Tes Cepat: Sejauh Mana Mengenal Perbedaan

pada hari Senin, 27 Juli 2020
oleh Yohanes Dian Alpasa, S.Si.
Istilah tes cepat (rapid test) menjadi populer ketika masa pandemi di Indonesia tiba. Empat bulan sudah masa ini berlangsung dan sekarang setiap orang sudah melakukan aktifitas dengan mematuhi protokol kesehatan. Tes cepat dan dokumen hasil tesnya menjadi syarat bagi seseorang untuk bepergian ke luar kota. Kehidupan kembali berjalan, khususnya di Bengkulu. 
 
 
Pada 25 Juli 2020, Multiplikator Bengkulu mengadakan pertemuan untuk mempersiapkan program diskusi ‘Multikultur dan Dialog Antar Agama’. Peserta diskusi juga mengikuti tes cepat untuk mengetahui pengalaman masing-masing ketika mengunjungi rumah ibadah agama lain atau berinteraksi dengan pemeluk agama yang berbeda. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Dari enam peserta yang mengisi metaplan, tidak ada satu pun yang pernah pergi ke rumah ibadah Katholik, meski mereka pernah mempunyai teman dari gereja Katholik tetapi belum pernah berbicara ajaran dari gereja itu. 
 
Pertanyaan kedua, “Pernahkah teman-teman pergi ke Pura?” Tetangga desa Margasakti adalah desa Kurotidur dan di situlah Pura Agama Hindu yang terdekat berada. Enam peserta belum pernah masuk ke area pura, belum pernah berbicara tentang agama Hindu, namun sudah mengerti lokasi Pura itu berada yakni di Rama Agung, Argamakmur, Bengkulu Utara. 
 
Pertanyaan ketiga tentang Vihara, tempat ibadah agama Budha. Tidak ada satu pun yang pernah mengunjunginya. Bahkan, tidak ada ketertarikan atau kebutuhan untuk browsing di internet. 
 
 
Pertanyaan keempat, “Apakah teman-teman peserta pernah pergi ke Masjid?” Lima dari enam peserta menjawab sudah pernah, satu belum pernah. Rata-rata menyatakan bahwa kadangkala melihat siaran rohani di televisi ataupun pelajaran agama Islam di sekolah. Jadi, kesimpulan pertama, pengajaran agama Islam sudah tidak asing lagi bagi peserta. 
 
Pertanyaan terakhir adalah, “Sudahkah teman-teman mendengar tentang aliran kepercayaan? Aliran kepercayaan itu seperti Kejawen, Kaharingan, Sunda Wiwitan, atau Marapu. Meskipun mayoritas orang tua peserta adalah orang-orang dari suku Jawa yang mengenal aliran kepercayaan, tetapi sudah tidak pernah lagi mentransfer pengajaran ataupun ritual kejawen yang pernah dilakukan. 
 
 
Hasil tes sederhana ini memberi kesimpulan bahwa Program Multikultur dan Dialog Lintas Iman adalah program yang mendesak untuk dilakukan untuk memberi ruang interaksi antar penganut agama dan keyakinan yang berbeda. Tentu saja manfaatnya akan bagus untuk peserta sebagai langkah memperluas wawasan, memberi ruang komunikasi dan network. 
 
Dalam rangka sosialisasi, Multiplikator membuka kesempatan bagi teman-teman mahasiswa untuk bergabung dalam program diskusi dan pelatihan di pertengahan Agustus ini. Lets Join Us!

  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2023 (11)
 2022 (20)
 2021 (21)
 2020 (19)
 2019 (8)
 2018 (9)
 2017 (17)

Total: 105