Mencapai Kesetaraan Gender Melalui Pemberdayaan Perempuan

pada hari Kamis, 6 Mei 2021
oleh Admin Stube

 

 

Mau tidak mau harus diakui bahwa banyak perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki baik dari sisi kualitas hidup maupun peran dan partisipasinya dalam pengambilan keputusan di wilayah Sumba Timur. Budaya patriarki secara langsung atau tidak telah menempatkan perempuan di urutan keduaseolah perempuan tidak dapat sejajar dengan suaminya, tidak berdaya, dan tidak berkuasa atas dirinya sendiriKesetaraan gender bukan berarti menuntut perempuan menjadi sama dengan laki-laki, melainkan mendukung perempuan dan laki-laki agar mendapat kesempatan ada dalam posisi yang sejajar. Oleh karena itu, dengan adanya program multiplikasi Stube-HEMAT di Sumba yang berfokus pada program pemberdayaan perempuan, menjawab dan membantu meningkatkan kualitas sumber daya perempuan di Sumba khususnya di desa Tanatuku, Kecamatan Nggaha Ori Angu untuk terus mewujudkan kepekaan, kepedulian gender dari seluruh masyarakat hingga pemangku kepentingan.

 

 

Di sela-sela menyelesaikan proses menenun, Elisabeth Uru Ndaya, multiplikator, mengajak mereka berdiskusi dan bertukar pikiran dengan tema “perempuan dan belenggu kebebasan”(5/05/2021)Perempuan masih terjebak doktrin yang mengatakan bahwa kodrat perempuan hanya di rumah mengurus anak dan berbakti kepada suami. Pemahaman keliru tentang kodrat inilah yang sangat penting diketahui dan dipahami terlebih dahulu yang mana laki-laki dan perempuan memang memiliki kodratnya masing-masing yang tidak dapat ditukarkan. Seperti hanya perempuan yang bisa terlahir dengan organ tubuh vagina dan rahim, melahirkan dan menyusui, sedangkan laki-laki terlahir dengan penis dan memiliki sperma yang bisa membuahi sel telur. Tetapi soal mengurus rumah tangga, bekerja, mengurus anak, menyetir, memimpin dan dipimpin bukanlah kodrat, karena dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki.

 

 

Selama mendampingi kelompok tenun hampir setahun ini, ada banyak pergumulan dan permasalahan yang ditemui oleh perempuan yang ingin maju, seperti mendapatkan perlakuan tidak baikkekerasan fisik, kekerasan verbal dari suami atau keluarga mereka. Di desa Tanatuku, tercatat sudah ada 12 kasus kekerasan, 3 di antaranya adalah peserta kelompok tenun Stube-HEMAT. Pada kesempatan diskusi tersebut, peserta kelompok, Er (inisial) menceritakan di mana sang suami melarangnya untuk bergaul dengan siapa pun dan bahkan untuk bergabung dengan kelompok tenun, ia harus mendapatkan kekerasan fisik dari suaminya terlebih dahulu. Dengan berbagai pendekatan oleh kelompok tenun, kini ia mendapatkan kebebasan dari suaminya. Peserta lain, Ri (inisial) mencurahkan isi hatinya, di mana keluarga suaminya begitu membencinya hingga caci maki dan pukulan sering ia dapat. Salah satu peserta lain, Or (inisial) juga menceritakan perjuangan menghadapi suaminya yang mengekang dalam segala tindakan, sedangkan suaminya kini memiliki wanita lain.

Perempuan yang bebas dan merdeka adalah perempuan yang mampu mengekspresikan gagasan dan pikirannya secara positif tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan, tidak peduli ketika mereka berada dalam titik terlemah atau terkuat, mereka dapat menyampaikannya dengan hormat. Persoalan-persoalan yang ada tidak menurunkan niat mereka untuk terus meningkatkan kualitas diri dalam berproses menjadi seorang penenun. Tidak hanya ilmu tenun saja yang mereka pelajari, tetapi ada banyak hal yang menjadi bagian pembelajaran dari kehidupan mereka. Kesempatan untuk bertemu satu sama lain menjadikan momen bagi mereka untuk saling menopang, bertukar pikiran dan saling menguatkan akan setiap pergumulan rumah tangga yang di alami masing-masing. Perempuan harus terus maju dan berkualitas.***


  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2024 (1)
 2023 (10)
 2022 (27)
 2021 (31)
 2020 (23)
 2019 (22)
 2018 (27)
 2017 (26)
 2016 (7)
 2015 (11)
 2014 (16)
 2013 (4)
 2012 (5)

Total: 210

Kategori

Semua