Oleh: Elisabeth Uru Ndaya
Sumber daya ekonomi yang dimiliki rumah tangga tidak hanya menuntut peran laki-laki sebagai kepala keluarga, namun juga melibatkan perempuan untuk berperan menopang ketahanan ekonomi keluarga. Kondisi demikian menjadi dorongan bagi perempuan agar memiliki ketrampilan. Melibatkan perempuan melalui pemberdayaan dengan meningkatkan keterampilan sumber daya yang ada sangatlah penting. Membuat kain tenun Sumba Timur tidak hanya memikirkan bagaimana melestarikan budaya tetapi juga usaha pemberdayaan perempuan. Sumber daya yang ada harus senantiasa ditingkatkan keahliannya sehingga bisa menghasilkan karya tenun yang memiliki daya saing di pasaran. Sudah saatnya para penenun semakin menghargai karya yang dikerjakan dengan menekuni setiap proses yang ada. Seperti dari awal sampai akhir proses pembuatan, bahan-bahan tanaman dari alam yang bisa dibudidayakan dan ramah lingkungan tetap dipakai dengan memperhatikan desain motif tenun.
Di sela-sela menggulung benang, multiplikator mengajak peserta kelompok berdiskusi membahas buku berjudul ‘Karya Adiluhung’ yang menguak spiritualitas dan simbolisme dibalik seni tenun ikat pewarna alam Sumba Timur (2/10/2021). Buku tersebut menceritakan banyak hal yang berkaitan tentang tenun ikat Sumba Timur yang ternyata menyimpan potensi lain yakni sebagai fondasi sekaligus pendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Sebagai langkah awal, peserta kelompok terlebih dahulu mendalami 42 langkah menenun karena kebetulan mereka ada dalam tahapan awal menggulung benang untuk membuat selembar kain. Karna itu sangat penting bagi mereka untuk mengetahui lebih luas tentang tahapan-tahapan tenun yang mereka lalui. Elisabeth Uru Ndaya menjelaskan bahwa di dalam buku tersebut ada 6 topik besar yang merangkum ke 42 langkah dalam menenun, seperti yang pertama menjelaskan tentang memintal kapas menjadi benang dan menggulungya. Kedua, pamening yaitu rangkaian kegiatan menyiapkan lungsin (benang-benang yang telah disusun menjadi sebentuk kanvas untuk diikat). Ketiga, mendesain lukisan motif di kain. Keempat, pewarnaan benang, kelima menyiapkan proses menenun dan yang terakhir proses menenun hingga tahap penyelesaiannya.
Sebagian peserta kelompok merasa terkejut dengan begitu banyak langkah, meskipun secara tidak sadar mereka sudah melaluinya. Secara teori mereka merasa bahwa langkah-langkah menenun sangat sulit untuk diikuti dan dikerjakan. Namun ketika mengingat kembali proses yang sudah dilalui selama setahun, tidak mengurangi niat mereka untuk terus berproses. Karena mereka yakin bahwa setiap kerja keras yang ditekuni nantinya akan membuahkan hasil. Adrina Ipa Hoi, salah satu peserta muda dalam kelompok tenun berkata, “Ternyata menenun tidak gampang, kita tidak sadar selama ini kita sudah lalui ke 42 tahapan itu, dan bagi saya baru sekitar 30an langkah yang saya yakini saya bisa, sisanya masih harus belajar lagi. Untung saja dengan ada ini buku membantu kita mengetahui langkah yang mana saja yang sudah dan belum kita pahami”.
Bagaimanapun sulitnya berproses, ketrampilan membuat tenun ikat terbukti telah melahirkan karya seni yang diakui dunia. Para kolektor tenun di berbagai belahan bumi ini bahkan memperlakukan koleksi tenun ikat Sumba sebagai sebuah mahakarya. Tenun ikat pun kini menjadi salah satu karya yang mampu menopang kehidupan ekonomi keluarga. Saatnya para seniman tenun dan perempuan-perempuan Sumba menghormati keahlian tersebut dengan terus menekuni ketrampilan tenun hingga mampu berdaya saing secara internasional.