Aset Pembangunan: Mahasiswa dan Pelajar Memahami Budaya Sebagai Kearifan Lokal

pada hari Selasa, 15 Desember 2020
oleh -

Selama 2 hari, yaitu Jumat dan Sabtu (11-12/12/2020), 32 peserta dari kalangan mahasiswa, pelajar, dan pemuda gereja mengikuti workshop bersama fasilitator pengerak pemuda, aktivis masyarakat, tokoh masyarakat, pengurus lembaga gereja dan pemerintahan sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing. Mereka adalah Pdt. Sugianto, S.Th, Japung Lazarus S.E, Dharma Setyawan, dan Pdt. Wahyu Kristiono, S.Th. 

Dalam workshop selama 2 hari ini peserta mendapatkan banyak ilmu dari para fasilitator. Materi-materi yang diterima mencakup:
1) Bagaimana peserta memahami konteks pembangunan di Lampung,
2) Memahami peran pemuda dalam pembangunan,
3) Mengenal tantangan pembangunan, dan
4) Bagaimana anak-anak muda bisa berkontribusi dalam pembangunan di Lampung. 

 

Sebagai rangkaian penutupan kegiatan multiplikasi Stube HEMAT di Lampung sekaligus  menyambut Natal, (Senin, 14/12/ 2020), maka para aktivis program multiplikasi Stube HEMAT di Lampung diajak beribadah refleksi dengan mendekatkan diri dengan alam di pantai Kerang Mas, Lampung Timur. Peserta yang hadir dalam kegiatan ini 47 orang yang terdiri dari mahasiswa, pelajar dan pemuda gereja. Fasilitator dalam kegiatan ibadah refleksi ini adalah Pdt. Lukas Yamidi, S.Th. M.Pd.K.

Dalam kegiatan ini peserta mendapatkan peneguhan akan panggilannya sebagai generasi muda untuk tetap optimis mengikuti proses pembangunan di daerahnya karena adanya pernyertaan Allah terhadap mereka. Dalam kegiatan ini peserta diajak melakukan permainan yang melatih diri dan berkerjasama dalam tim.

 

Sungguh menggembirakan, dari rangkaian program multiplikasi Stube HEMAT di Lampung dalam kurun waktu 6 bulan, dapat dilihat dinamika yang terjadi di kalangan para aktivis yakni lebih memahami nilai-nilai lokal Piil Pasenggiri lewat diskusi, pelatihan, workshop, seminar yang mereka ikuti. Para aktivis lebih mampu mengekspresikan harapan bagaimana mengembangkan potensi dalam dirinya untuk menjadi pribadi yang bermartabat dengan berkontribusi dalam pembangunan daerahnya. Selain itu, program ini menjembatani para aktivis untuk bisa membangun jejaring dengan para narasumber, lembaga / organisasi / institusi terkait, gereja, pondok diakonia, dan antar personal. Aktivis multiplikasi Stube HEMAT juga terlatih mengelola kegiatan-kegiatan, sekaligus menjadi ajang pengembangan potensi diridalam peningkatan kapasitas peserta.***


  Bagikan artikel ini

Gelar Seni dan Budaya Generasi Muda Lampung

pada hari Senin, 23 November 2020
oleh adminstube

Kegiatan pagelaran seni dan budaya Lampung merupakan kegiatan kreasi para mahasiswa dan pelajar untuk mengenal budaya dan nilai-nilainya. Dilaksanakan pada hari Sabtu, 21 November 2020, pagelaran seni dan budaya ini diharapkan memberi dorongan mahasiswa dan pelajar agar semakin mencintai budaya daerahnya. Pagelaran seni dan budaya disajikan dalam bentuk pementasan tari, puisi, nyanyian, dan drama. Aktivitas ini diisi oleh 30 mahasiswa dan pelajar yang terlibat aktif dalam kegiatan Multiplikasi Stube HEMAT di Lampung dan dihadiri 113 warga gereja dan masyarakat di sekitar GKSBS Batanghari.

Kegiatan ini diawali dengan renungan singkat yang dibawakan oleh Pdt. Theofilus Agus Rohadi, S.Th untuk memotivasi mahasiswa pelajar, dan peserta yang hadir menjadi generasi yang memiliki kepedulian dalam pembangunan daerah dengan langkah sederhana yang bisa dilakukan. Renungan diambil dari Kejadian 1:1-2, dalam renungan ini Pdt. Theofilus Agus Rohadi  menegaskan bahwa Allah sudah memberikan yang terbaik bagi manusia, dan apa yang baik ini perlu dikelola manusia untuk menopang kehidupannya. Nilai-nilai budaya Lampung adalah anugerah Allah yang diberikan kepada mahasiswa, pelajar dan warga yang hadir, salah satunya adalah sikap harga diri untuk melakukan hal-hal yang baik.

Pagelaran seni dan budaya ini dipandu oleh 2 mahasiwa dan 1 orang budayawan Lampung sebagai narator, yakni Abraham Maulana Sanjaya, S.E. Seni dan budaya yang dipertunjukkan adalah:

1. Tari Sembah. Tarian yang dibawakan oleh 5 mahasiswa dari kota Metro ini, memiliki makna memberikan penyambutan hangat kepada tamu yang hadir dengan keramahan dan kelembutan orang Lampung yang digambarkan dengan kelembutan para penari. Tarian ini menempatkan orang lain sebagai raja sehingga perlu disambut dengan baik. Sirih dan kapur menjadi hadiah terindah yang diberikan para penari kepada seluruh tamu untuk mengikatkan diri dalam kehalusan budi dan merasakan persaudaraan yang mendalam yang digambarkan dalam warna merah sirih dan kapur yang dikunyah menjadi satu.

2. Lagu “Tanoh Lado”. Narator menjelaskan bahwa lagu yang dibawakan oleh 3 pelajar ini menggambarkan kekaguman penulis lagu terhadap keindahan alam bumi Lampung yang berupa laut dan pegunungan. Lagu ini mengajak insan Lampung untuk memeliharanya sehingga keindahan bumi Lampung tetap terjaga. Dalam pesan, narator mengajak hadirin memiliki rasa malu apabila tidak bisa menjaga dan merawat bumi Lampung dengan baik, apalagi merusaknya. Inilah Piil Pasenggiri yang harus tetap hidup untuk merawat keindahan Lampung.

3. Puisi “Sang Bumi Ruah Jurai“. Puisi ini dibawakan oleh salah satu juara tingkat Kabupaten di Lampung Timur. Narator menjelaskan bahwa puisi hasil karya sendiri ini merupakan puisi yang indah dan patut untuk diapresiasi. Puisi yang sederhana ini bermakna bahwa bumi Lampung di pulau Sumatera ini menjadi tempat bagi semua orang dan insan yang ada di dalamnya. Semangat hidup rukun dan saling menghargai diangkat kuat oleh sang pembaca puisi. Pesan moral yang disampaikan adalah kita hidup bersama di bumi Lampung ini dengan orang lain, untuk itu harus saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lainnya.

4. Drama “Piil Pasenggiri”, dengan judul Malu kalau tidak berhasil. Drama ini diperankan 15 mahasiswa dan pelajar yang mengisahkan 2 kelompok pemuda yang bersaing untuk mencapai keberhasilan di sekolah melalui perlombaan. Kelompok pertama mempersiapkan diri dengan berlatih keras dan banyak belajar bersama, sementara kelompok kedua memilih bersantai dan melakukan berbagai cara yang tidak baik dan curang untuk meraih keberhasilan. Pada akhirnya perlombaan dimenangkan team pertama. Pesan moral dalam drama ini adalah keberhasilan diraih oleh mereka yang melakukan perjuangan yang gigih dan bersungguh-sungguh walaupun membutuhkan pengorbanan.

Rangkaian pagelaran seni dan budaya ini diakhiri dengan menyanyikan lagu “Bumi Lampung”, sebuah nyanyian yang mengambarkan Lampung itu indah oleh seluruh peserta pengisi acara. Lampung terkenal dengan kekayaan tanaman Lada, yang menarik banyak orang datang untuk berbisnis pertanian. Lampung yang potensial menarik banyak wisatawan dan pendatang untuk sekedar melancong atau bahkan pada akhirnya menetap di Lampung. Sungguh sebuah pagelaran seni dan budaya yang mengesankan dan edukatif.***


  Bagikan artikel ini

Sikap Gereja Terhadap “Piil Pasenggiri“ dalam Konteks Pluralitas Budaya di Lampung

pada hari Senin, 9 November 2020
oleh adminstube

Seminar kecil ini merupakan tindak lanjut beberapa diskusi tentang kearifan lokal Lampung “Piil Pasenggiri”, sebuah filosofi kehidupan yang menggambarkan sikap hidup orang Lampung yang menjunjung tinggi harga diri dalam hidupnya. Sebagai warga gereja sekaligus warga masyarakat yang tinggal di propinsi Lampung, mahasiswa dan pelajar juga memiliki peran penting untuk berkontribusi dalam pembangunan Lampung dimulai dari konsep-konsep sederhana. Dorongan melakukan hal-hal baik sesuai nilai-nilai ajaran Injil dapat dipadukan dengan kearifan lokal bersama para pihak untuk membangun Lampung. Stube HEMAT hadir sebagai jembatan agar permahaman berita baik dari Injil dapat berjumpa dengan nilai-nilai budaya sebagai kearifan lokal.

Diawali renungan singkat yang dibawakan oleh saudara Yosi Nanda Pratama, mahasiswa Teknik Komputer di Bandar Lampung, seminar ini didampingi oleh narasumber Retno Ambarsasi, S.Th, seorang guru agama Kristen di sekolah yayasan milik gereja, komisi pemberdayaan perempuan Klasis di Pugungraharjo (Minggu, 08/11/2020). Retno menyampaikan bahwa budaya adalah cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur di dalamnya seperti agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, atau juga karya seni. Kebudayaan yang dinyatakan dalam Alkitab, pada mulanya dan seharusnya bertujuan untuk memuliakan Allah (vertikal).

 

Dalam Kejadian 1:28 dikatakan, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka, “beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu”. Kata “taklukkan” dalam bahasa Ibrani “kabash”. Istilah ini dipakai sekitar lima belas kali dalam Perjanjian Lama yang berarti menundukkan lawan atau menaklukkan musuh. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, kebudayaan menjadi bagian integral keberdosaan manusia. Manusia yang mengelola kebudayaan adalah manusia yang berdosa, maka kebudayaan pun ikut jatuh ke dalam dosa. Contoh: dulu kalau manusia ingin bekerja di sawah hanya mengandalkan cangkul tetapi di zaman modern ini manusia dipermudah dengan kehadiran alat-alat pertanian yang serba modern. Kemajuan teknologi semakin mendorong banyak orang untuk melakukan tindakan yang ambisius yang cenderung merusak dan menghancurkan.

Pemaparan dilanjutkan diskusi pendalaman materi dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut:

Apa tanggapan saudara tentang budaya berdasar teks Alkitab yang dibaca dari Kisah Para Rasul 16:21, Markus 7:9, Matius 15:6, 2 Raja-Raja 17:33, 2 Raja-Raja 17:34, 1 Petrus 1:18? Bagaimana sikap remaja dan pemuda gereja Kristen menyikapi budaya yang berkembang saat ini. Apa contohnya?

Diskusi kelompok yang diikuti oleh 25 peserta (15 mahasiswa, 5 pelajar dan 5 aktivis gereja) tersebut membuahkan beberapa poin sebagai berikut:

  1. Yesus mengkritisi budaya dan tradisi yang umum dilakukan manusia apakah yang dilakukan itu sesuai dengan kehendak Bapa-Nya.
  2. Beberapa bacaan Alkitab mengajarkan agar orang-orang mengutamakan Tuhan dalam menjalani kehidupan bersamaan dengan budaya yang ia jalani.
  3. Mendorong para pembaca Alkitab dan orang percaya memiliki sikap kritis terhadap budaya apakah mendatangkan sikap hidup yang baik dan selaras dengan kebenaran firman Tuhan. Budaya yang memiliki nilai-nilai kebaikan dan kebenaran firman Tuhan dipakai oleh umat Tuhan (mahasiswa dan pelajar) untuk berkontribusi untuk membangun daerahnya.

Kegiatan ini mendorong mahasiswa dan pelajar Kristen Lampung untuk melestarikan budaya dan merawat bumi Lampung sebagai warisan leluhur. ***


  Bagikan artikel ini

Mengenal Nuwo Sesat Dan Budaya Suku Lampung

pada hari Senin, 28 September 2020
oleh Theofilus Agus Rohadi, S.Th

 

Minggu, 27 September 2020, Program Multiplikasi Stube HEMAT di Lampung bersama para mahasiswa dan peserta diskusi Piil Pasenggiri yang berjumlah 28 orang melakukan kunjungan ke komunitas suku asli Lampung yang berada di desa Gedung Wani kecamatan Marga Tiga kabupaten Lampung Timur yang 100% penduduknya bersuku asli Lampung. Desa ini terletak kurang lebih 90 kilometer dari kota Bandar Lampung, tetapi jika ditempuh dari kota Metro kurang lebih sejauh 30 kilometer. Daerah ini bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun angkutan desa antar daerah dari masing-masing kabupaten karena letaknya di jalan poros penghubung desa, kecamatan dan kabupaten. Mayoritas jalan beraspal meskipun sebagian sudah mengalami kerusakan di sana-sini sehingga membuat laju kendaraan kurang lebih hanya 40-60 km/jam. Dalam kesempatan ini peserta kunjungan difasilitasi oleh program Multiplikasi Stube HEMAT dengan menyewa bus berkapasitas 30 orang. Perjalanan ditempuh kurang lebih selama 1,5 jam.

 

 

Dalam kegiatan ini interaksi langsung dengan suku asli Lampung terbangun dengan baik. Melalui tokoh penyeimbang adat yang ada di kabupaten Lampung Timur yaitu Bapak Nursaidi Cakra Dinata, dan para tokoh desa yang ada, para peserta didorong untuk mengenal secara dekat adat dan tradisi suku Lampung, bahkan bara peserta diajak berbicara santai di rumah adat yang ada dengan beberapa orang suku asli Lampung. Di rumah adat suku asli Lampung yang biasa di sebut ”Nuwo Sesat”, para peserta  disambut hangat oleh tokoh adat dan pengurus adat di desa ini. Rumah adat ini sudah berusia kurang lebih 96 tahun sejak dibangun pada tahun 1924, namun demikian bahan yang semuanya dari kayu keras ini masih tetap kokoh tanpa terlihat dimakan usia atau pun hama kayu. Rumah adat ini merupakan rumah warisan tokoh pendiri desa di Gedung Wani dan ditempati oleh generasi penerusnya yang ke-27. Rumah adat ini berbentuk panggung, dimana biasanya lantai atas dipakai untuk mengadakan musyawarah oleh tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan ritual adat pernikahan dan penyelesaian masalah-masalah di masyarakat.

 

Selanjutnya para peserta diminta menyampikan tanggapan dan responnya ketika pertama kali memasuki daerah asli suku Lampung dan rumah adat “Nuwo Sesat”. Dari beberapa ungkapan yang disampaikan para peserta hampir semua menyatakan awalnya memiliki rasa takut, segan, ngeri dan lain sebagainya. Namun situasi berubah ketika keramahan para tokoh desa dan penyeimbang adat Lampung di desa ini menyambut peserta dengan ramah dan hangat. Sambutan hangat dan ramah ini merupakan bagian dari Piil-Pasenggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki  harga diri) yang juga didalam relasi ini suku asli lampung menjujung prinsip Juluk-Adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu), Nengah-Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis).

 

Dari percakapan dan interaksi yang terbangun, para peserta belajar dan mulai memahami dengan baik bagaimana tradisi adat Lampung soal harga diri yang diajarkan sejak kecil di dalam keluarga suku Lampung. Kunjungan diakhiri pada pukul 15.00 WIB. Untuk terakhir kalinya, Bapak Nursaidi Cakra Dinata menyampaikan kesannya, ”Senang sekali atas kunjungan Stube HEMAT yang mendampingi para pelajar dan mahasiswa Kristen dan gereja untuk mengenal adat dan tradisi suku Lampung. Saya tekankan kembali, bahwa semua yang hadir pada hari ini adalah orang Lampung!”.

 

 

Sebelum pulang, para peserta melihat benda sejarah yang berupa pintu dari kayu besar yang usianya sama dengan rumah adat, pintu ini disebut “Pintu Qori“, pintu yang harus dimasuki agar memperoleh hidup yang benar, dengan memeluk agama yang diyakini oleh masyarakat Lampung. Nilai-nilai Piil Pasenggiri yang sangat baik ini membuat para peserta semakin termotivasi untuk menghidupi Piil Pasenggiri dalam kehidupan sehari-hari, untuk memberikan arah, dan rambu dalam mewujudkan pribadi yang punya peran dan kontribusi yang baik dalam pembangunan masyarakat, khususnya di Lampung.


  Bagikan artikel ini

Piil Passenggiri Dalam Konteks Perempuan

pada hari Minggu, 27 September 2020
oleh Pdt. Theofilus Agus Rohadi, S.Th

 

Bersama dengan bidang pemberdayaan perempuan dan forum komunikasi umat beragama di Lampung Timur, program Multiplikasi Stube HEMAT di Lampung mengadakan diskusi (15/09/2020) dengan tema “Apakah nilai-nilai Piil Pasenggiri ini menjadi nilai hidup kaum perempuan di Lampung dan bagaimana penerapannya”. Kegiatan ini dilaksanakan di balai desa Sukadana Lampung Timur. Disampaikan bahwa dalam melaksanakan tugasnya bersama dengan FKUB kabupaten Lampung Timur, bidang pemberdayaan perempuan telah melaksanakan beberapa kegiatan dengan melibatkan perempuan dalam pembangunan Lampung Timur. Namun demikian keterlibatan yang dimaksud belum maksimal seperti yang diharapkan. Beberapa kendala di antaranya adalah: belum maksimalnya kesadaran akan keterlibatan perempuan itu sendiri, belum terlalu terbukannya peluang yang memberi ruang perempuan untuk beraktivitas, dan masih banyaknya penilaian sepihak akan kemampuan perempuan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan besar.

 

Dalam diskusi selanjutnya (26/09/2020) diikuti 21 peserta dan hadirnya 1 orang nara sumber yakni seorang aktivis perempuan suku asli Lampung yaitu ibu Dra. Mardian Imelda, Stube HEMAT menjadi fasilitator diskusi yang diadakan di Pondok Diakonia GKSBS Batanghari Lampung Timur. Narasumber membuka pemaparannya dengan membahas ciri khas provinsi Lampung yaitu  “Siger“ yang merupakan simbolisasi sifat feminin. Pada umumnya, lambang daerah di nusantara bersifat maskulin seperti Jawa Barat dengan Kujang, senjata tradisional masyarakat Sunda, Kalimatan dengan Mandau dan Aceh dengan Rencong. Simbol-simbol itu melambangkan sifat patriotik dan pertahanan wilayah. Siger bukan hanya masalah lambang kejayaan dan kekayaan karena bentuk mahkotanya, melainkan juga mengangkat nilai feminisme. Bagi masyarakat Lampung, perempuan sangat berperan dalam segala kegiatan, khususnya dalam rumah tangga. Di balik kelembutan perempuan, ada kerja keras, ada kemandirian, ada kegigihan, dan lain sebagainya. Meskipun masyarakat Lampung sendiri penganut garis ayah atau patrilineal, figur perempuan merupakan hal penting bagi masyarakat Lampung, yang sekaligus menjadi inspirasi dan pendorong kemajuan pasangan hidupnya.

 

 

Dalam pemaparannya Dra. Mardian Imelda menyampaikan bawa dalam hukum kekerabatan adat Lampung  kedudukan anak, meliputi kedudukan anak dengan orang tuanya yang apabila ia seorang wanita yang telah menikah dan mengikuti keluarga suaminya, ia disebut sebagai pirul. Kemudian, kedudukan anak dengan mertuanya yang disebut sebagai anak ngemian. Lalu, kedudukan anak dengan saudara-saudaranya, antara lain sebagai puwarei (sesama saudara laki-laki), nakbai (saudara perempuan dari laki-laki), mehani (saudara laki-laki dari perempuan), dan kelepah (sesama saudara perempuan). Dalam hubungan kekerabatan ini status perempuan akan sangat dihargai dan dilindungi dengan falsafah Piil Pasenggiri, dimana seorang perempuan perlu diperlakukan dengan baik, di sisi lain perempuan yang terhormat bagi keluarga kalau ia bisa membawa nama baik keluarganya dengan cara bersikap, berbicara dan bertindak. Wanita dipersepsikan berperan sangat positif dan dihargai justru ketika menjadi penegak rumah tangga. 

 

Menurut catatan nara sumber yang suaminya anggota dewan di Kota Madya Metro, keterlibatan perempuan dalam partisipasi politik di Lampung masih rendah karena kurang dari 30%. Jumlah keseluruhan kursi DPRD Lampung ada 85, dan baru ada 12 kursi yang diduduki perempuan.  Sebenarnya dari sistem adat budaya Lampung, perempuan memiliki kesempatan sama untuk berkiprah di ranah publik, dalam bidang apa pun termasuk politik. Dilihat dari sikap laki-laki Lampung yang bersikap fleksibel terhadap pilihan perempuan, laki-laki Lampung memposisikan diri sebagai partner perempuan di area domestik, sehingga bisa meringankan langkah perempuan di ranah publik.

 

Dari diskusi ini diharapkan banyak pihak terlibat dan memiliki perhatian dalam pemberdayaan perempuan lintas generasi, dan diperkuat dengan menanamkan nilai Piil Pasenggiri. Perempuan perlu terus didorong untuk mengambil kesempatan yang ada dalam rangka memberikan kontribusi pembangunan dan pemberdayaan diri.




  Bagikan artikel ini

Penanaman Nilai-Nilai Budaya “Piil Pasenggiri” Bagi Generasi Muda Untuk Membangun Daerah Lampung

pada hari Selasa, 18 Agustus 2020
oleh Theofilus Agus Rohadi, S.Th

Sarasehan ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan FGD Piil Pasengiri yang lalu. Sarasehan ini membahas bagaimana nilai-nilai Pill Pasengiri ini ditanamkan dikalangan generasi muda pelajar dan mahasiswa. Kegiatan ini melibatkan tokoh adat Lampung yang juga dipercaya oleh pemerintah untuk mengelola, memelihara, dan menjaga nilai-nilai adat budaya Lampung, juga usaha yang dilakukan tokoh adat dan pemerintah menyemai nilai-nilai budaya Lampung agar terus berkelanjutan di bumi Lampung. Kegiatan sarasehan dilaksanakan pada tanggal 16 Agustus 2020,  pukul 14.00-16.00 WIB di Gedung Gereja GKSBS Batanghari atau Pondok Diakonia GKSBS Batanghari, dan diikuti oleh peserta yang melebihi target yang diharapkan. Semula ditargetkan 20 peserta menjadi 31 orang dari kalangan mahasiswa 16 orang, pemuda gereja dan pelajar Pondok Diakonia 15 orang, plus narasumber dan multiplikator. Hal ini menunjukkan bahwa ada antusiasme anak muda mendalami nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh daerah mereka.

Sebagai pembuka acara, Pendeta Theofilus Agus Rohadi, S.Th, Multiplikator Stube HEMAT di Lampung menyampaikan tujuan kegiatan sarasehan, dilanjutkan narasumber Syahbudi Yusuf S.H, tokoh adat Lampung, sekaligus ketua Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL) menyampaikan pemaparannya.

Nilai-Nilai Piil Pasenggiri adalah warisan leluhur Lampung yang membuat mereka mampu menjalani kehidupan sejak zaman sebelum kemerdekaan, hingga menjadi bangsa yang merdeka. Nilai ini mendorong seluruh masyarakat Lampung untuk memiliki harga diri di mata orang lain bahkan di mata dunia dengan ikut serta berjuang mencapai kemerdekaan walaupun harus mengorbankan banyak hal. Beberapa poin yang disampaikan, sebagai berikut:

  1. Sebagai seorang tokoh adat Lampung, melihat perkembangan sekarang ini, ada kekuatiran karena nilai-nilai luhur itu telah tergerus dengan kemajuan zaman, yang mendorong seseorang untuk melakukan apa pun dengan cara apa pun untuk menjadi berhasil dan terhormat.
  2. Upaya yang dilakukan oleh kalangan tokoh adat dan pemerintah untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang luhur itu adalah dengan menggelar pagelaran budaya. Kegiatan ini difasilitasi oleh dinas pendidikan dan kebudayaan di tingkat propinsi, dan kabupaten kota, juga melalui forum-forum pelestarian adat Lampung, dan membangun dialog dengan masyarakat Lampung yang berdomisili di Lampung.
  3. Mengapresiasi gerakan anak-anak muda, pelajar dan mahasiswa (Stube-HEMAT) yang mau belajar nilai-nilai Piil Pasenggiri yang diyakini akan membuat generasi muda, pelajar, dan mahasiswa untuk kembali kepada kehormatan melalui jalan pekerjaan yang baik dan mulia.
  4. Mendorong team Stube-HEMAT untuk melibatkan pihak atau lembaga-lembaga lain untuk belajar bersama memahami Piil Pasenggiri, agar kemudian lebih banyak menjangkau dan melakukan perubahan yang akan berdampak besar bagi Lampung.

Kegiatan pembelajaran, sosialisasi harus terus dilakukan dan mendorong setiap orang yang lahir, tinggal, bekerja di Lampung meskipun bukan keturunan asli Lampung untuk menanamkan dalam dirinya bahwa dirinya adalah orang Lampung, yang harus memahami budaya, tradisi dan kebiasaan masyarakat Lampung sehingga terbangun rasa memiliki dan kecintaan untuk membangun Lampung.***


  Bagikan artikel ini

Pill Pesenggiri dalam Konteks Masyarakat Lampung

pada hari Minggu, 26 Juli 2020
oleh Theofilus Agus Rohadi, S.Th

Kegiatan Fokus Group Diskusi menjadi pilihan kegiatan pertama yang dilakukan program Multiplikasi Stube HEMAT di Lampung untuk menemukan secara bersama hal-hal penting yang ada di masyarakat Lampung, salah satunya adalah pembahasan “Piil Pasenggirri”. Kegiatan ini berlangsung di Pondok Diakonia GKSBS Batanghari (25/07/2020) Lampung dan melalui kegiatan ini diharapkan para peserta semakin menemukan nilai-nilai positif dalam kehidupan asli masyarakat Lampung, dan mampu membangun relasi yang baik dengan orang-orang suku asli Lampung. Peserta juga akan memiliki pemahaman yang benar mengenai falsafah “Piil Peseggiri” dalam konteks masyarakat Lampung, menemukan nilai-nilai positif dari “ Piil Peseggiri” dalam membangun kehidupan bersama dengan orang lain.

Pendeta Theofilus Agus Rohadi, S.Th selaku Multiplikator Stube Hemat yang ada di Lampung menyampaikan sesi pengantar yang menjelaskan secara singkat Mutliplikasi Stube HEMAT yang ada di daerah ini. Sementara Grace Purwo Nugroho S.H, seorang pengacara sekaligus direktur Yayasan Bimbingan Mandiri Indonesia, menjadi nara sumber dalam FGD tersebut. Acara dipandu oleh pembawa acara Linda lestari, siswa asuh di Pondok Diakonia dan sesi diskusi dimoderatori oleh Beta, mahasiswa Teknik Sipil dari Univertas Bandar Lampung.

Dalam FGD ini narasumber meyampaikan bahwa konteks masyarakat Lampung terdiri dari Lampung pesisir dan lampung pedalaman. Dalam masyarakat Lampung,  Piil Pasenggiri dipahami sebagai aturan norma dan etika moral kehidupan masyarakat Lampung, yang sangat kuat dijadikan sebagai falsafah hidup. Masyarakat Lampung menjunjung tinggi nilai hidup untuk bisa menjadi orang yang terhormat dan dihargai oleh orang lain. Dalam rangka mencapai hal-hal tersebut, penduduk Lampung harus melakukan hal-hal yang baik dan terhormat, membuka diri kepada orang lain, hidup membaur dengan orang lain, dan hidup bergotongroyong. Namun dalam prosesnya, falsafah hidup yang baik ini menjadi rusak oleh karena arogansi kesukuan dan kurangnya pemahaman beberapa orang yang melakukan kekerasan dan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan Piil Pasenggiri. Di sisi lain, orang-orang lain dari suku yang bukan asli Lampung merasa dirinya sebagai pendatang dan tamu di Lampung, walaupun mereka lahir dan hidup di bumi Lampung. 

 

Narasumber menyampaikan, seharusnya ada 2 pihak yang melakukan upaya bersama untuk menjaga kehidupan di Lampung tetap aman dan damai yakni dari suku asli Lampung seharunya memahami Piil Pasengiri sebagai moto hidup malu jika tidak melakukan hal-hal yang baik dalam hidunya. Harga diri bukan dilihat dari besar dan kuatnya otot, melainkan harga diri mucul kalau tidak melakukan hal-hal yang baik, sementara dari suku di luar suku asli Lampung, misalnya suku Jawa, suku Sunda, suku Padang, suku Ambon dan lain sebagainya, hendaknya hidup dengan menyakini bahawa dirinya adalah orang Lampung yang juga berhak hidup dan mengupayakan cara hidup yang terhormat, yaitu melakukan hal-hal yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari. 

Hal menarik ketika para mahasiswa mengajukan pertanyaan, seperti: 1) dalam hal apa, dan bidang apa orang asli Lampung bisa diajak dan mudah bekerjasama; 2) bagaimana pandangan hukum soal pernikahan pelarian dalam masyarakat Lampung; 3) seberapa besar pengaruh “Piil Pasenggiri dalam masyarakat Lampung; dan 4) mengapa sering kali konflik yang terjadi di Lampung dilatar belakangi persoalan dengan suku Lampung.

Dengan memahami konsep “Piil Pesenggiri”, di akhir diskusi peserta memiliki pemahaman yang benar atas suku Lampung, sehingga tidak memiliki stereotip negatif dan berlebihan kepada masyarakat asli Lampung, bahkan konsep ini juga bisa dipakai oleh mahasiswa, pelajar, dan pemuda Kristen ketika menjadi masyarakat Lampung. Para peserta diskusi termotifasi untuk membangunan komunikasi dan interaksi dengan suku lampung dalam rangka mengembangkan potensi diri, komunitas dan propinsi Lampung. ***


  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2023 (7)
 2022 (9)
 2021 (15)
 2020 (7)

Total: 38