Memikirkan Kembali Bertani Organik di Sumba

pada hari Senin, 11 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
 
Pertanian organik merupakan pertanian yang selaras dengan alam, seimbang dalam hubungan antara manusia dengan alam, di mana manusia mempertahankan kebiasaan alam dan menggunakan cara alami dalam mengolah lahan pertanian sehingga lingkungan tetap lestari dan keseimbangan ekosistem terus terjaga keberlangsungannya.
 
Seperti di bagian selatan bumi Indonesia yang terbentang berupa hamparan sabana tropis dengan luas wilayah 7.000,5 km2, itulah pulau Sumba. Luasan wilayah daratan pulau Sumba ini menjadi tempat hidup masyarakat Sumba dan berbagai suku lainnya dengan latar belakang budaya dan agama yang beragam serta lahan pertanian dan peternakan sebagai penunjang ekonomi wilayah ini. Pulau Sumba terdiri dari empat kabupaten, yaitu Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya yang memiliki keunikan masing-masing, misalnya Sumba Timur memiliki kawasan pertanian luas yang bisa dibudidayakan oleh penduduknya untuk menghasilkan bahan pangan dengan cara alami tanpa menggunakan bahan kimia. Pada dasarnya pertanian di Sumba masih alami karena terbantu dengan musim, yang mana kemarau lebih panjang daripada penghujan, sehingga pengolahan pertanian hanya dilakukan ketika menjelang musim penghujan. Ketika kemarau lahan pertanian menjadi ladang penggembalaan ternak, secara tidak langsung lahan pertanian beristirahat dan bahkan mendapat pupuk dari kotoran hewan yang meningkatkan unsur hara tanah.
 
Bagaimana peluang pertanian organik di Sumba?
Luas lahan pertanian di Sumba Timur sekitar 8.358,00 Ha, menurut BPS 2014. Ini menunjukkan bahwa peluang pertanian organik di Sumba Timur bisa menjadi modal untuk berkompetisi di pasar lokal maupun nasional. Komoditi untuk pasar lokal seperti sayuran, umbi-umbian, kacang-kacangan. Sedangkan komoditi untuk pasar nasional seperti kacang mete, kapas, pinang, kopi dan coklat. Hasil panen dari lahan pertanian langsung dijual sebagai bahan mentah, belum diolah menjadi produk turunan. Ini berdampak pada rendahnya pendapatan dan minimnya kemampuan inovasi petani. Keberadaan petani tradisional yang bertani secara alami ini mesti dijaga dan bahkan dibantu pengetahuan dan keterampilan memanfaatkan bahan lokal sebagai pupuk dan pestisida organik untuk meningkatkan kualitas tanaman dan hasil panen. Ini tugas setiap pihak yang berkompeten di pertanian melakukan tugas-tugas ini, meskipun secara umum adalah tugas seluruh masyarakat Sumba.
 
Bagaimana minat anak muda Sumba di bidang pertanian?
Pengaruh modernisasi telah mencapai Sumba termasuk anak mudanya. Sebagian besar dari mereka tidak lagi berminat menjadi petani. Mereka lebih memilih bekerja menjadi pegawai negeri sipil atau karyawan perusahaan karena dianggap lebih elit, ada anggapan sebagai petani dapat menurunkan wibawa dan keinginan mendapat uang tanpa menunggu atau berproses seperti bertani dari mengolah lahan, merawat tanaman sampai panen. Ini tidak sepenuhnya salah karena pertanian dianggap belum prospektif. Perlu ada upaya penyadaran dan pengayaan pandang anak muda tentang pertanian yang menunjukkan secara langsung prospek pertanian, seperti yang dialami oleh Frans Fredi dan Aloysius, dua anak muda Sumba yang berani memulai pertanian organik di kawasan Lambanapu, Sumba Timur. Harapannya kiprah dua anak muda ini bisa membangkitkan gerakan anak muda cinta pertanian organik di Sumba.
 
Memang harus diakui, penerapan pertanian organik membutuhkan sinergi pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan, dinas pertanian sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang mendampingi petani, organisasi masyarakat sebagai pengimbang dan para petani yang mengolah lahan pertanian. Ke depannya, sikap optimis, mau belajar dan kesamaan tujuan perlu dimiliki maka pertanian organik di Sumba Timur akan bekembang dan bersaing di pasar nasional. Semoga. (Yanto Umbu Muri).

  Bagikan artikel ini

Menemukan Pesona Pantai Pasir Hitam  

pada hari Senin, 11 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
Pernahkah mendengar nama pantai pasir hitam? Tidak sedikit orang yang mengernyitkan dahi ketika mendapat pertanyaan itu. Jangankan berkunjung, mendengar pun mungkin belum pernah. Benar adanya, memang belum banyak yang mengetahui keberadaan pantai ini. Pantai Pasir Hitam merupakan pantai yang berpasir hitam di kabupaten Sumba Tengah, tepatnya di desa Mananga, kecamatan Mamboro.
 
Keberadaan pantai pasir hitam masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan masyarakat karena mereka beranggapan bahwa pantai ini belum terkenal dan pasir hitam belum dianggap bermanfaat untuk bagi kehidupan mereka. Meskipun demikian pantai ini menarik wisatawan minat khusus untuk datang menyaksikan keunikan pantai ini.
 
Namanya memang mendapat sebutan pasir hitam tapi keterangan sejarahnya belum diketahui secara jelas, tetapi pasir hitam ini merupakan peninggalan nenek moyang dulu dan digambarkan sebagai harta karun yang tersebunyi. Pasir hitam ini menjadi fenomena yang unik, selain berwarna hitam, pasirnya mengkilat dan semakin lengkap dengan pemandangan tebing karang dan ada gua karang yang eksotis dan alami. Ini melengkapi padang sabana yang menghiasi kiri dan kanan jalan menuju pantai.
 
Masyarakat yang tinggal di dekat pantai pasir hitam adalah sebagian besar penduduk beragama Islam karena mereka berasal dari luar Sumba, dan mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Tempat ini sangat cocok bagi para nelayan untuk mencari ikan sehingga hasil tangkapan ikan mudah dijumpai dan orang-orang berkunjung untuk membeli ikan-ikan, selain ke pantai.
 
Perjalanan dari Waingapu menuju pantai pasir hitam sejauh lebih dari 140 kilometer membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat jam dari Waingapu ke arah Waibakul di Sumba Tengah, kemudian berbelok ke kanan menuju arah Mamboro menuju pelabuhan. Belum ada alat transportasi umum jadi akan lebih baik pakai kendaraan roda dua atau empat.
 
 

 

Pantai pasir hitam bisa menjadi tujuan alternatif orang-orang berwisata di Sumba karena mereka akan menemukan beberapa hal, seperti keunikan pasir hitam, melepas stress dan penat dari rutinitas kerja, menikmati kombinasi batu karang yang di atasnya tumbuh pohon-pohonan, menyaksikan padang sabana yang luas dan membeli ikan-ikan hasil tangkapan nelayan. Namun perlu ingat bahwa fasilitas di pantai ini masih terbatas, jadi wisatawan harus mempersiapkan bekal minum dan makanan secukupnya supaya wisata di pantai pasir hitam ini semakin berkesan. (Jekson H. Tana, STT GKS Lewa)

  Bagikan artikel ini

Berdampak dengan Menulis

pada hari Sabtu, 9 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
 
Menulis itu penting karena dengan menulis seseorang bisa menyalurkan hobi, mengungkapkan perasaan dan bahkan mempengaruhi orang lain. Seseorang perlu melatih kemampuan menulisnya karena menulis merupakan gabungan antara pengetahuan dan seni. Jadi, semakin sering menulis seseorang akan semakin fasih dan terampil dalam merangkai kata-kata menjadi tulisan.
 
Kemampuan menulis perlu dimiliki oleh mahasiswa sehingga Stube-HEMAT Sumba sebagai lembaga pendampingan mahasiswa di Sumba memfasiltasi mereka dengan pelatihan JurnalistikPelatihan di Waingapu berlangsung di Sekretariat Stube-HEMAT Sumba sejak Rabu, 16 Mei 2018. Yanto Hangga, salah satu tim Stube-HEMAT Sumba membuka rangkaian pelatihan dengan memandu perkenalan peserta dan menjelaskan program dan tujuan acara sekaligus memperkenalkan Trustha Rembaka, S.Th, koordinator Stube-HEMAT Yogyakarta, yang memfasilitasi pelatihan yang membekali mahasiswa mengenal dan menerapkan keterampilan tulis menulis.
 
Enam belas orang peserta mengikuti pelatihan ini dan mereka berasal dari berbagai kampus di Sumba Timur antara lain kampus Prodi Keperawatan Waingapu, Universitas Kristen Wira Wacana Sumba, AKN Sumba Timur dan beberapa pegiat komunitas seperti Komunitas Ana Humba dan Komunitas Ana Tana.

Dalam perkenalannya Trustha mengajak peserta menceritakan kecamatan masing-masing dan potensi yang dimiliki. Ternyata ada peserta yang kesulitan menjelaskan desa dan potensinya. Sebenarnya pengenalan diri ini menjadi ide awal seseorang untuk mulai menulis, menceritakan menjadi kelebihan dan kekurangan daerah asalnya. Kemudian, melalui tulisan,seseorang akan dikenal bahkan ketika ia sudah tiada, tulisannya tetap abadi. Kita, yang ada di Sumba mengenal tokoh-tokoh Indonesia maupun dunia karena tulisan. Kita mengamini mereka karena pemikiran mereka untuk bangsa dan kemanusiaan yang diwujudkan ke dalam tulisan.
 
Langkah awal menulis adalah mengenal jenis tulisan, sepertireportase, tulisan liputan peristiwa atau kejadian di lapangan sesuai fakta-fakta. Opini, jenis tulisan yang berupa pendapat, gagasan atau ide sebagai respon atas munculnya suatu masalah. Dalam opini penulis menganalisa masalah dan memberikan alternatif penyelesaiannya. Feature, tulisan pendek bersifat informatif dan inspiratif yang membahas tentang tokoh, tempat wisata dan budaya. Dan puisi, tulisan ungkapan perasaan dan terkadang simbolis yang terikat aturan tertentu seperti jumlah baris, jumlah suku kata maupun vokal. Selanjutnya peserta menentukan topik tulisan sesuai dengan minat masing-masing dan membuat kerangka dari tulisan yang akan dibuatnya.
 
Pertemuan berikutnya berupa kelas kecil yang memfasilitasi peserta berdiskusi dengan fasilitator. Ini dilakukan agar pendampingan menulis berjalan lebih efektif dan peserta leluasa dalam mendiskusikan tulisannya. Hanya delapan dari enam belas peserta yang menindaklanjuti pertemuan konsultasi ini. Harus diakui bahwa menulis memang tidak mudah, namun peserta tetap bersemangat menyelesaikan tulisan masing-masing.

 
“Saya terinspirasi dengan pertemuan ini, ternyata menulis bermanfaat bagi saya meski awalnya sulit. Saya bisa menyampaikan informasi, bahkan siapa tahu bisa dimuat di media cetak dan yang penting saya bersemangat belajar jurnalistik itu sendiri”,ungkap Yanto Umbu Muri,mahasiswa Universitas Kristen Wira Wacana Sumba.
 
Menjadi penulis muda yang berdampak harus berawal dari sekarang, dan mulailah menulis dari saat ini. (Sarimita Andani Ata’ambu).


Catatan:
 
Kelas Jurnalistik juga berlangsung di Lewa, memfasilitasi mahasiswa di STT GKS. Ada tujuh mahasiswa program studi Teologi dan Pendidikan Agama Kristen mengikuti kelas ini, mereka berasal dari Mamboro, Kodi, Lewa, Waikabubak dan Waingapu. Mereka mempelajari topik yang sama dengan kelas jurnalistik di Waingapu.
 

  Bagikan artikel ini

Mengembangkan Peternakan Meraih Kemandirian

pada hari Kamis, 7 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
 
Apa yang terlintas dalam benak ketika ada pertanyaan tentang apa saja ternak yang ada di Sumba? Tentu jawaban tidak jauh dari kuda, kerbau, sapi dan babi. Ya, benar, ternak-ternak tadi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sumba baik itu berkaitan dengan pertanian, mata pencaharian, prestis dan budaya.
 
Babi, salah satu jenis ternak yang ada di Sumba, bagi orang Sumba keberadaan babi menjadi bagian tak terpisahkan dengan kehidupan mereka karena ternak babi menjadi sarana dalam urusan adat, di mana orang Sumba sendiri menjunjung tinggi budaya dan ritualnya, artinya bahwa ternak babi sangat dibutuhkan dan stok ternak babi harus selalu tersedia. Selain itu keberadaan ternak babi bisa dianggap sebagaitabungan yang sewaktu-waktu bisa dijual.
 
Ini yang menjadi peluang dan dilihat oleh Aprianto Hangga, salah satu team Stube-HEMAT Sumba, yang sudah berhasil mengembangkan usaha ternak babi. Ia berkata, Saya melihat bahwa kebutuhan ternak babi untuk orang Sumba sangat tinggi, sehingga saya mempunyai keinginan untuk memulai usaha ternak babi yang saya mulai pada tahun 2014, dimana usaha ini berangkat dari hobi juga. Saya juga menemukan bahwa nilai jual ternak babi sangat tinggi di Sumba, dan pada bulan-bulan tertentu permintaan babi sangat tinggi.
 
Tentu bukan tanpa dasar bagi Yanto, panggilan sehari-hari Apriyanto Hangga, lulusan STPMD APMD Yogyakarta ketika memutuskan untuk beternak babi dengan lebih serius. Selain peluang tadi, ia tentu harus meningkatkan kemampuan dirinya tentang pemahaman cara beternak babi dengan baik, dengan mengikuti pelatihan-pelatihan peternakan yang diadakan Stube-HEMAT Sumba dan lembaga-lembaga lainnya di Sumba Timur.
 
Akhirnya Yanto berniat mengembangkan usaha tersebut melalui bantuan penguatan modal ke Stube-HEMAT Sumba. Setelah berdiskusi dan wawancara tentang rencana usaha tersebut, Stube-HEMAT memberikan pinjaman lunak untuk penguatan modal sebesar 6.000.000 rupiah untuk mengembangkan usaha ternak babi. Dari modal tersebut Yanto membeli anak babi sejumlah 20 ekor. Anak babi tersebut dipelihara selama tujuh bulan dan penjualan babi-babi tersebut menghasilkan penjualan kotor 80 juta rupiah.
 
Yanto membagikan pengalamannya dalam mengelola ternaknya, seperti dalam pemberian makanan untuk ternak babi dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore), makan harus teratur, kandangnya juga harus dibersihkan dan babi perlu disiram dua kali dalam sehari. Berkaitan dengan kesehatan, ternak babimiliknya tidak mendapat vaksin dari dinas peternakan, tetapisebagai gantinya diberikan asupan daun pepaya dan selama ini tidak ada ternak babinya yang sakit atau mati. Ia dan keluarganya sangat bersyukur dengan usaha ternak babi ini karena sangat menolong sebagai pendapatan keluarga meskipun awalnya dari hobi saja.
 
Bagi anak muda Sumba, Yanto berpesan bahwa dalam menjalanisuatu usaha, tentu ada kendala yang harus dihadapi seperti yang dia alami, misalnya berubah-ubahnya harga babi dipasaran. Ketika kebutuhan ternak babi menurun, maka akan berdampak pada turunnya harga babi, namun sebaliknya, harga babi akan naik ketika permintaan naik dan persediaan babi menurun. Biasanya musim bagus untuk ternak babi terjadi pada bulan Mei sampai Agustus. Tetapi jangan pernah menyerah, tekun dan berusaha sebaik-baiknya dalam memulai usaha ternak ini.
 
Bagaimana dengan kita yang belum punya usaha produktif? Mari anak muda, bangun motivasi dan jeli melihat berbagai potensi yang ada di Sumba karena peluang usaha masih terbuka dan salah satunya adalah peternakan. (Naser Randa Hailu Poti).

 


  Bagikan artikel ini

Perempuan dan Laki-laki, Setara?

pada hari Kamis, 7 Juni 2018
oleh adminstube
Perempuan dan Laki-laki, Setara?
 
Kasus berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan marak terjadi di Indonesia. Ini menjadi permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius bangsa ini. Ketidaksetaraan terhadap perempuan terjadi di berbagai aspek seperti kesempatan menyampaikan pendapat, partisipasi di organisasi kemasyarakatan dan layanan publik. Hal ini menjadi tanggung jawab berbagai pihak agar bergotong-royong berjuang melawan ketidaksetaraan gender.

Saat ini masyarakat Indonesia, khususnya perempuan, sedang gencar-gencarnya memperjuangkan hak perempuan agar setara dengan laki-laki. Ada pun hal yang dilakukan seperti aksi demonstrasi, pertunjukan seni serta menulis hal-hal yang berkaitan dengan perempuan. Hal ini biasa dikenal dengan kesetaraan gender yang berarti suatu keadaan di mana adanya posisi, perlakuan dan peran yang adil dan seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Kesetaraan gender di Indonesia belum sepenuhnya terwujud karena berbagai penyebab, seperti kurangnya pengetahuan tentang kesetaraan gender, asumsi masyarakat yang berkembang bahwa perempuan lemah, masih kuatnya patriarkhi dan rendahnya partisipasi perempuan dalam sektor-sektor publik.
 
Sebuah contoh konkret yang terjadi dalam bidang politik di mana kaum laki-laki masih dominan, dengan data dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam Pilkada serentak 2017  terdapat sedikitnya 7,17%  keterlibatan perempuan dari total 614 calon kepala daerah dari seluruh Indonesia (perludem.org). Padahal tidak sedikit perempuan yang berpotensi besar dalam menyumbangkan pemikirannya untuk bangsa dan negara, ditandai dengan peran guru perempuan yang ‘melahirkan’ orang-orang hebat.

 
Di Sumba, salah satu pulau di propinsi Nusa Tenggara Timur juga terjadi ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki, seperti kesempatan untuk menempuh studi sampai perguruan tinggi di mana anak laki-laki mendapat kesempatan lebih besar daripada anak perempuan, dalam pertemuan untuk mengambil keputusan kaum laki-laki cenderung lebih dominan dalam berpendapat, dan di beberapa situasi lainnya. Ini artinya perjuangan mewujudkan kesetaraan gender masih harus menempuh perjalanan panjang dan membutuhkan partisipasi berbagai pihak sehingga tantangan ketidaksetaraan gender bisa diatasi.
 
Peran Gereja, gereja termasuk bagian yang penting untuk mewujudkan kesetaraan gender. Pemimpin gereja dalam pelayanan gereja harus memasukkan proses penyadaran kepada umat tentang pentingnya peran perempuan yang bisa diwujudkan dalam pengambilan keputusan, pelayanan dan aktivitas yang berguna bagi gereja dan masyarakat.
 
Peran Pemerintah, sebagai pemangku kebijakan, pemerintah perlu memberikan perhatian dan keberpihakan kepada perempuan, melalui diskusi pemberdayaan perempuan yang melibatkan masyarakat dan memunculkan pemahaman baru tentang patriarki yang menganggap bahwa lelaki adalah kaum superior. Selain itu, mengurangi stigma yang terlanjur berkembang di masyarakat bahwa perempuan sebagai makhluk tak berdaya serta ’penghuni dapur’.
 
Peran Keluarga, tak kalah penting karena keluarga sangat dibutuhkan dalam mendidik anak tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, karena perilaku yang muncul di tengah-tengah masyarakat adalah cerminan yangterjadi di dalam keluarga.
 
Akhirnya, jika engkau peduli pada dirimu, ibumu, perempuanmu dan perempuanku, mari bersama berjuang mewujudkan kesetaraan gender di Sumba dan di negeri tercinta ini. (Antonia Maria Oy).

 

 

  Bagikan artikel ini

Titus Wanda: Pengawal Seni dan Tradisi Sumba

pada hari Kamis, 7 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
 
“Limalangu, limalangu”, kata seorang paruh baya seiring melangkah keluar dari rumahnya menyambut kedatangan kami di sanggar seni Waimiripu Tana Mbokar, Kalumbang, Sumba Timur. Dia adalah Titus Wanda, tokoh dan praktisi seni Sumba Timur yang lahir 19 Juni 1947. Kata ‘limalangu’ ini sendiri memiliki makna damai di hati, sambutan yang menghadirkan rasa damai di dalam hati.
 
Nama Titus Wanda sudah tidak asing di kalangan masyarakat setempat karena semangat dan cintanya pada seni budaya Sumba sehingga ia mengabdikan hidupnya untuk melestarikan seni budaya Sumba melalui sanggar seni bernama Waimiripu Tana Mbokar, yang bisa diterjemahkan sebagai air hidup tanah yang lestari, sehingga bisa diterjemahkan sebagai menyuburkan kembali tarian asli Sumba sehingga tetap lestari.
 
Ia mengakui kemajuan zaman memang tidak bisa dihindari termasuk di Sumba dan generasi muda Sumba juga mengalami ini. Mereka tertarik pada sesuatu yang modern tetapi lupa dengan budayanya sendiri karena tidak ada yang mengenalkannya. Lebih lagi praktisi seni tradisi Sumba sudah tua dan jika tidak diwariskan maka pengetahuan akan hilang. Ia bertindak untuk mendirikan sanggar untuk melestarikan tarian-tarian Sumba dan bahasa daerah yang hampir punah dan mencegah pengaruh negatif dari budaya lain, sekaligus meningkatkan dan mengarahkan segala kegiatan kesenian Sumba, khususnya budaya Sumba yang asli, seperti tari-tarian, nyanyi-nyanyian, seruan, kain tenunan dan alat-alat seni budaya.
 
Untuk itulah pada tanggal 17 Agustus 2004 sanggar Waimiripu Tana Mbokar resmi berdiri dan berpusat di Kalumbang, Sumba Timur. Penegasan keberadaan sanggar ini semakin kuat setelah mendapat akte notaris pada tanggal 15 Juli 2015 ketika ia mendaftarkan sanggar seni ini ke Dinas Pariwisata kabupaten Sumba Timur sebagai cara untuk menunjukkan keberadaan sanggar Waimiripu Tana Mbokar. Pengurus sanggar ini antara lain Titus Wanda, Afliani, Christofel Njurumana (camat), Dominggus (camat) dan Dedimus J. Dewa (pensiunan PNS),
 
Kegiatan di sanggar dilaksanakan dua kali dalam satu minggu di Kalumbang. Peserta tari-tarian adalah anak usia SD sampai SMA, yang terbagi dalam enam penari perempuan dan empat penari laki-laki, dua orang penabuh tambur, empat orang kakalak dan empat orang pemukul gong. Usia penari anak-anak adalah 5-10 tahun dan penari dewasa 11-20 tahun. Tarian yang sering ditampilkan adalah Ninggu Harama (tarian perang) yang terdiri dua penari perempuan yang memegang parang dan dua penari laki-laki yang memegang tameng dan tombak untuk membela diri. Ada juga tarian hiburan seperti tarianKabokang dan tarian Kandingang yang dilakukan oleh empat penari laki-laki dan enam penari perempuan. Sanggar ini beberapa kali tampil di acara tingkat propinsi, peringatan kemerdekaan, penyambutan tamu, ucapan syukur, ulang tahun gereja, dan pernikahan. Pemasukan dana dari undangan pentas tersebut dibagikan merata kepada anggota sanggar.
 
Titus Wanda yang pernah menjadi fasilitator pelatihan pariwisata Stube-HEMAT Sumba juga menjelaskan makna gambar di kain tenun Sumba, seperti kuda (ndjara) melambangkan kesejahteraan atau keperkasaan, ayam (manu) melambangkan kepemimpinan dan kepahlawanan, burung kakaktua melambangkan musyawarah, manusia melambangkan nenek moyang yang selalu dikagumi, tengkorak manusia (andung) melambangkan mereka mati mempertahankan keamanan, rusa melambangkan kesombongan atau tinggi hati, sementara udang melambangkan bahwa di balik kematian akan ada kebangkitan. “Ini yang bisa saya lakukan untuk melestarikan seni budaya Sumba dan saya bisa berkarya untuk masyarakat, gereja dan adat Sumba. Kita saling mendoakan terus damai di dalam hati kita masing-masing, limalangu”, pungkas Titus Wanda yang juga aktif terlibat dalam pelayanan di Gereja Kristen Sumba jemaat Payeti, Waingapu.
 
Ya, harus diakui bahwa kelestarian suatu seni dan budaya suatu daerah, khususnya Sumba kembali pada kepedulian dan komitmen generasi yang hidup saat ini untuk menjaga dan melestarikannya. Semoga. (Valentino).

  Bagikan artikel ini

Kampung Tambera: Bagai Menjelajah ke Masa Silam

pada hari Rabu, 6 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
 
Sebuah keinginan yang lama terpendam akhirnya terwujud ketika saya mengunjungi kampung Tambera yang terletak di desa Doka Kaka, kecamatan Loli, kabupaten Sumba Barat ketika mengikuti acara festival Wai Humba VI tahun 2017. Wai Humba sendiri adalah sebuah acara yang bertujuan mengingatkan hubungan manusia dan Sang Pencipta yang diwujudkan dalam kepedulian terhadap alam dan lingkungan. Saat itu festival Wai Humba menakati tema ‘Kami Bukan Humba yang Menuju Kemusnahan.
 
Perjalanan dari Waingapu, ibukota kabupaten Sumba Timur menuju kampung Tambera membutuhkan waktu sekitar tiga jam menggunakan oto atau motor. Namun kendaraan tidak bisa menjangkau sampai halaman kampung ini karena ada anak tangga berjumlah sekitar 20 anak tangga untuk naik sampai ke halaman kampung. Untuk masuk ke kampung ini saya harus berjalan kaki dari kantor desa hingga mencapai jalan mendaki karena kampung ini berada di puncak bukit dan dikelilingi pepohonan yang rimbun.
 
Halaman kampung ini bertingkat-tingkat karena menyesuaikan permukaan tanah dan tidak rata karena ada batu-batuan besar maupun kecil tersebar di sekitar kampung. Rumah-rumah adat terletak di bagian tepi dan bertangga-tangga dari gerbang masuk hingga ke ujung kampung. Tiang dan balai-balai rumah kebanyakan menggunakan kayu hutan yang bulat. Di tengah halaman terdapat kubur batu yang bentuknya bervariasi pula, ada yang bulat, memanjang dan persegi.
 
Saya merasakan suasana berbeda ketika berada di kampung ini seperti udara yang sejuk, dikelilingi banyak pohon, masyarakat di kampung ini ramah dan bersahabat yang mencerminkan hidup yang tenang dan tenteram. Pengunjung diharapkan menjaga sikap selama berada di kampung ini dan saya pun harus menjaga mulut supaya tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak berkenan di hati rato (kepala kampung adat) karena adat di kampung ini masih sangat kental.
 
Kampung ini merupakan kampung Ina (ibu)-Ama (bapak) atau kampung adat utama suku Loli, sekaligus pusat pelaksanaan ritual Wulla Poddu, sebuah ritual suci penganut Marapu, kepercayaan tradisional penduduk asli Sumba. Ritual ini dilakukan selama sebulan penuh.
 
Keunikan lain yang saya temukan di kampung ini antara lain, penghuni tidak boleh menggunakan bahan perasa ketika memasak makanan dan hanya boleh menggunakan daun kemangi atau sejenisnya yang berbahan alami untuk membuat bumbu makanan, bahkan garam pun tidak boleh digunakan, meskipun demikian masakan tetap terasa nikmat ketika dimakan. Namun bukan berarti penduduk kampung Tambera tidak menggunakan garam, karena penduduk yang tinggal dalam kampung ini, hanya orang tertentu saja yang mendiami atau menjaga kampung ini.
 
Saya bersyukur bisa mengunjungi kampung Tambera dan kagum dengan keberadaan bangunan rumah yang tua tetapi terawat. Di sini saya belajar bagaimana berjuang mencapai tujuan, menyatu dalam alam dan menghargai adat istidat yang telah berlangsung ratusan tahun sampai saat ini. (Apronia Dai Duka).

  Bagikan artikel ini

Orang Muda Jatuh Hati pada Pertanian

pada hari Selasa, 5 Juni 2018
oleh adminstube

 

 
 
 
Kabupaten Sumba Timur adalah salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang kaya akan sumber daya alam dan salah satunya adalah pertanian. Luas lahan basah di kabupaten Sumba Timur 15.601 Ha dan luas lahan kering 547.701 Ha (BPS kabupaten Sumba Timur, 2016:193-197). Secara astronomis kabupaten Sumba Timur terletak antara 119°45-120°52 Bujur Timur (BT) dan 9°16-10°20 Lintang Selatan (LS). Secara geografis, Kabupaten Sumba Timur memiliki batas-batas utara dengan selat Sumba, selatan dengan lautan Hindia, timur dengan laut Sabu, barat dengan Kabupaten Sumba Tengah (BPS Kabupaten Sumba Timur, 2016: 3).
 
Tingkat permintaan pasar di kota Waingapu mengalami ketidakstabilan supply, terkadang produksi berlebih, sebaliknya bisa kekurangan persediaan. Ada beberapa sentrahortikultura yang menyokong pasar Waingapu yakni desa Marada Mundi dan Kiritana, kelurahan Lambanapu, Mauliru, Maulumbi, Mau Hau dan Kawangu. Beberapa wilayah di atas bisa produksi pertanian pada musim kemarau, namun sebagian lainnya tidak dapat berproduksi karena berada di pinggiran sungai (desa Marada Mundi, desa Kiritana) dan beberapa wilayah lain belum mampu berinovasi pertanian pada musim hujan.
 
Kenyataan di atas adalah salah satu masalah sosial sekaligus peluang usaha di bidang pertanian hortikultura. Beberapa orang muda yang masih berstatus mahasiswa ekonomi dan beberapa di antaranya adalah anggota Stube-HEMAT Sumba,melihat ini sebagai peluang bisnis, oleh karena itu terbentuk Komunitas Petani Muda yang mengambil keputusan untuk menjadi pelaku usaha di bidang pertanian. Strategi yang dilakukan dalam membangun usaha pertanian yakni dengan membentuk sentra-sentra produksi pertanian. Tujuan usaha ini adalah memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal dan memperkenalkan kepada publik, bahwa suatu desa atau tempat dapat dikenal dengan produk-produk unggulannya.
 
Komunitas Petani Muda berjejaring dengan perusahaan Panah Merah, penyedia benih-benih unggul dan terpercaya bagi masyarakat. Komunitas ini memiliki anggota muda, yakni Frans Fredi Kalikit Bara, Aloysius Umbu Sili Ndingu, Hendrikus Hina Lunggu Manu dan Fransiskus K. Halang. Strategi pemasaran yang dilakukan yaitu menggunakan media sosial seperti Facebook, Whatsapp,  kartu identitas usaha dan melakukan pendekatan langsung dengan pihak pembeli yang ada di pasar dan di warung-warung makan. Komunitas ini optimis pada usaha pertanian berbasis sentra produksi. Ada satu alasan penting, kami mengeluti ini karena pertanian adalah kebutuhan pangan atau kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi setiap waktu karena konsumen pasti membutuhkan pangan setiap saat. Bisnis pertanian adalah salah satu usaha beromset besar jika serius dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan inovasi pertanian. Selain itu, permintaan pasar terhadap pangan tidak akan pernah terputus.
 
Saat ini Frans Fredi Kalikit Bara dan Aloysius Umbu Sili Ndingu sedang membangun usaha Hortikultura dan mengembangkan tanaman cabe sejumlah 4.000 bibit, semangka 1.000 bibit dan beberapa tanaman lain seperti melon, kol, pepaya Kalifornia, terong ungu dan paria di Lambanapu. Sedang Hendrikus Hina Lunggu Manu dan Fransiskus K. Halang mengembangkan usaha jagung hibrida di lahan 2 Ha di Kadumbul.
 
Pengembangan usaha komunitas ini tidak hanya terfokus pada anggota tetapi juga melakukan pembinaan-pembinaan bagi orang muda sehingga dapat bertumbuh sebagai pelaku usaha muda dan dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. (Frans Fredi Kalikit Bara)

  Bagikan artikel ini

Tangisan Bocah   (Valentino)

pada hari Senin, 4 Juni 2018
oleh adminstube
 
Latar belakang
Masyarakat mendapatkan janji-janji sekolah gratis dari para calon pejabat saat menjelang pemilihan. Namun setelah pemilihan dan bahkan terpilih, ternyata janji-janji mereka hanya tertinggal di mulut saja, mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri tanpa memperhatikan masyarakat. Sampai saat ini sebagian anak-anak di wilayah Sumba Timur masih mengalami keterbatasan fasilitas pendidikan.
 
 
Mengapa kau terlihat gelisah?
Mengapa wajahmu pucat?
Mengapa matamu kering?
Apakah dirimu dilanda sakit?
 
Aku doakan semoga engkau segera sembuh,
Dan memenuhi janji-janjimu
Menawarkan pendidikan gratis
Untuk masa depan anak bangsa.
 
Sekumpulan bocah menangis
Ingin belajar membaca dan menulis
Kawan sebaya ikut meringis
Terganjal pendidikan karena bisnis
 
Dalam hati menjerit teriris
Karena harapan pendidikan gratis
Hanya meleleh di bibir manis
Tapi bocah-bocah tak henti berjuang

  Bagikan artikel ini

Sakit (Valentino)

pada hari Minggu, 3 Juni 2018
oleh adminstube
 
 
Latar Belakang
Anak-anak di Sumba terbiasa dengan kekerasan yang mereka alami ketika ada hal yang dianggap kurang pas. Sebenarnya kekerasan fisik maupun kata-kata terhadap anak yang terjadi di dalam keluarga berpengaruh menurunkan mental dari anak tersebut dan berdampak lainnya di diri anak.
 
Puisi ini saya tulis agar menyadarkan kepada orang tua agar tidak berbuat kekerasan kepada anaknya.
 
 
 
Saat sang surya mulai terbenam
Burung-burung kembali pada sangkarnya
Bunga-bunga tertutup kuncupnya
Jalan-jalan mulai sunyi
 
Betapa terkejutnya aku
Seakan tak percaya aku
Melihat anak itu dipukuli oleh ibunya
Karena tidak menuruti keinginan ibunya
 
Betapa malangnya nasib anak itu
Dia dipukul tanpa belas kasihan
Hanya bisa menangis, menjerit, ampun mama
dan menahan rasa sakit di hati
 
Mengapa nasibmu begitu malang
Menanggung derita seorang diri
Hanya tangisan pasrah dan doa
Tuhan kuatkanlah hambamu

  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2024 (1)
 2023 (10)
 2022 (27)
 2021 (31)
 2020 (23)
 2019 (22)
 2018 (27)
 2017 (26)
 2016 (7)
 2015 (11)
 2014 (16)
 2013 (4)
 2012 (5)

Total: 210

Kategori

Semua