Tuhan selalu dekat dan tahu kebutuhan anak-anaknya. Mimpi ketiga anak muda Sumba, Vebiati Lende, Kristiani Pedi dan Naomi Mora Kalak untuk bisa ke Yogyakarta, akhirnya menjadi kenyataan. Yogyakarta yang berada di pulau Jawa menjadi magnet tersendiri bagi anak muda di penjuru Indonesia untuk datang ke kota ini. Namun demikian, tidak banyak pelajar dan mahasiswa memiliki kesempatan dan mampu mewujudkan harapan studi di kota ini karena berbagai hal, terutama ekonomi.
Program Exposure ke Stube-HEMAT Yogyakarta merupakan salah satu program Stube-HEMAT Sumba yang memberi kesempatan mahasiswa Sumba yang belum pernah ke Yogyakarta untuk belajar dan beraktivitas di Stube-HEMAT Yogyakarta selama kurang lebih tiga minggu efektif. Kesempatan mengunjungi tempat lain, berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda atau memiliki cara hidup yang berbeda akan memperkaya peserta dalam memahami manusia dan kehidupan.
Tiga anak muda yang mendapat kesempatan belajar di Yogyakarta adalah Vebiati Lende (mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi GKS); Naomi Mora Kalak (mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Terpadu); dan Kristiani Pedi (aktivis gereja dan komunitas pemuda Sumba). Selama di Yogyakarta mereka mendalami visi dan misi Stube-HEMAT dan keberpihakan pada generasi muda, mengasah kemampuan kritis melalui Jurnalistik, diskusi Sustainable Development Goals (SDGs) dan seminar homoseksualitas. Berkaitan dengan SDGs, sebagai kesepakatan global untuk mencapai tujuan pembangunan dunia demi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam yang diwujudkan dalam 17 indikator, Naomi tertarik pada topik ketersediaan air bersih karena air bersih belum dapat dirasakan setiap penduduk di Sumba; sementara Vebi memberi perhatian pada kasus stunting yang dialami anak-anak Sumba; sedangkan Kristiani fokus pada pendidikan karena Sumba masih menghadapi tantangan untuk kualitas pengajar, sebaran sekolah yang belum merata di setiap kecamatan, dan kesempatan pendidikan bagi perempuan Sumba.
Sebagai pembelajaran konteks Sumba yang memiliki kawasan pertanian, peserta berdiskusi tentang sayuran, khususnya sawi, tomat ceri, selada hijau, dan buah di kebun Kuncup dan melihat sistem pertanian hidroponik dan aquaponik di Indmira. Aktivitas ini berlanjut dengan mengolah pangan lokal dari tepung beras ketan hitam diolah menjadi roti kukus, jagung menjadi puding, labu kuning menjadi talam dan sukun menjadi keripik.
Selain itu, kruisteek atau seni jahit silang menjadi salah satu materi untuk mengenal berbagai kerajinan tangan, diperkaya dengan batik tulis yang memakai teknik colet sampai ecoprint yang memanfatkan daun-daun untuk mencetak motif di kain. Tak ketinggalan, seni merangkai manik-manik, muti, benang, kawat dan asesoris lain menjadi kalung, gelang dan bando, yang akan dipasarkan di Sumba, menjadi bekal ketrampilan bagi para peserta. Fotografi dan seluk-beluknya seperti teknik memotret, pengambilan sudut (angle), kecepatan dan pencahayaan, menjadi bekal peserta untuk mendukung saat mereka ingin melakukan branding produk. Ditambah lagi mengikuti pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta tentang Belajar dari Kegagalan, membuka pemikiran peserta memaknai kegagalan dan bagaimana membuat strategi hidup yang tidak pantang menyerah.
Kunjungan ke candi Borobudur, pengalaman naik kereta api, dan berjalan menyusuri sumbu filosofis kota Yogyakarta menambah lengkap pemahaman mereka atas kehidupan lain di luar Pulau Sumba. Di akhir program peserta merancang tindak lanjut apa yang akan dilakukan di Sumba, seperti membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada teman-teman di Stube-HEMAT Sumba, mereka juga membuat kerajinan tangan, mengolah pangan lokal menjadi makanan layak jual dan menggerakkan anak muda gereja memanfaatkan lahan kosong untuk menanam sayuran. Dari Jogja untuk Sumba, terus bergerak dan berdinamika! (TRU).