B e n g k u l u, Harapan “Role Model“ Toleransi I n d o n e s i a

pada hari Senin, 12 Agustus 2019
oleh adminstube
 
 
Dari tahun ke tahun Indonesia masih dihadapkan dengan limpahan kasus yang sebenarnya sudah usang dan tidak relevan lagi untuk kita bicarakan namun tetap saja masih menjadi momok yang menakutkan dan sangat berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan yang ada di dalam negeri ini, yaitu kasus intoleransi. Kasus intoleransi ada dan bahkan berkembang di Indonesia yang memang beragam dan majemuk. Kemajemukan beresiko membawa perseteruan dan kegaduhan. Padahal dalam kondisi yang sebenarnya, keberagaman kita adalah anugerah dan kelebihan Indonesia. Sebagai contoh keberagaman agama. Agama tidak mengajarkan keburukan, tetapi kebaikan. Kita boleh beda sebutan istilah, ritual dan cara namun yang paling penting kita percaya pada keberadaan Tuhan, sang Pencipta. Dengan percaya pada keberadaan Tuhan, kita diingatkan untuk hidup damai dan merawat Indonesia sebagai pemberianNya kepada kita. Tidak ada negara yang maju tanpa perdamaian. Sejatinya perbedaan yang ada tidak menjadi penghalang untuk hidup rukun, damai dan saling menghargai dengan sudah finalnya ideologi bangsa kita, ideologi Pancasila.

Provinsi Bengkulu yang terdiri dari 10 kota/kabupaten termasuk salah satu daerah yang minim konflik intoleransi. Hal ini dibuktikan belum ada pelaporan atau pemberitaan media mengenai hal tersebut. Bengkulu yang lahir pada 18 November 1968 memiliki penduduk sekitar 2 juta jiwa didominasi oleh masyarakat yang beragama Islam. 

Layakkah Bengkulu menjadi “Role Model” Toleransi di Indonesia?
Setara Institute mencatat dan meneliti ada 10 kota paling toleran di Indonesia, yaitu : Singkawang, Kalimantan Barat, Salatiga, Pematang Siantar, Manado, Ambon, Bekasi, Kupang, Tomohon, Binjai, Surabaya. Setara Institute juga mencatat ada beberapa daerah yang minim toleransi, yaitu : Aceh, Jakarta, Cilegon, Padang, Depok, Bogor, Makassar, Medan, Sabang dan Tanjung Balai. Secara data Bengkulu tidak masuk keduanya. Layakkah Bengkulu masuk ke dalam daftar daerah yang toleransinya tinggi?
 
 
Jonny Simamora, S.H., M.Hum
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Negeri Bengkulu
Kita belum bisa saling menerima, termasuk kita sendiri (Baca: Orang Kristen di Bengkulu) masih merasa egonya paling tinggi antar umat, gereja dan agama. Untuk mengatasinya adalah dengan saling mengenal. Berke-Tuhan-an menjadi tolak ukur untuk membangun hubungan horizontal antara sesama manusia. Memang tidak gampang. Berketuhanan biarlah menjadi urusan pribadi kita dengan Tuhan sendiri dan kita aplikasikan dalam membangun kesetaraan dengan tidak menganggap orang lain lebih rendah dari kita. Persoalannya kemudian adalah bahwa kemasyarakatan kita sangat kurang tetapi Ketuhanannya seolah paling tinggi. Agama kita benar tetapi bukan berarti agama orang lain salah. Ini yang harus kita pahami bersama, karena yang mengetahui kita benar atau salah hanya Tuhan saja.

 
Pdt. Pakkat Sitinjak, S.Th.
Ketua PGIW Bengkulu
Toleransi dibagi dua, antara internal dan eksternal. Internal adalah hubungan antara kristen termasuk di antaranya relasi antar gereja dan persekutuan. Gerakan oikumene masih menjadi dasar dalam internal walaupun kita hidup di antara banyaknya denominasi gereja yang sering kali banyak gereja hanya memperbesar organisasinya dan bukan visi dari Kristus, namun walaupun demikian kita relasi kita masih bagus dan bisa duduk bersama dengan perbedaan tadi.  
 
Eksternal: Kehidupan sehari dengan perbedaan suku, budaya dan agama sudah bagus dengan tidak adanya konflik namun perlu ditingkatkan dengan narasi dan percakapan-percakapan yang lebih intens tentang persatuan. Bahkan di beberapa tempat di daerah Bengkulu Gereja dan Masjid saling berdiri berdampingan. Kebebasan beribadah pun sampai saat ini dalam bentuk fisik belum ada pelarangan. Namun beberapa tempat ibadah belum mendapatkan ijin bangunan dengan alasan tidak memenuhi syarat. Namun ini bukan menjadi kendala utama, kitalah yang kurang dalam membangun komunikasi di dalam lingkungan kita.


Cak Komarudin, Ketua RT )3/07
dan tokoh masyarakat
di wilayah UNIB Belakang
Kita hidup di lingkungan UNIB belakang ini dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini membuat konflik atau kasus intoleransi tidak ada di lingkungan ini. Di tengah banyaknya masyarakat yang diayomi sekitar 1000 jiwa dan 900 jiwa datang dari berbagai daerah (read: mahasiswa) yang ada di Indonesia, tidak ada perbedaan dari suku dan agama yang membuat saya harus timpang tindih atau berlaku adil dan tidak adil. Semua sama sesuai dengan konstitusi kita dan ideologi bangsa kita. Kita pun membuat aturan untuk mengatur kehidupan bersama dan bermasyarakat di lingkungan ini yang harus kita patuhi bersama dan tidak ada ketimpangan di sini. Namun kita harus akui masih banyak dari kita yang belum memenuhi aturan, menerima perbedaan dan menghargai perbedaan itu sendiri.

Lebih lanjut memang harus ada penelitian dan pengembangan terkait intoleransi di Bengkulu sehingga dapat menjawab pertanyaan layakkah Bengkulu menjadi satu model toleransi di Indonesia. Karena ada beberapa variabel yang harus menjadi dan sebagai syarat untuk daerah toleran di Indonesia. Namun di provinsi Bengkulu ada salah satu daerah yang menurut penulis sudah memenuhi kriteria tersebut, yaitu Desa Rama Agung, Arga makmur, dan Bengkulu Utara. Hal ini dibuktikan dari masyarakatnya yang pluralis, multikultur, multiagama, multi tempatperibadatan, bahkan di pusat desa tersebut sempat didirikan monumen rumah-rumah ibadat dari semua agama yang diakui di Indonesia untuk menghargai keberagaman. 
 
Kita berharap toleransi yang ada di Bengkulu terus dijaga dan dirawat serta menggalakkan persatuan dan kesatuan di tengah perbedaan, dengan harapan kedepan Bengkulu menjadi salah satu daerah yang menjadi role model toleransi untuk Indonesia. (YDJ)

 

 

  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2023 (11)
 2022 (20)
 2021 (21)
 2020 (19)
 2019 (8)
 2018 (9)
 2017 (17)

Total: 105