Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Bengkulu
Saya telah mengikuti Kegiatan Stube-HEMAT Bengkulu sejak Oktober 2021, banyak manfaat yang saya dapatkan terutama topik-topik sosial yang tidak kami pelajari di kampus. Bulan Januari ini bersama teman-teman Stube-HEMAT Bengkulu di Kampus STTAB membuat diskusi dengan Tema Perlindungan Perempuan & Anak di Bengkulu. Dengan sub tema: Perspektif Kehidupan Perempuan dan Anak Suku Nias dan Mentawai Sebagai Upaya Memahami Problem Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Bengkulu (31/1/2022).
Pertemuan Stube HEMAT Bengkulu di STTAB menerapkan model dialog. Diskusi dimulai dengan mendengarkan paparan salah seorang teman Nias tentang kehidupan perempuan dan anak. Salah satunya Elboy Gulo yang mengatakan,”Perempuan di Nias sangat dijaga dalam keluarga. Saat seorang perempuan beranjak dewasa dan akan menikah, maka ada ”jujuran” (mas kawin) yang wajib diberikan pihak laki-laki. Semakin berpendidikan seorang perempuan, maka nilai jujurannya semakin tinggi. Perempuan Nias zaman dulu dilarang sekolah, juga karena faktor orang tua tidak mampu membiayai. Jujuran yang tinggi memberikan dampak, banyak perempuan Nias sulit mendapat seorang suami. Banyak kasus ketika sudah menikah lebih fokus melunasi “jujuran”, akibatnya anak-anak kurang perhatian dan kesulitan ekonomi yang mengakibatkan hambatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Namun, saat ini perempuan sudah mendapat posisi yang hampir sama dengan laki-laki.”
Selanjutnya Ajupendi Sakerebau dari Mentawai menjelaskan,”Perempuan di suku Mentawai sangat dihargai. Dahulu perempuan tidak dibebaskan berpendidikan, karena perempuan hanya fokus pada keluarga. Saat ini perempuan sudah diberi kesempatan mendapatkan pendidikan. Perempuan suku ini tidak mendapat warisan dari orangtua, karena ketika menikah mendapat warisan dari suami. Ketika akan menikah pihak laki-laki terlebih dahulu bertanya kepada paman dari pihak perempuan, sementara orang tua tidak membebankan mas kawin yang tinggi. Perempuan diijinkan menempuh pendidikan, namun orang tua menekankan harus tinggal di asrama, dan tidak dibebaskan kos. Anak-anak perlu dijaga karena mereka harta istimewa keluarga. Anak-anak perlu disekolahkan. Namun saat ini masih ada orang tua yang tidak mendukung.”
Kristin Oktaviani, seorang pembina anak asrama di salah satu panti asuhan di Bengkulu, menceritakan pengalamannya, ”Ada anak kelas 3 SD yang mendapatkan perlakukan asusila dari tetangganya, karena orang tuanya sering meninggalkan sendiri di rumah karena kerja. Ketika orang tua melapor ke pihak kepolisan, pelaku memutarbalikkan fakta dan hal ini membuat anak itu sangat trauma. Juga ada kasus anak-anak dimanfaatkan menjadi perantara perdagangan narkoba.”
Data terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak disampaikan Linistiasi Gea. Ia membeberkan, ”Di Bengkulu tahun 2016 terjadi kasus kekerasan dan pemerkosaan serta pembunuhan terhadap remaja perempuan bernama Yuyun oleh 14 laki-laki. Selanjutnya 7 November 2017 di Desa Kota Lekat, Kec. Ulu Palik, Bengkulu Utara, seorang gadis remaja usia 14 tahun diperkosa 20 orang pria. Dan data terakhir 16 November 2021 terjadi kasus pemerkosaan terhadap 4 orang remaja putri oleh 7 pria yang salah satu pelakunya berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).”
Dari tiga paparan tersebut, diskusi dimulai untuk mengintegrasikan konteks pemikiran budaya Nias, Mentawai dan kasus di Bengkulu untuk menemukan solusi atau ide-ide positif. Peemi Guswita Zalukhu menyatakan,”Nilai positif suku Nias dan Mentawai adalah menghargai perempuan dan bertanggung jawab terhadap anak-anak, maka hendaknya memberikan edukasi bagi rekan-rekan di Bengkulu untuk bersikap positif menghargai perempuan dan melindungi anak-anak.”
Sementara Aprima Heppy Halawa menyatakan, ”Sama seperti budaya di Nias dan Mentawai yang telah terbuka memberikan kesempatan perempuan dan anak-anak untuk sekolah, maka hendaknya terus mendorong kehidupan perempuan dan anak-anak serta orang tua untuk memajukan pendidikan bagi perempuan dan anak-anak agar memiliki wawasan dan hikmat dalam menjaga kehidupan.”
Terakhir saya sendiri menyampaikan bahwa: ”perlunya memperlengkapi diri dengan pengetahuan tentang hukum perlindungan perempuan dan anak, sehingga jika para mahasiswa teologi melihat kasus kekerasan dapat melakukan tindakan dengan bijaksana yaitu melaporkan ke pihak yang berwajib.”
Pertemuan Stube HEMAT Bengkulu ditutup oleh Made Nopen Supriadi, dosen STTAB, dengan kesimpulan bahwa mahasiswa teologi perlu menunjukkan kepekaan terhadap para perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan dengan siap sedia menjadi konselor bagi mereka, berani bertindak melapor ke pihak yang berwajib jika mengetahui kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Made juga mengajak agar mengintegrasikan pengetahuan budaya baik Nias dan Mentawai yang menghargai perempuan dan melindungi anak-anak juga dilakukan di Bengkulu. Ia juga menekankan agar mahasiswa teologi memberi teladan kehidupan yang bermoral dan bermartabat, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk sesama manusia secara khusus perlindungan perempuan dan anak. ***