Stube-Hemat Bengkulu memasuki periode program Multikultur dan Dialog Lintas Iman pada bulan Juli — September 2020. Rangkaian program itu berjalan dengan menerapkan protokol kesehatan (cuci tangan, pakai masker). Peserta yang dalam kondisi tidak fit dipersilahkan mundur dan mengikuti diskusi di kemudian hari. Program multikultur bertajuk “Percaya dan menjadi lebih baik” ini kemudian mengambil tempat di Kota Bengkulu selama bulan Agustus 2020.
Pada 22 Agustus 2020, Stube-HEMAT Bengkulu menggelar diskusi yang terdiri dari dua sesi. Sesi pertama dipandu oleh Hendra P. Luat Sihombing, seorang pemuda yang aktif dalam organisasi Pemuda Katholik di Bengkulu. Sesi kedua dipandu oleh Arnold Hok, Aktivis organisasi Angkatan Muda Vihara Buddhayana (AMVB) Kota Bengkulu.
Sesi pertama dilakukan pada pukul 10.00 WIB di hotel Adeeva. Pertemuan dilakukan terbatas pada 10 Peserta dengan memperhatikan batasan kerumunan yang ditetapkan pemerintah selama masa pandemi. Enam orang mahasiswa Universitas Bengkulu dan empat orang pemuda gereja hadir dalam diskusi ini.
Hendra P. L. Sihombing menyebutkan bahwa di kota Bengkulu ada sekitar 6000 umat Katholik. Protestan ada sekitar 13.000 jiwa. Jumlah ini adalah sekitar 1,7% dari total masyarakat Bengkulu. Adakah problem yang dihadapi selama ini berkaitan dengan hubungan agama-agama lain? Bersyukur sekali karena Bengkulu dikaruniai kerukunan dan keharmonisan. SETARA Institut menyebutkan, Bengkulu memang tidak termasuk daerah intoleran, hanya kadangkala kita menjumpai ibadah dari rumah ke rumah belum bisa diterima masyarakat luas.
Hendra mendorong peserta agar tidak terkungkung pada prasangka negatif kita sendiri. Bila ibadah kita dilarang orang, itu bukan karena orang itu fanatik. Kita harus lebih aktif berkomunikasi menjelaskan ibadah yang kita jalani. Sering ibadah itu mendapat larangan masyarakat hanya persoalan kita kurang mampu menjelaskan apa yang kita lakukan.
Masyarakat Bengkulu semakin maju. Kebiasaan setiap suku itu berbeda-beda. Semakin maju sebuah kota maka masyarakatnya semakin inklusif. Namun, gereja Bengkulu sebenarnya punya masalah. Kita tidak mampu untuk membuat diri kita rajin berkomunikasi. Orang Kristen masih saja merasa nyaman dengan keadaannya sekarang. Dalam kondisi ini, anak-anak muda harus ada terobosan. Kenyamanan jangan sampai meninabobokkan sehingga kita tidak lagi berusaha merajut keharmonisan.
Mari kita pandang negara ini seperti bangunan rumah. Multikultur adalah sebuah rumah. Pancasila adalah fondasi. Tiangnya adalah Undang-Undang Dasar. Bangunan rumah ini yang harus kita jaga. Kekuatan rumah itu bisa terganggu setidaknya oleh tiga hal 1) globalisasi, 2) Demokrasi yang melemah sementara dibutuhkan leader yang kuat, 3) egois pada pekerjaan sendiri jadi harus berpikir untuk menjadi pemimpin.
Pada tahun 2006, teman-teman mahasiswa Katholik Bengkulu yang tergabung dalam PMKRI aktif mendampingi petani, buruh, dan nelayan. Pelayanan itu tulus untuk melakukan pendampingan tetapi kadangkala ditolak karena label Kristen yang melekat. Oleh karenanya, Stube-HEMAT Bengkulu tidak perlu lelah untuk melakukan berbagai pendekatan kepada mahasiswa Bengkulu.
Toleransi yang tumbuh subur di Bengkulu dibuktikan ketika hari-hari besar keagamaan, Orang-orang Kristen diundang merayakan Idul Fitri dan hari raya kurban. Orang-orang Kristen sudah mulai mau mengundang orang yang berbeda agama dalam perayaan Natal dan Paskah. Kepada Stube-HEMAT Bengkulu, Hendra menutup diskusi dengan pesan bahwa tanggung jawab toleransi itu bukan hanya milik pemuka agama tetapi juga milik kita semua kaum muda, karena pemuka gereja sudah berat dengan tanggung jawab internal.
Demikian paparan dari Hendra P. Luat Sihombing dalam diskusi yang sangat terbatasi oleh waktu. Semoga di lain kesempatan dapat kembali berkumpul bersama dalam diskusi Stube-HEMAT Bengkulu berikutnya.