Imajinasi mengantar seseorang dari A ke Z dan organisasi mengantar kita dari satu tempat ke tempat lain, menambah relasi, terjalin komunikasi bahkan mampu mewujudkan imajinasi itu. Ini penulis rasakan saat ikut pelatihan Multikultural dan Dialog Antaragama dari Stube-HEMAT Yogyakarta dengan tema “Connecting Soul, Celebrating Diversity“ 23-25 Agustus 2019. Pelatihan ini mempertemukan anak muda dari berbagai daerah di Indonesia bahkan luar negeri (India dan Timor Leste) berkumpul saling menghubungkan jiwa, berbagi ide dan gagasan di tengah perbedaan yang ada.
Sebelum berangkat dari Bengkulu penulis menanamkan prinsip menambah pengetahuan dan relasi. Berbagai seminar bahkan diskusi informal yang berbicara mengenai perbedaan penulis ikuti, namun ada yang begitu berbeda ketika mengikuti pelatihan yang satu ini, bahkan sampai saat ini masih terkenang dalam memori. Tim kerja Stube-HEMAT yang egaliter, menjadi representasi pelatihan ini dan sebagai modal awal yang berharga bagi para peserta. Tidak ada perbedaan strata sehinga setiap peserta berhak mendapat pelayanan sama selama pelatihan, bahkan mereka pun tidur dan makan bersama para peserta, ini istimewa.
Di awal pelatihan penulis pesimis bisa beradaptasi dengan perbedaan yang ada, karena biasanya cenderung mencari posisi ‘aman’ dengan orang yang dikenal atau memiliki ikatan pada kegiatan sebelumnya. Kali ini penulis memilih melebur dengan peserta lainnya, bahkan dengan Mutiara, salah satu mahasiswa utusan dari Bengkulu dan bahkan masih satu ikatan suku, jarang berinteraksi selama kegiatan. Selain itu, penulis juga ragu bisa mendapat pengetahuan dan ilmu baru karena kendala bahasa Inggris. Dari awal perkenalan menggunakan bahasa Inggris dan bisa dibayangkan agenda selanjutnya. Sempat terbersit dalam pikiran mengapa dahulu manusia (baca: nenek moyang) punya ambisi mencapai surga dan membangun menara Babel? Akibatnya Tuhan mengacaukan pekerjaan mereka dan ini menjadi asal mula bahasa manusia. Syukurlah, tim Stube menyiapkan penerjemah.
Di tengah keterbatasan dan pesimisme tersebut, penulis melihat daya tarik dan keuntungan untuk memahami materi, bagaimana tidak, materi disampaikan dua kali, menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia! Yah, walaupun dalam bahasa Inggris penulis hanya menangkap beberapa kosakata, tapi terjemahan bahasa Indonesia membuat jelas. Alhasil, penulis memberanikan diri untuk bertanya tentang pengenalan Stube-HEMAT dan Student Christian Movement of India (SCMI) meski dengan bahasa Inggris yang terbata-bata.
Sharing dalam kelompok kecil membahas keberagaman dari setiap peserta menjadi tantangan ketika satu kelompok dengan Santhi dan Rebecca, yang berasal dari India. Penulis memberanikan diri berdialog dengan Rebecca, berusaha terus bertanya karena kalau Rebecca bertanya, kemungkinan penulis tidak mengerti. Penulis bertanya mulai dari asalnya, kehidupan di India, pendapat dia mengenai Indonesia dan banyak hal lagi, walaupun respon penulis hanya “yes, good, no, really dan of course”. Penulis sempat bertanya tentang Mahatma Gandi dan berpendapat tentang dia. Tidak disangka, dia pergi dan kembali membawa uang Rupee dan menunjukkan gambar Mahatma Gandhi dan memberikan kepada penulis sebagai pengingat dirinya.
Pada hari kedua, Wening Fikriyati, dari Srikandi Lintas Iman memaparkan materi dengan santai melalui simulasi keberagaman melalui hal-hal yang sederhana. Tak kalah menarik kirab budaya yang mempersembahkan penampilan peserta menggunakan baju adat masing-masing. Indonesia memang begitu kaya dan diberkati Yang Maha Kuasa dengan keberagaman. Sehingga tak masuk akal jika ada orang-orang yang meragukan dan merusak keragaman, setelah 74 tahun merdeka dan ratusan tahun para pahlawan memperjuangkannya.
Di hari ketiga dilakukan ibadah di GKJ Kemadang Pepanthan Planjan. Ibadah ini menarik dan istimewa karena ibadah menggunakan 3 bahasa, yaitu Jawa, Indonesia dan Inggris. Ini menjadi pengalaman peribadatan yang luar biasa dan selama perjalanan menuju gereja saya melihat Mutia, seorang peserta Muslim, tanpa canggung memegang Alkitab dan berinteraksi mengenai Alkitab dengan Rebecca, ini pertama kali dalam hidup penulis melihat secara langsung, biasanya hanya melalui media sosial saja.
Berangkat dari pelatihan ini penulis memikirkan sebuah gagasan untuk merespon perbedaan yang ada, yaitu merayakan perbedaan itu sendiri. Penulis berpikir bahwa perbedaan itu sifatnya mutlak, lalu dengan perbedaan tadi haruskah kita terus hidup dalam konflik dan tidak dapat bersatu? Bukankah zaman sekarang dan yang akan datang dibutuhkan persatuan dan kolaborasi? Sejatinya kehidupan menjadi bernilai jika terjadi harmoni, keragaman dilandasi sikap saling menerima dengan penuh penghargaan. Tidak semua perbedaan bisa diseragamkan dan memang tidak bisa dipaksa seragam. Justru karena dari perbedaan setiap manusia bisa belajar satu dengan lainnya. Jadi, sudah seharusnya kita tinggalkan konflik dan seteru atas nama perbedaan dan membangun kolaborasi untuk kebaikan bersama. Dari pelatihan ini penulis memiliki gagasan pemberdayaan pemuda dari rumah ibadat untuk menjadi ‘role-model’ persatuan dan kesatuan, dan hal ini harus digaungkan dan diwujudnyatakan. Semoga dalam waktu dekat ini bisa terealisasi untuk persatuan yang dicita-citakan dimulai dari rumah ibadat.
Akhirnya penulis akui bahwa pengalaman tiga hari belajar dan berdialog mengenai keberagaman bersama Stube-HEMAT, telah berhasil menghubungkan jiwa dan perasaan di tengah perbedaan dari setiap peserta untuk merayakan perbedaan itu sendiri. Terimakasih Stube-HEMAT dan selamat merayakan perbedaan! (Yedija Manullang)