Perlindungan Anak dan Perempuan di Humbang Hasundutan

pada hari Senin, 31 Januari 2022
oleh Yedija Manullang

Oleh: Yedija Manullang.          

 

Perlindungan terhadap anak dan perempuan merupakan tanggung jawab orang tua, keluarga, maupun masyarakat sekitarnya. Perlindungan yang diberikan pada anak merupakan jaminan agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan juga dapat bersosialisasi di lingkungan sekitarnya. Masih banyak kasus dan pelanggaran dengan korban anak dan perempuan, baik perdagangan, kekerasan, pelecehan seksual dan berbagai kasus pelanggaran lainnya. Lebih buruk lagi, banyak kasus dilakukan orang dekat korban bahkan anggota keluarga sendiri.

 

 

Oleh karena itu Multiplikasi Stube HEMAT Bengkulu melalui aktivisnya yang ada di Doloksanggul, Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara melakukan kunjungan ke Sopo Baca Haminjon di Desa Pandumaan, Humbahas untuk membicarakan pentingnya perlindungan anak dan perempuan di Humbahas, sekaligus menilik literasi anak-anak di desa tersebut (Minggu, 30/01/2021). Sopo artinya rumah kecil sementara itu Haminjon merupakan tanaman endemik tanah Batak yang berusia ratusan tahun dan turun temurun diwariskan kepada keluarga untuk dikelola untuk diambil getahnya dengan cara disadap menjadi bahan bakar karet.

 

 

Agustina Pandiangan, seorang aktivis perempuan dan anak sekaligus pendiri Sopo Baca Haminjonmenjelaskan bahwa percakapan atau diskusi mengenai perlindungan perempuan dan anak sangat penting dan urgen. Sopo didirikan untuk membuktikan bahwa anak-anak desa mampu membaca, peduli lingkungan dan merdeka belajar. “Diskusi menyoal perlindungan perempuan dan anak sangat penting mengingat dari tahun ke tahun kasus pelanggaran terhadap perempuan dan anak terus mengalami peningkatan. Apalagi diskusi  semacam ini belum banyak dilakukan di daerah-daerah,” ujar Agustina. “Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan terbilang sedikit dibandingkan daerah yang lain dan kita berharap agar tidak ada lagi di Humbang Hasundutan. Namun itu yang masuk dalam pemberitaan, bagiamana yang luput dari media ?” tanya Agus.

 

 

Oleh karena itu diskusi menyoal perlindungan perempuan dan anak menjadi sangat penting, sebagai proteksi dini agar kasus-kasus demikian tidak terjadi, serta menjadi edukasi bagi masyarakat secara khusus anak dan perempuan dalam mengantisipasi kekerasan terhadap diri mereka.

 

 

Di akhir pertemuan, dibagikan alat-alat tulis berupa buku tulis, pensil, pena, penghapus, rautan serta buku bacaan untuk menambah koleksi dan bacaan di Sopo Baca Haminjon. 


  Bagikan artikel ini

Diskusi Perlindungan Ibu & Anak di Bengkulu Tengah

pada hari Senin, 31 Januari 2022
oleh Reginiana DK

Oleh: Reginiana DK          

 

Kekerasan terhadap anak, perdagangan manusia dan kekerasan seksual kerap terjadi dmasyarakatBanyak faktor yang mendukung terjadinya kasus tersebut. Masalah ini dirasa baik untuk dibahas dan diketahui banyak pihak, maka Stube Bengkulu membahasnya dalam diskusi yang dilaksanakan di desa Taba Gemantung, kecamatan Merigi Sakti, Kabupaten Bengkulu Tengah (30/01/2022).

 

 

 

 

Diikuti 10 pemuda desa dengan narasumber Reginiana Dosvia Khalista S.Pd.K, volunteer program multiplikasi Stube-HEMAT Bengkulu yang berprofesi sebagi guru dan pembina pemuda. Diskusi mengungkap data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2015 saja telah terdapat 21,6 juta kasus pelanggaran hak anak, bahkan 58% diantaranya masuk kategori kasus kekerasan seksual terhadap anak yang berujung pada pembunuhan.

Mengapa kekerasan seksual bisa terjadi pada anak? Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah: 1) Faktor pertama adalah peranan orang tua. Orang tua memiliki peran besar untuk pencegahan kasus tersebut dengan meningkatkan pengawasan serta memberikan pendidikan sekspelanggaran dan konsekuensinya. Sayangnya, hal ini kerap kali masih dipandang tabu bagi beberapa orang tua sehingga anak tidak memiliki pemahaman yang benar tentang seks. Oleh sebab itu, orang tua harus lebih aktif menjalin komunikasi terhadap anak terkait permasalahan tersebut. Anak akhirnya akan tahu bagaimana menggunakan gadget dengan bijaksana. 2) Faktor kedua adalah lingkungan dimana pergaulan dan tempat anak beradaMasyarakat sekitar juga harus memiliki karakter hidup yang sehat, karena anak atau orang dewasa yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan itu akibat dari meniru. Lingkungan yang tidak sehat seperti adanya pengaruh miras, narkotika, ataupun pornografi yang terjadi, maka lambat laun akan mempengaruhi. 3) Faktor ketiga adalah adanya pencetus. Korban dan pelaku biasanya anak yang pendiam dan tahunya tidak benar menolak ketika disentuh, dan karena takut maka sangat mudah menjadi korban. Sedangkan untuk pelaku, pencetusnya biasanya karena dorongan seksual yang tidak tersalurkan dengan wajar.

 

Dari penjelasan tersebut peserta menyatakan pemikirannya yaitu: 1) Pemuda desa Taba Gemantung harus memiliki pemahaman yang benar mengenai pelanggaran seksual dan membagikan informasi tersebut kepada masyarakat; 20) Pemuda desa Taba Gemantung harus menjadi teladan bagi masyarakat di desanya dengan gaya hidup yang benar; 3) Pemuda Desa Taba Gemantung akan menjadi pemerhati masyarakat untuk menghindari adanya kekerasan seksual, dan memberikan edukasi kepada anak muda di desanya untuk memiliki sikap berani menolak ketika akan dilecehkan.

Diskusi yang telah terlaksana diharapkan menjadi sumber informasi yang baik dan membantu para pemuda untuk mencegah terjadinya tindakan kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dan anak-anak di Provinsi Bengkulu pada umumnya.


  Bagikan artikel ini

Kehidupan Perempuan dan Anak Suku Nias dan Mentawai (Memahami Problem Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Bengkulu)

pada hari Senin, 31 Januari 2022
oleh Arisman Laia
Oleh: Arisman Laia.          

 

Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Bengkulu

 

Saya telah mengikuti Kegiatan Stube-HEMAT Bengkulu sejak Oktober 2021, banyak manfaat yang saya dapatkan terutama topik-topik sosial yang tidak kami pelajari di kampus. Bulan Januari ini bersama teman-teman Stube-HEMAT Bengkulu di Kampus STTAB membuat diskusi dengan Tema Perlindungan Perempuan & Anak di Bengkulu. Dengan sub tema: Perspektif Kehidupan Perempuan dan Anak Suku Nias dan Mentawai Sebagai Upaya Memahami Problem Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Bengkulu (31/1/2022).

 

 

Pertemuan Stube HEMAT Bengkulu di STTAB menerapkan model dialog. Diskusi dimulai dengan mendengarkan  paparan salah seorang teman Nias tentang kehidupan perempuan dan anak. Salah satunya Elboy Gulo yang mengatakan,Perempuan di Nias sangat dijaga dalam keluarga. Saat seorang perempuan beranjak dewasa dan akan menikah, maka ada ”jujuran” (mas kawin) yang wajib diberikan pihak laki-laki. Semakin berpendidikan seorang perempuan, maka nilai jujurannya semakin tinggi. Perempuan Nias zaman dulu dilarang sekolah, juga karena faktor orang tua tidak mampu membiayai. Jujuran yang tinggi memberikan dampak, banyak perempuan Nias sulit mendapat seorang suami. Banyak kasus ketika sudah menikah lebih fokus melunasi jujuran, akibatnya anak-anak kurang perhatian dan kesulitan ekonomi yang mengakibatkan hambatan untuk menempuh pendidikan tinggiNamun, saat ini perempuan sudah mendapat posisi yang hampir sama dengan laki-laki.”

 

 

Selanjutnya Ajupendi Sakerebau dari Mentawai menjelaskan,”Perempuan di suku Mentawai sangat dihargai. Dahulu perempuan tidak dibebaskan berpendidikan, karena perempuan hanya fokus pada keluarga. Saat ini perempuan sudah diberi kesempatan mendapatkan pendidikan. Perempuan suku ini tidak mendapat warisan dari orangtua, karena ketika menikah mendapat warisan dari suami. Ketika akan menikah pihak laki-laki terlebih dahulu bertanya kepada paman dari pihak perempuan, sementara orang tua tidak membebankan mas kawin yang tinggi. Perempuan diijinkan menempuh pendidikan, namun orang tua menekankan harus tinggal di asrama, dan tidak dibebaskan kos. Anak-anak perlu dijaga karena mereka harta istimewa keluarga. Anak-anak perlu disekolahkan. Namun saat ini masih ada orang tua yang tidak mendukung.”

Kristin Oktaviani, seorang pembina anak asrama di salah satu panti asuhan di Bengkulu, menceritakan pengalamannya, ”Ada anak kelas 3 SD yang mendapatkan perlakukan asusila dari tetangganya, karena orang tuanya sering meninggalkan sendiri di rumah karena kerja. Ketika orang tua melapor kpihak kepolisan, pelaku memutarbalikkan fakta dan hal ini membuat anak itu sangat trauma. Juga ada kasus anak-anak dimanfaatkan menjadi perantara perdagangan narkoba.”

Data terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak disampaikan Linistiasi Gea. Ia membeberkan, ”Di Bengkulu tahun 2016 terjadi kasus kekerasan dan pemerkosaan serta pembunuhan terhadap remaja perempuan bernama Yuyun oleh 14 laki-laki. Selanjutnya 7 November 2017 di Desa Kota Lekat, Kec. Ulu Palik, Bengkulu Utara, seorang gadis remaja usia 14 tahun diperkosa 20 orang pria. Dan data terakhir 16 November 2021 terjadi kasus pemerkosaan terhadap 4 orang remaja putri oleh 7 pria yang salah satu pelakunya berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).”

Dari tiga paparan tersebut, diskusi dimulai untuk mengintegrasikan konteks pemikiran budaya Nias, Mentawai dan kasus di Bengkulu untuk menemukan solusi atau ide-ide positif. Peemi Guswita Zalukhu menyatakan,Nilai positif suku Nias dan Mentawai adalah menghargai perempuan dan bertanggung jawab terhadap anak-anak, maka hendaknya memberikan edukasi bagi rekan-rekan di Bengkulu untuk bersikap positif menghargai perempuan dan melindungi anak-anak.”

Sementara Aprima Heppy Halawa menyatakan, ”Sama seperti budaya di Nias dan Mentawai yang telah terbuka memberikan kesempatan perempuan dan anak-anak untuk sekolah, maka hendaknya terus mendorong kehidupan perempuan dan anak-anak serta orang tua untuk memajukan pendidikan bagi perempuan dan anak-anak agar memiliki wawasan dan hikmat dalam menjaga kehidupan.”

Terakhir saya sendiri menyampaikan bahwa: ”perlunya memperlengkapi diri dengan pengetahuan tentang hukum perlindungan perempuan dan anak, sehingga jika para mahasiswa teologi melihat kasus kekerasan dapat melakukan tindakan dengan bijaksana yaitu melaporkan ke pihak yang berwajib.”

Pertemuan Stube HEMAT Bengkulu ditutup oleh Made Nopen Supriadi, dosen STTAB, dengan kesimpulan bahwa mahasiswa teologi perlu menunjukkan kepekaan terhadap para perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan dengan siap sedia menjadi konselor bagi merekaberani bertindak melapor ke pihak yang berwajib jika mengetahui kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Made juga mengajak agar mengintegrasikan pengetahuan budaya baik Nias dan Mentawai yang menghargai perempuan dan melindungi anak-anak juga dilakukan di Bengkulu. Ia juga menekankan agar mahasiswa teologi memberi teladan kehidupan yang bermoral dan bermartabattidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk sesama manusia secara khusus perlindungan perempuan dan anak. ***


  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2023 (11)
 2022 (20)
 2021 (21)
 2020 (19)
 2019 (8)
 2018 (9)
 2017 (17)

Total: 105