502 tahun sudah reformasi gereja sejak 31 Oktober 1517 saat Martin Luther memaku 95 dalil berisi kritik terhadap otoritas Katolik pada pintu gereja di Wittenberg. Itu artinya jemaat gereja telah 502 kali diingatkan akan perubahan-perubahan yang terjadi di tubuh gereja untuk mereformasi tatanan gereja manjadi lebih baik. Visi revolusioner dan sikap kritis inilah yang ingin ditumbuhkan pada jemaat saat itu ketika gereja memperjualbelikan surga untuk menutupi utang dan menambah pundi-pundi untuk pembangunan Basilika.
Sejarah reformasi gereja harus dipahami dengan mengingat makna awal gereja. Ekklesia (gereja) artinya dipanggil dari, gereja harus menjadi penyelamat jiwa-jiwa untuk diangkat dan diselamatkan dari tantangan dunia saat ini lewat pemenuhan Tri Tugas Panggilan dengan konsep melayani Tuhan dan sesama umat manusia sebagaimana pemaknaan bentuk vertikal dan horizontal salib. Bagaimana gereja masa kini mengaplikasikan ajaran reformasi Calvin–Luther serta perkembangannya khususnya di Bengkulu? Inilah topik diskusi Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu bersama pemuda mahasiswa bersama Jonny Simamora, akademisi Universitas Bengkulu dan salah satu penatua Gereja aliran Lutheran yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Jitra, Bengkulu. Selain itu Jonny juga ikut membidani lahirnya BKSAG (Badan Kerja Sama Antar Gereja) Bengkulu.
Bertempat di kediaman Jonny Simamora pada minggu (27/10/19) pukul 20.00 WIB, diskusi dimulai dengan perkenalan Stube-HEMAT oleh Yohanes Dian Alpasa, S.Si, selaku Multiplikator Stube HEMAT di Bengkulu. Sebagai lembaga yang didukung oleh gereja-gereja Lutheran di Jerman, reformasi gereja penting dipahami oleh para aktivis Stube-HEMAT. Selanjutnya Jonny Simamora memulai percakapan diskusi. Menetap 36 tahun di Bengkulu, Jonny sudah 16 tahun menjadi penatua di HKBP yakni sejak tahun 2013. Sejarah gereja di Bengkulu dimulai tahun 1956 dengan nama Gereja Oikumene. Menurut Jonny, perkembangan gereja di Bengkulu termasuk cepat, dibuktikan dengan sudah banyak gereja berdiri secara khusus di daerah Bengkulu Utara dan Seluma. Namun saat berbicara reformasi, pesatnya pembangunan gereja tidak diikuti dengan perkembangan iman petinggi gereja dan jemaat. Ada 2 poin penting yang melandasi pernyataan ini, yakni: 1) Gereja masih berkutat pada mamon; dan 2) Gereja masih bersifat pragmatis dengan relasi kekuasaan. Dua poin itulah yang menjadi tantangan paling berat gereja.
Terbukti adanya gereja yang pecah dan saling mengagungkan nama organisasi gerejanya bahkan pecah karena uang. Praktik uang di dalam gereja yang ditentang oleh Martin Luther zaman itu masih terjadi di gereja saat ini. Bahkan relasi beberapa gereja di Bengkulu dirasa kurang harmonis.
Sebagai refleksi 502 tahun reformasi, gereja harus selalu terreformasi, Ecclesia semper reformanda est, gereja harus terus menguji dirinya sendiri untuk mengutamakan kemurnian doktrin dan praktiknya. Gereja harus menjadi garam dan terang (Matius 5:13-14). Gereja yang hidup adalah gereja yang melayani, meninggalkan sifat-sifat egonya, dan menghadirkan shalom Allah. Itulah sejatinya gereja.
Kiffli Simanulang, salah satu peserta diskusi mengungkapkan, “Saya merasa bersyukur, bisa belajar dan kembali disegarkan mengenai reformasi gereja, hal baru bagi saya. Saya juga jadi tahu perkembangan dan relasi gereja di Bengkulu.” Kiffli juga mengapresiasi kehadiran Stube Hemat di Bengkulu karena Stube benar-benar melakukan pendampingan dalam pengembangan pemuda dan mahasiswa. Sudah 3 kali dia mengikuti diskusi di Stube dan selalu mendapat wacana baru yang bermutu, tidak hanya sekedar seremonial belaka. Semoga anak muda menjadi ecclesia muda yang kritis dan dinamis menghadirkan shalom Allah. (YM).