggalan, peserta mengisi kuisioner untuk mengukur rumah tinggal mereka tahan gempa atau tidak, sesuai dengan petunjuk aplikasi yang ada. Ternyata sebagian besar rumah mereka tidak sesuai dengan struktur pembangunan tahan gempa.

Dari eksposur ini, Mensiana Baya, mahasiswa dari Sumba Timur mengungkapkan, “Saya baru tahu kalau ada aplikasi yang membantu proses pembangunan rumah. Ini sangat membantu saat membangun rumah dan bisa berbagi ke keluarga. Kunjungan ini sangat berharga karena kuliah saya di jurusan pendidikan dan tidak ada materi khusus tentang kebencanaan dan struktur bangunan.

 

Siap tidak siap gempa pasti terjadi, tinggal manusia yang harus beradaptasi dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang gempa dan bencana lain. Dengan pengetahuan mengenai infrastruktur yang tangguh, maka kehidupan yang lebih aman semakin bisa diraih.***

 


  Bagikan artikel ini

Dari Bencana Menjadi Wisata

pada hari Selasa, 2 Mei 2023
oleh Daniel Prasdika
 

 

 

“Sabtu pagi, 27 Mei 2006 pukul 05:55 gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter melanda Yogyakarta dan sekitarnya. Gempa ini mengakibatkan ribuan infrastruktur runtuh dan rusak parah, bahkan meminta korban ribuan jiwa. Salah satu kawasan yang terdampak adalah Padukuhan Sengir, Desa Sumberharjo, Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bangunan-bangunan rumah di kawasan lereng bukit ini hancur dan tidak memungkinkan lagi untuk dihuni.”

 

Flashback di atas merupakan paparan dari Amin, salah satu pengelola Desa Wisata Rumah Domes. Ia juga menceritakan sejarahnya yang dimulai dari salah satu organisasi sosial non-profit, yaitu World Association of Non-Governmental Organization (WANGO) di Amerika Serikat yang memberikan bantuan khusus berupa rumah domes dengan nama Domes for the World untuk warga relokasi padukuhan Sengir pada September 2006 dengan jumlah 80 unit yang terdiri 71 hunian dan 9 fasilitas umum. Dimensi rumah domes berdiameter 7 meter untuk rumah hunian dan 9 meter untuk fasilitas umum.

 

 

 

 

 

Desain rumah domes yang unik dan pertama kali dibangun di Indonesia menjadi pertimbangan untuk Kunjungan Belajar mahasiswa yang tergabung dalam Stube HEMAT. Acara yang dipandu Daniel Prasdika ini membuka wawasan dan kesadaran mahasiswa terhadap ancaman bencana di Indonesia, khususnya yang mengancam daerah asal mahasiswa. Rombongan mahasiswa Stube HEMAT Yogyakarta disambut pengelola Kawasan Wisata Rumah Domes, yaitu Amin selaku sekretaris dan Heri selaku wakil ketua (Senin, 1/05/2023). Selanjutnya peserta membagi diri menjadi 4 kelompok, dengan masing-masing kelompok fokus pada satu topik yang mencakup dinamika desa wisata, struktur bangunan, bagaimana tinggal di rumah domes, dan keberadaan legalitas bangunan. Mereka berkeliling dan melihat secara langsung rumah domes untuk berdialog dengan warga. 

 

 

 

 

Dalam presentasi, Kelompok dinamika desa wisata menyampaikan bahwa awalnya rumah domes bukan menjadi tempat wisata, tapi bentuknya yang unik seperti kue moci memancing publik untuk berkunjung. Akhirnya warga setempat mengambil peluang dengan membuat program desa wisata dan mengikuti pelatihan membentuk desa wisata, meskipun saat ini vakum karena Covid-19. Kelompok struktur bangunan mendeskripsikan rumah domes secara fisik yakni memiliki dua lantai dimana lantai bawah untuk ruang tamu, dua kamar tidur dan dapur, sedangkan lantai atas untuk menyimpan barang atau ruang serbaguna. Pembangunan diawali dengan membuat pondasi lantai tanpa menggali tanah dan dibangun di atas tanah. Ini menjadi ciri khas rumah rumah domes. Setelah kering sebuah balon  besar disetting untuk membuat kerangka bentuk setengah bola dengan anyaman tulangan besi. Kelompok bagaimana tinggal di rumah domes mengungkap kekurangan rumah domes, antara lain temperatur dalam rumah cenderung panas karena dinding cor menyerap panas, sementara dinding luar butuh perawatan khusus. Kelebihannya adalah tahan terhadap gempa, badai dan bahkan kebakaran. Beberapa penduduk mengatakan bahwa setelah gempa bumi itu terjadi, mereka terpaksa tinggal di situ karena tidak punya tempat lain, dan mereka membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Kelompok legalitas bangunan menyampaikan status rumah domes belum hak milik tetapi sewa yang besarnya Rp. 1 juta/tahun  ke pihak desa. Memang pemerintah desa setempat sudah mengurus menjadi hak milik, tetapi sampai kegiatan dilakukan statusnya belum ada kepastian.

 

 

 

 

Kunjungan ini membekali mahasiswa dengan ilmu baru, lebih peka ancaman bencana terhadap bangunan tempat tinggal, mengerti bagaimana mewujudkan rumah yang lebih aman dan menemukan peluang ekonomi sebagai desa wisata. Ini seperti blessing in disguiseberkat yang tak terlihat dari kesulitan yang terjadi. Berkat itu berupa pengetahuan, jaringan dan peluang wisata. ***


  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2024 (6)
 2023 (38)
 2022 (41)
 2021 (42)
 2020 (49)
 2019 (37)
 2018 (44)
 2017 (48)
 2016 (53)
 2015 (36)
 2014 (47)
 2013 (41)
 2012 (17)
 2011 (15)
 2010 (31)
 2009 (56)
 2008 (32)

Total: 633

Kategori

Semua  

Youtube Channel

Official Facebook