Bengkulu memiliki keanekaragaman kuliner dengan bahan lokal yang saat ini terus bersaing dengan berbagai gempuran makanan modern cepat saji yang disukai anak-anak millennial. Program multiplikasi Stube HEMAT di Bengkulu bersama mahasiswa dan pelajar mencoba mengenal, belajar dan mempraktekan pembuatan makanan lokal Bengkulu di desa Kroya kecamatan Pagar Jati, kabupaten Bengkulu Tengah (26/03/2023).
Di desa ini kue Bay Tat (juadah Bengkulu) menjadi salah satu makanan khas lokal. Sajian kuliner tradisional berjenis kue ini ada yang berbentuk segi empat dan berbentuk bundar, layaknya kue tart yang diakulturasi dengan tampilan kue pie dengan topping nanas atau keju. Dahulu Bay Tat dikenal sebagai sajian kuliner khusus bagi raja-raja di Bengkulu. Seiring perubahan zaman, saat ini masyarakat dari semua lapisan dapat menyantap kue ini dalam pesta, hari raya, dan menjadi oleh-oleh sehari-hari. Bentuk kue Bay Tat bisa menunjukkan asal daerahnya karena kue Bay Tat berbentuk bundar menjadi ciri khas Bengkulu Selatan, sedangkan bentuk persegi empat menjadi ciri Bay Tat kota Bengkulu dan Bengkulu Tengah. Namun meski berbeda bentuk, rasa dan proses pembuatannya sama. Bay Tat terbuat dari tepung terigu, gula pasir, santan murni, soda, vanili, mentega. Setelah kue Bay Tat jadi, barulah diolesi selai nanas yang diolah secara tradisonal. Mengapa selain nanas? Nanas menjadi buah potensi Bengkulu karena hampir di rumah penduduk dan ladang dijumpai tanaman ini. Dari buah inilah selai nanas topping Bay Tat dibuat, yakni dengan memasak buah ini sampai hancur, diaduk berjam-jam hingga menjadi sebuah selai nanas yang manis, segar dan lezat.
Nur Baiti, seorang pengusaha pembuat sekaligus pedagang kue Bay Tat memberi kesempatan kepada teman-teman mahasiswa melakukan wawancara sekaligus praktek membuat kue di tempat produksinya. Nur Baiti memproduksi kue ini sejak tahun 2017 dengan memiliki pasar yang potensial. “Kue ini adalah makanan khas Bengkulu, budaya turun temurun dari leluhur, ditambah lagi penduduk di daerah tempat tinggal kami mayoritas penduduk asli Bengkulu (suku Rejang) sehingga makanan ini menjadi tidak asing bagi mereka,” tutur Nur Baiti, ketika diwawancarai. “Bay” berarti ibu dalam Bahasa Rejang, dan “Tat” berarti kue tart.
Setiap kali produksi, Nur Baiti bisa menghabiskan 5 kg tepung terigu dan terjual habis setiap harinya, terlebih ketika ada pesanan untuk pesta dan acara adat lain. Pesanan tidak hanya datang dari warga yang tinggal sekampung tetapi juga dari kampung lain. Nur juga menceritakan bahwa produksi pernah gagal karena salah tepung yang berakibat kue menjadi keras untuk dimakan.
Para peserta mahasiswa senang praktek membuat kue bersama Nur Baiti karena sabar dan mengajari peserta dengan sukacita. Sekilas pembuatannya sederhana namun cukup rumit bagi para peserta mengerjakannya, namun kue hasil produksi peserta lumayan memuaskan. Dengan tekstur padat manis, kue ini cukup mengenyangkan dan karena cita rasanya yang enak, kue ini diminati banyak orang. Potensi-potensi lokal dalam bidang kuliner seperti ini menjadi peluang bagi anak-anak muda untuk terus menemukan dan mengembangkan. Anak muda harus terus berinovasi dengan potensi lokal untuk persaingan global. ***