Menjadi Bagian  51 Tahun Provinsi Bengkulu
 

pada hari Jumat, 29 November 2019
oleh adminstube

 

 

 

 

 
Delapan belas November merupakan hari bersejarah bagi masyarakat Bengkulu, karena tiga puluh delapan tahun yang lalu, tepatnya 18 November 1981 Bengkulu menjadi salah satu provinsi baru di Indonesia, hasil pemekaran provinsi Sumatera bagian selatan (Sumbagsel). Sebagai bagian masyarakat Bengkulu, Stube-HEMAT memanggil beberapa mahasiswa untuk menganalisis dinamika Bengkulu dalam bidang ekonomi.

 


 

Masih sedikit kajian mengenai resesi ekonomi dunia tahun 2020 bahkan untuk tingkat nasional, padahal dikuatirkan Indonesia akan ikut mengalaminya. Di Bengkulu juga sama, tidak banyak komunitas maupun organisasi yang berbicara mengenai topik ekonomi tersebut. Hal itulah yang mendorong Stube-HEMAT membuat diskusi bertepatan dengan momentum dies natalis Bengkulu bertema “51 Tahun sudah Provinsi Bengkulu Perkembangan dan Kemajuannya dalam Bidang Ekonomi” pada tanggal 28 November 2019 di Kenrich kafe, Bengkulu.

 


 

Difasilitatori oleh Esti Pasaribu, salah seorang Akademisi Fakultas Ekonomi di Universitas Bengkulu (UNIB), diskusi ini diawali dengan pengenalan Stube-HEMAT oleh Koordinator Multiplikasi Stube HEMAT Bengkulu, Yohanes Dian Alpasa, S.Si. Perkenalan lembaga ini penting karena peserta merupakan peserta yang baru pertama kali hadir mengikuti kegiatan Stube-HEMAT.

 

 
 

 

Esti selaku pemantik diskusi memulai dengan menjelaskan bahwa Provinsi Bengkulu merupakan daerah termiskin kedua di Pulau Sumatera. Lebih lanjut dijelaskan alasan mengapa Bengkulu masih dalam kemiskinan, yakni  karena ketidakmampuan Bengkulu memproduksi barang serta masyarakat Bengkulu masih berperilaku komsumtif bukan produktif. Hal ini sesuai dengan 10 prinsip Ekonomi yang sudah dipakai menjadi ilmu dalam bidang Ekonomi dari Prof. Manque, dimana nomor 8 menyebutkan bahwa standar hidup suatu negara bergantung dari jasa dan produk yang dihasilkan.

 

 
 

 

Terjadi fenomena menarik di Bengkulu, dimana Upah Minimum Rendah (UMR) masih kecil, namun kebutuhan hidup tergolong tinggi. Normalnya UMR tinggi kebutuhan hidup juga tinggi seperti di daerah Batam atau UMR rendah dan kebutuhan rendah seperti daerah Yogyakarta. Data LIPI menyebutkan dalam beberapa bulan terakhir Bengkulu mengalami kenaikan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,06% dari 4%, namun masih banyak terjadi kesenjangan dan kemiskinan di dalam masyarakat, hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi terjadi akibat Investasi yang masuk melalui para investor yang membuat pertumbuhan ekonomi meningkat namun keuntungan hanya sedikit yang masuk ke Bengkulu dan lebih banyak masuk ke investor. Hal ini akan sekedar menaikkan data statistik pertumbuah ekonomi saja. Jika hal ini terus terjadi maka kesenjangan masih akan terus ada.

 

 
 

 

Walaupun diskusi berlangsung cukup panjang, namun para peserta tetap antusias karena selain menghadirkan akademisi juga praktisi, yakni Madison, mahasiswa semester 5 Fakultas Ekonomi yang melakukan usaha minyak kelapa. Esti menjelaskan bahwa salah satu contoh nyata untuk mengubah tingkat kemiskinan di Bengkulu adalah dengan mengubah pola masyarakat Bengkulu yang semula konsumtif menjadi pelaku produksi, yaitu menghasilkan barang dengan contoh nyata adalah Madison.

 

 

 

Selanjutnya Madison menjelaskan usaha yang dia lakukan, yakni produksi minyak kelapa yang diberi nama VCO (Virgin Coconut Oil) yang sudah dimulai sejak semester 4 dengan menggunakan dana pribadi. Hal ini didasari karena Bengkulu menghasilkan kelapa yang melimpah dan belum banyak diproduksi untuk kebutuhan lain. Kelapa sebagai bahan utama VCO sengaja dibeli dari warga sekitar pantai untuk membantu pertumbuhan ekonomi warga disana. VCO yang awalnya hanya minyak kelapa murni dapat dijadikan berbagai produk seperti minuman, minyak rambut dan keripik kelapa. Sebagai bentuk pengembangannya, Madison dan rekan dibantu salah satu dosen UNIB akan membangun kerjasama dengan salah satu desa di Bengkulu untuk menjadikan VCO sebagai salah satu usaha rumahan dari warga yang ada di desa tersebut. Kerjasama ini akan diselesaikan pada bulan Desember 2019 hingga Januari 2020.

 

 

Diskusi berakhir dengan sebuah kesimpulan dan tekad bahwa setiap peserta diskusi akan menjadi salah satu bagian dari pelaku produksi dan tidak lagi hanya konsumtif. (YM)


  Bagikan artikel ini

502 Tahun Reformasi Gereja   Reformasi &  Perkembangannya Di Bengkulu  

pada hari Senin, 28 Oktober 2019
oleh adminstube

 

 

 

 

 

502 tahun sudah reformasi gereja sejak 31 Oktober 1517 saat Martin Luther memaku 95 dalil berisi kritik terhadap otoritas Katolik pada pintu gereja di Wittenberg. Itu artinya jemaat gereja telah 502 kali diingatkan akan perubahan-perubahan yang terjadi di tubuh gereja untuk mereformasi tatanan gereja manjadi lebih baik. Visi revolusioner dan sikap kritis inilah yang ingin ditumbuhkan pada jemaat saat itu ketika gereja memperjualbelikan surga untuk menutupi utang dan menambah pundi-pundi untuk pembangunan Basilika.

 

 

 

 

Sejarah reformasi gereja harus dipahami dengan mengingat makna awal gereja. Ekklesia (gereja) artinya dipanggil dari, gereja harus menjadi penyelamat jiwa-jiwa untuk diangkat dan diselamatkan dari tantangan dunia saat ini lewat pemenuhan Tri Tugas Panggilan dengan konsep melayani Tuhan dan sesama umat manusia sebagaimana pemaknaan bentuk vertikal dan horizontal salib. Bagaimana gereja masa kini mengaplikasikan ajaran reformasi Calvin–Luther serta  perkembangannya khususnya di Bengkulu? Inilah topik diskusi Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu bersama pemuda mahasiswa bersama Jonny Simamora, akademisi Universitas Bengkulu dan salah satu penatua Gereja aliran Lutheran yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Jitra, Bengkulu. Selain itu Jonny juga ikut membidani lahirnya BKSAG (Badan Kerja Sama Antar Gereja) Bengkulu.

 

 

 

 

 

 

Bertempat di kediaman Jonny Simamora pada minggu (27/10/19) pukul 20.00 WIB, diskusi dimulai dengan perkenalan Stube-HEMAT oleh Yohanes Dian Alpasa, S.Si, selaku Multiplikator Stube HEMAT di Bengkulu. Sebagai lembaga yang didukung oleh gereja-gereja Lutheran di Jerman, reformasi gereja penting dipahami oleh para aktivis Stube-HEMAT. Selanjutnya Jonny Simamora memulai percakapan diskusi. Menetap 36 tahun di Bengkulu, Jonny sudah 16 tahun menjadi penatua di HKBP yakni sejak tahun 2013. Sejarah gereja di Bengkulu dimulai tahun 1956 dengan nama Gereja Oikumene. Menurut Jonny, perkembangan gereja di Bengkulu termasuk cepat, dibuktikan dengan sudah banyak gereja berdiri secara khusus di daerah Bengkulu Utara dan Seluma. Namun saat berbicara reformasi, pesatnya pembangunan gereja tidak diikuti dengan perkembangan iman petinggi gereja dan jemaat. Ada 2 poin penting yang melandasi pernyataan ini, yakni: 1) Gereja masih berkutat pada mamon; dan 2) Gereja masih bersifat pragmatis dengan relasi kekuasaan. Dua poin itulah yang menjadi tantangan paling berat gereja.

 

 

 

 

 

 

Terbukti adanya gereja yang pecah dan saling mengagungkan nama organisasi gerejanya bahkan pecah karena uang. Praktik uang di dalam gereja yang ditentang oleh Martin Luther zaman itu masih terjadi di gereja saat ini. Bahkan relasi beberapa gereja di Bengkulu dirasa kurang harmonis.

 

 

 

 

 

 

Sebagai refleksi 502 tahun reformasi, gereja harus selalu terreformasi, Ecclesia semper reformanda est, gereja harus terus menguji dirinya sendiri untuk mengutamakan kemurnian doktrin dan praktiknya. Gereja harus menjadi garam dan terang (Matius 5:13-14). Gereja yang hidup adalah gereja yang melayani, meninggalkan sifat-sifat egonya, dan menghadirkan shalom Allah. Itulah sejatinya gereja.

 

 

 

 

 

 

Kiffli Simanulang, salah satu peserta diskusi mengungkapkan, “Saya merasa bersyukur, bisa belajar dan kembali disegarkan mengenai reformasi gereja, hal baru bagi saya. Saya juga jadi tahu perkembangan dan relasi gereja di Bengkulu.” Kiffli juga mengapresiasi kehadiran Stube Hemat di Bengkulu karena Stube benar-benar melakukan pendampingan dalam pengembangan pemuda dan mahasiswa. Sudah 3 kali dia mengikuti diskusi di Stube dan selalu mendapat wacana baru yang bermutu, tidak hanya sekedar seremonial belaka. Semoga anak muda menjadi ecclesia muda yang kritis dan dinamis menghadirkan shalom Allah. (YM).

 


  Bagikan artikel ini

Pemuda Menerobos Eksklusivitas

pada hari Rabu, 25 September 2019
oleh adminstube

 
“Kolaborasi Pemuda Lintas Perbedaan Ditengah Eksklusivitas Masyarakat Indonesia” menjadi topik diskusi program Multiplikasi Stube-HEMAT Bengkulu pada tanggal 24 September 2019. Bertempat di Kedai Kenrich Jl. WR Supratman, Kandang Limun Unib Belakang, diskusi selama kurang lebih satu setengah jam dipandu oleh Mutiara E. Lumban Gaol, dengan moderator Hosani Ramos Hutapea dan nara sumber Yedija Manullang.
 
Diskusi dibuka dengan perkenalan Stube-HEMAT sebagai lembaga pendampingan mahasiswa dan sharing pengalaman selama mengikuti pelatihan ‘Multikultural dan Dialog Lintas Agama’, di Stube-HEMAT Yogyakarta.  Yedija menyampaikan bahwa selama mengikuti kegiatan peserta belajar memahami perbedaan bukan menjadi sebuah alasan untuk tidak bersatu, sebaliknya untuk saling berdampingan. Bahkan beberapa tokoh agama di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, menginisiasi berdirinya sekolah Ke-Bhinneka-an yang mewadahi bertemunya pemuda dan masyarakat lintas agama dan kepercayaan untuk melakukan diskusi, kunjungan atau pun membuat pelatihan, yang semuanya itu bermuara mempererat ikatan persaudaraan satu bangsa. Hal-hal ini menjadi motivasi pembicara mengangkat topik tersebut untuk memberi pemahaman dan menginspirasi teman-teman di Bengkulu.
 
Kondisi masyarakat Indonesia ada yang bisa digolongkan inklusif dan eksklusif. Masyarakat inklusif adalah masyarakat yang bisa menerima dan mengakui perbedaan pihak lainmudah berinteraksi dengan perbedaan tersebut karena menganggap pada hakikatnya semua anggota masyarakat adalah sama. Sebaliknya masyarakat eksklusif adalah masyarakat yang menutup diri terhadap perbedaan karena tidak ingin kelompoknya dirusak oleh kelompok lain baik secara budaya atau pahamnyaProvinsi Bengkulu memiliki beragam budaya dari setiap suku yang ada,  juga agama yang berbeda-beda pula. Menyikapi keberagaman tersebut maka solusi yang tepat adalah kolaborasi, saling membangun kepercayaan dan kerjasama, memperkuat persatuan dalam perbedaan. Peran pemuda sangat dibutuhkan untuk menciptakan keserasian, tidak hanya di Bengkulu namun juga di Indonesia dalam cakupan yang lebih luas, melalui diskusi-diskusi kecil lintas komunitas baik yang berbasis agama, seni, hobi atau pun komunitas lain yang ada di Bengkulu. Hal ini harus terus dipupuk karena jika kita terus memperdebatkan eksklusivitas masing-masing kelompokakan menyebabkan perpecahan dan kehancuran. (Hosani Ramos Hutapea)

  Bagikan artikel ini

Merayakan  Perbedaan 

pada hari Sabtu, 7 September 2019
oleh adminstube
 
 
Imajinasi mengantar seseorang dari A ke Z dan organisasi mengantar kita dari satu tempat ke tempat lainmenambah relasi, terjalin komunikasi bahkan mampu mewujudkan imajinasi ituIni penulis rasakan saat ikut pelatihan Multikultural dan Dialog Antaragama dari Stube-HEMAT Yogyakarta  dengan tema Connecting Soul, Celebrating Diversity 23-25 Agustus 2019. Pelatihan ini mempertemukan anak muda dari berbagai daerah di Indonesia bahkan luar negeri (India dan Timor Leste) berkumpul saling menghubungkan jiwa, berbagi ide dan gagasan di tengah perbedaan yang ada.

 

Sebelum berangkat dari Bengkulu penulis menanamkan prinsip menambah pengetahuan dan relasi. Berbagai seminar bahkan diskusi informal yang berbicara mengenai perbedaan penulis ikuti, namun ada yang begitu berbeda ketika mengikuti pelatihan yang satu ini, bahkan sampai saat ini masih terkenang dalam memori. Tim kerja Stube-HEMAT yang egaliter, menjadi representasi pelatihan ini dan sebagai modal awal yang berharga bagi para peserta. Tidak ada perbedaan strata sehinga setiap peserta berhak mendapat pelayanan sama selama pelatihan, bahkan mereka pun tidur dan makan bersama para peserta, ini istimewa.

Di awal pelatihan penulis pesimis bisa beradaptasi dengan perbedaan yang ada, karena biasanya cenderung mencari posisi aman dengan orang yang dikenal atau memiliki ikatan pada kegiatan sebelumnya. Kali ini penulis memilih melebur dengan peserta lainnya, bahkan dengan Mutiara, salah satu mahasiswa utusan dari Bengkulu dan bahkan masih satu ikatan suku, jarang berinteraksi selama kegiatan. Selain itu, penulis juga ragu bisa mendapat pengetahuan dan ilmu baru karena kendala bahasa Inggris. Dari awal perkenalan menggunakan bahasa Inggris dan bisa dibayangkan agenda selanjutnya. Sempat terbersit dalam pikiran mengapa dahulu manusia (baca: nenek moyang) punya ambisi mencapai surga dan membangun menara BabelAkibatnya Tuhan mengacaukan pekerjaan mereka dan ini menjadi asal mula bahasa manusia. Syukurlah, tim Stube menyiapkan penerjemah.

 
Di tengah keterbatasan dan pesimisme tersebut, penulis melihat daya tarik dan keuntungan untuk memahami materibagaimana tidak, materi disampaikan dua kali, menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia! Yah, walaupun dalam bahasa Inggris penulis hanya menangkap beberapa kosakata, tapi terjemahan bahasa Indonesia membuat jelas. Alhasil, penulis memberanikan diri untuk bertanya tentang pengenalan Stube-HEMAT dan Student Christian Movement of India (SCMI) meski dengan bahasa Inggris yang terbata-bata.
 
Sharing dalam kelompok kecil membahas keberagaman dari setiap peserta menjadi tantangan ketika satu kelompok dengan Santhi dan Rebecca, yang berasal dari India. Penulis memberanikan diri berdialog dengan Rebecca, berusaha terus bertanya karena kalau Rebecca bertanya, kemungkinan penulis tidak mengerti. Penulis bertanya mulai dari asalnya, kehidupan di India, pendapat dia mengenai Indonesia dan banyak hal lagi, walaupun respon penulis hanya “yes, good, no, really dan ocoursePenulis sempat bertanya tentang Mahatma Gandi dan berpendapat tentang dia. Tidak disangka, dia pergi dan kembali membawa uang Rupee dan menunjukkan gambar Mahatma Gandhi dan memberikan kepada penulis sebagai pengingat dirinya.
 
Pada hari kedua, Wening Fikriyati, dari Srikandi Lintas Iman memaparkan materi dengan santai melalui simulasi keberagaman melalui hal-hal yang sederhana. Tak kalah menarik kirab budaya yang mempersembahkan penampilan peserta menggunakan baju adat masing-masing. Indonesia memang begitu kaya dan diberkati Yang Maha Kuasa dengan keberagaman. Sehingga tak masuk akal jika ada orang-orang yang meragukan dan merusak keragaman, setelah 74 tahun merdeka dan ratusan tahun para pahlawan memperjuangkannya.

Di hari ketiga dilakukan ibadah di GKJ Kemadang Pepanthan Planjan. Ibadah ini menarik dan istimewa karena ibadah menggunakan 3 bahasa, yaitu Jawa, Indonesia dan Inggris. Ini menjadi pengalaman peribadatan yang luar biasa dan selama perjalanan menuju gereja saya melihat Mutia, seorang peserta Muslim, tanpa canggung memegang Alkitab dan berinteraksi mengenai Alkitab dengan Rebeccaini pertama kali dalam hidup penulis melihat secara langsung, biasanya hanya melalui media sosial saja.

Berangkat dari pelatihan ini penulis memikirkan sebuah gagasan untuk merespon perbedaan yang ada, yaitu merayakan perbedaan itu sendiri. Penulis berpikir bahwa perbedaan itu sifatnya mutlak, lalu dengan perbedaan tadi haruskah kita terus hidup dalam konflik dan tidak dapat bersatu? Bukankah zaman sekarang dan yang akan datang dibutuhkan persatuan dan kolaborasi? Sejatinya kehidupan menjadi bernilai jika terjadi harmonikeragaman dilandasi sikap saling menerima dengan penuh penghargaan. Tidak semua perbedaan bisa diseragamkan dan memang tidak bisa dipaksa seragam. Justru karena dari perbedaan setiap manusia bisa belajar satu dengan lainnya. Jadi, sudah seharusnya kita tinggalkan konflik dan seteru atas nama perbedaan dan membangun kolaborasi untuk kebaikan bersama. Dari pelatihan ini penulis memiliki gagasan pemberdayaan pemuda dari rumah ibadat untuk menjadi role-model persatuan dan kesatuan, dan hal ini harus digaungkan dan diwujudnyatakan. Semoga dalam waktu dekat ini bisa terealisasi untuk persatuan yang dicita-citakan dimulai dari rumah ibadat.
 
Akhirnya penulis akui bahwa pengalaman tiga hari belajar dan berdialog mengenai keberagaman bersama Stube-HEMAT, telah berhasil menghubungkan jiwa dan perasaan di tengah perbedaan dari setiap peserta untuk merayakan perbedaan itu sendiri. Terimakasih Stube-HEMAT dan selamat merayakan perbedaan! (Yedija Manullang)

 

  Bagikan artikel ini

B e n g k u l u, Harapan “Role Model“ Toleransi I n d o n e s i a

pada hari Senin, 12 Agustus 2019
oleh adminstube
 
 
Dari tahun ke tahun Indonesia masih dihadapkan dengan limpahan kasus yang sebenarnya sudah usang dan tidak relevan lagi untuk kita bicarakan namun tetap saja masih menjadi momok yang menakutkan dan sangat berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan yang ada di dalam negeri ini, yaitu kasus intoleransi. Kasus intoleransi ada dan bahkan berkembang di Indonesia yang memang beragam dan majemuk. Kemajemukan beresiko membawa perseteruan dan kegaduhan. Padahal dalam kondisi yang sebenarnya, keberagaman kita adalah anugerah dan kelebihan Indonesia. Sebagai contoh keberagaman agama. Agama tidak mengajarkan keburukan, tetapi kebaikan. Kita boleh beda sebutan istilah, ritual dan cara namun yang paling penting kita percaya pada keberadaan Tuhan, sang Pencipta. Dengan percaya pada keberadaan Tuhan, kita diingatkan untuk hidup damai dan merawat Indonesia sebagai pemberianNya kepada kita. Tidak ada negara yang maju tanpa perdamaian. Sejatinya perbedaan yang ada tidak menjadi penghalang untuk hidup rukun, damai dan saling menghargai dengan sudah finalnya ideologi bangsa kita, ideologi Pancasila.

Provinsi Bengkulu yang terdiri dari 10 kota/kabupaten termasuk salah satu daerah yang minim konflik intoleransi. Hal ini dibuktikan belum ada pelaporan atau pemberitaan media mengenai hal tersebut. Bengkulu yang lahir pada 18 November 1968 memiliki penduduk sekitar 2 juta jiwa didominasi oleh masyarakat yang beragama Islam. 

Layakkah Bengkulu menjadi “Role Model” Toleransi di Indonesia?
Setara Institute mencatat dan meneliti ada 10 kota paling toleran di Indonesia, yaitu : Singkawang, Kalimantan Barat, Salatiga, Pematang Siantar, Manado, Ambon, Bekasi, Kupang, Tomohon, Binjai, Surabaya. Setara Institute juga mencatat ada beberapa daerah yang minim toleransi, yaitu : Aceh, Jakarta, Cilegon, Padang, Depok, Bogor, Makassar, Medan, Sabang dan Tanjung Balai. Secara data Bengkulu tidak masuk keduanya. Layakkah Bengkulu masuk ke dalam daftar daerah yang toleransinya tinggi?
 
 
Jonny Simamora, S.H., M.Hum
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Negeri Bengkulu
Kita belum bisa saling menerima, termasuk kita sendiri (Baca: Orang Kristen di Bengkulu) masih merasa egonya paling tinggi antar umat, gereja dan agama. Untuk mengatasinya adalah dengan saling mengenal. Berke-Tuhan-an menjadi tolak ukur untuk membangun hubungan horizontal antara sesama manusia. Memang tidak gampang. Berketuhanan biarlah menjadi urusan pribadi kita dengan Tuhan sendiri dan kita aplikasikan dalam membangun kesetaraan dengan tidak menganggap orang lain lebih rendah dari kita. Persoalannya kemudian adalah bahwa kemasyarakatan kita sangat kurang tetapi Ketuhanannya seolah paling tinggi. Agama kita benar tetapi bukan berarti agama orang lain salah. Ini yang harus kita pahami bersama, karena yang mengetahui kita benar atau salah hanya Tuhan saja.

 
Pdt. Pakkat Sitinjak, S.Th.
Ketua PGIW Bengkulu
Toleransi dibagi dua, antara internal dan eksternal. Internal adalah hubungan antara kristen termasuk di antaranya relasi antar gereja dan persekutuan. Gerakan oikumene masih menjadi dasar dalam internal walaupun kita hidup di antara banyaknya denominasi gereja yang sering kali banyak gereja hanya memperbesar organisasinya dan bukan visi dari Kristus, namun walaupun demikian kita relasi kita masih bagus dan bisa duduk bersama dengan perbedaan tadi.  
 
Eksternal: Kehidupan sehari dengan perbedaan suku, budaya dan agama sudah bagus dengan tidak adanya konflik namun perlu ditingkatkan dengan narasi dan percakapan-percakapan yang lebih intens tentang persatuan. Bahkan di beberapa tempat di daerah Bengkulu Gereja dan Masjid saling berdiri berdampingan. Kebebasan beribadah pun sampai saat ini dalam bentuk fisik belum ada pelarangan. Namun beberapa tempat ibadah belum mendapatkan ijin bangunan dengan alasan tidak memenuhi syarat. Namun ini bukan menjadi kendala utama, kitalah yang kurang dalam membangun komunikasi di dalam lingkungan kita.


Cak Komarudin, Ketua RT )3/07
dan tokoh masyarakat
di wilayah UNIB Belakang
Kita hidup di lingkungan UNIB belakang ini dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini membuat konflik atau kasus intoleransi tidak ada di lingkungan ini. Di tengah banyaknya masyarakat yang diayomi sekitar 1000 jiwa dan 900 jiwa datang dari berbagai daerah (read: mahasiswa) yang ada di Indonesia, tidak ada perbedaan dari suku dan agama yang membuat saya harus timpang tindih atau berlaku adil dan tidak adil. Semua sama sesuai dengan konstitusi kita dan ideologi bangsa kita. Kita pun membuat aturan untuk mengatur kehidupan bersama dan bermasyarakat di lingkungan ini yang harus kita patuhi bersama dan tidak ada ketimpangan di sini. Namun kita harus akui masih banyak dari kita yang belum memenuhi aturan, menerima perbedaan dan menghargai perbedaan itu sendiri.

Lebih lanjut memang harus ada penelitian dan pengembangan terkait intoleransi di Bengkulu sehingga dapat menjawab pertanyaan layakkah Bengkulu menjadi satu model toleransi di Indonesia. Karena ada beberapa variabel yang harus menjadi dan sebagai syarat untuk daerah toleran di Indonesia. Namun di provinsi Bengkulu ada salah satu daerah yang menurut penulis sudah memenuhi kriteria tersebut, yaitu Desa Rama Agung, Arga makmur, dan Bengkulu Utara. Hal ini dibuktikan dari masyarakatnya yang pluralis, multikultur, multiagama, multi tempatperibadatan, bahkan di pusat desa tersebut sempat didirikan monumen rumah-rumah ibadat dari semua agama yang diakui di Indonesia untuk menghargai keberagaman. 
 
Kita berharap toleransi yang ada di Bengkulu terus dijaga dan dirawat serta menggalakkan persatuan dan kesatuan di tengah perbedaan, dengan harapan kedepan Bengkulu menjadi salah satu daerah yang menjadi role model toleransi untuk Indonesia. (YDJ)

 

 

  Bagikan artikel ini

Bengkulu dan Toleransi 

pada hari Rabu, 31 Juli 2019
oleh adminstube
 
 
Topik tentang toleransi memang menarik. Di dalamnya terdapat fakta dan analisa yang terus berkembang. Kita bisa memuji daerah dengan tingkat keharmonisan yang tinggi antas penduduknya. Kita juga bisa prihatin terhadap keakraban yang memudar di dalam daerah intoleran. Di Bengkulu, toleransi kembali dibahas. Pembahasan dilakukan untuk melihat kembali perjalanan keharmonisan di Provinsi pantai barat Sumatera ini.
Yohanes Dian Alpasa, Multiplikator Stube-HEMAT Bengkulu, mengakui tidak banyak memperhatikan kehidupan toleransi di daerah ini. Baginya, topik tentang penguatan skill individu peserta Stube-HEMAT masih menjadi prioritas. Seolah topik ini dikesampingkan padahal sangat penting untuk dibahas.  
 
Bersyukurlah Stube-HEMAT Bengkulu memiliki anggota yang mau mendalami topik tentang toleransi. Yedija Manullang didapuk untuk mengamati proses perjalanan kehidupan toleransi di Bengkulu. Dalam kurun waktu satu bulan, yakni pada bulan Juli 2019, Yedija melakukan pengamatan dan berbicara langsung dengan tokoh-tokoh di Bengkulu. Tokoh yang diajak bicara berasal dari Akademisi, Pejabat kelurahan setempat dan PGIW Bengkulu.

Jonny Simamora, S.H., M.Hum
Dosen Hukum Universitas Negeri Bengkulu


Pdt. Pakkat Sitinjak, S.Th.
Ketua PGIW Bengkulu
Cak Komarudin, Ketua RT dan
tokoh masyarakat di UNIB belakang











 
 

Hasil pembicaraan kemudian disharingkan kepada teman-teman peserta Stube-HEMAT di Bengkulu. Respon peserta beragam, ada yang antusias dan ada pula yang santai saja menanggapinya. Puncak kegiatan sharing diselenggarakan pada 31 Juli 2019 di Kota Bengkulu.
 
Hosani Ramos Hutapea memperkenalkan Stube-HEMAT yang ada di Indonesia. Ia juga berbagi tentang pengalaman selama tiga tahun bersama Stube-HEMAT Bengkulu. Memang sudah ada banyak komunitas mahasiswa dan perkumpulan. Kegiatan rohani maupun sekuler juga sudah menjamur. Namun, Stube-HEMAT tetap berusaha menawarkan cara diskusi baru dimana kita tidak hanya berdiskusi tetapi bisa praktek. Bila ada kesempatan, kita juga akan dikirim ke luar Bengkulu untuk belajar lebih.

Yedija Manullang kemudian membuka sesi berbagi cerita. Ia mengawali paparan dengan cerita kondisi nyata berdasarkan data dari Setara Institute. Memang sebagian daerah, termasuk Jakarta, memiliki tingkat intoleran yang tinggi. Tapi kita bersyukur bahwa masih ada daerah yang mampu menjaga keragaman dan keharmonisan. Perbedaan bukanlah penghalang untuk hidup bersama.
 
Berdasarkan informasi dan pengamatan Yedija, ia mendapati ada dua jenis toleransi. Toleransi internal dan eksternal. Toleransi internal adalah toleransi di antara sesama umat kristiani dan gereja. Toleransi eksternal adalah toleransi di antara umat yang berbeda agama.
 
Gereja-gereja di Bengkulu telah berusaha memperkenalkan diri satu sama lain. Menurut Yedija, awal dari seteru adalah gereja yang satu merasa lebih baik dari yang lain. Gereja yang ini tidak mau mengenali gereja yang itu. Hari-hari ini, gereja berusaha untuk mendekatkan diri dan bergaul sehingga tercipta suasana saling mengenal.
 
Bahan diskusi ini diharapkan dapat dibagikan pada Program Dialog Agama-agama di Yogyakarta Agustus 2019. Dengan adanya Stube-HEMAT Bengkulu anak-anak muda memiliki wadah diskusi dan berinteraksi sehingga kerjasama antar anak muda diharapkan juga semakin kuat untuk memelihara toleransi khususnya di Bengkulu. (YDA).

  Bagikan artikel ini

Mengenal Potensi Diri dan Mengembangkannya Workshop Mahasiswa Program Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu

pada hari Selasa, 9 April 2019
oleh adminstube
 
 

Setiap orang bertanggung jawab terhadap dirinya dengan kelebihan dan kekurangan yang ada. Pengenalan tentang dirinya akan membantunya bertumbuh kembang secara optimal dan mewujudkan segala impiannya. Namun demikian seseorang perlu ingat bahwa ia juga memiliki tanggung jawab sosial kepada orang lain. Inilah yang diimplementasikan program Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu melalui Workshop bertema “Kiat dan Manajemen Penulisan Online“ di warung kuliner bu Lastri (Sabtu, 6/4/2019) yang diikuti enam belas peserta dari mahasiswa di Bengkulu dan pemuda gereja GKSBS Kurotidur Bengkulu Utara. Latar belakang kegiatan adalah kemampuan literasi mahasiswa potensial untuk dikembangkan baik itu cetak maupun online dan berdampak pada masyarakat sekitar mereka.
 
Workshop ini menghadirkan Yohanes Dian Alpasa, S.Si (teol), sebagai multiplikator memperkenalkan Stube-HEMAT dan pelayanan di Bengkulu sejak 2017. Sejauh pengamatan yang berhasil dilakukan, Bengkulu memiliki potensi sumber daya manusia yang layak untuk dikembangkan meski akses infrastrukturnya belum sepenuhnya memadai. Mahasiswa layak mendapat dukungan agar mampu mengembangkan daerahnya. Sebagian besar peserta berasal dari luar Bengkulu yang kuliah di Universitas Negeri Bengkulu, Universitas Dehasen dan kampus lainnya. Mereka aktif di komunitas dan organisasi Kristen sehingga memiliki pengalaman spiritualitas maupun berorganisasi. Selanjutnya, Hosani Ramos Hutapea, mahasiswa Sosiologi Universitas Bengkulu mengungkapkan pengalamannya ketika mengikuti kegiatan di Bengkulu dan pelatihan pelatihan Nilai-nilai Barat dan Timur di Stube-HEMAT Yogyakarta.


Berikutnya, Yedija Manullang, mahasiswa Universitas Bengkulu jurusan budidaya pertanian, yang juga aktivis literasi di Bengkulu membagikan pengalamannya melalui “Literasi Asyik Jika Menjadi Hobi.’ Ia membagikan pengalaman menulis dan dimuat di media online. Ia mengakui bahwa perlu beberapa kali mengirim tulisan sampai akhirnya dimuat di media online. Yang penting adalah mengamati hal-hal sederhana, mengungkapkan dalam bentuk tulisan dan tidak mudah menyerah.

 
Trustha Rembaka, S.Th, koordinator Stube-HEMAT Yogyakarta yang memaparkan tentang Personal SWOT. Topik ini mendorong peserta mengenal kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan tantangan (threat) yang ada dalam dirinya. Ia memandu peserta menemukan masing-masing aspek dan mengisi tabel dengan dengan jujur dan percaya diri. Kemudian beberapa peserta membagikan hasil pemetaan tersebut dan peserta lainnya menanggapi dan memberi masukan.



Sesi berikutnya, Drs. Bambang Hediono, MBA, board Stube-HEMAT yang juga dosen fakultas Bisnis UKDW menyampaikan topik ide-ide bisnis dan bagaimana pengelolaannya’. Ia mengungkapkan bahwa peserta telah memilih pilihan yang baik ketika mengikuti kegiatan Stube-HEMAT karena lembaga ini memperlengkapi mahasiswa baik itu teori dan praktek bahkan bermanfaat untuk masyarakat. Setiap peserta pasti mempunyai ide kreatif yang bisa dikembangkan baik itu hobi, bahkan bisa mendapatkan keuntungan.


 
“Workshop ini sangat berkesan bagi saya karena saya termotivasi untuk banyak membaca dan ada keinginan untuk menulis. Saya juga menemukan cara untuk mengetahui kekuatan dan peluang yang bisa saya manfaatkan ke depan,” ungkap Mutiara, yang kuliah Sosiologi Universitas Bengkulu.

Di akhir acara peserta menyampaikan kesan dan pesan yang termuat dalam dua kertas besar. Harapannya setelah workshop peserta mampu mengekspresikan ide melalui karya tulis dan gambar dalam media online, mampu membranding diri di media sosial dan media online sehingga bisa mendapatkan keuntungan dari internet dan bermanfaat untuk masyarakat. (Yedija Manullang).




  Bagikan artikel ini

Budaya Indonesia dan Eksistensinya Saat Ini

pada hari Kamis, 31 Januari 2019
oleh adminmarno
 
 
Sebagian kita memahami budaya hanya berkaitan dengan kesenian. Kita tidak memahami budaya sebenarnya adalah segala yang ada dalam kehidupan manusia. Budaya diciptakan manusia untuk mempermudah keberlangsungan hidup. Pengertian budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitubuddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budia atau akal); diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia.
 
Menurut Koentjaraningrat (1985), kebudayaan adalah keseluruhan ide-ide, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat. Koentjaraningrat membagi unsur kebudayaan universal ini menjadi tujuh bagian yakni: 1) Bahasa, 2) Sistem pengetahuan, 3) Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, 4) Sistem peralatan hidup dan teknologi, 5) Sistem mata pencaharian hidup, 6) Sistem religi, dan 7) Kesenian.

Indonesia terkenal dengan kebudayaan yang beragam dan unik. Dari segi bahasa, Indonesia memiliki berbagai macam bahasa disetiap suku. Kesenian juga beragam berbentuk tari-tarian, lukisan, anyaman, dll. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin modernnya zaman saat ini, kebudayaan asli Indonesia sedikit demi sedikit terkikis dan bahkan hampir terlupakan. Menyikapi hal tersebut Program Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu mengadakan diskusi bersama pemuda Bengkulu (31/1/19) pukul 17.00 WIB, di café Asep Thea. Diskusi dipandu oleh Hosani Ramos Hutapea dan Sabar Budi Simbolon sebagai pemateri dan pemantik diskusi. Sabar Budi merupakan pegiat budaya yang ada di Bengkulu. Budaya yang menjadi fokus adalah budaya nusantara dan budaya Batak. Selain budaya, pemantik juga bergerak di Rumah Literasi. Diskusi dihadiri oleh 11 orang peserta.

Dari diskusi kali ini tertuang keresahan-keresahan yang ada dan terjadi di sekitar lingkungan yang kita tinggali saat ini. Koentjaraningrat mengingatkan perubahan perilaku dan tindakan-tindakan manusia adalah salah satu sebabnya. Saat ini tindakan manusia yang beretika, sopan santun, budaya senyum sapa dan salam telah luntur dengan adanya sikap individual manusia modern. Dulu anak muda jika bertemu orang yang lebih tua akan menundukkan kepala seraya menyapa dengan sopan, senyum pada orang lain yang berpapasan di jalan. Budaya seperti ini sudah jarang dilakukan oleh orang-orang zaman sekarang. Selain itu dalam berbahasa sehari-hari kita sudah jarang menggunakan bahasa daerah masing-masing, banyak yang lebih bangga jika menggunakan bahasa kekinian atau bahasa asing. Hal ini membuat bahasa daerah luntur secara perlahan.
 
Masyarakat Indonesia yang identik dengan budaya saling gotong royong dan silahturahmi, saat ini pun semakin terkikis dengan zaman. Hal ini tampak dari acara-acara pernikahan yang dulu mengandalkan tenaga tetangga untuk menjadi panitia pernikahan, maka saat ini telah tergantikan agen jasa penyelenggara pesta pernikahan. Silahturahmi yang dulu kental dengan saling mengunjungi warga sekitar, kerabat dekat rumah hal ini tak lagi terjadi dengan tingginya pagar rumah.
 
Dalam keberagaman agama Indonesia saat ini sering terjadi intoleransi antar pemeluk agama. Sikap saling mengasihi dan menghargai perbedaan semakin luntur dengan adanya sifat eksklusif yang merasa bahwa agama/kelompoknya adalah yang paling benar. Kemudian yang menjadi fenomena saat ini yaitu adanya pakaian agamis, perempuan tidak boleh menegur laki-laki, senyum pun tidak dapat terlihat karena tertutup oleh busananya. Hal ini menujukkan ada kalanya pemahaman agama dan budaya saling bertentangan.
 
Kita sebagai masyarakat yang sadar dan berintelektual sebaiknya menjaga dan melestarikan budaya yang ada. Layaknya Jepang, mereka mengadopsi budaya lain tetapi tidak semata-mata menghilangkan budaya asli. Begitu juga hendaknya kita bangsa Indonesia tidak menerima dengan mentah setiap budaya asing yang dengan bebas masuk ke budaya kita, kita harus pandai dan bijak dalam memfilter. Dengan itu kita sebagai pemuda harus memperkaya diri dengan literasi. Karena kita adalah generasi yang bertanggung jawab atas kelestarian budaya Indonesia. (YDA).

 


  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2023 (11)
 2022 (20)
 2021 (21)
 2020 (19)
 2019 (8)
 2018 (9)
 2017 (17)

Total: 105