Kewirausahaan sosial, istilah yang belum banyak dipahami publik, menjadi topik menarik untuk didiskusikan, maka komunitas Stube-HEMAT di Bengkulu menggelar acara diskusi dan sharing dengan tema tersebut (Senin, 12/06/2023), Start Social Entrepreneurship dengan Sub Tema: Membangun wirausaha dengan membaca peluang untuk menciptakan inovasi kreatif yang berdampak positif bagi masyakarat. Bersama Yosafat Gratia Prasetyo, diskusi diikuti mahasiswa dari Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Bengkulu (STTAB).
Kegiatan bertujuan agar mahasiswa menjadi pelopor dalam menciptakan dan memulai usaha kreatif dan berinovasi serta berdampak positif di lingkungan sekitarnya. Social Entreprenur memiliki definisi seseorang yang dapat memanfaatkan ide, inovasi dari berbagai macam permasalahan yang dihadapi dalam bisnis sebagai peluang untuk menciptakan usaha baru yang bermanfaat dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Tujuan utama social entrepreneur bukan memperoleh keuntungan ataupun kepuasan pelanggan, namun lebih mengarah pada hasil yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Seperti yang diungkapkan Ashoka Foundation, ‘Tidak seperti para entrepreneur bisnis tradisional, para social entrepreneur terutama berusaha menghasilkan “nilai sosial” daripada keuntungan. Dan tidak seperti kebanyakan organisasi nirlaba, pekerjaan mereka tidak hanya ditargetkan untuk dampak langsung yang berskala kecil, tetapi juga untuk perubahan atau dampak jangka panjang’.
Jika mengarah pada definisi social entrepreneur di atas, ada beberapa aspek yang membuat seseorang atau sebuah wirausaha tersebut masuk ke dalam kategori dan disebut sebagai social entrepreneur yang mencakup; tujuan usaha (solusi dari isu sosial) dan pengelolaan hasil usaha (diberikan untuk kegiatan sosial).
Di lingkungan STTAB telah dilakukan kegiatan pengelolaan sampah, dengan mengolah sampah basah menjadi kompos dan untuk sampah kering didaur ulang. Untuk cakupan yang lebih besar adalah masalah sampah di kota Bengkulu, karena tidak adanya tempat pembuangan sampah sementara yang disediakan oleh pemerintah dan harus langsung ke TPA, dengan jarak cukup jauh dari kota Bengkulu. Dampaknya masyarakat membuang sampah sembarangan, meskipun ada warga yang berinisiatif mengumpulkan sampah warga dengan tarif minimal Rp. 30.000/keluarga. Bagi yang perekonomian cukup, maka hal itu tidak menjadi malasah, bagi yang perekonomian rendah, itu menjadi masalah besar, maka akhirnya terjadilah pembuangan sampah sembarangan di berbagai tempat, khususnya sering ditemukan tumpukan sampah rumah tangga di pinggir jalan, dan sangat mengganggu kenyamanan warga.
Permasalahan sosial yang berkaitan sampah ini sebenarnya membuka peluang usaha pengelolaan, daur ulang, transportasi dan masih banyak lagi. Dengan melibatkan masyarakat dan pihak terkait, maka wirausaha sosial ini akan membantu masyarakat menjawab permasalahan sampah di Bengkulu. (IKH) ***