Reformasi Gereja hendaknya bukan hanya diperingati maupun direfleksikan hanya pada saat 31 Oktober. Namun sepanjang menjalani hari-hari secara khusus bagi warga gereja dan pemuda gereja sebagaimana slogan dan makna dari Reformasi Gereja itu, yakni “Ecclesia reformata, semper reformanda est secundum verbum Dei”. Slogan ini pertama kali digaungkan dalam tulisan devosional, yang bernama Jodocus van Lodenstein (1620-1677). Waktu Lodenstein mengatakan kalimat ini, yang ada dalam pikirannya adalah: bahwa reformasi yang terjadi di zaman Luther, Calvin, Zwingli, dsb. Reformasi doktrin Gereja seharusnya terus berjalan masuk ke kehidupan dan praktek nyata dalam diri umat Allah.
Hari ini kita melihat praktek tersebut sudah jauh bagi gereja dan warga gereja. Bukan menjadi berita yang baru ketika terjadi perpecahan dalam tubuh gereja yang mengakibatkan dualisme kepemimpinan bahkan membuat organisasi gereja yang baru. Hal ini dikarenakan tidak jauh-jauh dari persoalan uang dan egoisme dari beberapa individu yang mementingkan kepentingan pribadi dan golongan (Egois) yang berakibat buruk bagi pertumbuhan iman jemaat dan jauh dari cita-cita reformasi. Tuhan berkarya melalui hambanya Martin Luther untuk memberantas masalah-masalah dalam tubuh gereja salah satunya adalah praktik uang yang celakanya masih ada hingga saat ini.
Berangkat dari dasar Ecclesia reformata, semper reformanda est secundum verbum Dei, Yedija Manullang, mahasiswa Volunteer Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu mengajak beberapa pemuda gereja di lingkungannya yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar untuk membicarakan reformasi gereja dan sejauh mana pemahaman mereka mengenai reformasi gereja yang ada di sana. Kegiatan diskusi digelar di kediaman Yedija Manullang di Jl. Sisingamangaraja, Doloksanggul, Sumatera Utara (Kamis, 30/01/2020) dimulai pada jam 20.00 WIB. Kegiatan ini diikuti 8 orang mahasiswa yang belum mengenal Stube-HEMAT, sehingga Yedija memulai dengan menjelaskan sejarah pelayanan Stube-HEMAT, dilanjutkan dengan pokok diskusi yaitu Reformasi Gereja. Sebelum masuk pada pembahasan, setiap peserta diminta menyampaikan denominasi gereja masing-masing yang ternyata 4 orang peserta berasal dari gereja aliran Lutheran dan 4 lainnya dari Gereja Pentakosta.
“Di zaman teknologi dan keterbukaan infomasi serta anak muda yang tidak bisa lepas dari gadged, sungguh mengherankan teman-teman tidak tahu apa itu Reformasi Gereja, sementara masalah artis atau hal viral saat ini cepat untuk mengaksesnya,” ujar Yedija Manullang disertai tawa para peserta, setelah kebanyakan dari mereka tidak tahu sejarah Reformasi gereja.
Yedija kembali menceritakan sejarah Reformasi Gereja yang “berhasil” dicetuskan oleh Martin Luther. Sebelum Martin Luther ternyata sudah ada orang membuat gerakan Reformasi, yakni Jan Hus seorang cendikiawan yang berujung pada kematian karena dituduh melawan Paus dengan menuding perilaku gereja yang tidak terpuji. Pasa zaman itu melawan Paus sama dengan bunuh diri. Martin Luther seorang pemuda pada masa itu mengalami titik balik dalam kehidupannya dalam melayani Tuhan menjadi seorang biarawan saat dirinya disambar petir, ia menjerit lalu berdoa, "Tolong! Santa Anna, aku akan menjadi seorang rahib!" Hingga pada akhirnya dia mengambil pendidikan theologia dan meninggalkan kuliah hukum dan filsafatnya. Setelah lulus dan mengambil pelayanan dalam gereja, Luther melihat praktik uang yang dilakukan gereja melalui penjualan Indulgensi atau surat pengampunan dosa. Luther memprotes keras praktik tersebut hingga mengumumkan 95 tesis mengenai indulgensi, ditulis dalam selembar poster yang ditempelkan di pintu utara Gereja Istana Frederik di Wittenberg. Kejadian tersebut terjadi pada 31 Oktober 1517 yang menandai gerakan Reformasi Gereja yang hari ini kita peringati yang ke-502 tahun. Saat mencetuskan tesis tersebut Martin Luther masih berumur 33 tahun, usia yang tergolong masih muda.
Peran Pemuda
Menilik umur Martin Luther yang masih muda kala itu, Yedija mengaitkan perjuangan Luther dengan para pemuda Indonesia dalam siklus 20 tahunan, yakni pergerakan-pergerakan pemuda dan mahasiswa kala itu, diawali pada tahun 1908 oleh pergerakan Boedi Oetomo, 1928 Sumpah Pemuda, 1948 Ujian Ideologi, 1968 Orde lama Tumbang, diganti Orde Baru, 1978 Orde Baru dilawan, 1998 Orde Baru tumbang, dan bangsa ini masuk di era Reformasi. Hal ini menandakan bahwa Pemuda memiliki peran sentral sejak dahulu dalam membuat kebijakan hingga manfaatnya dirasakan hingga saat ini. Tugas pemuda saat ini belajar dari tokoh-tokoh pemuda, salah satunya Martin Luther untuk selalu memegang kebenaran dan meneruskan perjuangan di era teknologi ini.
Sebelum mengakhiri diskusi, Yedija berbagi hasil diskusi mengenai 502 tahun Reformasi dan bagaimana perkembangan gereja di Bengkulu dengan nara sumber Jonny Simamora, seorang akademisi dan majelis gereja HKBP. Sebagai perenungan akhir, Yedija bertanya kepada para peserta bagaimana perkembangan Reformasi Gereja yang sedang menjalani 503 tahun di Doloksanggul.
Rahel Silaban salah satu peserta mengakui bahwa masih banyak jemaat bahkan pemuda gereja yang apatis dengan kondisi gereja, hal ini dibuktikan dengan hanya yang sedikit yang ikut rapat ketika membahas kepentingan gereja. Mereka berfikir bahwa urusan organisasi gereja biarlah dilimpahkan hanya kepada pelayan dan para majelis gereja.
Yedija berharap dan mengingatkan bahwa anak muda harus ikut ambil peran di dalam gereja supaya belajar dan bisa memaknai Reformasi gereja sebagaimana Slogan “Ecclesia reformata, semper reformanda est secundum verbum Dei” yang artinya gereja yang telah melakukan reformasi adalah gereja yang terus diperbaharui sesuai dengan firman Tuhan. Bagaimana mungkin warga gereja diperbaharui jika masih apatis dan tidak ambil bagian mengikuti perkembangan Gereja, bahkan jarang pergi ke Gereja? Patut menjadi perenungan bersama. ***