Pada pertengahan Februari 2023, Multiplikator Stube-HEMAT Bengkulu bertemu dengan Romo Dwijoko, imam gereja Katolik Santo Yohanes, Bengkulu. Pertemuan ini berlangsung beberapa kali dan salah satu pertemuan itu terekam dan terunggah pada link video1 pada channel youtube “Sang Petani”. Pertemuan berlanjut dengan diskusi “berbagi keresahan” membahas ketergantungan masyarakat pada pangan yang tidak diproduksi sendiri. Diskusi Bersama mahasiswa yang tergabung di Stube-HEMAT Bengkulu diselenggarakan di Aula Bhadrika, Kota Bengkulu (03/04/2023). Hadir dalam pertemuan ini Multiplikator Bengkulu, volunteer, dan 12 peserta. Masing-masing menyimak pembicaraan dengan Romo Joko yang dikenal memiliki perhatian pada pangan lokal ini.
Romo Joko mengawali paparan tentang kecintaannya pada benih dan tanaman padi. Pada masa awal pelayanan ia mampu memahami pola tanam, bibit, hama, hingga pengolahan pasca panen. Semangat bertaninya tumbuh karena memang lahir dan besar sebagai anak seorang petani. Pada suatu perjalanan bersama para imam di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, ia menjumpai daerah batu yang memiliki sedikit tanah. Lahannya subur sekali. Orang mengenalnya sekarang sebagai Gua Pindul, Bejiharjo. Aneh sekali melihat tanaman ubi yang kecil-kecil tetapi begitu dipanen hasilnya besar. Ubi inilah yang menjadi makanan pokok pengganti nasi ketika suplai beras terhambat.
Setelah dari Gunung Kidul, pengamatan Romo bergerak ke tanaman sorgum, cantel, garut, jewawut, gadung, dan gembili. Talas juga menjadi perhatiannya mengingat ini adalah umbi asli Indonesia. Romo memberi pemahaman kepada peserta bahwa kita harus bisa makan dari alam di sekitar kita, kita makan dari yang disediakan oleh alam kita. Kita ambil dari yang tumbuh di situ. Talas ada banyak di daerah Mentawai, ubi tiwul di Jawa, Jagung di NTT, sagu di Ambon dan Papua, dan ketela untuk daerah Papua pegunungan. Tuhan memberi berkat melalui tanaman yang tumbuh di sekitar kita dan menikmati umbi-umbian adalah bentuk syukur. Makanan lokal adalah makanan terbaik yang kita konsumsi dan tidak akan menurunkan derajat hidup kita.
Saat ini, Romo Joko sedang mengkampanyekan gembili sebagai sumber karbohidrat. Gembili adalah nasi dan itulah yang didengungkannya melalui channel youtube Sang Petani. Gembili boleh ditanam di daerah yang sedikit air, tidak perlu irigasi, dan menjadi produk unggulan karena tahan hama, relatif mudah ditanam, dan enak dari segi rasa. Saat ini Romo sudah menanam di pekarangan gereja Santo Yohanes dan Kapel Theresia, Sidomulyo, Bengkulu.
Pertanyaan muncul dari teman-teman peserta, seperti dari volunteer Iman Kristina, bagaimana pengolahannya, apakah sama dengan ubi? Yosafat bertanya berapa lama gembili ditanam hingga panen dan apakah produksinya bisa lebih murah dari beras? Pertanyaan ini dijawab Romo dengan pengolahan cukup mudah dengan direbus dan masa panen adalah setahun – menunggu seluruh daun dan batangnya mengering.
Tak kalah menarik pertanyaan dari Hendy bagaimana jika beras habis, juga Titus yang bertanya bagaimana menumbuhkan minat masyarakat agar mengonsumsi pengganti beras? Romo dengan tegas menjawab tentu saja apabila beras habis, maka manusia pasti mencari pengganti dan akan bergantung pada pangan pengganti tersebut. Jadilah seperti Nuh yang tetap membuat bahtera meskipun ditertawakan. Kita perlu melakukan hal-hal kecil dari yang kita bisa. Kerjakan yang bisa dilakukan untuk mendapatkan kemungkinan baru yang lebih kreatif. Romo Joko pun mengaku bahwa usahanya bisa dibilang belum berdampak luas.
Namun, apabila terus-menerus dibicarakan dengan bahasa yang sederhana maka orang akan mau memahami ide yang kita tawarkan. Semoga peserta diskusi ini mampu mengawalinya ketika pulang kampung dan menjadi pelopor terbentuknya kreasi pangan lokal.***
1 https://www.youtube.com/watch?v=TS_q2dREgG8