Semua agama mengajarkan kebaikan dan menghargai sesama, tidak hanya manusia melainkan seluruh ciptaan di dunia ini. Walaupun diakui ada yang mengatasnamakan agama membuat perpecahan di masyarakat. Selain itu, Indonesia sebenarnya sudah final dengan keberagaman dan kemajemukan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya suku, bahasa dan kebudayaan di Indonesia yang satu, dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
Berangkat dari hal tersebut, Yedija Manullang, aktivis program Multiplikasi Stube HEMAT di Bengkulu mengajak pemuda gereja dan lingkungannya untuk mengenal Stube HEMAT serta membicarakan perbedaan iman di tengah-tengah masyarakat.
Kegiatan diskusi digelar di kediaman Yedija Manullang, Jl. Sisingamangaraja, Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (Rabu, 29/07/2020). Humbang Hasundutan (Humbahas) merupakan kabupaten yang jauh dari gesekan, konflik dan perpecahan antar umat beragama. Kabupaten ini baru saja merayakan hari jadinya yang ke-17 tahun. Secara khusus, kota Doloksanggul tempat Yedija tinggal, menjadi ibu kota Humbahas, didiami mayoritas masyarakat beragama Kristen, namun di pusat kotanya berdiri tegak sebuah masjid, bahkan banyak rumah makan dan usaha-usaha milik orang muslim.
Sebelum kegiatan dimulai, Yedija menghimbau kepada seluruh peserta agar menyempatkan waktu sekitar 10 menit untuk membaca buku, dalam rangka mendorong literasi dan semangat membaca bagi pemuda. Selanjutnya, Yedija memperkenalkan Stube-HEMAT kepada para peserta termasuk pengalaman Yedija yang sudah satu tahun berkecimpung di lembaga yang fokus pada pendampingan mahasiswa dan pemuda ini. Peserta antusias mendengarkan karena nama Stube-HEMAT unik dan belum pernah mereka dengar.
Dalam proses diskusi tersebut, Yedija membagikan kertas kepada peserta untuk bisa menuliskan kesan dan apa yang dirasakan ketika bertemu atau berinteraksi dengan orang yang tidak satu iman dengan mereka. Jawaban para peserta mengejutkan karena ada yang sampai merasa jijik, tidak enak, takut dan tidak percaya diri. Hal yang sama juga dirasakan Yedija saat menjadi salah satu peserta di acara Pelatihan Multikultur dan Dialog Antar-agama di Stube-HEMAT Yogyakarta, dengan topik ‘Menghubungkan Jiwa, Merayakan Perbedaan’. Awalnya Yedija merasa canggung dengan acara tersebut karena terbiasa mengikuti kegiatan dalam zona nyaman, yaitu bersama orang yang satu suku dan satu agama, terlebih acara tersebut bertaraf internasional.
Analogi pelangi dan taman bunga yang indah dengan beragam warna dan bunga yang menghiasinya menjadi contoh sederhana memasuki topik keberagaman ini. “Pelangi akan sangat tidak menarik dan monoton ketika hanya satu warna saja yang melekat, demikian juga dengan taman bungan yang hanya diisi oleh satu jenis bunga saja, orang akan cepat bosan. Namun akan sangat indah pelangi jika warna yang ada padanya beragama, serta taman bungan akan enak dipandang ketika banyak bunga menghiasinya. Begitu juga akan indah jika masyarakat dan lingkungan kita diisi oleh orang yang berbeda, baik suku, bahasa ataupun agama”, ujar Yedija.
Namun ironi sering terjadi ketika perpecahan dan konflik ada karena perbedaan yang sudah melekat sejak lama. Hal ini akan menguras energi dan mencederai ke-Bhinneka-an yang dimiliki oleh bangsa ini, serta akan mengganggu persiapan-persiapan Indonesia menghadapi Bonus Demografi dan Indonesia Emas 2045. Jika masyarakat secara khusus pemuda masih berkutat pada perdebatan perbedaan yang menyebabkan konflik dan perpecahan, maka bonus demografi akan jadi bencana. “Pemuda Indonesia nantinya akan menjadi pemimpin, pengelolah sistem, pengatur dan pemangku kebijakan di Indonesia. Agar siap menghadapi tantangan dan persoalan maka pemuda harus berfikir kritis, kreatif, komunikatif, serta mampu bekerjasama”, jelas Yedija.
Kerjasama membutuhkan persatuan, persatuan ini diawali dengan menerima segala perbedaan dan kemajemukan yang ada. Oleh karena itu perbedaan yang ada harus diubah menjadi harmoni kehidupan karena perbedaan itu akan terus ada dan melekat selama bangsa ini masih ada. Mari kita berhenti memperdebatkan perbedaan melainkan mengkampanyekan persatuan dengan saling menghargai, menerima, dan bersiap menyongsong perubahan.
Rijon Silaban, salah seorang peserta menanggapi topik yang dibawakan dengan menceritakan bahwa di lingkungan tempat ia menuntut ilmu, di luar kabupaten Humbahas masih belum sepenuhnya bisa menerima perbedaan. “Lokasi kampus saya berada di tengah-tengah lingkungan Muslim, sayangnya masih banyak orang di lingkungan tersebut enggan berinteraksi bahkan ada yang sampai menjauhi kami mahasiswa Kristen karena makan daging babi”, ujar Rijon, mahasiswa Theologia semester 7. “Padahal perbedaan itu hal yang lumrah bagi masyarakat kita dan justru itulah yang memperindah masyarakat Indonesia seperti analogi taman bunga dan pelangi tersebut, sehingga forum-forum dialog dan semangat keterbukaan menerima perbedaan harus terus dilakukan”, lanjutnya.
Yedija selanjutnya bertanya apa yang mereka rasakan nanti ketika bertemu dengan orang yang berbeda iman. Peserta yang awalnya takut, canggung dan tidak percaya diri, selanjutnya menyatakan akan menjadi biasa saja, serta akan menikmati perbedaan itu. Namun ada satu peserta yang masih merasa takut, karena selama ini belum pernah berinteraksi dengan orang yang berbeda iman. “Semenjak saya sekolah dasar, sekolah menengah pertama, saya tidak pernah berinteraksi dengan orang non-Kristen. Semua teman-teman saya adalah orang Kristen,” ujarnya dengan gugup dan wajah yang memerah. Oleh karena itu, Yedija dan peserta diskusi akan mengadakan kunjungan ke Masjid yang berada di tengah-tengah kota Doloksanggul, untuk memberi pengalaman berinteraksi dengan perbedaan. ***