Ramah Lingkungan Dengan Tenun Pewarna Alam

pada hari Sabtu, 12 Desember 2020
oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd.

 

Keindahan kain tenun Sumba diakui sungguh memikat, terlebih dengan bahan warna alami, akan terlihat megah dan elegan. Setiap tumbuhan dapat menjadi sumber zat pewarna alami karena mengandung pigmen alam, baik kulit kayu, batang, daun, akar dan daging buah. Potensi sumber pewarna alami ditentukan oleh intensitas warna yang dihasilkan serta bergantung pada jenis warna yang ada pada tanaman tersebut. Zat warna alam telah direkomendasikan banyak orang sebagai pewarna yang ramah baik bagi lingkungan maupun kesehatan karena komponen alaminya mempunyai nilai beban pencemaran yang relatif rendah dan tidak beracun.

 

Salah satu materi yang perlu dipahami oleh kelompok tenun perempuan Tanatuku adalah pengenalan tanaman pewarna tenun ikat. Tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna dapat diperoleh di sekitar lingkungan tempat tinggal, sehingga hemat biaya. Keunggulan dari zat warna alam yaitu warna yang dihasilkan sangat variatif dan unik, intensitas warna terhadap kornea mata terasa menyejukkan sehingga akan menyehatkan mata, dan mengandung antioksidan sehingga nyaman dan aman apabila kita gunakan. Kain tenun ikat Sumba Timur pada umumnya menggunakan zat pewarna dari daun pohon nila (Indofera) penghasil warna biru, akar mengkudu (Morinda citrifelia) penghasil warna merah, kunyit (curcuma) penghasil warna kuning dan kemiri.

 

Tanggal 10 dan 11 Desember 2020, di sela menyelesaikan ikat motif benang, peserta kelompok tenun mendalami cara tahapan perendaman dari pewarna alam. Mama Yustina pelatih tenun menjelaskan kepada mereka langkah-langkah pemanfaatan pohon nila untuk bahan pewarna mulai dari daun, batang dan akar. Beliau mengajak peserta untuk memetik tumbuhan nila yang ada di depan rumah untuk mempraktekkan cara perendamannya hingga nanti mendapatkan hasilnya. Kain tenun yang menggunakan zat warna alam memiliki nilai jual atau nilai ekonomi yang tinggi karena memiliki nilai seni dan warna khas sehingga berkesan etnik dan ramah lingkungan. Setiap proses pewarnaan butuh waktu hampir sepekan karena satu kain bisa terdiri dari tiga warna, sehingga proses pewarnaannya bisa memakan waktu satu bulan. Setelah semua pewarnaan selesai, kain harus dicelup ke dalam minyak kemiri, baru kemudian dikeringkan.

 

 

Saat ini tahapan untuk ikat benang sudah selesai, tinggal menunggu hasil dari racikan pewarna untuk melakukan perendaman. Para peserta kelompok tenun sudah tidak sabar melihat kain tenun buatan mereka direndam pada pewarna alam, sekaligus sebagai acuan pembuktian kualitas ikatan yang mereka lakukan pada benang. Setelah tahapan pewarnaan, barulah masuk proses yang sesungguhnya yaitu menenun. Proses ini adalah akhir dari sebuah pembuatan kain tenun yang masih membutuhkan waktu yang cukup lama hingga berbulan-bulan. Tetapi karena dilakukan secara bersama-sama dan bergotong royong maka proses ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya.

 

Dengan semangat kekompakan yang dimiliki membuat kelompok ini aktif dan hidup. Saat ini program tenun ini sudah diketahui oleh banyak orang, tidak hanya di desa Tanatuku tetapi di desa-desa tetangga juga mengetahui ada kelompok tenun yang sedang berjalan. Banyak dari mereka yang sudah memesan dibuatkan selendang, sarung dan kain jika nanti kelompok tenun Stube HEMAT ini sudah banyak menciptakan karya tenunnya. Terus semangat kaum perempuan.***


  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2024 (1)
 2023 (10)
 2022 (27)
 2021 (31)
 2020 (23)
 2019 (22)
 2018 (27)
 2017 (26)
 2016 (7)
 2015 (11)
 2014 (16)
 2013 (4)
 2012 (5)

Total: 210

Kategori

Semua