Tiga Jiwa Pemantik Untuk Sumba (Tulisan peserta Eksposur Stube-HEMAT Yogyakarta)  

pada hari Minggu, 17 September 2017
oleh adminstube
 
 
 


Menghargai Waktu
(Desri Kahi Mila Meha, STT Terpadu Waingapu)
 
Waktu sangat penting bagi semua orang untuk beraktivitas dan berkarya, dan waktu dipakai sebagai patokan bagi sebagian orang untuk memulai kegiatannya. Namun terkadang orang mengabaikan betapa berharganya waktu, sehingga menganggapnya sebuah hal yang biasa-biasa saja dan tetap mempertahankan budaya jam karet.
 
Kebiasaan ini masih dilakukan oleh sebagian orang di Sumba Timur, bahkan juga kebiasaan di komunitasa saya, sehingga melekat dalam diri saya. Kebiasaan buruk saya yang sering mengulur-ulur waktu membuat banyak hal terbuang meskipun seharusnya perlu dilakukan. Akibat lain dari tidak menghargai waktu, banyak pekerjaan tidak terselesaikan.


Saya sangat terinspirasi dengan kegiatan yang saya ikuti selama saya di Yogyakarta yang begitu disiplin dengan waktu dan bahkan setiap kegiatan diatur oleh waktu dan juga dibatasi oleh waktu yang sudah ditentukanMelalui kesempatan ini saya belajar menyesuaikan diri dan menjadi sebuah keharusan untuk saya lakukan ketika saya berada di Yogyakata, karena bagi saya kedisiplinan adalah hal yang sangat bagus untuk menjadikan saya seseorang yangbisa menghargai waktu.
 
Saya harus mengubah kebiasaan saya yang lama dengan menerapkan kebiasaan baru untuk  menghargai dan mengatur waktu dengan baik.Apabila semua yang saya lakukan diatur oleh waktu maka otomatis apapun yang saya lakukan akan selesai tepat waktu dan diposisi lain juga bisa memiliki waktu untuk mengerjakan hal lain. Saya berharap ketika saya menerapkan hal yang baik di tengah komunitas saya, ada efek positif yang juga dilakukan juga oleh orang-orang yang adadi sekeliling saya. Hal terpenting adalah saya memulainya dari diri saya sendiri terlebih dahulu untuk menjadi panutan bagi orang lain. Ayo…..tanamkan budaya menghargai waktu!!!
 
 
Kekuatan Perbedaan Iris Mata
(Erik Bidikonda Hawula, Unkriswina, Waingapu)
 
 
Dalam kehidupan ini kita sadar bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi tidak terlepas dari warna atau ciri kas yang membedakan kita, baik segi biologis sampai pemikiran di kepala kita, baik perbedaan yang bisa kita lihat sampai yang tidak terlihat. Perbedaan yang kita milikitersebut tentu bukan permintaan kita tetapi itu semua adalah takdir yang tidak bisa kita hindari.
 
Perbedaan–perbedaan yang ada di sekitar kita sering memungkinkan perselisihan atau konflik yang apabila tidak ditangani serius bisa memburuk bahkan bisa menjurus pada pertumpahan darah. Tentu bukan hal yang mustahil jika dari perbedaan-perbedaan yang ada tersebut bisa dipersatukan.
 
Mengapa saya lahir dari sukutertentu, ras tertentu yangmemiliki budaya yang membentuk saya memiliki pemikiran serta perspektif yang berbeda, hendaknya tidak menjadi masalah kemanusiaan.Pemikiran dan perspektif yang berbeda dapat dipakai dalam merasakan dan melihat fenomena atau keadaan alam dan benda-benda yang ada disekitar kita. Hal tersebut mungkin tak sempat kita pikirkan bahwa orang yang memiliki perbedaan pemikiran dan pandangan dapatmemanfaatkan hal-hal yang tidak berguna menjadi punya nilai ekonomi, seperti para pengrajin barang-barang daur ulang dan sampah seperti pecahan kaca menjadi tatanan mozaik yang indah, tempurung kelapa menjadi produk kualitas eksport, atau bahkan lahan pasir gersang menjadi lahan pertanian yang subur. Iris mata sebagai kekuatan untuk melihat dan perubahan tidak mungkin terjadi ketika kita gagal untuk melihat perbedaan.
 
Indonesia mempersatukan kita dalam perbedaan 1.300 suku, 1.158 bahasa daerah dan berbagai perbedaan agama dan aliran kepercayaan lokal. Tentu perbedaan ini bisa memicu konflik jika kita tidak mampu melihat perbedaan adalah kekuatan. Dengan apa kita melihat kekuatan itu? Tentu dengan iris mata yang berbeda.
 
Proses Eksposur ke Stube-HEMAT Yogyakarta mengajarkan kamimelihat segala sesuatu yang terlihat biasa, bisa mempunyainilai serta menerima dan memanfaatkan perbedaan untuk dikelola menjadi kekuatan.
 
 
Saya mengikuti pelatihan Studi perdamaian, Wisma Ngesti Laras, Kaliurang




PEACE MAKER Dalam Konflik
(Marinus Mardi Ishak, STT GKS Lewa)
 
 
Kasus konflik sudah menjadi konsumsi publik akhir-akhir ini di Indonesia. Hal ini sebenarnya memicu dan memacu daya kritis dan analitis anak bangsa khususnya anak muda, untuk tidak diam begitu saja melihat situasi yang ada, tetapi berkontribusi dalam buah pikiran dan tindakan yang membangun. Ketika mengikuti kegiatan dalam Eksposur Stube-HEMAT Yogyakarta, sayamerenungkan bahwa masing-masing kita sudah semestinya menjadi PEACE MAKER.
 
Konflik yang ada di negeri ini tidak saja berkaitan denganpersoalan humanis-religius tetapi juga persoalan humanis-ekologis, sebagaimana topik-topik yang telah saya ikuti di Stube-HEMAT Yogyakarta sebagai model realita konflikkehidupan, yang mencakup:1. Dialog Lintas Agama,  2. Bertani di lahan pasir, 3. Management Peternakan, 4. Studi Perdamaian: Management Konflik dan Resolusi Konflik, dan 5. Daur Ulang Sampah. Semua kegiatan tersebut merupakan salah satu resolusi konflik yang ditawarkan kepada masing-masingkami untuk bertindak sebagai PEACE MAKER.
 
Secara kasatmata kita dapat melihat realita tersebut, bahkan tanpa kita sadari kita pun sedang berada di tengah-tengah konflik tersebut. Pertanyaannya, lalu apa yang harus kita perbuat? Mau tidak mau ini menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa untuk mengelola dan memberikan resolusi konflik yang ada. Mungkin kita bukan penabur dari konflik-konflik tersebut, namun tanpa kita sadari kita pun merasakan imbas dari situasi yang ada. Untuk itulah kita harus bertindak, sebagaimana ada ungkapan “Kalau bukan KITA siapa lagi dan kalau bukan SEKARANG kapan lagi”. Ungkapan ini memotivasi saya untuk menjadi mediator yang baik di dalam menganalisa dan memediasi konflik yang ada.

PEACE MAKER, tidak hanya berpikir dan menganalisa tetapi juga bertindak secara sinergis dengan berjejaring lintas agama, suku dan ras dari Sabang sampai Merauke dan janganterkurung dan terpuruk dengan konflik pribadi. Tanggung jawab ini tentunya harus dimulai dari diri sendiri. Saya sangat berterima kasih atas kesempatan mengikuti kegiatan diStube-HEMAT Yogyakarta dalam eksposur ini juga tim dan rekan-rekan di Yogyakarta. Pengalaman dan ilmu yang diperoleh, akan dibagikan kepada teman-teman di Stube-HEMAT Sumba sebagai wadah dan rumah bersama kami di Sumba. Terimakasih juga untuk jejaring yang boleh dibukakan dengan teman-teman di Stube Jerman.


 


  Bagikan artikel ini

Memperhatikan Desa   Memajukan Sumba

pada hari Senin, 4 September 2017
oleh adminstube
 
Melatih Penduduk Desa Tanarara Membuat Nutrisi Ternak
Peserta program Village and Me
 
 
Tanarara merupakan salah satu desa di kecamatan Lewa kabupaten Sumba Timur, NTT yang memiliki luas kawasan 35,50 km2. Kecamatan Lewa yang terletak sekitar 60 km di sebelah barat kota Waingapu terkenal sebagai lumbung padi di Sumba Timur karena produksi padi terbesar dibanding kecamatan yang lain di Sumba Timur. Sebagian besar penduduk desa Tanarara adalah petani dan peternak. Hasil pertanian berupa padi, jagung dan sebagian singkong dan ubi jalar. Sedangkan ternak yang sering dijumpai di desa ini adalah sapi, babi, kerbau, kambing dan ayam. Hasil pertanian dan peternakan menjadi penyokong ekonomi rumah tangga penduduk di desa Tanarara, sehingga perlu pengelolaan yang baik demi mencapai hasil yang baik pula. Inilah yang mendorong Yupiter Tanga Ngaul, seorang anak muda asli desa Tanarara yang sedang kuliah di Universitas Kristen Wira Wacana Sumba program studi Ekonomi Pembangunan untuk mengikuti “Village & Me”.
 
Village Me” merupakan sebuah program dukungan bagimahasiswa untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat desa tempat asal peserta. Selain aktif di kampusnya, Yupiter juga beberapa kali mengikuti pelatihan yang diadakan Stube-HEMAT Sumba, salah satunya adalah pelatihan Keragaman Pangan Lokal di GKS Kawangu. Yupiter tertarik dengan program ini dan mengusulkan kegiatan untuk petani berupa pendampingan pembuat nutrisi vitamin tambahan bagi ternak sapi, babi, kerbau, kambing dan ayam. Bahan pembuatan nutrisi vitamin tambahan terbuat dari jantung pisang dan air gula. Jantung pisang dicacah halus dan ditumbuk kemudian ditambah air gula. Campuran ini dimasukkan dalam ember kemudian ditutup plastik sehingga kedap udara dan dibiarkan semalam supaya terjadi fermentasi. Kemudian campuran ini disaring dan air hasil fermentasi digunakan sebagai nutrisi vitamin tambahan.
 
Yupiter merasa senang karena tidak ada kesulitan dalam melaksanakan program yang berlangsung pada tanggal 8-9 Juli 2017. Penduduk desa antusias mengikuti pelatihan inisehingga memudahkan mereka mempelajari bagaimana membuat nutrisi ternak sendiri. Penduduk desa Tanarara berterimakasih dan memberikan apresiasi kepada tim Stube-HEMAT Sumba yang sudah melayani penduduk desa Tanarara melalui program ini.
 
Yupiter menyampaikan, “Program ini sangat penting bagi mahasiswa di Sumba, karena program ini mendorong mahasiswa berbagi pengetahuan dan pengalaman yang mereka dapat dari kampus, gereja, organisasi dan komunitas masyarakat. Kemauan saling berbagi dan menerima ini mestinya terjadi tidak hanya di satu masa tetapi mesti berkelanjutan. Anak muda di Sumba pun sudah semestinya memikirkan desanya, menerapkan ilmu yang mereka pelajari”.
 
Anak muda masa kini harus punya semangat juang, rasa solidaritas yang terwujud melalui berbagi kemampuan, keterampilan dan pengetahuan demi kemajuan kehidupan masyarakat desa sebagai pondasi bangsa ini. (Meliani Retang).

  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2024 (1)
 2023 (10)
 2022 (27)
 2021 (31)
 2020 (23)
 2019 (22)
 2018 (27)
 2017 (26)
 2016 (7)
 2015 (11)
 2014 (16)
 2013 (4)
 2012 (5)

Total: 210

Kategori

Semua