Mengunjungi sebuah start-up agribisnis di Selomartani, Sleman, yang bernama Indigen Karya Unggul ini, bisa membuat pengunjung berdecak kagum. Kagum atas pemikiran yang dituangkan dalam karya nyata di bidang pertanian berteknologi dengan melibatkan sepenuhnya anak-anak muda. Indigen Farm memfokuskan diri melakukan budidaya buah melon yang ditanam dalam greenhouse dengan system hidroponik yang mulai dirintis pada tahun 2019.
Adalah Igor Gadira yang ditunjuk selaku Direktur Utama PT Indigen Farm, seorang anak muda lulusan INSTIPER, memimpin project penanaman melon Japanese Earl Musk, dengan cita rasa manis crunchy /renyah dan juicy. Perlakuan khusus tentu diterapkan dalam pertanian ini, seperti sterilisasi green house, polinasi manual, managemen lahan air, juga pembatasan buah yang dihasilkan. Yang diterapkan di lahan ini adalah satu tanaman melon hanya untuk satu buah melon guna mendapatkan waktu panen yang cepat, yakni sekitar 45 hari setelah polinasi. Dalam lahan greenhouse sekitar 400 meter persegi ini, terdapat 1200 tanaman melon, dengan minimal berat 1,5 kg/buah yang dipatok dengan harga Rp. 45.000,-/kilogram.
Indigen farm selain menjadi alternatif wisata keluarga dengan memetik langsung buah dari lahannya, yang memberi sensasi tersendiri dengan mendapatkan buah segar dan kaya vitamin, juga sarana edukasi masyarakat dan anak-anak pada umumnya untuk mencintai dunia pertanian secara tidak langsung. Beberapa kelompok pengunjung terlihat gembira saat masuk green house dan memilih buah melon sesuai selera. Pengunjung dilayani oleh para mahasiswa yang magang atau pun petugas pemandu yang bertanggung jawab dengan lahan.
Sekitar 300 meter dari Indigen Farm, terdapat rintisan start-up ternak domba 1,8 hektar berbasis teknologi yang memproduksi bibit, daging dan susu yang bernama Sembada Sinergi Indonesia (SSI) Farm. Ternak domba modern ini memiliki kandang yang memuat 500 ekor, yang sangat terpelihara kebersihannya, sehingga tidak tercium aroma kotoran ternak. Dengan basis teknologi yang dipakai, maka segala sesuatunya terkontrol dan terstandard. Mencicipi susu domba di SSI menjadi pengalaman minum susu domba yang terenak, gurih dan tidak ‘prengus’. Keterlibatan anak-anak muda dalam pengembangan start-up ternak yang dirintis pada tahun 2022 ini sangat nyata di setiap devisi dan pengembangannya.
Diskusi mengenai katahanan pangan dan bisnis menjadi diskusi menarik dan penting untuk ditransferkan kepada anak-anak muda lainnya, sebagaimana yang dilakukan teman-teman di Stube HEMAT Yogyakarta (30/09/2024). Selain mendiskusikan start-up pertanian dan peternakan, tak kalah menarik adalah mempelajari tanaman porang yang dibuat beras dengan segala keistimewaan kandungannya, rendah karbo dan tinggi serat. Tanaman porang yang tumbuh subur di kawasan tropis menjadi tanaman andalan pengganti beras, menjadi pilar alternatif ketahanan pangan Indonesia. Mari anak-anak muda terus berkreasi dalam mengolah potensi yang ada di sekitar kita. ***
Stube HEMAT Yogyakarta kembali berkolaborasi dengan team mahasiswa KKN STPMD APMD yang dikomandani oleh Jerliyando George Korwa bersama muda-mudi Karang Kauman mendiskusikan tentang Anak Muda dan Wirausaha Sosial (Jumat, 6 /09/2024) di Karang Kauman, Wijirejo, Pandak, Bantul. Kekompakan muda mudi setempat dalam komunitas Ikatan Remaja Karang (IRKA) layak diapresiasi, karena melalui komunitas ini mereka bisa mengembangkan potensi diri dengan sebaik-baiknya. Dalam diskusi ini Trustha Rembaka dari Stube HEMAT Yogyakarta memaparkan potensi bonus demografi Indonesia yang bisa menjadi berkah dan musibah. Berkah, jika sumber daya manusia memiliki ruang berkarya, dan menjadi musibah, jika di usia produktif mereka menganggur dan tidak memiliki kerampilan yang mencukupi.
Di bagian awal, para peserta mendalami tentang wirausahawan sosial, di mana individu atau kelompok berusaha memecahkan suatu permasalahan sosial dengan pendekatan wirausaha, atau merintis suatu usaha yang memberikan manfaat secara sosial. Di sini nampak bahwa individu yang bergerak sebagai wirausahawan sosial adalah orang-orang yang punya inisiatif dan siap mengambil risiko untuk menghasilkan perubahan positif di masyarakat melalui inisiatifnya. Dalam memulai wirausaha sosial muncul beberapa pertanyaan kunci antara lain, permasalahan sosial apa yang paling menarik perhatian? Gagasan solusi apa saja yang ditawarkan untuk menjawab permasalahan sosial yang terjadi? Perubahan seperti apa yang diharapkan dari solusi-solusi tersebut? Seperti apa bentuk pemberdayaan masyarakat dari penerapan solusi-solusinya. Bagaimana strategi bisnisnya untuk mendukung proses perubahan? Dan, apa saja indikator keberhasilan dari usaha yang dilakukan? Jadi dalam Wirausaha sosial ada empat aspek penting, antara lain menciptakan peluang usaha sebagai bentuk pemberdayaan, usaha profit untuk menjawab masalah sosial, ada capaian perubahan jangka panjang dan menggunakan pendekatan bisnis dan sosial. Di sesi ini para peserta dikenalkan dengan beberapa kisah anak muda yang menggagas wirausaha sosial untuk menjawab permasalahan sosial di sekitarnya.
Selanjutnya, Trustha mengungkap realita sosial di Bantul dan para peserta mengamatinya, antara lain, jumlah penduduk miskin di Bantul 126,93 ribu jiwa (Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS DIY 2024), pemkab Bantul hanya mampu mengolah sampah 35 ton/hari dari volume sampah 95 ton/hari (DLH Bantul, April 2024), tahun 2023 ada 2.863 bayi stunting di Bantul (Dinkes Bantul, 2024), 22.783 orang menganggur (BPS DIY, April 2024), 118 kasus kekerasan terhadap anak, perempuan dan laki-laki (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana – DP3APPKB Bantul, 2024), dan penurunan jumlah petani di Bantul dari 62 ribu menjadi 58 ribu (DKPP Bantul, 2023).
Dari tahapan ini secara berkelompok para peserta mencoba menemukan solusi untuk menjawab permasalahan sosial secara mandiri dan berkelanjutan. Salah satu kelompok mendalami tentang masalah sampah, yang bisa mereka lakukan di lingkungan terdekat, yaitu dengan pemilahan sampah dan didistribusikan di pengepul. Hasil penjualan bisa untuk kas organisasi dan membiayai kegiatan. Sedangkan kelompok lain membidik masalah stunting, yang mana stunting tidak bisa dilepaskan dari keterbatasan ekonomi dan pengetahuan. Ide muncul tentang rintisan kebun pekarangan untuk kecukupan pangan dan usaha literasi keluarga terdekat tentang nutrisi dan kesehatan ibu hamil. Muncul juga gagasan komunitas menjadi ruang pengembangan diri sebagai antisipasi kenakalan remaja, melalui keterampilan diri seperti public speaking, beternak dan multimedia.
Semangat yang ada dalam diri anak muda perlu mendapat ruang ekspresi yang positif, salah satunya menggerakkan mereka sebagai agent of change di wilayah mereka. Teruslah berkarya dengan bekal potensi dan permasalahan sosial dengan konteks wilayah setempat. Viva anak muda! ***