Kreasi Tiwul Mocaf Dari Kelompok HASTANI Lampung Timur

pada hari Sabtu, 4 November 2023
oleh Pdt. Theofilus Agus Rohadi.

  

 

Kelompok kerja HASTANI yang merupakan inisiasi dari program Multiplikasi Stube-HEMAT di Lampung yang terbentuk pada bulan Agustus 2023, terus bergerak di musim kekeringan yang melanda seluruh daerah di Indonesia termasuk Lampung. Kekeringan yang sudah berjalan kurang lebih 4-5 bulan ini cukup dirasakan oleh masyarakat kecil di Lampung Timur. Apalagi kondisi sekarang ini keadaan semakin sulit terutama masalah ekonomi masyarakat kelas bawah, hasil pertanian seperti padi dan produk lain dengan harga yang baik, rupanya tidak cukup menjawab kebutuhan sehari-hari mereka. Kenapa demikian? Karena pada kenyataannya mereka harus menghadapi biaya kebutuhan sehari-hari yang juga merangkak naik, hasil pertanian bagus, tetapi biaya hidup mahal maka sama kondisinya tidak ada yang berubah. Di bulan Oktober 2023 petani masih mengalami masa sulit karena tidak bisa bertanam baik di sawah maupun di ladang, karena tidak ada air dan hujan.

 

 

Di desa Tanjungharapan, kecamatan Marga Tiga, Kabupaten Lampung Timur, ada sekelompok ibu-ibu dan bapak-bapak yang beraktifitas mengolah hasil pertanian mereka, salah satunya dengan membuat “Tiwul“ dari tepung mocaf (modified cassava flour). Tiwul dari mocaf ini tidak jauh beda cara membuat dari tiwul pada umumnya yang dibuat oleh ibu-ibu rumah tangga. Namun demikian ada perbedaan cara memperlakukan bahan singkong yang akan dijadikan tiwul. Komunitas HASTANI yang masih awal ini, sedang dalam proses pengembangan diri untuk mengolah hasil-hasil pertanian mereka menjadi sebuah produk lanjutan, misalnya bahan singkong diolah menjadi tepung yang disebut tepung mocaf, dan kemudian diolah lanjut menjadi tiwul. Tiwul buatan mereka kalau dilihat secara kasat mata begitu saja, memang sangat berbeda: bersih, warna alaminya lebih cerah, dan tidak berbau. Tiwul yang biasa kita temukan biasanya agak suram warnanya, ada bau singkong yang direndam dan kurang bersih karena ada serabut dalam singkong yang ikut terolah.

 

 

Dalam dua minggu kelompok HASTANI baru bisa mengolah  kurang lebih 1 kwintal kilogram singkong makan. Satu kwintal singkong akan menjadi kurang lebih 70 kilogram tepung mocaf. Jika selanjutnya tepung ini dibuat tiwul maka akan menjadi tiwul dengan berat kurang lebih 60-65 kilogram dengan pengolahan yang sederhana tapi bisa menghasilkan olahan yang berkualitas. Bahkan jika kita membaca literasi tiwul mocaf yang merupakan hasil fermentasi singkong ini sangat baik dikonsumsi para pengidap sakit diabetes, karena rendahnya kandungan gulanya. Semangat kaum ibu dan bapak serta anak mudanya yang mau belajar  dan tergabung dalam komunitas HASTANI ini memang belum begitu luas dan produknya belum terpublikasikan dengan baik. Namun demikian semangat mereka mengolah hasil pertanian mereka sendiri perlu diapresiasi. Selain mampu memberikan alternatif sumber pangan  dan bahan untuk membuat olahan makanan, kelompok ini mampu menaikan nilai atau harga dari hasil pertanian mereka. Walaupun tidak secara langung dikomersilkan, mereka sudah dapat merasakan hasil kerja keras mereka dengan menjual hasil kreasi tiwul mereka kepada teman, warga gereja dan pihak lain yang memerlukan tiwul untuk sekedar di konsumsi dan dijual kembali.

 

 

Sekarang ini di Lampung Timur, harga tiwul sudah mampu menyamakan dirinya dengan harga beras yang berada di kisaran Rp.11.000–Rp.13.000, bahkan ada salah satu ibu yang mampu meraup keuntungan lebih dengan menjadikan tiwul sebagai bahan makanan ringan atau camilan berupa tiwul gurih dengan taburan parutan kelapa, dan keripik tiwul. Tiwul bukan lagi makanan masyarakat kelas bawah, tiwul juga berada di supermarket swalayan dan dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Tiwul semakin banyak kreasinya, bisa dinikmati dan ditemukan di mana saja. ***


  Bagikan artikel ini

Rencana Strategis Bagi Komunitas

pada hari Sabtu, 30 September 2023
oleh Oleh: Pdt. Theofilus Agus Rohadi.

    

 

Ada ungkapan sederhana mengatakan bahwa “orang hidup harus punya tujuan, jika tidak punya tujuan bukan hidup”, ungkapan ini sebenarnya sebuah motivasi untuk menyemangati seseorang supaya memiliki gairah hidup melalui sebuah tujuan hidup yang akan dicapai. Dengan ditetapkannya atau dirancangnya sebuah tujuan, maka orang akan senang menjalani kehidupannya sehingga ia tidak akan mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan atau tantangan hidup yang ia jalani. Demikian halnya dengan sebuat komunitas, kelompok kegiatan dan kelompok kerja sangat perlu punya tujuan dan impian yang akan dicapai dalam beberapa waktu, tahun, dan jangka waktu yang tidak terbatas.

 

 

Mengingat pentingnya sebuah rencana strategis, program Multiplikasi Stube HEMAT di Lampung membuat diskusi penyusunan rencana strategis bagi sebuah komunitas, agar memiliki semangat terus bergerak mencapai impian, bertempat di gedung gereja GKSBS Batanghari wilayah Banarjoyo (30/09/23). Diskusi ini menghadirkan pembicara Pdt. A.T Hariyanto, S.Pd. M.Div, seorang pendeta tugas khusus bidang Pendidikan dari GKSBS Batanghari di Universitas Negeri Lampung, yang biasa mendampingi gereja, lembaga sosial dan komunitas untuk menyusun rencana setrategis guna mencapai impian yang diharapkan. Kegiatan ini diikuti kurang lebih 20 orang yang berasal dari gereja, kelompok masyarakat, dan kelompok mandiri (sala-satunya kelompok kerja HASTANI yang dirintis oleh kegiatan Multiplikasi Stube HEMAT di Lampung).

 

 

 

 

Pdt A.T Hariyanto menyampaikan bahwa Perencanaan dapat dikategorikan sebagai Rencana Jangka Panjang [RJP], atau biasa dikenal dengan Rencana Induk Pengembangan [RIP], perencanaan strategis [RENSTRA] dan perencanaan taktis atau rencana operasional [RENOP]. Rencana Induk Pengembangan biasanya disusun untuk waktu lebih dari 20 tahun, rencana strategis untuk jangka waktu 5-10 tahun, sedangkan rencana operasional untuk waktu satu tahun.

Diskusi ini berbentuk pelatihan dimana para peserta diskusi diajak terlibat langsung menyusun sebuah rencana setragis untuk kelompok atau komunitas mereka masing-masing. Menariknya kegiatan ini adalah bersamaan saat para peserta sedang memikirkan bagaimana agar kelompok mereka tetap eksis dan berkelanjutan dimasa-masa yang akan datang, dengan dinamikan perkembangan dan perubahan kondisi masing-masing. Oleh karena itu sebuah tujuan yang menarik, menyenangkan, terjangkau, dan nyata sesuai keadaan dan kebutuhan kelompok menjadi sebuah kekuatan atau daya dorong agar program-program kerja yang diturunkan akan mudah dikerjakan. Pdt A.T Hariyanto, sebagai fasilitator menemai belajar dengan penuh kesabaran karena para peserta yang mayoritas sudah lama meninggalkan bangku sekolah, harus bergelut dengan perencanaan yang tersistematis. Tidak sia-sia rupayanya kegiatan ini, terbukti dengan adanya rencana strategis sederhana yang bisa dihasilkan dengan proses yang sebenarnya juga tidak mudah bagi para peserta diskusi.

 

 

Walaupun perlu belajar lebih dalam dan rinci untuk menghasilkan rencana strategis bagi kelompok atau komunitas, paling tidak hari itu para peserta mampu melihat gambaran penyusunan renstra bagi komunitasnya. Mengenal kekuatan diri, mengenal kelemahan diri, melihat peluang di luar diri, dan melihat ancaman dari luar dirinya adalah langkah awal untuk menemukan visi dan misi, yang pada akhirnya bisa diformulasikan sebagai isu-isu besar dari masing-masing komunitas. Tahapan penyusunan program tahunan menjadi bagian akhir untuk menemukan aktivitas-aktivitas harian yang akan dilaksanakan komunitas atau kelompok sebagai gerakan untuk memutar roda perjalanan komunitasnya. Seru, berat, susah, namun menarik, begitulah kira-kira aktivitas diskusi menyusun renstra bagi komunitas. ***


  Bagikan artikel ini

Kreativitas Menaikan Harga

pada hari Senin, 28 Agustus 2023
oleh Pdt. Theofilus Agus Rohadi S,Th

         

 

Siapa yang tidak kenal dengan singkong atau umbi kayu? Dalam bahasa latin singkong disebut manihot esculenta. Rata-rata hasil singkong per-hektar per-tahun kurang lebih 30 ton. Menurut data pemerintah Lampung lahan singkong baik yang dikelola oleh petani dan perseroan terbatas (PT) ada kurang lebih 366.830 hektar, dan separuhnya adalah milik petani. Dengan masa tanam yang cukup panjang antara 6-8 bulan untuk mendapatkan singkong yang terbaik, membuat petani harus bekerja keras saat singkong mereka belum panen. Fenomena petani yang kemudian bekerja serabutan dan merantau ke daerah lain untuk mempertahankan hidup, sering terjadi di daerah perkampungan di Lampung.

 

 

Panen singkong menjadi harapan besar bagi petani, namun tidak semua petani bisa menikmati hasil pertanian mereka seutuhnya, karena pada umumnya petani sudah menghabiskan hasil panen sebelum panen dengan melakukan pinjaman modal bertani, maupun untuk kebutuhan sehari-hari. Terkadang hasil singkong hanya cukup untuk membayar hutang-hutang saja, seandainya ada sisa akan dipakai sebagai modal tanam batang singkong kembali. Jadi pada kenyataannya, banyak petani singkong yang kurang berhasil apabila semua pengolahannya membutuhkan dana atau modal. Ditambah lagi dengan harga yang sangat tidak stabil ketika dijual kepada para pengelola pabrik singkong maupun para tengkulak.

 

 

Melihat kondisi ini, Program Multiplikasi Stube HEMAT di Lampung bekerjasama dengan Komisi Wanita Jemaat GKSBS Batanghari mengadakan kegiatan pengelolaan hasil pertanian agar memiliki nilai ekonomis yang lebih baik, khususnya hasil pertanian singkong (27/08/2023). Didampingi oleh Utik Suarsih, S.PKP, dari Dinas Pertanian Kabupaten Lampung Timur, dan Astrid Sianipar S.P, tenaga penyuluh pertanian kecamatan Sekampung, Kabupaten Lampung Timur, peserta diberi wawasan potensi mengolah hasil pertanian agar memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan singkong yang tidak diolah. Narasumber menyampaikan perlunya kreativitas agar kemudian bahan-bahan pertanian yang dimiliki punya nilai harga yang lebih baik. Dalam kesempatan ini kedua narasumber yang sering mendampingi para petani, memberikan edukasi dan pelatihan mengolah singkong menjadi tepung Mocaf (MOdified CAssava Flour). Tepung ini berbahan singkong dan memiliki keunggulan dibandingkang dengan tepung-tepung yang lain misalnya; bahannya mudah didapatkan, mudah mengolahnya, dan lebih sehat karena kadar gulanya sangat sedikit bahkan bisa dikatakan gluten free. Tepung Mocaf dapat digunakan menjadi bahan olahan beraneka ragam kue kering, kue basah, dan dapat dipakai menjadi bahan olahan seperti nasi Tiwul dan beberapa aneka kreasi pangan lainnya.

 

 

Peserta belajar membuat tepung mocaf dengan memilih singkong jenis terbaik, selanjutnya singkong dikupas bersih hingga kulit ari yang melapisinya seperti lendir dibuang, kemudian diiris tipis-tipis, lalu direndam air selama 12 jam, dicampur bahan khusus untuk menghasilkan tepung Mocaf yang bersih dan putih. Selanjutnya singkong dijemur hingga kering dengan kadar air kurang lebih 0,3 %, lalu ditumbuk atau digiling hingga menjadi tepung. Sangat sederhana membuatnya dan peserta sudah dapat menikmati tepung Mocaf di rumah untuk membuat berbagai olahan pangan.

Pada tahap menjadi tepung Mocaf saja sudah menaikan harga kurang lebih Rp 20.000 per kilo, apalagi jika sudah menjadi olahan pangan pada tahap selanjutnya, pasti menambahkan nilai atau harga lebih tinggi. Kegiatan yang dilakukan Multiplikasi Stube-HEMAT dan Gereja GKSBS Batanghari ini dimulai dari jam 12.00 sampai dengan 17.00 WIB, memberikan bekal bagi para peserta, khususnya ibu-ibu warga gereja dalam memanfaatkan potensi hasil pertanian. Kreativitas memberi nilai tambah, terutama harga. Selamat berkreasi! ***


  Bagikan artikel ini

Kakao: Emas Coklat Dari Lampung Timur

pada hari Senin, 31 Juli 2023
oleh Pdt. Theofilus Agus Rohadi, S.Th

        

 

Desa Caturswako dan desa Sukadanabaru adalah dua desa di mana jemaat GKSBS Batanghari berada, dengan mayoritas penduduknya adalah petani perkebunan kakao. Jenis Kakao yang dikembangkan di dua desa ini adalah MCC (Masamba Cacao Clone), asal Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Kakao jenis ini memiliki potensi produksi yang tinggi dan kualitas biji yang baik, berbuah besar dan bijinya sebesar ibu jari, memiliki warna kemerahan ketika mulai masak di batang. Jenis kakao MCC ada dua, yaitu MCC 01 dan MCC 02. Penduduk dan warga jemaat gereja di dua desa ini menanam kakao jenis ini dengan masa tanam 3 tahun, buah kakao sudah bisa dipetik dan menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan. Warga gereja di dua desa ini cukup terbantu dengan tanaman kakao ini, bahkan mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi di Lampung atau di pulau Jawa dan beberapa daerah lain dari hasil kakao.

 

 

 

Multiplikator Stube-HEMATdi Lampung bersama pemuda gereja melakukan pengamatan dan belajar bersama dalam rangka agar mampu mengolah biji kakao menjadi produk turunan seperti bahan olahan rumah tangga (30/07/2023). Pertama, diawali dengan meninjau langsung perkebunan kakao milik warga gereja GKSBS Batanghari, Lampung Timur dan milik warga masyarakat yang ada di sekitar gereja yang berada di desa Caturswako dan Sukadanabaru. Kunjungan lapangan ini memperlihatkan bahwa memang benar biji kakao yang ditanam warga gereja dan masyarakat memiliki kualitas super. Hal ini bisa dilihat dari buah kakao yang cukup besar kurang lebih berbobot 0,5 kg hingga 1 kg per buah, dan saat dikupas nampaklah biji kakao sebesar ibu jari orang dewasa. Biji kakao di daerah Lampung Timur ini dipetik setiap 2 minggu sekali dan dalam 1 tahun petani bisa mendapatkan buah panen raya sekitar 3-4 kali. Pada bulan-bulan biasa para petani bisa memanen 30-50 kg per ¼ Ha, dengan harga 16.000,- per kilo setelah dijemur 2 jam. 

 

 

Multiplikator Stube-HEMAT di Lampung dan para pemuda gereja menemukan fakta bahwa para petani sudah merasa cukup puas dengan penjualan biji kakao yang masih basah, tanpa pengolahan lanjut. Apabila dibandingkan dengan pemasaran kakao yang sudah diolah, sebagai contoh dengan melakukan fermentasi, maka nilai ekonomisnya akan naik menjadi 40-55% per kilo. Apalagi jika biji kakao super ini diolah menjadi olahan coklat yang manis seperti dijajakan di pasar dan swalayan, tentu petani akan mendapatkan hasil yang lebih baik lagi. Hal ini belum terpikirkan oleh para petani untuk dapat mengolah hasil kakao mereka menjadi bahan olahan yang bernilai lebih ekonomis.

 

 

Kerinduan untuk mendapatkan “harga yang adil“ bagi petani inilah yang mendorong Multiplikator Stube-HEMAT di Lampung untuk dapat belajar mengolah kakao menjadi olahan produk rumah tangga petani di desa Caturswako dan Sukadanabaru. Pengalaman belajar bersama dengan Stube-HEMAT Yogyakarta yang memfasilitasi kunjungan-studi di desa Nglanggeran, Gunung Kidul yang mampu mengolah coklat menjadi produk turunan di “Griya Coklat”nya, sangat menginspirasi pemuda dan warga jemaat yang ada di Lampung Timur. Dengan potensi kebun coklat warga jemaat gereja di dua wilayah ini yang mencapai kurang lebih 10 hektar, tentu saja menjanjikan prospek untuk kesejahteraan warga, gereja dan masyarakat setempat.

 

 

 

Kami terus berproses bersama jemaat dan warga masyarakat untuk belajar mengolah kakao menjadi produk turunan di Lampung Timur, dengan mencari informasi, membaca, berjejaring dan berkolaborasi dengan pihak-pihak manapun yang mengetahui seluk-beluk kakao dan produk turunannya sampai mendapat hasil yang diharapkan. Kakao Lampung Timur bagaikan emas coklat yang menghias indah di kebun kami, sayang kami belum mampu mengelolanya dengan optimal. ***


  Bagikan artikel ini

Memperkaya & Menerapkan Pengetahuan

pada hari Kamis, 25 Mei 2023
oleh Yonatan Pristiaji Nugroho.

Memperkaya & Menerapkan Pengetahuan

 

Eksposur Lampung ke Yogyakarta

 

Oleh: Yonatan Pristiaji Nugroho.         

Setiap daerah memiliki hasil khas yang harus dikembangkan untuk menunjang kemajuan daerah. Perlu pemahaman detail mengenai bahan-bahan lokal yang potensial menjadi produk unggulanKeberadaan Sumber Daya Manusia yang tepat diperlukan untuk mendukung pengembangan produk lokal dan meningkatkan perekonomian daerah. Lampung, sebagai salah satu daerah layanan Multiplikasi Stube HEMAT  memiliki hasil bumi dari singkong, coklat, pisang, lada, ikan dan produk lainnya, namun belum dikelola menyeluruh karena perlu pengetahuan untuk mengolah dan berinovasi dengan potensi yang ada sementara SDM-nya terbatas, dan masyarakat cenderung tidak mau repot dan produk lebih cepat diuangkan.

 

 

 

 

Situasi di atas mendorong Stube HEMAT Yogyakarta memfasilitasi anak muda dan aktivis Multiplikasi Stube HEMAT di Lampung untuk belajar di Yogyakarta tentang pemanfaatan potensi lokal dan keterampilan tambahan seperti fermentasi buah, memanen air hujan untuk minum dan membuat abon ikan lele (Rabu, 24/05/2023). Enam peserta mendalami fermentasi buah bersama Ariani Narwastujati, S.Pd., S.S., M.Pd. (Direktur Eksekutif Stube HEMAT). Ia memandu peserta mengidentifikasi buah yang bisa difermentasi, seperti; jambu mete, pisang dan salak. Tahapan fermentasi dengan memilih buah yang matang, mengupas kulit buah dan haluskan menggunakan blender. Selanjutnya tambahkan air, gula dan rebus sampai mendidih. Setelah dingin, tambahkan ragi dan masukkan ke dalam botol fermentasi, setidaknya selama tiga minggu. Fermentasi buah dilakukan untuk memanfaatkan produksi yang melimpah dan merupakan langkah terobosan keanekaragaman produk baru sebagai income tambahan.

 

 

 

 

Topik berikutnya adalah memanen air hujan, yang memancing penasaran peserta bagaimana air hujan bisa dikonsumsi sebagai air minum sehatTrustha Rembaka, S.Th., koordinator Stube HEMAT Yogyakarta mengawalinya dengan mengajak peserta menghitung penggunaan air setiap hari, dari mandi, memasak, mencuci, membersihkan rumah, merawat tanaman dan lain lain. Peserta menggunakan 80-160 liter per orang per hari. Bisa dibayangkan berapa liter air yang digunakan untuk satu keluarga. Memanen air hujan untuk air minum menjadi penting karena air hujan gratis, belum terpapar unsur-unsur dalam tanah dan pH air hujan lebih tinggi. Selanjutnya Trustha memaparkan instalasi memanen air hujan termasuk merakit alat penyearah arus. Para peserta merakit dua bejana berhubungan dimana masing-masing bejana ada anoda (+) dan katoda (–) yang dialiri listrik DC 220V. Dalam proses elektrolisis arus listrik (+) akan menurunkan pH air dan (–) akan menaikkan pH air. Air di bejana (–) menjadi air siap minumPdt. Theofilus Agus Rohadi, S.Th., multiplikator Stube HEMAT di Lampung dan pendeta di GKSBS Batanghari mengungkapkan, “Keterampilan memanen air hujan untuk air minum sangat bermanfaat untuk menjawab masalah kesulitan air di Lampung, seperti di Rawajitu dan kawasan lainnya, bahkan dari instalasi ini air hujan bisa langsung diminum tanpa dimasak.”

 

 

Bagian terakhir peserta belajar pembuatan abon dari ikan lele bersama Sarlota Wantaar, S.Pd. Ia mengajak peserta mengidentifikasi ikan yang bisa diolah menjadi abon beserta bumbu-bumbunya. Selanjuntnya tahapan praktek memasak ikan lele menjadi abon dari mengukus ikan, memisahkan duri-durinya, dan menambahkan bumbu dan menggoreng sampai berubah warna kecoklatan, yang dilanjutkan dengan tahap pengeringan menggunakan spinner. Tahapan akhir adalah pengemasan produk.

Proses belajar ini diharapkan memperkaya wawasan dan pengetahuan dan ketika kembali ke Lampung bisa dikembangkanAyobergerak untuk membangun daerah! ***


  Bagikan artikel ini

Menunggu Kiprah Anak Muda Dalam Pembangunan Desa

pada hari Senin, 13 Maret 2023
oleh Program Multiplikasi Stube HEMAT Lampung
 
Oleh: Program Multiplikasi Stube HEMAT Lampung.             

 

Generasi muda di desa cenderung kurang proaktif untuk terlibat dalam pembangunan di daerahnya, karena mereka lebih suka pergi merantau ke daerah lain dengan alasan mencari kehidupan yang lebih baik, meskipun sesungguhnya desa memiliki potensi besar berupa sumber daya alam yang bisa dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidup. Berkaitan dengan permasalahan ini, program Multiplikasi Stube HEMAT di Lampung menggelar sarasehan di Pondok Diakonia GKSBS Batanghari dengan mengundang Sugianto (kepala urusan keuangan desa) dan Dendy Setyo Harjo (ketua Karang Taruna desa Banarjoyo) (Minggu, 12/03/2023). Sarasehan ini bertujuan agar: (1) Peserta tahu arah pembangunan desa; (2) Peserta tahu bagaimana generasi muda bersumbangsih dalam pembangunan desa; (3) Peserta memiliki gambaran peran dan fungsinya dalam pembangunan di desanya.

 

 

Sarasehan dipandu oleh Yesaya dan Griya dari pondok Diakonia yang mengawali acara dengan menggambarkan keunikan desa dan hal-hal yang menarik, serta melihat perkembangan desa di zaman yang semakin modern. Pertanyaan pertama yang diajukan kepada Sugianto adalah bagaimana perkembangan desa di zaman yang sudah semakin maju ini. “Kita patut bersyukur bahwa sekarang ini desa sudah cukup maju, baik sarana dan prasarana dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu. Dulu ke pasar saja harus ke kota Metro, sekarang sudah dekat karena ada di desa kita. Dulu harus nunggu angkot berjam-jam, sekarang sudah banyak masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi. Dulu masih banyak jalan yang gelap, sekarang hampir semua sudut desa diterangi listrik”, jawabnya.

 

 

“Selanjutnya untuk masalah ekonomi, saat ini banyak orang kreatif, dulu orang hanya berfikir bagaimana menanam padi, tetapi sekarang semakin inovatif dengan menanam beraneka ragam tanaman, sehingga berpeluang besar mendapatkan keuntungan, apalagi ditunjang akses jalan yang baik. Di era digital ini, saya pribadi merasa ketinggalan dengan anak-anak muda, komunikasi dan informasi cepat dan tersedia banyak, namun dampak buruknya orang jadi enggan berkumpul, maka  anak muda yang aktif di Karang Taruna desa Banarjoyo sedikit,” Sugianto menambah penjelasannya.

 

 

Berkaitan peran anak muda di desa, Dendy Setyo Harjo menyampaikan, “Anak muda merupakan potensi besar sebuah desa, apabila desa mau maju maka harus melibatkan anak-anak muda dalam pembangunan. Kebanyakan orang menilai anak muda itu belum tahu apa-apa, atau dibilang tidak bisa apa-apa. Kalau ada pernyataan demikian, sebagai anak muda apakah mau menerimanya?” Beberapa peserta menyatakan bahwa mereka tidak mau dianggap tidak bisa apa-apa karena mereka bisa membuat kelompok olah raga, mengembangkan kelompok belajar, kelompok wirausaha tani dan ternak, meskipun diakui di desa Banarjoyo baru 7 orang yang aktif dari 160 anggota yang terdaftar. Kegiatan yang paling umum dilakukan adalah rapat, mengisi 17-an, dan ikut mengamankan ibadah-ibadah saat hari besar keagamaan. Diakui Dendy bahwa anak muda belum banyak terlibat  pembangunan desa karena belum tahu arahnya mau kemana. Aparat desa beberapa kali mengajak rembuk bersama, namun sebatas melaksanakan arahan pemerintah desa untuk mengadakan kegiatan-kegiatan perayaan saja. Ia juga mengeluhkan tidak adanya dana khusus yang bisa dikelola oleh Karang Taruna. Selama ini kalau ada kegiatan bikin ajuan proposal atau menggali sendiri.

Menanggapi hal ini Sugianto menjelaskan bahwa ada dana desa yang bisa dianggarkan dari pemerintah desa, hanya selama ini tidak dialokasikan khusus karena tidak ada program yang diajukan untuk menjadi pembahasan saat penyusunan anggaran. Selama ini kegiatan pemuda di Karang Taruna dimasukkan dalam dana kegiatan besar desa.

 

 

 

Sebagai penutup sarasehan, Dendy menekankan, “Anak muda tidak harus merantau jauh supaya menjadi orang yang berhasil. Terkadang tuntutan zaman memaksa anak-anak yang pintar dan memiliki kemampuan cukup, pergi dari desanya. Menurut saya, perlu adanya kerjasama dan keterbukaan melibatkan anak-anak muda dalam pembangunan desa. Anak muda perlu ditanya maunya apa, agar terlibat aktif di desa tempat lahir dan dibesarkan.” Sementara Sugianto menambahkan, “Bagi saya pribadi, anak muda adalah potensi desa yang harus dikelola dan diberdayakan untuk pembangunan desa. Pemuda sangat diperlukan di desa, kalau anak mudanya tidak aktif maka desa tidak maju. Anak muda punya masa depan yang lebih baik, juga memiliki tenaga cukup untuk melakukan perubahan di desa. Pemerintah desa perlu lebih membuka diri dan proaktif melibatkan anak-anak muda desa agar tahu arah pembangunan desa dan mau terlibat dalam pembangunan tersebut.” ***

 


  Bagikan artikel ini

Mengenal Seluk-Beluk Desa

pada hari Senin, 27 Februari 2023
oleh Multiplikator Stube HEMAT Lampung
      

Hampir 70 persen masyarakat Indonesia bertempat tinggal di desa. Dengan persentase sebesar itu, desa memiliki potensi besar menopang kemajuan suatu negara. Sayangnya banyak desa belum mendapatkan perhatian pemerintah untuk dikembangkan sehingga perlu peran masyarakat terutama kaum muda untuk mengembangkan desa. Diskusi “Mengenal Seluk Beluk Desa” menjadi kegiatan penting dilakukan oleh program Multiplikasi Stube HEMAT di Lampung (Sabtu-Minggu, 25-26/02/2023). “Peserta diskusi diharapkan memiliki pemahamaan yang benar tentang desa, memiliki gambaran pentingnya desa dalam pembangunan bangsa, dan memiliki pengetahuan tentang peran dan fungsi masyarakat,” Pdt. Theofilus menyampaikan harapannya dalam pembukaan kegiatan yang dilaksanakan di desa Catur Swako, Lampung Timur ini.

Dengan moderator Cahyo dari pondok diakonia GKSBS Batanghari, dan narasumber Sukadi, SP., kegiatan ini dikemas dalam bentuk pemaparan dan tanya jawab. Sebagai narasumber, Sukadi memiliki latar belakang pendidikan Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, dan bekerja sebagai pendamping desa di salah satu desa di Lampung Timur. Sebagai pendamping desa, Sukadi bertanggung jawab mengelola potensi desa yang berupa perbukitan yang dijadikan obyek wisata bekerjasama dengan Karang Taruna dan Badah Usaha Milik Desa (BUMDes) setempat. “Desa adalah kesatuan masyarakat hukum dengan penyelenggaraan rumah tangga berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui oleh pemerintah pusat dan berkedudukan di dalam wilayah kabupaten. Secara etimologis kata desa berasal dari bahasa sansekerta, yaitu deca yang diartikan sebagai tanah air, kampung halaman, atau tanah kelahiran. Secara geografis, desa atau village diartikan sebagai groups of houses or shops in a country area, smaller than a town,” papar narasumber membuka diskusi. Desa memiliki potensi besar apabila dikelola dengan baik dan dengan memiliki pemahaman yang baik tentang desa akan menolong seseorang menjadi tidak lagi meremehkan desa.

 

 

Sukadi mengapresiasi mutliplikasi Stube-HEMAT di Lampung yang membuka forum belajar sehingga anak-anak dari desa punya pengalaman mengenal diri termasuk mengenal desanya. Ia berharap bahwa banyak anak-anak desa yang semakin maju sehingga bisa mengembangkan dan mengelola potensi desanya. Selanjutnya narasumber menjelaskan desa sebagai wilayah adminstratif di bawah kabupaten, kepemimpinan serta jajaran di pemerintahan desa, struktur desa, serta badan-badan pengawas desa.   Semua itu untuk menjadikan desa mandiri, mampu membangun desa, dan mampu melakukan pemberdayaan masyarakat desa, memiliki kemampuan melihat dan mengelola sumber daya yang ada, baik sumber daya alam, maupun sumber daya manusia. Sukadi mendorong peserta diskusi ambil bagian dalam pembangunan desa. Kalau ada akses terbuka dari pihak desa, anak-anak muda bisa mengusulkan kegiatan-kegiatan yang positif untuk dikembangkan di desa.

Kegiatan hari Minggu berupa sarasehan dengan jemaat gereja untuk melihat potensi diri dan wilayah dipimpin oleh Pdt. Theofilus A.R dan Thomas Julianto. Warga jemaat rata-rata adalah petani, sehingga banyak menghasilkan hasil bumi seperti, kopi coklat, jahe, kunir, pisang dan singkong. Dalam sarasehan ini muncul keinginan warga jemaat untuk meningkatkan penghasilan mereka, namun mereka tidak berdaya karena hasil pertanian memiliki harga yang sangat rendah, jauh dibandingkan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Ada dua hal yang diharapakan warga jemaat di Caturswako yakni mampu mengelola produk supaya bernilai jual tinggi dan menemukan pembeli/pasar yang tepat. Warga jemaat mengeluhkan pasar yang sering tidak memberi penghargaan yang sepadan dengan jerih payah para petani.

Sarasehan ini menemukan potensi dan peluang-peluang bisnis yang bisa mulai dirintis dan perlunya pemberdayaan masyarakat dan warga gereja. Sehingga untuk tindak lanjut, perlunya pelatihan dan pembinaan untuk mengelola hasil pertanian, perlunya jejaring untuk menjembatani petani dan pasar yang tepat. Selain itu, kegiatan ini menstimulasi peserta mempunyai rasa memiliki atas desa tempat mereka tinggal, dan mendorong anak-anak muda untuk tidak rendah diri tetapi tetap optimis bahwa mereka juga bisa berhasil. ***


  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2023 (7)
 2022 (9)
 2021 (15)
 2020 (7)

Total: 38