Hidup gotong-royong dan kerja bersama membuat lebih mudah mencapai hasil yang didambakan karena gotong royong memperingan serta mempercepat penyelesaian pekerjaan yang dilakukan. Sehingga sangat penting menumbuhkan pribadi yang mau saling tolong menolong dengan tulus dan mampu menciptkan rasa kebersamaan. Hal ini bisa berpengaruh pada produktivitas kerja serta menciptakan persatuan dan kesatuan dalam masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok tenun Stube-HEMAT saat ini, mulai dari awal pengerjaan benang tenun hingga sekarang mereka masih terus saling bekerja bersama-sama. Kekompakan yang terbangun membuat kelompok ini aktif dan produktif.
Proses yang saat ini dilakukan adalah pengolahan ramuan bahan pewarna melalui proses perminyakan pada hemba atau benang motif (Rabu, 27/01/2021). Sudah tersedia 22 benang sarung motif atau Hemba yang siap diwarnai. Dari 22 Hemba, 10 lembar akan menggunakan pewarna alam biru (kawuru) dan yang lain berwarna merah (Kombu). Tujuan menggunakan dua pewarna ialah agar peserta kelompok tenun bisa langsung mempelajari 2 tahapan pewarna alam sekaligus. Sebagai proses awal pewarnaan kombu, Mama Yustina (pelatih tenun) bersama dengan kelompok tenun melakukan tahapan pengolahan ramuan perminyakan pada benang motif yang sudah tersedia. Sebelum dicelup dalam ramuan kombu, terlebih dahulu hemba dicelup dalam ramuan kemiri dan kulit kayu Walakeri yang ditumbuk halus hingga menghasilkan minyak. Pencelupan memakan waktu 1 hingga 2 malam, selanjutnya dijemur sampai kering selama beberapa hari. Tujuan hemba dicelup dalam ramuan kemiri adalah untuk mengikat atau memudahkan lekatnya warna merah pada benang untuk menghasilkan warna merah terbaik. Setelah proses ini selesai barulah masuk proses penggunaan akar mengkudu atau kombu.
Peserta kelompok tenun yang terdiri dari pemudi dan ibu-ibu sangat bersemangat dan antusias dalam menyelesaikan tahapan ini. Kemiri dan kulit kayu yang tersedia mereka tumbuk jadi satu hingga halus, direndam dan diperas airnya hingga mengeluarkan minyak. Kegiatan ini dimulai dari pukul 15.00 dan selesai pada pukul 21.00 malam. Kelompok tenun kembali menyiapkan tambahan bahan ramuan pewarna biru yaitu daun (nila) (Jumat, 29/01/2021). Daun nila dibersihkan dan diletakkan dalam bokor untuk perendaman. Rendaman daun nila dicampur abu dapur dan kapur sirih untuk memperoleh warna biru muda, biru tua dan hitam. Pekerjaan mewarnai dengan rendaman daun nila ini disebut Nggilingu. Selain itu, peserta juga menyiapkan benang baru untuk belajar mendesain berbagai macam motif tenun.
Rata-rata peserta mengakui baru pertama kali melihat dan mempraktekkan langsung cara pengolahan ramuan bahan pewarna alam. Ada hal baru yang mereka pelajari seperti bahan ramuan yang digunakan dan cara pengolahannya. Beberapa peserta berpendapat bahwa wajar jika harga kain tenun asli Sumba Timur terkenal mahal karena proses pembuatannya cukup menyita waktu dan tenaga. Sebagian besar peserta merupakan pemula dalam hal tenun, harapannya jika mereka sudah trampil, mereka bisa menjadi guru untuk anak-anak dan keluarga mereka. Sehingga pengetahuan tidak berhenti pada mereka, tetapi juga diwariskan kepada anak-anaknya atau generasi selanjutnya, sehingga budaya ini tidak akan hilang dari Sumba. **