Mahasiswa mengabdi ke desa: Kami bisa! (2) Pengalaman peserta Village and Me

pada hari Senin, 31 Desember 2018
oleh adminstube
 
 
 
Kiprah anak muda khususnya mahasiswa Sumba yang pernah menjadi peserta program Village and Me dari Stube-HEMAT Sumba membangkitkan semangat mahasiswa lainnya untuk ikut serta di periode berikutnya. Rasa kepedulian mereka terhadap desa asalnya kembali bersemi dan ide-ide segar mereka bermunculan. Ini membangkitkan optimisme karena semakin banyak anak muda yang peduli dan bersemangat membangun desanya maka ‘image’ desa sebagai kawasan yang tertinggal akan semakin berkurang.
 
Angkatan kedua tahun 2018 ini, melibatkan tiga mahasiswa aktivis Stube-HEMAT Sumba untuk mengabdikan ilmu dan pengalaman selama kuliah untuk masyarakat desanya yang tersebar di berbagai wilayah di Sumba. Mereka memiliki kepercayaan diri dan keyakinan bahwa yang mereka lakukan itu bermanfaat.
 
Adriana Pindi Moki, yang sering dipanggil Ambu, melakukan penyuluhan kesehatan untuk penduduk di kampung halamannya di Waikanabu, Tabundung, Sumba Timur. Sebagai mahasiswa Akademi Perawat Waingapu jurusan Keperawatan ia terampil melakukan penyuluhan Keluarga Berencana dan pemeriksaan kesehatan kepada pasangan usia subur dan anak-anak. Ia juga menyediakan leaflet tentang kesehatan ibu dan anak. Ini sangat berharga karena membantu penduduk desa yang jauh dari kota mendapatkan bacaan yang bermanfaat. Penduduk merespon baik inisiatif Ambu untuk membagikan pengetahuannya di bidang kesehatan dan berharap mahasiswa lainnya untuk datang dan berbagi pengetahuan.
 
Trias Manu, seorang mahasiswa dari desa Mauhau, Sumba Timur membagikan pengetahuan yang ia dapatkan di Akademi Komunitas Negeri (AKN) Waingapu jurusan Pakan Ternak. Ia mempraktekkan pembuatan pupuk organik cair dan padat di GKS Mauhau bersama anggota jemaat gereja setempat yang sebagian besar petani. Saat ini mereka tetap menggunakan pupuk organik hasil produksi mereka sendiri.
 
“Kegiatan ini mengajarkan saya untuk saling berbagi, tidak berputus asa dengan keterbatasan yang kita miliki. Awalnya saya memang gugup dan bingung untuk memulai kegiatan, tetapi setelah dijalani akhirnya saya merasa senang karena ilmu saya bisa bermanfaat” ungkap Trias.
 
Makson Rangga Nduna, aktivis Stube-HEMAT Sumba yang kuliah di Unkriswina jurusan Ekonomi Pembangunan tertarik untuk melakukan pendampingan kepada petani sayur di sekitar rumahnya di Karaha, Lambanapu. Ia seorang mahasiswa sekaligus petani sayur yang memiliki pengetahuan tambahan tentang pertanian organik dari beberapa kali mengikuti pelatihan di Stube-HEMAT Sumba. Tanaman yang ia budidayakan antara lain sawi, kemangi, kacang panjang, terong, singkong, pepaya, pisang, bayam, serai dan pakan ternak.
 
Saya menyukai program ini karena cocok dengan hobi dan latar belakang saya dari keluarga petani. Hasil panen bisa mencukupi sebagian kebutuhan sayuran keluarga, sebagian dijual untuk membeli kebutuhan lainnya dan menjadi contoh bagi petani lainnya. Tetapi saya juga mengalami gangguan karena pemilik ternak melepas hewannya sehingga tak jarang hewan-hewan tersebut makan tanaman, jadi hasil panen tidak maksimal. Kami terus mencari cara bagaimana agar tanaman kami tidak dirusak hewan ternak, seperti memberi pagar dan menghimbau pemilik ternak untuk mengawasi ternak mereka”,ungkap Makson.
 
Terbukti, ketika mahasiswa mendapat dukungan dan kesempatan mengabdikan pengalaman yang mereka dapatkan di kuliah, mereka mampu melakukannya. Semoga kegiatan ini menjadi jalan berkat. (TRU).

  Bagikan artikel ini

Anak muda dan pariwisata Bagai dua sisi mata uang

pada hari Senin, 10 Desember 2018
oleh adminstube
 
 
Setiap daerah memiliki keunikan masing-masing yang menjadi daya tarik khas suatu daerah. Keunikan-keunikan itu terlihat dari alam, pemandangan, arsitektur, bangunan dan peninggalan sejarah dan budaya di setiap daerah yang memiliki bentuk dan ornamen yang berbeda satu sama lain. Penting bagi anak muda untuk mengenal dan memahami peninggalan sejarah dan budaya daerahnya, khususnya Sumba yang sedang mulai berkembang pariwisatanya.

Sebagai lanjutan program Warisan Budaya: Inventarisir Peninggalan Budaya, Stube-HEMAT Sumba memfasilitasi anak muda dan mahasiswa Sumba untuk mengunjungi museum kabupaten Sumba Timur pada hari Sabtu, 8 Desember 2018. Dalam kunjungan ke museum, peserta mengamati setiap benda-benda koleksi museum dinas pariwisata kabupaten Sumba Timur. Benda-benda itu antara lain ‘hinggi’ (kain tenun tradisional), ‘ngohung’ (lesung), ‘tanga watil’ (tempat sirih pinang), ‘kalumbut’ (wadah sirih pinang untuk laki laki), parang, ‘jungga’ (gitar tradisional), ‘makka’ (gasing), ‘lamba’ (tambur), gong, ‘mamuli’ (mahar pernikahan) dan benda-benda lainnya.


Umbu Kura Lena, narasumber museum menyampaikan bahwa pemerintah provinsi NTT mengkampanyekan pariwisata sebagai sektor unggulan untuk menggerakkan sektor lain maka berbagai pihak mesti berperan aktif, terlebih anak muda dan mahasiswa yang memiliki semangat dan ide-ide segar. Mereka diharapkan menjadi para pelaku dibidang pariwisata.
 
Menanggapi paparan tersebut, Apriyanto Hangga, salah satu team Stube-HEMAT Sumba, mengungkapkan harapannya supaya museum melengkapi koleksi yang ada karena koleksi di sini belum ada 50 % dari warisan budaya dan sejarah Sumba. Ia menyebutkan beberapa benda, seperti ‘katoda’ (batu tempat berdoa penganut ‘Marapu’ (kepercayaan lokal Sumba), barang-barang perhiasan gelang, cincin, guci, mahkota raja, tombak sebagai alat berburu dan lain sebagainya. Ia mengkritisikalau pemerintah setempat lambat dalam mendirikan museum dan kesulitan mengumpulkan koleksi karena tak sedikit benda-benda peninggalan sejarah dan budaya Sumba yang sudah banyak dijual ke luar pulau Sumba, bahkan ke luar negeri.
 
Sepritus Tangaru Mahamu, salah satu peserta, mahasiswa AKN Waingapu, menyampaikan rasa senangnya karena bisa melihat peninggalan sejarah budaya secara langsung di museum ini. Sebelumnya ia hanya mendengar cerita tentang alat musik tradisonal seperti ‘djungga’ atau gitar. Ternyata ia tidak sendiri, masih banyak anak muda yang belum pernah melihat alat musik tersebut, apalagi memainkannya. Keberadaan djungga kalah populer dengan gitar modern yang memiliki nada lebih variatif. Saat ini ia merintis usaha menjual makanan khas Sumba seperti ‘kaparak’ dan selendang Sumba. Meskipun kecil ia yakin ini sebagai langkah maju sebagai pemuda pelaku pariwisata Sumba.


Di akhir kunjungan peserta mengadakan refleksi dan mendata tempat-tempat wisata berbasis alam yang ada di Sumba. Selain itu, mereka akan menulis cerita dan deskripsi berkaitan tempat-tempat yang ditulis tersebut sebagai media promosi pariwisata. Anak muda sebagai generasi penerus daerah ini perlu jeli melihat peluang pariwisata dan menjadi inisiator untuk mengembangkannya, bahkan sektor ini bisa menjadi alternatif pekerjaan sebagai wirausahawanpariwisata dan membuka peluang kerja bagi orang lain. (JUF)

  Bagikan artikel ini

Mempromosikan Pariwisata Memajukan Ekonomi Sumba

pada hari Senin, 3 Desember 2018
oleh adminstube
 
 

 

 

Sumba kaya akan potensi pariwisata, mulai dari pantai dan ombak laut, pasola, pakaian dan rumah tradisional, kubur batu, tarian, musik dan lagu, hingga padang sabana. Namun ini belum dilihat dan direspon secara maksimumoleh masyarakat Sumba sebagai daya tarik wisata yang bisa meningkatkanperekonomian Sumba. Sebenarnya Sumbamasih memiliki lebih banyak hal menarik lainnya yang bisadikembangkan. Stube-HEMAT Sumba sebagai lembaga pendampingan mahasiswabersama anak muda Sumba berinisiatif mengadakan pelatihan Pariwisata: Inventarisir Peninggalan Budayabertema Peluang dan tantangan anak muda di bidang pariwisata”, bertempat di GKS Mauliru 30 Nov - 2 Des 2018.
 

 

Dua puluhan mahasiswa dari berbagai kampus yang ada di Sumba Timur mengikuti pelatihan ini. Tokoh-tokoh yang kompeten di bidangnya memfasilitasi pelatihan ini, seperti Yudi Umbu Rawambaku, SE dari Dinas Pariwisata kabupaten Sumba Timur yang menyampaikan materi Peran pemerintah dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Ia menyampaikan bahwa budaya Sumba sebagai warisan nenek moyang perlu terjaga keasliannya dan bebas dari pengaruh budaya luar, demikian juga keunikan alam Sumba sebagai kekayaan pulau ini. Kita jangan sampai menjual apa yang kita miliki padaorang asing sehingga kita hanya akan menjadi tamu atau penonton di tanah kita sendiri. “Pemerintah sudah berupaya mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat dengan melakukan pendampingan pada kelompok penenun, memberibantuan alat musik, pembangunan rumah adat, dan pengelolaan potensi alam seperti pantai dan air terjunKemajuan akanterwujud tidak lepas dari dukungan dan partisipasi dari masyarakat, misalnya parade 1001 kuda dan pameran tenun ikat. Itu artinya pemerintah sangat mendukung pengembangan pariwisata sebagai salah satu penggerak ekonomi,” ungkapnyalebih lanjut.
 
Topik tentang Kesiapan Anak Muda dan Manajemen dipaparkan oleh Windy Paskawati Suwarno, S.I.Kom. M.Si, dosen Unkriswina Sumba. Ia mengatakan sektor pariwisata dapat menggerakkan sektor lain seperti pertanian, peternakan, perikanan, perhotelan dan sebagainya. Wisatawan yang datang ke Sumba tentu perlu penginapan, hiburan, transportasi, kuliner, dan cinderamata. Namun dalam peta wisata Sumba yang terlihat hanya Pasola dan rumah adat.Itu artinya stakeholder pariwisata di Sumba belum mampu menyediakan kebutuhan yang mendukung pariwisata. Anak muda seperti kebingungan menemukan produk unggulan yang bisa dikembangkan dari pulau ini. Mereka perlu tahu bagaimana membidik pengembangan pariwisata, misalnya dengan analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman).
 
Materi tentang peluang, strategi memulai dan mengembangkan bisnis di bidang pariwisata dipaparkan oleh Marthen K. Mbaha, pelaku usaha sekaligus anggota DPRD kabupaten Sumba Timur. Ia mengingatkan peserta bahwa pelaku wisata adalah kita semua. Sebagai anak muda mestinya jangan berpikir kecil, pesimis, tidak mampu, namun harus mampu menyediakan apa yang dibutuhkan oleh daerah ini.
 
Deriatus Awa, mahasiswa STT GKS Lewa menceritakan bahwa pulau Sumba dikenal dengan kuda Sandelwood tidak bisa lepas dari padang sabana dan tenun ikat sebagai kekayaan pulau ini. Orang-orang Sumba bangga ketika pulaunyamenjadi incaran wisatawan, namun belum melihat ini sebagai peluang. Melalui pelatihan iniDeriatus mengakui bahwa wawasannya menjaditerbuka atas peluang dari sektor pariwisata untuk ekonomi Sumba yang lebih baik di masa depan.
 
Mari melihat peluang yang ada, mengambil satu pilihan usaha yang berkaitan dengan pariwisata dan manfaatkan media sosial dengan baik untuk mempromosikan pulau Sumba, sehingga pariwisata Sumba berkembang dan kesejahteraan masyarakat meningkat(JUF).
 
 
 

  Bagikan artikel ini

Siapkah Menghadapi Tuntutan Global?  Sumber daya manusia menghadapi tuntutan global 

pada hari Minggu, 30 September 2018
oleh adminstube
 
 
 
Era globalisasi dan perdagangan bebas membuat persaingan bisnis semakin ketat. Di tingkat makro pemerintah perlu meningkatkan kompetensi sumber daya manusia melalui program peningkatan mutu pendidikan, sedangkan di tingkat mikro, perusahan perlu mengadopsi visi, misi dan strategi yang tepat pula.
 
 
Pelatihan sumber daya manusia dalam menghadapi tuntutan global, dengan tema ‘Siapkah Kita Menghadapi Tuntutan Global?” diselenggarakan oleh Stube-HEMAT Sumba di GKS Lambanapu pada tanggal 28, 29 dan 30 September 2018,diikuti oleh empat puluh peserta pelatihan yang terdiri dari mahasiswa beberapa kampus seperti Unkriswina Sumba, STT GKS Lewa, STT terpadu Waingapu, Prodi KeperawatanWaingapu dan PDD Sumba Timur.
 

 

 

Ruben Nggulindima, S.Sos.M.Pdsekretaris dinas pendidikan kabupaten Sumba Timur, menyampaikan materi dengan topik ‘Peran pemerintah daerah dalam peningkatan sumber daya manusiaBahwasannya saat inipemerintah daerah Kabupaten Sumba Timur sedang mendorong peningkatan bangunanSekolah Dasar dengan jarak 4 km setiapSekolah Dasar, sekaligus membangun SekolahMenengah Pertama dengan jarak 5 km setiap sekolah, sertapeningkatan mutu pendidik dengan cara memberi pelatihan bagi guru sekaligus memperhatikan kesejahteraan guru.
 

 

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasimengutus Donatus Hadut, SH selaku sekretaris dinas untuk menyampaikan materi ‘Mempersiapkan tenaga kerja yang handal dalam menghadapi pasar global dan bursa tenaga kerja. Sumba saat ini membuka kesempatan kerja bagi delapan ratus orang perbulan untuk bekerja di PT Muria Sumba Manis (MSM) yang membuka lahan tebu dan pabrik gula terbesar ke-2 di Indonesia. Proyek gula ini akan menyerap sekitar tujuh ribu orang sampai tahun 2019 dan saat ini proses perekrutan sudah dimulai. Bagi saudara-saudara yang ingin bekerja di PT MSM kesempatan sangat terbuka juga bisa difasilitasi langsung oleh pihak disnakertrans.

 

 
 
Umbu Ho Ara, SE. M.Si dengan materi‘Mendorong daya saing (usaha) ekonomi daerah dalam menghadapi pasar globalmemaparkan tentang daya saing yaitu denganmenciptakan kesanggupan menghadapi tantangan persaingan pasar internasional sekaligus meningkatkan pendapatan rill. Globalisasi melahirkan International Monetary Fund (IMF) yang meningkatkan saling ketergantungan, Bank Dunia (World Bank), kebebasan dan kemampuan individu serta perusahaan dalam memprakarsai transaksi ekonomi. Globalisasi pasar bebas menjadi pasar yang tidak dapat diintervensi oleh kebijakan negara.
 
Di akhir kegiatan pelatihan Shantaria A.R. Nodu salah seorang peserta mengatakan, “Saya peserta yang baru mengenal Stube-HEMAT Sumba merasa sangat senang mengikuti kegiatan ini, karena saya bisa memahami secara mendalam tentang sumber daya manusia dalam menghadapi tantangan global.Selain itu saya bangga karena di antara banyak mahasiswa diSumba, saya terpilih menjadi peserta pelatihan. Semoga padapelatihan berikutnya saya diberi kesempatan lagi untuk mengikuti pelatihan.
 

 

 

Harapan-harapan yang muncul dalam kegiatan pelatihan adalahpemerintah dan pihak swasta bisa bekerjasama dengan lebihbaik demi pembangunan di Sumba. Melalui pelatihan ini,mahasiswa mampu membaca peluang yang ada untuk mengembangkan diri bahkan bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain. (YAW).
 

 


  Bagikan artikel ini

 Mengolah Bumi Pertiwi  Makanlah dari apa yang kamu tanam!

pada hari Sabtu, 8 September 2018
oleh adminmarno
 
 
 
Indonesia memiliki banyak potensi menghasilkan produk-produk olahan makanan dari tanaman lokal. Sajian makanan ini bisa dipakai untuk mengimbangi pesatnya perkembangan sektor wisata. Dalam perjalanan menyongsong perkembangan menjadi destinasi wisata di Indonesia, pulau Sumba harus mulai memikirkan ragam makanan dari hasil panen petani Sumba sendiri sebagai bagian penting menjamu tamu. Namun sungguh disayangkan, pada kenyataannya saat momen-momen tertentu, penyajian makanan masih dalam bentuk olahan sederhana seperti direbus atau pun digoreng, tanpa sajian dan kemasan yang lebih menarik.


Membaca peluang ke depannya, Meliani Retang, mahasiswi STT GKS, mengambil peluang mendalami seluk-beluk mengolah produk tanaman lokal saat mengikuti program eksposur ke Stube-HEMAT Yogyakarta. Berlatarbelakangkan jurusan Teologi (kependetaan) yang saat ini ditempuh, Meliani mendapatkan bekal tambahan selain melayani kotbah, untuk melakukan pembangunan ekonomi jemaat melalui usaha produktif pengolahan tanaman lokal menjadi aneka ragam makanan. Kue dari olahan labu kuning, tepung jagung, tepung ketela, tepung pisang atau pun tepung ketan tidak kalah enaknya dengan kue dari olahan tepung terigu. Dengan kemasan dan pemasaran yang lebih modern, maka produk lokal ini bisa menjadi unggulan produk suatu daerah.



Selain motivasi-motivasi yang diberikan oleh board in chargeStube-HEMAT dan Ariani Narwastujati selaku direktur eksekutif, lembaga ini terus mendukung dengan jejaring dan peluang-peluang yang bisa dilakukan para mahasiswa aktivisnya. Kristiana Triwulan, pengajar tata boga di SMK BOPKRI 2-Yogyakarta menjadi salah satu jejaring tempat Meliani belajar dan praktik mengolah bahan lokal. Sebagai mahasiswa teologi, Meliani juga diberi kesempatan membawakan renungan pagi untuk guru dan siswa sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Ada banyak hal yang dipelajari di sekolah ini, selain bagaimana makanan dimasak juga belajar bagaimana memilih bahan yang berkualitas untuk dimasak, bahkan sampai pengemasan serta kreativitas dalam penyajian agar konsumen tertarik.


 
Makanlah dari apa yang kamu tanam, menjadi penyemangat untuk mencintai produk lokal selain memupuk mental untuk kemandirian pangan. Proses menuju kesadaran ini tentu saja sedikit mengusik kenyamanan yang sudah dirasakan. Dalam setiap ketidaknyamanan ada proses pertumbuhan pemikiran agar lebih kreatif dan menjawab tantangan yang ada. (MR).
 

  Bagikan artikel ini

Pahappah Untuk Indonesia

pada hari Jumat, 7 September 2018
oleh adminstube
 
 
Sapaan hangat orang Sumbayang diwujudkan dalam penyajian dan pemberian sirih pinang bagi setiap orang yang berkunjung atau bertamu pada sebuah rumah di Sumba, disebut Pahappah. Praktek ini menjadi ciri khas dari pulau ini yang dilakukan dari generasi ke generasi secara turun-temurun. Pahappah itu sendiri terdiri atas sirih, pinang dan kapur. Pada saat ketiga unsur tersebut dikunyah jadi satu didalam mulut, akan menghasilkan warna merah dan rasa khas tersendiri. Pinang yang tadinya terasa sepat, sirih yang terasa pedas, dan kapur yang dapat menyebabkan rasa panas pada lidah, telah melebur menghasilkan satu rasa dan manfaat positif untuk memperkuat gigi sehingga tidak mudah berlobang.

Pahappah menjadi gambaran akan keanekaragaman serta kekhasan suatu daerah di Indonesia. Keanekaragaman ini juga bisa ditemui dalam setiap forum diskusi atau pun pelatihan Stube-HEMAT yang dihadiri mahasiswa dari berbagai daerah seperti Sumatera, Maluku, Lembata, Atambua, Sumba, Halmahera, Yogyakarta, dan lain-lain. Keanekaragaman ini seperti unsur Pahappah, apabila masing-masing memahami fungsi dan tugasnya untuk saling melengkapi akan menghasilkan kekuatan yang luar biasa bagi bangsa ini.
 
Kegiatan lanjut trainingWestern and Eastern Values, yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai denominasi kepercayaan, latar belakang budaya, jenis kelamin, juga latar belakang studi, bagaikan unsur-unsurPahappah yang menyatu. Kesadaran berinteraksi, bertukar-pikiran, sharing dan saling memahami menjadi modal besar terpeliharanya kesatuan dan perdamaian. Demikian halnyaWestern and Eastern Values bukan sesuatu yang harus diperdebatkan, tetapi dicari titik temu dengan menggali unsur-unsur yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan hak azasi manusia. (MR).


 

  Bagikan artikel ini

Anak Aset Penerus Bangsa Program Village and Me

pada hari Jumat, 31 Agustus 2018
oleh adminstube
 
 
 
Anak merupakan manusia atau individu yang memiliki bermacam potensi dalam dirinya yang perlu dikembangkan dalam menjalani hidupnya. Anak juga merupakan generasi penerus kepemimpinan bagi bangsa ini, oleh karena itu, anak perlu dilatih dan dibimbing dalam mengembangkan ide-ide yang mereka miliki. Pemahaman betapa berharganya seorang anak belum sepenuhnya dimengerti oleh orang tua.
 
Salah satu persoalan sosial yang terjadi di desa Rakawatu, desa asal saya, adalah rendahnya kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak. Situasi ini tidak mendukung bagi perkembangan intelektual anak-anak, karena mereka adalah generasi penerus Sumba sekaligus bangsa ini. Mereka seharusnya mendapat kesempatan dan dukungan yang kuat dari orang tuanya untuk mendapat pendidikan secara layak dan baik. Ini menjadi tantangan saya yang berasal dari Rakawatu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk anak-anak di desa saya saat libur kuliah. Akhirnya saya memberanikan diri mengajukan diri menjadi peserta program Village and Me, salah satu program Stube HEMAT Sumba.
 
Stube-HEMAT Sumba merupakan lembaga pendampingan anak muda dan mahasiswadi Sumba yang bekerja mewujudkan kesadaran untuk memahami masalah di sekitarnya. Dari banyak program yang dimiliki, Program Village & Me memberi peluang kepada anak muda dan mahasiswa untuk mengembangkan diri dan memahami persoalan sosial di sekitarnya dengan mengirim kembali mahasiswa ke desa asalnya untuk melaksanakan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.
 
 
 

 

 

 

Setelah beberapa kali bertemu dan berdiskusi dengan team Stube-HEMAT Sumba tentang program ini, akhirnya pada tanggal 1 Agustus 2018, Stube-HEMAT Sumba mengirim saya ke GKS Rakawatu, Lewa untuk melaksanakan kegiatan untuk anak-anak di desa saya. Saya ingin berbagi dan belajar bersama anak sekolah minggu di GKS Rakawatu.
 
 
Kegiatan yang saya rancang ini bisa menjadi sarana anak-anak bisa menyalurkan aspirasi dan aktualisasi diri anak dalam bidang seni, sehingga ide-ide anak dapat dikembangkan melalui kreativitas-kreativitas yang mereka miliki dalam dirinya. Kegiatan yang dilaksanakan, yaitu lomba menggambar, membaca dan mewarnai. Lomba menggambar diikuti oleh anak kelas V-VI, lomba membaca diikuti oleh anak kelas III-VI, dan lomba mewarnai diikuti oleh anak usia PAUD sampai kelas II.
 
 

 

Sebagai mahasiswa jurusan Biologi, saya juga berbagi bagaimana membuat pupuk bokashi dan nutrisi pakan ternak dengan para petani di desa saya. Selain cara membuatnya praktis dan sederhana, bahan-bahannya juga tersedia di sekitar rumah. Dengan memiliki ketrampilan membuat pupuk sendiri, para petani diharapkan bisa mengurangi biaya belanja pupuk, selain itu pupuk ini juga merupakan pupuk organik yang ramah lingkungan. Karena ternak juga menjadi salah satu pendapatan keluarga, maka dengan peningkatan nutrisi yang dibuat dari bahan lokal seperti jantung pisang dan gula cair, ternak para petani akan lebih sehat dan tumbuh dengan baik, sehingga harga jualnya pun meningkat.
 
Pdt. Benyamin Melip, S.Th, pendeta setempatmengapresiasi kegiatan ini dan mengatakan, “Melalui kegiatan ini anak-anak dapat membangun rasa percaya diri dalam mengikuti perlombaan, melatih kemandirian dacara berpikir anak yang kritis, serta melatih anak lebih kreatif untuk mengembangkan ide-ide yang mereka miliki.”
 
Anak merupakan individu yang memiliki bermacam potensi dan mereka sangat membutuhkan bimbingan dan dampingan dari orang tua atau orang yang lebih dewasa darinya melalui berbagai aktivitas positif. Meskipun sederhana, aktivitas ini menjadi sarana bagi anak-anak untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki dan menumbuhkan motivasi belajar mereka. (Naser Randa Hailu Poti).
 
*) Naser Randa Hailu Poti,
Mahasiswa Unkriswina, pendidikan biologi, tinggal di Lewa Rakawatu, Lewa.

 


  Bagikan artikel ini

Diberkati Untuk Menjadi Berkat

pada hari Kamis, 30 Agustus 2018
oleh adminstube
 
 
Nama lengkap saya Sepritus Tangaru Mahamu,biasa disapa Sep oleh teman-teman. Saya mahasiswa Akademi Komunitas Negeri Sumba Timur, sebuah Pendidikan Di luar Domisili di bawah naungan Politani Negeri Kupang,jurusan Peternakan yang memiliki dua program studi yakni produksi ternak dan kesehatan hewan. Program studi kesehatan hewan inilah yang saya ambil.
 
Awalnya, saya biasa saja,seperti mahasiswa lainnyayang menjalani rutinitas perkuliahan, mengikuti kelas, mengerjaakan tugas, juga nongkrong di warung kopi kampus sambil melakukan hal-hal yang tidak berfaedah seperti merokok dan merayu mahasiswi yang lewat. Hingga akhirnya dipertengahan tahun 2017 tepatnya bulan Mei,saya diperkenalkan sebuah organisasi pendampingan mahasiswa yakni Stube-HEMAT Sumba. Saat itu saya diajak oleh Jufri Adi Papa dalam sebuah kegiatan pelatihan entrepreunersip Stube-HEMAT Sumba yang diadakan di GKS Umamapu Cabang Pambotandjara pada tanggal 12-14 Mei 2017.
 
 
Di sinilah awal saya mengenal Stube-HEMAT Sumba, organisasi yang memiliki Misi terwujudnya kesadaran manusia, khususnya mahasiswa dan pemuda, untuk memahami masalah disekitarnya. Dari kegiatan ini ada satu hal yang saya petik “sekarang saatnya memulai langkah untuk mewujudkan ide-idemu dan menjadi anak muda yang mandiri” sebagaimana disampaikan oleh Trustha Rembaka, koordinator Stube HEMAT Yogyakarta,yang saat itu berada di Sumba.

 
Dari sinilah petualangan pikir dimulai, bahkan menjadi jatuh cinta pada Stube-HEMAT Sumba. Mulai saatitu juga saya tidak ingin melewatkan satu pun program yang diadakan oleh Stube-HEMAT Sumba,salah satunya adalah pelatihan jurnalistik yang diadakan bulan Juni 2017.  Saat pertama kalinya dalam sejarah Bangsa Indonesia memperingati hari lahir Pancasila sesuai dengan Kepres Nomor 24 tahun 2017, dalam pelatihan yang bimbing oleh Oskar Shaja yang merupakan kurator Waingapu.com, saya menghasilkan tulisan pertama saya yang berjudul “peringatan berlabel Garuda” yang termuat di situs Waingapu.com. Tulisan pertama saya ini begitu berkesan dan memotivasi saya melahirkan tulisan-tulisan saya yanglain. Sungguh di luar dugaan, ada dorongan kuat dalam diri saya untuk membagikan ilmu yang sudah memberkati saya menjadi wartawan di media lokal Suara Jarmas, kepada remaja dan pemuda. Untuk langkah awal, saya bekerjasama dengan SMAN 1 Pandawai dengan membuat pelatihan jurnalistik perdana ditingkat SMA pada Agustus 2017 melalui komunitas Ana Tana. Komunitas ini saya bentuk sebagai ruang dan wadah bagi pemuda dan remaja di Pandawai untuk menyalurkan kreativitas serta bakat mereka.

Selain itu, saya juga mengikuti berbagai pelatihan lainnya namun ada satu hal yang paling berkesan bagi saya yakni ketika pada Agustus 2017 saya diberikan kesempatan untuk menjadi berkat bagi desa saya di Laihobu yang merupakan bagian dari kecamatan Paberiwai melalui program Village and Me. Saya saat itu benar-benar diutus menjadi berkat bagi desa, saya memulai dengan bernyanyi dengan vokal grup di GKS Kananggar Cab. Laihobu, bermain dan berbagi dengan anak sekolah minggu serta sharingbersama gurunya yang kemudian kegiatan ini saya tutup dengan berbagi di SDN Laihobu mulai dari mengajar hingga berbagi alat tulis-menulis dengan mereka.
 
Saya sudah merasakan berkat yang luar biasa pikir saya, ternyata ada satu berkat besar yang menunggu saya lagiyakni menjadi salah satu peserta eksposur Yogyakarta bersama Jufri Adi Papa dan Meliani Retang. Sungguh hal ini adalah anugerah Tuhan yang tidak bisa saya jabarkan dengan kata-kata. Tugas saya sekarang adalah fokus belajar dan menyerap ilmu di Yogyakarta untuk diterapkan dan dibagikan di Sumba.


Hari ini kalian diberkati dengan luar biasa melalui kegiatan-kegiatan Stube-HEMAT, jadi harus membuktikan ‘impact dari rasa syukur atas berkat ini untuk menjadi berkat bagi orang lain. Harus berbenah dengan segala kebiasaan lama, biasakanlah melakukan hal yang benar, bukan membenarkan hal-hal yang biasa dilakukan, pesan Ariani Narwastujati, direktur eksekutif Stube-HEMAT di Indonesia.
 
Akhirnya karena saya diberkati, maka saya bertekad untuk menjadi berkat bagi yang lain. (STM).
 

  Bagikan artikel ini

Sumba, Anak Mudanya  dan Yogyakarta 

pada hari Rabu, 29 Agustus 2018
oleh adminstube
 

Setiap wilayah memiliki karakteristik dan potensi masing–masing yang harus ditemukan oleh warga masyarakat wilayah itu, sehingga bisa dijadikan sebagaipotensi penggerak perekonomian  dan pembangunan di daerah tersebut. Tentu saja hal ini harus didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Apabila masyarakat di wilayah yang berpotensi tidak mampu menemukan, menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki, dan tetap hidup dalam kemiskinan,maka potensi itu akan bermakna seperti pepatah anak ayam mati dalam lumbung padi.


Sumba merupakan pulau kecil dengan luas wilayah sekitar 11.153 km­­2, memiliki banyak potensi, mulai dari sumber daya alam, budaya yang masih asli, wisata pantai, bukit dan airterjun yang indah, pertanian dan potensi lain. Pos-Kupang.com memberitakan bahwa pulau Sumba baru saja dirilis sebagai salah satu diantara 33 pulau terindah oleh majalah FocusJerman (Focus 17. February 2018, halaman 116). Majalah Focus merupakan salah satu majalah mingguan terkemuka di Jerman, yang mengangkat judul Sumba Kein Tanz, aber ein Traum yang berarti ‘Sumba, Bukan Nama Sebuah Tarian, Tapi Sebuah Mimpi” untuk menggambarkan betapa indahnya pulau ini. Selain itu, pulau ini juga memilikihotel terbaik dan termahal di dunia yakni hotel Nihiwatu di Sumba Barat.



Semua ini menggambarkan bahwa Sumba itu sebenarnya kaya potensi. Sayang sekali potensi tersebut sangat kontras dengan realita masyarakatnya yang masih miskin berdasarkan data statistik 2015–2017 yang menyatakan bahwa angka kemiskinan di Sumba rata-rata masih di atas 30%. Angka tersebut terpaut jauh mencapai 21% dari rata-rata angka kemiskinan di Indonesia yang menunjuk pada level9%. Mempertimbangkan hal ini, maka perlu dilakukan metode belajar ke daerah yang sudah maju, salah satunya adalahYogyakarta. Atas dasar inilah Stube HEMAT Sumba mengirim aktivisnya untuk belajar di Yogyakarta melalui program eksposure ke Stube HEMAT Yogyakarta.

Program Eksposur Yogyakarta merupakan program yang bertujuan untuk mengembangan kapasitas anak muda dari Sumba melalui pendampingan soft-skill yang diharapkan dapat melahirkan kemandirian dan kemampuan di kalangan anak muda Sumbasehingga mereka bisa mengelola potensi yang ada. Eksposur Yogyakarta dijadikan program tahunan yang rutin dilaksanakansejak tahun 2010 sampai saat ini.

 

 
Tahun 2018 ini, Stube-HEMAT Sumba mengirim tiga orang mahasiswa sebagai peserta Eksposur Yogyakarta yakni Jufri Adi Papamahasiswa Universitas Kristen Wira Wacana Sumba sekaligus anggota tiStube HEMAT Sumba yang akanmempelajari kesekretariatan dan pertanian terpadu; Sepritus Tangaru Mahamu, mahasiswa Politani Negeri Kupang PDD Sumba Timur, yang akan memperdalam jurnalistik dan peternakan; serta Meliani Retang, mahasiswa STT GKS Lewa, yang akanmempelajari pangan lokal dan pertanian terpadu. Kurang lebih 1 bulan di Yogyakarta mereka akan berproses melalui setiap kegiatan yang diikuti, dimulai sejak 24 Agustus sampai dengan 20 September 2018.


Selamat berproses di Yogyakarta! (JUF).
 

  Bagikan artikel ini

Sebelum Meninggalkan Sumba

pada hari Senin, 27 Agustus 2018
oleh adminstube
 
 
Meninggalkan Pulau Sumba untuk pertama kali dan berada di luar pulau hampir satu bulan penuh, bukan hal sederhana, terutama bagi keluarga yang akan melepaskan anaknya. Itu juga yang saya tangkap dari sorot mata ibu, sedikit panik ketika saya pamit akan ke pulau Jawa. Biasanya saya hanya pamit bermain ke tempat teman di kabupaten tetangga. Setelah memahami kepergian saya, ibu mengingatkan saya untuk melakukan ritual bagi yang pertama keluar Sumba dengan meminta ijin dan restu kepada almarhum ayah. Ritual ini dinamakan Wangu Uhu Mameti(memberi makan arwah) dan Wuangu Pahappa (memberi arwah sirih pinang) dan Parmihi la Mameti (memohon ijin diri dan perlindungan dari arwah) yang kemudian saya wujudkan dalam doa dan menyalakan lilin di atas nisan ayah. Itulah adat Marapu yang kami punya di Sumba dan itulah yang dimaksud ibu meskipun kami sudah menjadi penganut ajaran Kristen, tetapi beberapa kebiasaaan kepercayaan Marapu melatar belakangi kehidupan kami.

Marapu, kepercayaan nenek moyang orang Sumba, mempercayai Tuhan dalam wujud Mabakulu Wuamata Mabalaru Rukahilu(matanya besar dan telinganya lebar) yang berarti Mahamelihat dan mendengar. Kepercayaan Marapu percaya bahwa setiap orang mati dapat diajak berkomunikasi, dapat mendengar dan dapat melindungi orang yang dikasihinya. Perubahan jaman perlahan-lahan menggeser kepercayaan ini, dimana sekarang sebagian besar masyarakat Sumba sudah memeluk agamanya masing-masing. Namun demikian Marapu masih terus dijaga dan dianut oleh sebagian masyarakat Sumba terlebih setelah pemerintah mengakui keberadaan kepercayaan-kepercayaan lokal Nusantara termasuk Marapu.
 
Setelah melakukan ritual ini saya pun berpamitan dan melanjutkan kegiatan yakni mengikuti pembekalan pada tanggal 23 Agustus di sekretariat Stube-HEMAT Sumba bersama tim Sumba. Program Eksposur Yogyakarta merupakan program tahunan Stube-HEMAT Sumba yang akan mengirim aktivisnya untuk belajar di Stube-HEMAT Yogyakarta dan selalu dinanti-nantikan, menjadi peserta eksposure Yogyakarta adalah sebuah kesempatan berharga dan merupakan sebuah berkat besar, Program Eksposur Yogyakarta 2018 yang artinya merupakan angkatan kesembilan Stube Hemat Sumba telah mengutus Jufri Adi Papa untuk mempelajari kesekretariatan dan pertanian, Meliani Retang mempelajari pertanian dan pengelolaan pangan lokal dan Sepritus Tangaru Mahamu yang akan mempelajari bidang Jurnalistik serta peternakan.

Peserta Eksposur Yogyakarta akan belajar selama kurang lebih 28 hari di kota ini, dari tanggal 24 Agustus sampai 20 September 2018. Tentu ini bukanlah waktu yang singkat, persiapan harus matang dan tentunya harus disertakan ijin dari orang tua terutama bagi yang pertama kali akan keluar dari pulau sumba. Setelah menginap semalam di sekret Stube, saya dan teman-teman melakukan perjalanan ke Jogja pada esok paginya. Tibalah waktunya menimba ilmu dan diharapkan kembali dengan stok penuh untuk ritual lain yang dipetik dari perjalanan ke Jogja. (STM).
 

  Bagikan artikel ini

Cerdas Manfaatkan Pekarangan Kiprah mahasiswa Program Studi Keperawatan Waingapu

pada hari Senin, 23 Juli 2018
oleh adminstube
 
 
 
Pekarangan rumah dibiarkan kosong? Oh jangan! Kenapa? Ya, sangat disayangkan kalau pekarangan dibiarkan kosong karena sebenarnya pekarangan bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal seperti kebun penyedia tanaman kesehatan, yaitu menanam TOGA (Tanaman Obat Keluarga), memenuhi kebutuhan sayuran sehari-hari, tanaman buah dan beberapa manfaat lainnya.
 
Mahasiswa program studi keperawatan Waingapu, khususnya yang tinggal di asrama kampus, saat ini bersemangat untuk bercocok tanam dan semakin menggebu-gebu untuk membuktikan diri. Di antara mereka adalah Apronia Dai Duka, Novita, Dewi, Rambu Ira dan Delvi dan berinisiatif memanfaatkan pekarangan di depan asrama untuk menanam sayuran dan tanaman obat.
 
Mengapa ini bisa terjadi? Ini semua berawal ketika mereka mengikuti pelatihan pertanian organik yang dilaksanakan oleh Stube-HEMAT Sumba di Lambanapu, Kambera beberapa waktu lalu. Pengalaman di pelatihan membuka mata mereka tentang pekarangan asrama yang masih kosong dan mereka muncul ide untuk memanfaatkan pekarangan asrama menjadi kebun sayur. Kemudian mereka mengusulkan ide mereka di akhir pelatihan dan ini menjadi salah satu kegiatan tindak lanjut dari pelatihan tersebut.
 
Kalian harus menerapkan apa yang telah kalian dapatkan di pelatihan pertanian organik, sehingga ilmu yang kalian dapatkan di pelatihan tidak sia-sia, ini juga bisa mengurangi biaya belanja kalian”, ungkap Melkisedek Landi S.Kep.Ns., M.Med.Ed, salah seorang dosen yang memberi apresiasi dan semangat kepada mahasiswa.

Akhirnya mereka mulai berbagi tugas kerja untuk mengolah lahan, membuat pagar agar tanaman terhindar dari hewan ternak peliharaan dan menyiapkan bibit. Kegiatan ini dimulai awal bulan Juli 2018, "Puji Tuhan hari ini sudah menabur bibit untuk kedua kalinya. Yang pertama sudah mulai tumbuh. Sayuran yang kami tanam adalah bayam, kacang panjang, sawi hijau dan sawi sendok. Kami berharap panen sayur ini bisa memenuhi kebutuhan sayur untuk masak sehari hari, daripada harus beli sayur di pasar, dengan ini kami bisa berhemat", ungkap Apronia Dai Duka, salah satu mahasiswa yang tinggal di asrama.

Saat ini kebun telah menghasilkan panen yang cukup bagus meski ada beberapa bibit yang tidak tumbuh karena kering. Mereka meyakini kalau tanah diolah dengan baik, ditanami dan dirawat maka tanaman tumbuh dengan baik dan mendapat panen bagus.
 
Jadi, mulai saat ini jangan biarkan pekarangan kosong dan terbengkalai, mari olah pekarangan, tanam dan rawat dengan baik maka tanaman akan memberikan hasilnya. (ADK).

 

 

  Bagikan artikel ini

Mahasiswa mengabdi ke desa: Kami bisa! (1) Pengalaman peserta Village and Me

pada hari Senin, 2 Juli 2018
oleh adminstube
 
 
 
Pada umumnya berbicara tentang desa orang akan berimajinasi suatu wilayah yang belum berkembang dan mengalami keterbatasan. Indonesia memiliki 83.931 wilayah administrasi pemerintahan setingkat desa yang terdiri dari 75.436 desa, 8.444 kelurahan, dan 51 UPT/SPT (data BPS 2018). Jumlah ini sangat besar sehingga desa perlu mendapat perhatian agar berkembang dan mandiri. Jika tidak, penduduk desa cenderung ingin pindah ke kota dan akibatnya desa semakin tertinggal.
 
Situasi ini menjadi pijakan awal Stube-HEMAT Sumba untuk mendorong mahasiswa memiliki perhatian terhadap desanya dengan membagikan ilmu pengetahuan yang didapatkan selama kuliah. Ini diwujudkan dalam program Village and Me, yang memberi kesempatan mahasiswa memanfaatkan liburan kuliah dengan melakukan aktivitas yang berguna bagi penduduk di desa asalnya. Peserta angkatan pertama tahun 2018 hadir dalam tulisan ini untuk berbagi pengalaman. Siapakah mereka?
 
Naser Randa Hailu Poti, mahasiswa Universitas Wirawacana Sumba jurusan Pendidikan Biologi. Di masa libur kuliah ia melakukan kegiatan pemberdayaan dan memberi motivasi anak-anak SD dan PAUD di desa Rakawatu, Lewa, kampung halamannya. Kegiatan yang ia lakukan berupa lomba menggambar, mewarnai dan membaca, selain juga memperingati kemerdekaan Indonesia.Ia juga membagi pengetahuan pembuatan pupuk bokashi dan nutrisi pakan ternak. Nutrisi ini terbuat dari jantung pisang dan gula cair yang mudah didapat, sehingga petani tidak kesulitan membuat nutrisi ternak.
 
Ia juga memberikan waktunya untuk melayani anak-anak sekolah minggu di GKS Rakawatu, Lewa Sumba TImur. Baginya perhatian dan pembinaan gereja tidak hanya untuk jemaat yang dewasa tetapi juga anak-anak sebagai generasi penerus. Pengurus gereja setempat pun menanggapi positif kegiatan yang dirintis oleh Naser, dengan memberi fasilitas ruang pertemuan dan mengumpulkan anggota jemaatnya.
 
 
Melkianus Ngahu Moy, mahasiswa Teologi STT Terpadu. Ia berasal dari Kawangu, Sumba Timur. Di saat jeda semester ia berada di desanya untuk kegiatan pelayanan di gereja GKS Kawangu. Bentuk kegiatan yang ia lakukan antara lain menjadi pendamping Pemahaman Alkitab untuk orang dewasa, persekutuan pemuda gereja dan guru-guru sekolah minggu. Melki, nama akrabnya, menyadari kalau pelayanan kepada jemaat gereja tidak bisa bergantung hanya kepada pendeta saja tetapi anak muda pun harus ikut ambil bagian di dalamnya. Ia tampak mantap dalam melayani jemaat setempat karena aktivitasnya sesuai dengan ilmu teologia yang ia pelajari.

 

 
Deriatus Awa, menghabiskan libur kuliahnya dengan kembali ke desa, namun ia tidak datang ‘kosong’ tetapi membawa ‘berkat’ untuk desanya di Tanggamadita, Sumba Timur. Mahasiswa yang kuliah di STT GKS jurusan Teologia ini memberikan waktunya untuk melayani dan mendampingi belajar anak-anak PAUD Nazareth secara kreatif dengan alat peraga, pewarna dan menyediakan perlengkapan sekolah. Ia juga membiasakan anak-anak hidup bersih dengan cuci tangan setelah belajar dan mengenalkan kecintaan lingkungan dengan menanam pohon dihalaman sekitar sekolah. Bahkan, ia mengecat ulang ruangan kelas dengan warna baru agar anak-anak semakin betah belajar. Saat ini anak-anak terlihat lebih semangat datang ke sekolah dan jumlahnya bertambah.
 
Ketika seorang mahasiswa mengabdikan ilmu yang ia pelajari di kampus untuk masyarakat di desa asal, ia melakukan hal yang menyentuh tiga aspek sekaligus, yaitu mempertajam keterampilan diri untuk menerapkan ilmu yang ia pelajari, memperkuat ikatan psikologis diri dengan desanya, dan ikut ambil bagian membangun desanya. Jadi, para mahasiswa, segera pikirkan dan ambil kesempatan untuk bergerak sebaik mungkin dalam aksi membangun desa. (TRU).

  Bagikan artikel ini

Memikirkan Kembali Bertani Organik di Sumba

pada hari Senin, 11 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
 
Pertanian organik merupakan pertanian yang selaras dengan alam, seimbang dalam hubungan antara manusia dengan alam, di mana manusia mempertahankan kebiasaan alam dan menggunakan cara alami dalam mengolah lahan pertanian sehingga lingkungan tetap lestari dan keseimbangan ekosistem terus terjaga keberlangsungannya.
 
Seperti di bagian selatan bumi Indonesia yang terbentang berupa hamparan sabana tropis dengan luas wilayah 7.000,5 km2, itulah pulau Sumba. Luasan wilayah daratan pulau Sumba ini menjadi tempat hidup masyarakat Sumba dan berbagai suku lainnya dengan latar belakang budaya dan agama yang beragam serta lahan pertanian dan peternakan sebagai penunjang ekonomi wilayah ini. Pulau Sumba terdiri dari empat kabupaten, yaitu Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya yang memiliki keunikan masing-masing, misalnya Sumba Timur memiliki kawasan pertanian luas yang bisa dibudidayakan oleh penduduknya untuk menghasilkan bahan pangan dengan cara alami tanpa menggunakan bahan kimia. Pada dasarnya pertanian di Sumba masih alami karena terbantu dengan musim, yang mana kemarau lebih panjang daripada penghujan, sehingga pengolahan pertanian hanya dilakukan ketika menjelang musim penghujan. Ketika kemarau lahan pertanian menjadi ladang penggembalaan ternak, secara tidak langsung lahan pertanian beristirahat dan bahkan mendapat pupuk dari kotoran hewan yang meningkatkan unsur hara tanah.
 
Bagaimana peluang pertanian organik di Sumba?
Luas lahan pertanian di Sumba Timur sekitar 8.358,00 Ha, menurut BPS 2014. Ini menunjukkan bahwa peluang pertanian organik di Sumba Timur bisa menjadi modal untuk berkompetisi di pasar lokal maupun nasional. Komoditi untuk pasar lokal seperti sayuran, umbi-umbian, kacang-kacangan. Sedangkan komoditi untuk pasar nasional seperti kacang mete, kapas, pinang, kopi dan coklat. Hasil panen dari lahan pertanian langsung dijual sebagai bahan mentah, belum diolah menjadi produk turunan. Ini berdampak pada rendahnya pendapatan dan minimnya kemampuan inovasi petani. Keberadaan petani tradisional yang bertani secara alami ini mesti dijaga dan bahkan dibantu pengetahuan dan keterampilan memanfaatkan bahan lokal sebagai pupuk dan pestisida organik untuk meningkatkan kualitas tanaman dan hasil panen. Ini tugas setiap pihak yang berkompeten di pertanian melakukan tugas-tugas ini, meskipun secara umum adalah tugas seluruh masyarakat Sumba.
 
Bagaimana minat anak muda Sumba di bidang pertanian?
Pengaruh modernisasi telah mencapai Sumba termasuk anak mudanya. Sebagian besar dari mereka tidak lagi berminat menjadi petani. Mereka lebih memilih bekerja menjadi pegawai negeri sipil atau karyawan perusahaan karena dianggap lebih elit, ada anggapan sebagai petani dapat menurunkan wibawa dan keinginan mendapat uang tanpa menunggu atau berproses seperti bertani dari mengolah lahan, merawat tanaman sampai panen. Ini tidak sepenuhnya salah karena pertanian dianggap belum prospektif. Perlu ada upaya penyadaran dan pengayaan pandang anak muda tentang pertanian yang menunjukkan secara langsung prospek pertanian, seperti yang dialami oleh Frans Fredi dan Aloysius, dua anak muda Sumba yang berani memulai pertanian organik di kawasan Lambanapu, Sumba Timur. Harapannya kiprah dua anak muda ini bisa membangkitkan gerakan anak muda cinta pertanian organik di Sumba.
 
Memang harus diakui, penerapan pertanian organik membutuhkan sinergi pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan, dinas pertanian sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang mendampingi petani, organisasi masyarakat sebagai pengimbang dan para petani yang mengolah lahan pertanian. Ke depannya, sikap optimis, mau belajar dan kesamaan tujuan perlu dimiliki maka pertanian organik di Sumba Timur akan bekembang dan bersaing di pasar nasional. Semoga. (Yanto Umbu Muri).

  Bagikan artikel ini

Menemukan Pesona Pantai Pasir Hitam  

pada hari Senin, 11 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
Pernahkah mendengar nama pantai pasir hitam? Tidak sedikit orang yang mengernyitkan dahi ketika mendapat pertanyaan itu. Jangankan berkunjung, mendengar pun mungkin belum pernah. Benar adanya, memang belum banyak yang mengetahui keberadaan pantai ini. Pantai Pasir Hitam merupakan pantai yang berpasir hitam di kabupaten Sumba Tengah, tepatnya di desa Mananga, kecamatan Mamboro.
 
Keberadaan pantai pasir hitam masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan masyarakat karena mereka beranggapan bahwa pantai ini belum terkenal dan pasir hitam belum dianggap bermanfaat untuk bagi kehidupan mereka. Meskipun demikian pantai ini menarik wisatawan minat khusus untuk datang menyaksikan keunikan pantai ini.
 
Namanya memang mendapat sebutan pasir hitam tapi keterangan sejarahnya belum diketahui secara jelas, tetapi pasir hitam ini merupakan peninggalan nenek moyang dulu dan digambarkan sebagai harta karun yang tersebunyi. Pasir hitam ini menjadi fenomena yang unik, selain berwarna hitam, pasirnya mengkilat dan semakin lengkap dengan pemandangan tebing karang dan ada gua karang yang eksotis dan alami. Ini melengkapi padang sabana yang menghiasi kiri dan kanan jalan menuju pantai.
 
Masyarakat yang tinggal di dekat pantai pasir hitam adalah sebagian besar penduduk beragama Islam karena mereka berasal dari luar Sumba, dan mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Tempat ini sangat cocok bagi para nelayan untuk mencari ikan sehingga hasil tangkapan ikan mudah dijumpai dan orang-orang berkunjung untuk membeli ikan-ikan, selain ke pantai.
 
Perjalanan dari Waingapu menuju pantai pasir hitam sejauh lebih dari 140 kilometer membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat jam dari Waingapu ke arah Waibakul di Sumba Tengah, kemudian berbelok ke kanan menuju arah Mamboro menuju pelabuhan. Belum ada alat transportasi umum jadi akan lebih baik pakai kendaraan roda dua atau empat.
 
 

 

Pantai pasir hitam bisa menjadi tujuan alternatif orang-orang berwisata di Sumba karena mereka akan menemukan beberapa hal, seperti keunikan pasir hitam, melepas stress dan penat dari rutinitas kerja, menikmati kombinasi batu karang yang di atasnya tumbuh pohon-pohonan, menyaksikan padang sabana yang luas dan membeli ikan-ikan hasil tangkapan nelayan. Namun perlu ingat bahwa fasilitas di pantai ini masih terbatas, jadi wisatawan harus mempersiapkan bekal minum dan makanan secukupnya supaya wisata di pantai pasir hitam ini semakin berkesan. (Jekson H. Tana, STT GKS Lewa)

  Bagikan artikel ini

Berdampak dengan Menulis

pada hari Sabtu, 9 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
 
Menulis itu penting karena dengan menulis seseorang bisa menyalurkan hobi, mengungkapkan perasaan dan bahkan mempengaruhi orang lain. Seseorang perlu melatih kemampuan menulisnya karena menulis merupakan gabungan antara pengetahuan dan seni. Jadi, semakin sering menulis seseorang akan semakin fasih dan terampil dalam merangkai kata-kata menjadi tulisan.
 
Kemampuan menulis perlu dimiliki oleh mahasiswa sehingga Stube-HEMAT Sumba sebagai lembaga pendampingan mahasiswa di Sumba memfasiltasi mereka dengan pelatihan JurnalistikPelatihan di Waingapu berlangsung di Sekretariat Stube-HEMAT Sumba sejak Rabu, 16 Mei 2018. Yanto Hangga, salah satu tim Stube-HEMAT Sumba membuka rangkaian pelatihan dengan memandu perkenalan peserta dan menjelaskan program dan tujuan acara sekaligus memperkenalkan Trustha Rembaka, S.Th, koordinator Stube-HEMAT Yogyakarta, yang memfasilitasi pelatihan yang membekali mahasiswa mengenal dan menerapkan keterampilan tulis menulis.
 
Enam belas orang peserta mengikuti pelatihan ini dan mereka berasal dari berbagai kampus di Sumba Timur antara lain kampus Prodi Keperawatan Waingapu, Universitas Kristen Wira Wacana Sumba, AKN Sumba Timur dan beberapa pegiat komunitas seperti Komunitas Ana Humba dan Komunitas Ana Tana.

Dalam perkenalannya Trustha mengajak peserta menceritakan kecamatan masing-masing dan potensi yang dimiliki. Ternyata ada peserta yang kesulitan menjelaskan desa dan potensinya. Sebenarnya pengenalan diri ini menjadi ide awal seseorang untuk mulai menulis, menceritakan menjadi kelebihan dan kekurangan daerah asalnya. Kemudian, melalui tulisan,seseorang akan dikenal bahkan ketika ia sudah tiada, tulisannya tetap abadi. Kita, yang ada di Sumba mengenal tokoh-tokoh Indonesia maupun dunia karena tulisan. Kita mengamini mereka karena pemikiran mereka untuk bangsa dan kemanusiaan yang diwujudkan ke dalam tulisan.
 
Langkah awal menulis adalah mengenal jenis tulisan, sepertireportase, tulisan liputan peristiwa atau kejadian di lapangan sesuai fakta-fakta. Opini, jenis tulisan yang berupa pendapat, gagasan atau ide sebagai respon atas munculnya suatu masalah. Dalam opini penulis menganalisa masalah dan memberikan alternatif penyelesaiannya. Feature, tulisan pendek bersifat informatif dan inspiratif yang membahas tentang tokoh, tempat wisata dan budaya. Dan puisi, tulisan ungkapan perasaan dan terkadang simbolis yang terikat aturan tertentu seperti jumlah baris, jumlah suku kata maupun vokal. Selanjutnya peserta menentukan topik tulisan sesuai dengan minat masing-masing dan membuat kerangka dari tulisan yang akan dibuatnya.
 
Pertemuan berikutnya berupa kelas kecil yang memfasilitasi peserta berdiskusi dengan fasilitator. Ini dilakukan agar pendampingan menulis berjalan lebih efektif dan peserta leluasa dalam mendiskusikan tulisannya. Hanya delapan dari enam belas peserta yang menindaklanjuti pertemuan konsultasi ini. Harus diakui bahwa menulis memang tidak mudah, namun peserta tetap bersemangat menyelesaikan tulisan masing-masing.

 
“Saya terinspirasi dengan pertemuan ini, ternyata menulis bermanfaat bagi saya meski awalnya sulit. Saya bisa menyampaikan informasi, bahkan siapa tahu bisa dimuat di media cetak dan yang penting saya bersemangat belajar jurnalistik itu sendiri”,ungkap Yanto Umbu Muri,mahasiswa Universitas Kristen Wira Wacana Sumba.
 
Menjadi penulis muda yang berdampak harus berawal dari sekarang, dan mulailah menulis dari saat ini. (Sarimita Andani Ata’ambu).


Catatan:
 
Kelas Jurnalistik juga berlangsung di Lewa, memfasilitasi mahasiswa di STT GKS. Ada tujuh mahasiswa program studi Teologi dan Pendidikan Agama Kristen mengikuti kelas ini, mereka berasal dari Mamboro, Kodi, Lewa, Waikabubak dan Waingapu. Mereka mempelajari topik yang sama dengan kelas jurnalistik di Waingapu.
 

  Bagikan artikel ini

Titus Wanda: Pengawal Seni dan Tradisi Sumba

pada hari Kamis, 7 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
 
“Limalangu, limalangu”, kata seorang paruh baya seiring melangkah keluar dari rumahnya menyambut kedatangan kami di sanggar seni Waimiripu Tana Mbokar, Kalumbang, Sumba Timur. Dia adalah Titus Wanda, tokoh dan praktisi seni Sumba Timur yang lahir 19 Juni 1947. Kata ‘limalangu’ ini sendiri memiliki makna damai di hati, sambutan yang menghadirkan rasa damai di dalam hati.
 
Nama Titus Wanda sudah tidak asing di kalangan masyarakat setempat karena semangat dan cintanya pada seni budaya Sumba sehingga ia mengabdikan hidupnya untuk melestarikan seni budaya Sumba melalui sanggar seni bernama Waimiripu Tana Mbokar, yang bisa diterjemahkan sebagai air hidup tanah yang lestari, sehingga bisa diterjemahkan sebagai menyuburkan kembali tarian asli Sumba sehingga tetap lestari.
 
Ia mengakui kemajuan zaman memang tidak bisa dihindari termasuk di Sumba dan generasi muda Sumba juga mengalami ini. Mereka tertarik pada sesuatu yang modern tetapi lupa dengan budayanya sendiri karena tidak ada yang mengenalkannya. Lebih lagi praktisi seni tradisi Sumba sudah tua dan jika tidak diwariskan maka pengetahuan akan hilang. Ia bertindak untuk mendirikan sanggar untuk melestarikan tarian-tarian Sumba dan bahasa daerah yang hampir punah dan mencegah pengaruh negatif dari budaya lain, sekaligus meningkatkan dan mengarahkan segala kegiatan kesenian Sumba, khususnya budaya Sumba yang asli, seperti tari-tarian, nyanyi-nyanyian, seruan, kain tenunan dan alat-alat seni budaya.
 
Untuk itulah pada tanggal 17 Agustus 2004 sanggar Waimiripu Tana Mbokar resmi berdiri dan berpusat di Kalumbang, Sumba Timur. Penegasan keberadaan sanggar ini semakin kuat setelah mendapat akte notaris pada tanggal 15 Juli 2015 ketika ia mendaftarkan sanggar seni ini ke Dinas Pariwisata kabupaten Sumba Timur sebagai cara untuk menunjukkan keberadaan sanggar Waimiripu Tana Mbokar. Pengurus sanggar ini antara lain Titus Wanda, Afliani, Christofel Njurumana (camat), Dominggus (camat) dan Dedimus J. Dewa (pensiunan PNS),
 
Kegiatan di sanggar dilaksanakan dua kali dalam satu minggu di Kalumbang. Peserta tari-tarian adalah anak usia SD sampai SMA, yang terbagi dalam enam penari perempuan dan empat penari laki-laki, dua orang penabuh tambur, empat orang kakalak dan empat orang pemukul gong. Usia penari anak-anak adalah 5-10 tahun dan penari dewasa 11-20 tahun. Tarian yang sering ditampilkan adalah Ninggu Harama (tarian perang) yang terdiri dua penari perempuan yang memegang parang dan dua penari laki-laki yang memegang tameng dan tombak untuk membela diri. Ada juga tarian hiburan seperti tarianKabokang dan tarian Kandingang yang dilakukan oleh empat penari laki-laki dan enam penari perempuan. Sanggar ini beberapa kali tampil di acara tingkat propinsi, peringatan kemerdekaan, penyambutan tamu, ucapan syukur, ulang tahun gereja, dan pernikahan. Pemasukan dana dari undangan pentas tersebut dibagikan merata kepada anggota sanggar.
 
Titus Wanda yang pernah menjadi fasilitator pelatihan pariwisata Stube-HEMAT Sumba juga menjelaskan makna gambar di kain tenun Sumba, seperti kuda (ndjara) melambangkan kesejahteraan atau keperkasaan, ayam (manu) melambangkan kepemimpinan dan kepahlawanan, burung kakaktua melambangkan musyawarah, manusia melambangkan nenek moyang yang selalu dikagumi, tengkorak manusia (andung) melambangkan mereka mati mempertahankan keamanan, rusa melambangkan kesombongan atau tinggi hati, sementara udang melambangkan bahwa di balik kematian akan ada kebangkitan. “Ini yang bisa saya lakukan untuk melestarikan seni budaya Sumba dan saya bisa berkarya untuk masyarakat, gereja dan adat Sumba. Kita saling mendoakan terus damai di dalam hati kita masing-masing, limalangu”, pungkas Titus Wanda yang juga aktif terlibat dalam pelayanan di Gereja Kristen Sumba jemaat Payeti, Waingapu.
 
Ya, harus diakui bahwa kelestarian suatu seni dan budaya suatu daerah, khususnya Sumba kembali pada kepedulian dan komitmen generasi yang hidup saat ini untuk menjaga dan melestarikannya. Semoga. (Valentino).

  Bagikan artikel ini

Perempuan dan Laki-laki, Setara?

pada hari Kamis, 7 Juni 2018
oleh adminstube
Perempuan dan Laki-laki, Setara?
 
Kasus berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan marak terjadi di Indonesia. Ini menjadi permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius bangsa ini. Ketidaksetaraan terhadap perempuan terjadi di berbagai aspek seperti kesempatan menyampaikan pendapat, partisipasi di organisasi kemasyarakatan dan layanan publik. Hal ini menjadi tanggung jawab berbagai pihak agar bergotong-royong berjuang melawan ketidaksetaraan gender.

Saat ini masyarakat Indonesia, khususnya perempuan, sedang gencar-gencarnya memperjuangkan hak perempuan agar setara dengan laki-laki. Ada pun hal yang dilakukan seperti aksi demonstrasi, pertunjukan seni serta menulis hal-hal yang berkaitan dengan perempuan. Hal ini biasa dikenal dengan kesetaraan gender yang berarti suatu keadaan di mana adanya posisi, perlakuan dan peran yang adil dan seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Kesetaraan gender di Indonesia belum sepenuhnya terwujud karena berbagai penyebab, seperti kurangnya pengetahuan tentang kesetaraan gender, asumsi masyarakat yang berkembang bahwa perempuan lemah, masih kuatnya patriarkhi dan rendahnya partisipasi perempuan dalam sektor-sektor publik.
 
Sebuah contoh konkret yang terjadi dalam bidang politik di mana kaum laki-laki masih dominan, dengan data dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam Pilkada serentak 2017  terdapat sedikitnya 7,17%  keterlibatan perempuan dari total 614 calon kepala daerah dari seluruh Indonesia (perludem.org). Padahal tidak sedikit perempuan yang berpotensi besar dalam menyumbangkan pemikirannya untuk bangsa dan negara, ditandai dengan peran guru perempuan yang ‘melahirkan’ orang-orang hebat.

 
Di Sumba, salah satu pulau di propinsi Nusa Tenggara Timur juga terjadi ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki, seperti kesempatan untuk menempuh studi sampai perguruan tinggi di mana anak laki-laki mendapat kesempatan lebih besar daripada anak perempuan, dalam pertemuan untuk mengambil keputusan kaum laki-laki cenderung lebih dominan dalam berpendapat, dan di beberapa situasi lainnya. Ini artinya perjuangan mewujudkan kesetaraan gender masih harus menempuh perjalanan panjang dan membutuhkan partisipasi berbagai pihak sehingga tantangan ketidaksetaraan gender bisa diatasi.
 
Peran Gereja, gereja termasuk bagian yang penting untuk mewujudkan kesetaraan gender. Pemimpin gereja dalam pelayanan gereja harus memasukkan proses penyadaran kepada umat tentang pentingnya peran perempuan yang bisa diwujudkan dalam pengambilan keputusan, pelayanan dan aktivitas yang berguna bagi gereja dan masyarakat.
 
Peran Pemerintah, sebagai pemangku kebijakan, pemerintah perlu memberikan perhatian dan keberpihakan kepada perempuan, melalui diskusi pemberdayaan perempuan yang melibatkan masyarakat dan memunculkan pemahaman baru tentang patriarki yang menganggap bahwa lelaki adalah kaum superior. Selain itu, mengurangi stigma yang terlanjur berkembang di masyarakat bahwa perempuan sebagai makhluk tak berdaya serta ’penghuni dapur’.
 
Peran Keluarga, tak kalah penting karena keluarga sangat dibutuhkan dalam mendidik anak tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, karena perilaku yang muncul di tengah-tengah masyarakat adalah cerminan yangterjadi di dalam keluarga.
 
Akhirnya, jika engkau peduli pada dirimu, ibumu, perempuanmu dan perempuanku, mari bersama berjuang mewujudkan kesetaraan gender di Sumba dan di negeri tercinta ini. (Antonia Maria Oy).

 

 

  Bagikan artikel ini

Mengembangkan Peternakan Meraih Kemandirian

pada hari Kamis, 7 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
 
Apa yang terlintas dalam benak ketika ada pertanyaan tentang apa saja ternak yang ada di Sumba? Tentu jawaban tidak jauh dari kuda, kerbau, sapi dan babi. Ya, benar, ternak-ternak tadi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sumba baik itu berkaitan dengan pertanian, mata pencaharian, prestis dan budaya.
 
Babi, salah satu jenis ternak yang ada di Sumba, bagi orang Sumba keberadaan babi menjadi bagian tak terpisahkan dengan kehidupan mereka karena ternak babi menjadi sarana dalam urusan adat, di mana orang Sumba sendiri menjunjung tinggi budaya dan ritualnya, artinya bahwa ternak babi sangat dibutuhkan dan stok ternak babi harus selalu tersedia. Selain itu keberadaan ternak babi bisa dianggap sebagaitabungan yang sewaktu-waktu bisa dijual.
 
Ini yang menjadi peluang dan dilihat oleh Aprianto Hangga, salah satu team Stube-HEMAT Sumba, yang sudah berhasil mengembangkan usaha ternak babi. Ia berkata, Saya melihat bahwa kebutuhan ternak babi untuk orang Sumba sangat tinggi, sehingga saya mempunyai keinginan untuk memulai usaha ternak babi yang saya mulai pada tahun 2014, dimana usaha ini berangkat dari hobi juga. Saya juga menemukan bahwa nilai jual ternak babi sangat tinggi di Sumba, dan pada bulan-bulan tertentu permintaan babi sangat tinggi.
 
Tentu bukan tanpa dasar bagi Yanto, panggilan sehari-hari Apriyanto Hangga, lulusan STPMD APMD Yogyakarta ketika memutuskan untuk beternak babi dengan lebih serius. Selain peluang tadi, ia tentu harus meningkatkan kemampuan dirinya tentang pemahaman cara beternak babi dengan baik, dengan mengikuti pelatihan-pelatihan peternakan yang diadakan Stube-HEMAT Sumba dan lembaga-lembaga lainnya di Sumba Timur.
 
Akhirnya Yanto berniat mengembangkan usaha tersebut melalui bantuan penguatan modal ke Stube-HEMAT Sumba. Setelah berdiskusi dan wawancara tentang rencana usaha tersebut, Stube-HEMAT memberikan pinjaman lunak untuk penguatan modal sebesar 6.000.000 rupiah untuk mengembangkan usaha ternak babi. Dari modal tersebut Yanto membeli anak babi sejumlah 20 ekor. Anak babi tersebut dipelihara selama tujuh bulan dan penjualan babi-babi tersebut menghasilkan penjualan kotor 80 juta rupiah.
 
Yanto membagikan pengalamannya dalam mengelola ternaknya, seperti dalam pemberian makanan untuk ternak babi dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore), makan harus teratur, kandangnya juga harus dibersihkan dan babi perlu disiram dua kali dalam sehari. Berkaitan dengan kesehatan, ternak babimiliknya tidak mendapat vaksin dari dinas peternakan, tetapisebagai gantinya diberikan asupan daun pepaya dan selama ini tidak ada ternak babinya yang sakit atau mati. Ia dan keluarganya sangat bersyukur dengan usaha ternak babi ini karena sangat menolong sebagai pendapatan keluarga meskipun awalnya dari hobi saja.
 
Bagi anak muda Sumba, Yanto berpesan bahwa dalam menjalanisuatu usaha, tentu ada kendala yang harus dihadapi seperti yang dia alami, misalnya berubah-ubahnya harga babi dipasaran. Ketika kebutuhan ternak babi menurun, maka akan berdampak pada turunnya harga babi, namun sebaliknya, harga babi akan naik ketika permintaan naik dan persediaan babi menurun. Biasanya musim bagus untuk ternak babi terjadi pada bulan Mei sampai Agustus. Tetapi jangan pernah menyerah, tekun dan berusaha sebaik-baiknya dalam memulai usaha ternak ini.
 
Bagaimana dengan kita yang belum punya usaha produktif? Mari anak muda, bangun motivasi dan jeli melihat berbagai potensi yang ada di Sumba karena peluang usaha masih terbuka dan salah satunya adalah peternakan. (Naser Randa Hailu Poti).

 


  Bagikan artikel ini

Kampung Tambera: Bagai Menjelajah ke Masa Silam

pada hari Rabu, 6 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
 
Sebuah keinginan yang lama terpendam akhirnya terwujud ketika saya mengunjungi kampung Tambera yang terletak di desa Doka Kaka, kecamatan Loli, kabupaten Sumba Barat ketika mengikuti acara festival Wai Humba VI tahun 2017. Wai Humba sendiri adalah sebuah acara yang bertujuan mengingatkan hubungan manusia dan Sang Pencipta yang diwujudkan dalam kepedulian terhadap alam dan lingkungan. Saat itu festival Wai Humba menakati tema ‘Kami Bukan Humba yang Menuju Kemusnahan.
 
Perjalanan dari Waingapu, ibukota kabupaten Sumba Timur menuju kampung Tambera membutuhkan waktu sekitar tiga jam menggunakan oto atau motor. Namun kendaraan tidak bisa menjangkau sampai halaman kampung ini karena ada anak tangga berjumlah sekitar 20 anak tangga untuk naik sampai ke halaman kampung. Untuk masuk ke kampung ini saya harus berjalan kaki dari kantor desa hingga mencapai jalan mendaki karena kampung ini berada di puncak bukit dan dikelilingi pepohonan yang rimbun.
 
Halaman kampung ini bertingkat-tingkat karena menyesuaikan permukaan tanah dan tidak rata karena ada batu-batuan besar maupun kecil tersebar di sekitar kampung. Rumah-rumah adat terletak di bagian tepi dan bertangga-tangga dari gerbang masuk hingga ke ujung kampung. Tiang dan balai-balai rumah kebanyakan menggunakan kayu hutan yang bulat. Di tengah halaman terdapat kubur batu yang bentuknya bervariasi pula, ada yang bulat, memanjang dan persegi.
 
Saya merasakan suasana berbeda ketika berada di kampung ini seperti udara yang sejuk, dikelilingi banyak pohon, masyarakat di kampung ini ramah dan bersahabat yang mencerminkan hidup yang tenang dan tenteram. Pengunjung diharapkan menjaga sikap selama berada di kampung ini dan saya pun harus menjaga mulut supaya tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak berkenan di hati rato (kepala kampung adat) karena adat di kampung ini masih sangat kental.
 
Kampung ini merupakan kampung Ina (ibu)-Ama (bapak) atau kampung adat utama suku Loli, sekaligus pusat pelaksanaan ritual Wulla Poddu, sebuah ritual suci penganut Marapu, kepercayaan tradisional penduduk asli Sumba. Ritual ini dilakukan selama sebulan penuh.
 
Keunikan lain yang saya temukan di kampung ini antara lain, penghuni tidak boleh menggunakan bahan perasa ketika memasak makanan dan hanya boleh menggunakan daun kemangi atau sejenisnya yang berbahan alami untuk membuat bumbu makanan, bahkan garam pun tidak boleh digunakan, meskipun demikian masakan tetap terasa nikmat ketika dimakan. Namun bukan berarti penduduk kampung Tambera tidak menggunakan garam, karena penduduk yang tinggal dalam kampung ini, hanya orang tertentu saja yang mendiami atau menjaga kampung ini.
 
Saya bersyukur bisa mengunjungi kampung Tambera dan kagum dengan keberadaan bangunan rumah yang tua tetapi terawat. Di sini saya belajar bagaimana berjuang mencapai tujuan, menyatu dalam alam dan menghargai adat istidat yang telah berlangsung ratusan tahun sampai saat ini. (Apronia Dai Duka).

  Bagikan artikel ini

Orang Muda Jatuh Hati pada Pertanian

pada hari Selasa, 5 Juni 2018
oleh adminstube

 

 
 
 
Kabupaten Sumba Timur adalah salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang kaya akan sumber daya alam dan salah satunya adalah pertanian. Luas lahan basah di kabupaten Sumba Timur 15.601 Ha dan luas lahan kering 547.701 Ha (BPS kabupaten Sumba Timur, 2016:193-197). Secara astronomis kabupaten Sumba Timur terletak antara 119°45-120°52 Bujur Timur (BT) dan 9°16-10°20 Lintang Selatan (LS). Secara geografis, Kabupaten Sumba Timur memiliki batas-batas utara dengan selat Sumba, selatan dengan lautan Hindia, timur dengan laut Sabu, barat dengan Kabupaten Sumba Tengah (BPS Kabupaten Sumba Timur, 2016: 3).
 
Tingkat permintaan pasar di kota Waingapu mengalami ketidakstabilan supply, terkadang produksi berlebih, sebaliknya bisa kekurangan persediaan. Ada beberapa sentrahortikultura yang menyokong pasar Waingapu yakni desa Marada Mundi dan Kiritana, kelurahan Lambanapu, Mauliru, Maulumbi, Mau Hau dan Kawangu. Beberapa wilayah di atas bisa produksi pertanian pada musim kemarau, namun sebagian lainnya tidak dapat berproduksi karena berada di pinggiran sungai (desa Marada Mundi, desa Kiritana) dan beberapa wilayah lain belum mampu berinovasi pertanian pada musim hujan.
 
Kenyataan di atas adalah salah satu masalah sosial sekaligus peluang usaha di bidang pertanian hortikultura. Beberapa orang muda yang masih berstatus mahasiswa ekonomi dan beberapa di antaranya adalah anggota Stube-HEMAT Sumba,melihat ini sebagai peluang bisnis, oleh karena itu terbentuk Komunitas Petani Muda yang mengambil keputusan untuk menjadi pelaku usaha di bidang pertanian. Strategi yang dilakukan dalam membangun usaha pertanian yakni dengan membentuk sentra-sentra produksi pertanian. Tujuan usaha ini adalah memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal dan memperkenalkan kepada publik, bahwa suatu desa atau tempat dapat dikenal dengan produk-produk unggulannya.
 
Komunitas Petani Muda berjejaring dengan perusahaan Panah Merah, penyedia benih-benih unggul dan terpercaya bagi masyarakat. Komunitas ini memiliki anggota muda, yakni Frans Fredi Kalikit Bara, Aloysius Umbu Sili Ndingu, Hendrikus Hina Lunggu Manu dan Fransiskus K. Halang. Strategi pemasaran yang dilakukan yaitu menggunakan media sosial seperti Facebook, Whatsapp,  kartu identitas usaha dan melakukan pendekatan langsung dengan pihak pembeli yang ada di pasar dan di warung-warung makan. Komunitas ini optimis pada usaha pertanian berbasis sentra produksi. Ada satu alasan penting, kami mengeluti ini karena pertanian adalah kebutuhan pangan atau kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi setiap waktu karena konsumen pasti membutuhkan pangan setiap saat. Bisnis pertanian adalah salah satu usaha beromset besar jika serius dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan inovasi pertanian. Selain itu, permintaan pasar terhadap pangan tidak akan pernah terputus.
 
Saat ini Frans Fredi Kalikit Bara dan Aloysius Umbu Sili Ndingu sedang membangun usaha Hortikultura dan mengembangkan tanaman cabe sejumlah 4.000 bibit, semangka 1.000 bibit dan beberapa tanaman lain seperti melon, kol, pepaya Kalifornia, terong ungu dan paria di Lambanapu. Sedang Hendrikus Hina Lunggu Manu dan Fransiskus K. Halang mengembangkan usaha jagung hibrida di lahan 2 Ha di Kadumbul.
 
Pengembangan usaha komunitas ini tidak hanya terfokus pada anggota tetapi juga melakukan pembinaan-pembinaan bagi orang muda sehingga dapat bertumbuh sebagai pelaku usaha muda dan dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. (Frans Fredi Kalikit Bara)

  Bagikan artikel ini

Tangisan Bocah   (Valentino)

pada hari Senin, 4 Juni 2018
oleh adminstube
 
Latar belakang
Masyarakat mendapatkan janji-janji sekolah gratis dari para calon pejabat saat menjelang pemilihan. Namun setelah pemilihan dan bahkan terpilih, ternyata janji-janji mereka hanya tertinggal di mulut saja, mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri tanpa memperhatikan masyarakat. Sampai saat ini sebagian anak-anak di wilayah Sumba Timur masih mengalami keterbatasan fasilitas pendidikan.
 
 
Mengapa kau terlihat gelisah?
Mengapa wajahmu pucat?
Mengapa matamu kering?
Apakah dirimu dilanda sakit?
 
Aku doakan semoga engkau segera sembuh,
Dan memenuhi janji-janjimu
Menawarkan pendidikan gratis
Untuk masa depan anak bangsa.
 
Sekumpulan bocah menangis
Ingin belajar membaca dan menulis
Kawan sebaya ikut meringis
Terganjal pendidikan karena bisnis
 
Dalam hati menjerit teriris
Karena harapan pendidikan gratis
Hanya meleleh di bibir manis
Tapi bocah-bocah tak henti berjuang

  Bagikan artikel ini

Sakit (Valentino)

pada hari Minggu, 3 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
Latar Belakang
Anak-anak di Sumba terbiasa dengan kekerasan yang mereka alami ketika ada hal yang dianggap kurang pas. Sebenarnya kekerasan fisik maupun kata-kata terhadap anak yang terjadi di dalam keluarga berpengaruh menurunkan mental dari anak tersebut dan berdampak lainnya di diri anak.
 
Puisi ini saya tulis agar menyadarkan kepada orang tua agar tidak berbuat kekerasan kepada anaknya.
 
 
 
Saat sang surya mulai terbenam
Burung-burung kembali pada sangkarnya
Bunga-bunga tertutup kuncupnya
Jalan-jalan mulai sunyi
 
Betapa terkejutnya aku
Seakan tak percaya aku
Melihat anak itu dipukuli oleh ibunya
Karena tidak menuruti keinginan ibunya
 
Betapa malangnya nasib anak itu
Dia dipukul tanpa belas kasihan
Hanya bisa menangis, menjerit, ampun mama
dan menahan rasa sakit di hati
 
Mengapa nasibmu begitu malang
Menanggung derita seorang diri
Hanya tangisan pasrah dan doa
Tuhan kuatkanlah hambamu

  Bagikan artikel ini

Sumba: Menuju Pulau Pertanian Organik

pada hari Selasa, 15 Mei 2018
oleh adminstube
 

Pertanian merupakan mata pencaharian yang paling dasar karena dengan pertanian seperti sawah, ladang dan berkebun, masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil pertanian, selain untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari, hasilnya bisa dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Masyarakat akan menjadi sehat dan bermartabat jika mengonsumsi makanan berbahan organik, artinya tanpa bahan pengawet atau bahan kimia lainnya. Tetapi seiring berjalannya waktu dengan semakin berkembangnya zaman, masyarakat kini cenderung memilih makanan instan atau siap saji, abai kandungan nutrisi yang ada dalam bahan makanan yang dikonsumsi dan berasumsi makan makanan organik terasa hambar di lidah.

Keadaan gaya hidup ini mempengaruhi pola makan seseorang dan juga berdampak pada kesehatan seseorang. Situasi ini menjadi batu pijakan Stube-HEMAT Sumba mengadakan pelatihan pertanian organik untuk mahasiswa dan anak muda Sumba. Ada tiga puluh lebih peserta mengikuti pelatihan ini dan mereka terdiri dari mahasiswa maupun anak muda dari berbagai komunitas yang ada di Waingapu dan sekitarnya. Empat orang yang terdiri dari praktisi dan pejabat pemerintah daerah setempat menjadi narasumber pelatihan dengan tema “Keunggulan Pertanian Organik bagi Manusia dan Lingkungan” yang diselenggarakan di aula GKS Lambanapu, Kambera pada hari Jumat-Minggu, 11-13 Mei 2018 yang lalu.


Dalam pelatihan ini, Fajrin Rizky dan Markus Dendu Ngara dari Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) distrik Sumba hadir sebagai narasumber. Keduanya adalahpetani, peneliti, sekaligus pemandu petani untuk wilayah Sumba. Merekamenyampaikan materi tentang Ekosistem, uji kadar mineral, pembuatan nutrisi ternak organik, dan seleksi benih padi sehat. “Materi pembelajaran ekosistem sangat penting bagi pemula yang ingin memperdalam pertanian organik, sebab disitu ada proses penyadaranmengenai alam yang akan di dapatkan peserta”, ungkap Markus Dendu Ngara.


Selain mempelajari hal di atas, peserta juga mempelajari strategi pemasaran hasil pertanian organik. Topik ini dipaparkan oleh Umbu Maramba, dosen Agribisnis di Universitas Kristen Wirawacana Sumba.


Kemudian Ir. Rudiolof Boling, yang menjadi utusan dari Dinas Pertanian pemerintah Daerah Sumba Timur menyampaikan tanggapan pemerintah Sumba Timur mengenai pertanian organik di Sumba.
 
Peserta pelatihan antusias memberikan berbagai macam pertanyaan, menyampaikan pendapat dan usulan, seperti harapan agar pemerintah lebih memperhatikan kondisi pertanian yang ada di Sumba. Selain itu pesserta juga berkesempatan mempraktekkan pembuatan nutrisi organik untuk ternak.

“Mahasiswa jangan hanya bersuara sebagai agen perubahan, tetapi marilah kita menjadi pelaku perubahan”, himbau Jufri Adipapa, salah satu team Stube-HEMAT Sumba saat mendampingi peserta membuat perencanaan kegiatan lanjutan. Peserta membagi diri ke dalam beberapa kelompok untuk menindaklanjuti pelatihan ini, seperti mempraktekkan pembuatan nutrisi ternak, membagi materi pelatihan ke anggota komunitasnya dan memanfaatkan lahan pekarangan asrama kampus sebagai kebun sayuran untuk mahasiswa.


Kemajuan pembangunan di Sumba harus membawa keadaan Sumba lebih baik, pertanian tetap terjaga dan kehidupan masyarakat tidak terpengaruh gaya hidup negatif. Sebagai anak muda Sumba, jadilah anak muda yang bergerak sebagai pelaku perubahan untuk membawa kebaikan untuk Sumba. (Apronia Dai Duka).



  Bagikan artikel ini

Mahasiswa dan Pelayanan Kasih

pada hari Senin, 16 April 2018
oleh adminstube
 
 

“Tidak ada kebangkitan yang tanpa diawali dengan kematian. Syukur kepada Tuhan Yesus yang telah menyerahkan hidupNya untuk mati di kayu salib dan menggantikan manusia yang seharusnya dimurkai oleh Tuhan Allah. Syukur kepada Tuhan Allah karena pada hari yang ketiga, Yesus bangkit dan hidup kembali! Tuhan Yesus benar-benar menang atas maut. Jika tidak demikian, sia-sialah kepercayaan kita kepada-Nya. Inilah iman Kristen. Melalui kematian dan kebangkitan Kristus, kita dibenarkan dan diselamatkan dari hukuman dosa serta beroleh hidup yang kekal. Ini menjadi pesan untuk merefleksikan kembali pengorbanan dan kasih Kristus yang terbukti nyata, dan momen Paskah hadir untuk memperbaharui kehidupan.”


Ini menjadi renungan dan refleksi Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Lewa (IKPML) Waingapu dan Stube-HEMAT Sumba saat melakukan kegiatan aksi sosial sebagai bentuk wujud syukur dan pelayanan kasih di sebuah Gereja Kristen Sumba (GKS) Jemaat Kapunduk ranting Praimarada, di desa Matawai Padangi, kecamatan Haharu pada hari Sabtu-Minggu, 14-15 April 2018.


Dalam kegiatan ini bahan yang disediakan untuk pelayanan kasih dan sumbangan pembangun seperti pakaian bekas layak pakai, sabun mandi, sabun cuci, shampo dan material seperti semen, beton dan kawat ikat. Pelayanan kasih diperuntukkan bagi yatim piatu dan janda duda dan keluarga yang tidak mampu lainnya. Disela-sela kegiatan pelayanan kasih, peserta melakukan diskusi bersama dengan masyarakat terkait permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat itu sendiri, seperti kekurangan pangan dan air bersih. Dua hal ini menjadi kendala utama masyarakat di desa ini. Penduduk harus menempuh jarak 7-10 km dan menyusuri bukit demi mendapatkan air untuk minum dan memasak.


Opang Maramba Djara, ketua IKPML Waingapu menyampaikan dalam sabutannya, “Kegiatan ini merupakan kesadaran kami sebagai mahasiswa untuk berbagi kasih dengan sesama yang membutuhkan. Pelayanan kasih dan sumbangan untuk pembangunan gereja yang kami berikan kepada jemaat di sini semoga menjadi berkat dan untuk memperluas kemuliaan nama Tuhan”.
 
Jufri Adipapa, salah satu team Stube-HEMAT Sumba mengungkapkan kegelisahan hatinya sekaligus bangga karena menyaksikan kondisi rumah ibadah yang kurang nyaman dan memprihatinkan tetapi masyarakat di sini memiliki semangat gotong royong yang kuat sehingga proses pembangunan gereja tetap terus berlangsung sampai selesai dan bisa digunakan untuk beribadah, mendengarkan kebenaran Firman Tuhan dengan rasa nyaman.
 
Matayewa Anakotak, Guru Injil gereja setempat menyampaikan terima kasih atas kunjungan, pelayanan kasih dan sumbangan pembangunan kepada jemaat di sini. Ia berharap kegiatan ini akan semakin mendorong jemaat dan setiap orang percaya di Sumba untuk mendekatkan diri kepadaNya sebagai sumber kehidupan dan sekaligus penyegaran iman melalui kebangkitan Tuhan Yesus Kristus.
 
Pelayanan kasih ini menjadi panggilan setiap orang percayayang harus senantiasa mewujudkan iman kepercayaanya itu dalam tindakan nyata, tidak hanya melakukan ritual dalam ibadahtetapi sampai pada tindakan kepedulian, bahkan menjawab kebutuhan dasar sesama dan lingkungannya. (JUF).



  Bagikan artikel ini

Eksistensi Perempuan Dalam Perspektif Gender

pada hari Senin, 5 Maret 2018
oleh adminstube
 



 
"Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali" 
 
Ungkapan di atas merupakan tulisan Bung Karno untuk menyatakan pemikiran atas kesetaraan dan kesatuan yang saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan. Namun realitanya kesadaran akan kesetaraan belum dimiliki secara merata oleh setiap orang, bahkan permasalahan gender masih terjadi di Indonesia, khususnya di daerah-daerah tertentu.
 
Kutipan ini muncul dalam pengantar kegiatan dialog yang diadakan pada hari Jumat 2 Maret 2018 bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumba Timur dengan tujuan memperdalam pemahaman peserta terkait persoalan perempuan dan permasalahan lainnya yang ada di Sumba. Dialog ini merupakan kegiatan tindak lanjut atau follow-up pelatihan Stube-HEMAT Sumba tentang Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Gender yang berlangsung pada bulan Februari  lalu. 

Dialog tersebut membahas kesetaraan gender, yang berarti keadaan di mana adanya porsi, perlakuan, posisi, peran yang sama antara laki-laki dan perempuan dan di sisi lain terkait dengan diskriminasi, ketidakadilan, penindasan, subordinasi, marginalisasi, dll. Harus diakui bahwa di Indonesia masih rentan kasus ketidaksetaraan dan perempuan cenderung menjadi korban. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya peran perempuan di sektor publik dan maraknya kekerasan terhadap perempuan dari data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tentang partisipasi perempuan dalam Pilkada serentak 2017, yaitu hanya 44 perempuan (7,17%) dari total 614 calon kepala daerah di seluruh Indonesia.

Beberapa penyebab situasi ini adalah rendahnya pemahaman kesetaraan gender serta asumsi yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan itu lemah, tidak tahan banting, sasaran pelampiasan dan hanya sebagai pelengkap kaum Adam. Perempuan sering menjadi sasaran laki-laki untuk bertindak kekerasan. Kita pun tak bisa menampik bahwa faktor kebudayaan juga berperan dalam masalah ini, di mana budaya di negeri ini lebih cenderung ke sifat Patriarki, yaitu menganggap peran lelaki lebih penting dan superior sehingga perempuan tidak sederajat dengan laki-laki.

Dalam kunjungan tersebut, Yokhbet Martha Mara, dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) menyampaikan bahwa untuk melawan ketidakadilan gender di Indonesia, khususnya Sumba Timur, membutuhkan kerja sama dari semua pihak. Lembaga Swadaya Masyarakat dan generasi muda diharapkan berperan aktif mengubah paradigma masyarakat sekaligus membangkitkan kesadaran, pola pikir dan pemberdayaan perempuan agar mau berjuang untuk kehidupannya. Salah satu cara yang efektif adalah mengadakan pelatihan atau forum diskusi tentang kesetaraaan gender dan isu-isu perempuan agar terjadi pembaharuan perspektif di masyarakat.

Selanjutnya Anton Kila, dari LPA Sumba Timur mengatakan bahwa keluarga merupakan faktor paling dasar untuk mengajarkan tentang kesetaraan gender kepada anak agar ia tak menjadi pelaku maupun korban ketidakadilan. Perlu disadari bahwa segala sesuatu yang kita perbuat, cara pandang terhadap sesuatu dan bagaimana kita bersikap dan berkata-kata merupakan hasil dari pola didik yang dimiliki keluarga. Jadi mulailah dari keluarga untuk wujudkan kehidupan yang baik dan berkesetaraan gender.
 
Pengakuan HAM dan kesetaraan gender masih perlu diperjuangkan bahkan di Sumba. Anak muda dan mahasiswa perlu menyadari hal-hal ini dan menjadi aktor perubahan dalam memperjuangkan HAM dan kesetaraan gendermulailah dari keluarga sendiri dan akhirnya masyarakat. (JUF).

  Bagikan artikel ini

Perempuan dan Permasalahan HAM di Sumba
Program HAM dan Kesetaraan Gender

pada hari Senin, 26 Februari 2018
oleh adminstube
 


Isu Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kesetaraan Gender merupakan topik permasalahan yang terus ada baik di skala internasional maupun nasional baik kekerasan fisik, seksual,atau psikis dan kekerasan ekonomi. Provinsi NTT berada di urutan 5 dari 34 provinsi di Indonesia dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak di tahun 2015.Sumba, sebagai daerah yang dikenal kental struktur budayanya, perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan masih terjadi sampai saat ini. Perempuan dinomorduakan, dianggap kaum lemah, cukup berada di rumah, tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, sehingga mereka rentan mendapat perlakuan kekerasan.
 
Pelatihan HAM dan Kesetaraan Gender bertema ”Perempuan dan Permasalahan HAM di Sumba’’ yang digagas Stube-HEMAT Sumba, merupakan salah satu usaha untuk mengupas permasalahan tersebut. Pelatihan yang diselenggarakan pada tanggal 23-25 Februari 2018 di GKS Umamapu cabang Okanggapi, Londalima, Kanatang, Sumba Timur, ini diikuti tiga puluh mahasiswa utusan kampus STT GKS Lewa, STT Terpadu, Unkriswina Sumba, Ana Humba Community dan Prodi Keperawatan Waingapu.


Beberapa narasumber diundang untuk memfasilitasi pelatihantersebut, antara lain, Y. Djami Yiwa, budayawan, membahas tentang HAM dan Kesetaraan Gender ditinjau dari budaya Sumba. Budaya Sumba sebenarnya merupakan hasil musyawarah para leluhur untuk mengatur kehidupan masyarakat Sumba. Ada beberapa aturan yang masih berlaku, seperti strata sosial masyarakat, musyawarah para leluhur, pembagian tugas adat dan hukum adat, serta pandangan hidup masyarakat Sumba. Kesetaraan gender di kehidupan masyarakat Sumba nampak saat upacara keagamaan, yang mana ada pembagian tugas laki-laki yang melaksanakan upacara sedangkan perempuan menyiapkan alat dan bahan, hal yang sama untuk upacara perkawinan, bercocok tanam dan peternakan.
 
Ana Djara dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) menjelaskan implementasi Undang-undang Perlindungan Anak dan Perempuan di Sumba Timur. Ia mengatakan bahwa perempuan dan anak merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dari segala bentuk tindak kekerasan, jadi pelaku kekerasan akan dipidana sesuai ketentuan yang berlaku. Diharapkan semua elemen masyarakat, termasuk anak muda dan mahasiswa menjadi garda terdepan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak.
 
Wanja Wairundi, kepala dinas Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan KB kabupaten Sumba Timur mengungkapkan kasus-kasus yang ditangani menunjukkan bahwa korban kasus pelecehan seksual adalah anak di bawah umur. Pemerintah berusaha mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui, 1) sosialisasi kepada masyarakat untuk bersama-sama mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta hukuman bagi pelaku, 2) pendampingan atau rehabilitasi terhadap korban untuk memulihkan trauma mental yang dialami. Ia sangat berharap ada kerja sama dengan anak muda dan mahasiswa untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib jika menemukan kasus di masyarakat.
 
Pembekalan dari sisi hukum dipaparkan oleh Bripka Ida P.T. Yarmika, S.H, Kepala unit PPA Satuan Reserse Kriminal Polres Sumba Timur. Ia memaparkan pelanggaran hak-hak perempuan dan penanganannya. Setiap orang berhak atas hak-hak asasinya tanpa perbedaan ras dan jenis kelamin. Hal ini ditegaskan dalam deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948, perempuan memiliki hak di bidang politik, kewarganegaraan, pendidikan dan pengajaran, profesi dan ketenagakerjaan, kesehatan dan hukum. Berkaitan dengan korban pemerkosaan, PSK dalam praktik prostitusi, aborsi, pornografi dan perdagangan perempuan, penanganan dilakukan secara normatifmelalui jalur hukum. Penanganan lain dengan berdasarkankeaarifan lokal, dilakukan diluar proses peradilan dengan berdasarkan kekeluargaan.
 
Jufri Adipapa, salah satu team Stube-HEMAT Sumba mengajak, “Mari, mahasiswa sebagai kaum intelektual menjadi corong informasi bagi orang-orang di sekitar kita untuk bersama-sama menjaga keamanan dan kenyamanan bermasyarakat. Hidup tanpa diskriminasi, menjunjung tinggi HAM terutama hak perempuan dan anakSelanjutnya semua bisa berpartisipasi dalam Rencana Tindak Lanjut (RTL) berupa aksi memperingati hari Perempuan Internasional pada tanggal 3 Maret 2018”.
 
Perjuangan demi hak perempuan dan anak merupakan perjalanan panjang, dan ini berawal dari kita sejak saat ini. (Adriana Pindi Moki)

  Bagikan artikel ini

Berharaplah, Tuhan Mendengar Ibadah pembukaan program Stube-HEMAT Sumba

pada hari Senin, 22 Januari 2018
oleh adminstube
 
 
 
Keberadaan Stube-HEMAT Sumba melewati sebuah perjalanan panjang sejak 2008 hingga sampai saat ini  merupakan berkat Tuhan. Lembaga ini memfasilitasi anak muda dan mahasiswa melalui pelatihan-pelatihan dan diharapakan bisa membentuk seseorang lebih berkualitas demi masa depan lebih baik.
 
Pelatihan-pelatihan Stube-HEMAT Sumba memperlengkapi mahasiswa di Sumba. Mereka mendapat manfaat secara pribadi maupun untuk masyarakat seperti pembuatan kerajinan bambu yang ditekuni oleh Danial Wolu Paraing di Kanjonga Bakul. Ia memanfaatkan bambu menjadi kerajinan yang menghasilkan uang dan keterampilan ini mengantarnya menjadi pengajar di salah satu SMP di Sumba Timur. Berikutnya, Sumitro Umbu Ndamung yang belajar bercocok tanam bawang dan lombok di Yogyakarta, ia mendapat kesempatan dari Dinas Pertanian mendampingi kelompok tani di desa asalnya, Kombapari, Katala Hamu Lingu dan masih ada kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan aktivis Stube untuk masyarakat.
 
Di tahun 2018 ini Stube-HEMAT Sumba memiliki beberapa program antara lain HAM dan Kesetaraan Gender, Pertanian Organik, Sumber Daya Manusia menghadapi Tuntutan Global dan Pariwisata: inventarisir Peninggalan Budaya. Apa juga program tambahan yaitu Jurnalistik, Village & Me dan Ekposur ke Stube-HEMAT Yogyakarta. Sebagai pembukaan program tahun 2018, Stube-HEMAT Sumba mengadakan Ibadah pembukaan Awal Tahun program 2018 pada tanggal 20 Januari 2018 dan mengundang aktivis di beberapa kampus di Waingapu dan sekitarnya, Unkriswina, STT Terpadu, STT GKS Lewa, GMNI dan IKPML
 
Ada sekitar 26 orang peserta menghadiri ibadah yang dilayani Pdt. Dominggus Umbu Deta, S.Th, koordinator Stube-HEMAT Sumba. Ia menyampaikan firman Tuhan dari Mazmur 64:1-11 yang menegaskan bahwa apa pun yang dilakukan harus didasari bersama Tuhan. Ada dua hal, pertama, sebagai anak muda, mahasiswa atau aktivis Stube-HEMAT, kita harus memiliki pengharapan kepada Tuhan sebagai tempat perlindungan orang benar yang hidup jujur, setia dan taat meski menghadapi kesulitan. Artinya, sebagai team maupun aktivis Stube-HEMAT Sumba, lakukan setiap tugas dan tanggung jawab dengan segala konsekuensi dengan keyakinan bahwa Tuhan selalu menyertai.
 
Kedua, orang benar harus bergantung dan berharap pertolongan Tuhan. Orang percaya memiliki harapan, tidak hanya berdoa, memohon dan meminta tolong, tetapi perlu iman yang kuat kepada Tuhan. Harus ada harapan yang ingin diraih dalam satu tahun ke depan terkait program Stube-HEMAT Sumba. Harapan inilah yang menjadi kekuatan untuk diwujudkan menjadi tindakan nyata. Benar bahwa setiap pelayanan akan menghadapi tantangan yang tidak mudah, tetapi Mazmur ini mendorong aktivis berani mendeklarasikan keyakinan sebagai “harapan” adanya pertolongan Tuhan dalam setiap situasi (ayat 8-11).
 
Di akhir acara Stube-HEMAT Sumba memfasilitasi dialog bersama dengan peserta berkaitan dengan Stube-HEMAT dan program-program. Peserta berharap adanya kolaborasi kegiatan dengan organisasi-oraganisasi anak muda dan perguruan tinggi yang ada di Sumba Timur.
 
Stube-HEMAT Sumba memasuki tahun kesepuluh. Ini bukanlah suatu kebetulan tetapi ini adalah berkat Tuhan. Dari rencana dan harapan itu Stube-HEMAT Sumba ikut ambil bagian untuk melahirkan generasi anak muda yang mampu berkompetisi di berbagai bidang demi kemajuan Sumba.  (Jufri Adipapa).

  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2024 (1)
 2023 (10)
 2022 (27)
 2021 (31)
 2020 (23)
 2019 (22)
 2018 (27)
 2017 (26)
 2016 (7)
 2015 (11)
 2014 (16)
 2013 (4)
 2012 (5)

Total: 210

Kategori

Semua