Masih ada Harapan: ternak babi mulai beranak kembali

pada hari Minggu, 31 Oktober 2021
oleh Multiplikasi Stube HEMAT di Sumba - Peternakan
Multiplikasi Stube HEMAT di Sumba - Peternakan

 

“Tidak ada rahasia untuk sukses. Sukses merupakan hasil dari persiapan, kerja keras, ketekunan dan mau belajar dari kegagalan”

 

 

Kata-kata di atas cocok dengan pengalaman peternak babi di Sumba di bawah arahan Multiplikasi Stube HEMAT di Sumba dan Apriyanto Hangga sebagai Multiplikator. Setelah hampir dua tahun ternak babi di Sumba diserang virus baik itu African Swine Fever (AFS) dan Hog Cholera yang menghabiskan ternak babi dan membuat para peternak trauma untuk kembali memelihara babi. Mereka takut untuk memulai memelihara ternak lagi karena kekuatiran virus menyerang lagi sewaktu-waktu.

 

 

Perlu waktu untuk menguatkan dan membangun kembali semangat para peternak, karena sebenarnya kemauan untuk beternak itu tetap ada, hanya saja mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat jika virus menyerang dan bagaimana memelihara babi dengan cara yang baik sehingga bisa berkembang. Melalui pendekatan, dialog dan perkunjungan yang berkelanjutan akhirnya semangat itu muncul kembali.

 

 

Kelompok Peternak Babi Harapan Kita yang juga merupakan kelompok yang dibentuk oleh Multiplikator Stube HEMAT di Sumba dengan 24 KK sebagai anggota saat ini telah berhasil merawat babi yang dimiliki. Tujuh ekor diantaranya telah beranak. Ini merupakan berkah dari kerja keras mereka. Ini hasil dari ketekunan dan perjuangan bersama ketika terjadi serangan virus waktu itu, dan kelompok berusaha menjaga ternak mereka dengan melakukan kegiatan vaksinasi terhadap 48 ternak babi yang dilakukan pada bulan Februari 2021 tahun lalu. Seiring perjalanan waktu, sebagian babi telah dijual untuk memenuhi kebutuhan peternak dan sebagian tetap dipelihara sampai beranak pada saat ini. Hal ini merupakan momen istimewa saat masyarakat kesulitan untuk mencari anakan babi pasca serangan virus, tetapi kelompok peternak justru menghasilkan anakan babi.

Dari diskusi rutin terungkap bahwa para peternak babi mengharapkan agar kegiatan vaksinasi babi bisa dilakukan lagi karena terbukti sangat membantu menjaga stamina ternak mereka. Para peternak dalam kelompok berterimakasih atas program Multiplikator Stube HEMAT di Sumba yang tekun mengunjungi dan mendampingi, bahkan membantu melalui kegiatan-kegiatan yang menunjang keberhasilan ternak mereka.***


  Bagikan artikel ini

Menyentuh Perempuan Bersuara Dan Terbuka

pada hari Minggu, 17 Oktober 2021
oleh Elizabeth Uru Ndaya, S.Pd.

Oleh: Elizabeth Uru Ndaya, S.Pd.

 

 

Berbicara tentang perempuan maka kita berbicara tentang keberadaan dan perjuangannya. Ketika dalam keluarga representasi suara perempuan sangat minim atau bahkan tidak ada, hal itu cenderung dianggap wajar dan bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan. Jika perempuan terus diam maka tidak akan ada perubahan, oleh karena itu perempuan harus bersuara dan menanggalkan semua ketakutan untuk menceritakan kisah dan pengalamannya. Seperti yang dialami oleh sebagian peserta kelompok perempuan tenun ikat Kawara Panamung, di desa Tanatuku. Ada bermacam-macam masalah yang mereka alami dalam rumah tangga mereka, baik itu kekerasan dalam rumah tangga, atau seringkali keberadaan mereka tidak dianggap baik sebagai istri atau anggota keluarga, mereka jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Lalu apa tindakan mereka selama ini? Bungkam adalah pilihan mereka dengan alasan agar tidak memperpanjang masalah dan ancaman kekerasan.

 

 

 

 

Hal seperti inilah yang harus terus diperjuangkan, penting sekali perempuan bersuara dan mengekspresikan apa yang dirasakan untuk mendapatkan persamaan hak. Adanya kelompok perempuan ini menjadi wadah bagi mereka untuk saling berbagi. Untuk itu multiplikator program pemberdayaan perempuan Stube-HEMAT, mengajak kelompok perempuan yang tengah menyelesaikan proses panyusunan benang tenun mengambil waktu sharing kisah merekadilanjutkan berdiskusi tentang isi buku karya Rachmi Larasati dan Ratna Noviani yang berjudul Melintas Perbedaan-suara perempuan, agensi, dan politik solidaritas (16/10/2021). Buku ini fokus pada gagasan para pemikir perempuan dimana perempuan bisa dengan bebas berbagi pengalaman dan pemikirannya, dan spectrum pemikiran perempuan mengenai problem sosial, budaya, ekonomi maupun politik yang cenderung kurang terdengar, kurang dikenal dan juga kurang dipahami  posisionalitasnya dalam kartografi pemikiran akademik.

 

 

Topik pertama yang dibahas pada pertemuan itu tentang konsumerisme, kemakmuran sejati, dan gaya hidup berkelanjutan oleh Juliet B. Schor, pemikir perempuan kritis dari Amerika Serikat yang memiliki perhatian pada dampak perilaku konsumtif, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan gender. Hal yang paling banyak diperdebatkan oleh peserta kelompok tenun ialah membedakan mana yang benar-benar menjadi kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan. Seperti kebanyakan orang membeli sesuatu bukan sekedar membeli fungsinya tetapi juga mengkonsumsi tanda sebagai pembeda sosial yang mengarah pada simbol kesuksesan. Ada yang mengatakan membeli sesuatu hanya karena tetangga memilikinya sehingga ikut-ikutan membeli. Ada yang mengatakan, tergiur mata untuk membeli meski bukan hal yang dibutuhkan. Juliet B. Schor mengungapkan bahwa tindakan konsumtif yang merebak itulah sumber pemborosan, hutang, aliensi terhadap komoditas, dan lain sebagainya.

 

 

Beberapa langkah konkrit dari Juliet B. Schor yang multiplikator bagikan ke peserta kelompok perempuan untuk membantu membuka pola pikir, wawasan dan pemahaman mereka,  yaitu hak atas standard hidup yang layakmemahami perbedaan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want), mengutamakan kualitas hidup dari pada kuantitas barangDari penjelasan itu semua peserta belajar untuk mengubah perilaku konsumtif mereka. Pada pertemuan selanjutnya kelompok perempuan Tanatuku akan terus dicerahkan dengan topik-topik lain dan akan lebih banyak belajar bagaimana memperjuangkan hak mereka sebagai perempuan.*** 


  Bagikan artikel ini

Seni Yang Memberdayakan

pada hari Minggu, 3 Oktober 2021
oleh Elisabeth Uru Ndaya

Oleh: Elisabeth Uru Ndaya

 

 

Sumber daya ekonomi yang dimiliki rumah tangga tidak hanya menuntut peran laki-laki sebagai kepala keluarga, namun juga melibatkan perempuan untuk berperan menopang ketahanan ekonomi keluarga. Kondisi demikian menjadi dorongan bagi perempuan agar memiliki ketrampilan. Melibatkan perempuan melalui pemberdayaan dengan meningkatkan keterampilan sumber daya yang ada sangatlah penting. Membuat kain tenun Sumba Timur tidak hanya memikirkan bagaimana melestarikan budaya tetapi juga usaha pemberdayaan perempuan. Sumber daya yang ada harus senantiasa ditingkatkan keahliannya sehingga bisa menghasilkan karya tenun yang memiliki daya saing di pasaran. Sudah saatnya para penenun semakin menghargai karya yang dikerjakan dengan menekuni setiap proses yang ada. Seperti dari awal sampai akhir proses pembuatan, bahan-bahan tanaman dari alam yang bisa dibudidayakan dan ramah lingkungan tetap dipakai dengan memperhatikan desain motif tenun.

 

 

Di sela-sela menggulung benang, multiplikator mengajak peserta kelompok berdiskusi membahas buku berjudul ‘Karya Adiluhung yang menguak spiritualitas dan simbolisme dibalik seni tenun ikat pewarna alam Sumba Timur (2/10/2021). Buku tersebut menceritakan banyak hal yang berkaitan tentang tenun ikat Sumba Timur yang ternyata menyimpan potensi lain yakni sebagai fondasi sekaligus pendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Sebagai langkah awal, peserta kelompok terlebih dahulu mendalami 42 langkah menenun karena kebetulan mereka ada dalam tahapan awal menggulung benang untuk membuat selembar kain. Karna itu sangat penting bagi mereka untuk mengetahui lebih luas tentang tahapan-tahapan tenun yang mereka lalui. Elisabeth Uru Ndaya menjelaskan bahwa di dalam buku tersebut ada 6 topik besar yang merangkum ke 42 langkah dalam menenun, seperti yang pertama menjelaskan tentang memintal kapas menjadi benang dan menggulungya. Kedua, pamening yaitu rangkaian kegiatan menyiapkan lungsin (benang-benang yang telah disusun menjadi sebentuk kanvas untuk diikat). Ketiga, mendesain lukisan motif di kain. Keempatpewarnaan benang, kelima menyiapkan proses menenun dan yang terakhir proses menenun hingga tahap penyelesaiannya.

Sebagian peserta kelompok merasa terkejut dengan begitu banyak langkah, meskipun secara tidak sadar mereka sudah melaluinya. Secara teori mereka merasa bahwa langkah-langkah menenun sangat sulit untuk diikuti dan dikerjakan. Namun ketika mengingat kembali proses yang sudah dilalui selama setahun, tidak mengurangi niat mereka untuk terus berproses. Karena mereka yakin bahwa setiap kerja keras yang ditekuni nantinya akan membuahkan hasil. Adrina Ipa Hoi, salah satu peserta muda dalam kelompok tenun berkata, “Ternyata menenun tidak gampang, kita tidak sadar selama ini kita sudah lalui ke 42 tahapan itu, dan bagi saya baru sekitar 30an langkah yang saya yakini saya bisa, sisanya masih harus belajar lagi. Untung saja dengan ada ini buku membantu kita mengetahui langkah yang mana saja yang sudah dan belum kita pahami”.

Bagaimanapun sulitnya berproses, ketrampilan membuat tenun ikat terbukti telah melahirkan karya seni yang diakui dunia. Para kolektor tenun di berbagai belahan bumi ini bahkan memperlakukan koleksi tenun ikat Sumba sebagai sebuah mahakarya. Tenun ikat pun kini menjadi salah satu karya yang mampu menopang kehidupan ekonomi keluarga. Saatnya para seniman tenun dan perempuan-perempuan Sumba menghormati keahlian tersebut dengan terus menekuni ketrampilan tenun hingga mampu berdaya saing secara internasional.


  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2024 (1)
 2023 (10)
 2022 (27)
 2021 (31)
 2020 (23)
 2019 (22)
 2018 (27)
 2017 (26)
 2016 (7)
 2015 (11)
 2014 (16)
 2013 (4)
 2012 (5)

Total: 210

Kategori

Semua