FOLLOW-UP PERTANIAN ORGANIK Datang, Belajar dan Praktekkan

pada hari Senin, 26 September 2016
oleh adminstube
 
 
 
Eksposur merupakan proses pembelajaran di mana peserta berinteraksi dan belajar langsung terhadap suatu topik pembelajaran. Bentuk pembelajaran ini memberikan manfaat besar karena peserta terlibat langsung dalam proses pembelajaran guna membentuk suatu pengalaman dalam menemukan hal-hal baru. Eksposur dilakukan di tempat tertentu yang berkaitan dengan topik pelatihan untuk melengkapi proses belajar peserta.
 
 
Proses pembelajaran di Stube-HEMAT Sumba pun mempertimbangkan hal itu dan pelatihan Pertanian Organik: Keragaman Pangan yang diadakan di GKS Kawangu, Sumba Timur, 16-18 September 2016 bertema ‘Mau Makan? Ya Nggak Harus Nasi’ berlanjut pada hari Sabtu, 24 September 2016 berupa eksposur ke Kelompok Wanita Tani (KWT) Rinjung Pahamu, di Wangga, Waingapu.
 
 
Dua puluh empat orang yang sebagian besar mahasiswa, didampingi oleh Yulius Anawari dan Apriyanto Hangga, anggota team Stube-HEMAT Sumba mengadakan eksposur ke KWT Rinjung Pahamu. Kelompok ini dipilih karena sudah mandiri dalam mengelola kebun sayurnya yang terdiri dari berbagai jenis sayuran seperti kacang panjang, sayur putih (sawi), terong, tomat, kangkung, pepaya dan paria. Tanaman pangan pun tersedia di kebun itu seperti ubi jalar (petatas), singkong dan jagung.
 
 
 
 
Naomi Tamar Pangambang, ketua KWT Rinjung Pahammu mengajak para peserta ke kebun dan berdialog tentang kebun sayur kelompok. Ia menyampaikan langkah-langkah pengolahan lahan dan penanaman sayuran. Pertama, bersihkan lahan yang akan digunakan dan buatlah bedengan. Selanjutnya tabur pupuk dari kotoran ternak yang sudah diolah ke dalam bedengan dan biarkan selama dua minggu. Kedua, sambil menunggu pupuk menyatu dengan tanah, semai bibit sayuran di persemaian dan siram secara rutin. Bibit akan tumbuh dalam waktu dua minggu dan siap dipindah ke bedengan. Ketiga, siram tanaman setiap pagi dan sore, gemburkan tanah dan bersihkan rumput yang tumbuh di antara tanaman. Keempat, jika ada gejala penyakit, lakukan penyemprotan hama menggunakan bahan alami, seperti fermentasi daun gamal, daun mahoni, cabe dan bahan lainnya. Proses itu dilakukan sampai masa panen.


 
Setelah pengamatan dan berdialog langsung dengan ibu Naomi, peserta makan bersama dengan menu nasi jagung, sayuran dan ubi hasil dari kebun. Sebenarnya ada banyak manfaat yang diperoleh jika memiliki kebun sayur mandiri, seperti tersedianya sayuran, lebih sehat karena dirawat secara organik, lebih hemat biaya belanja sayuran dan bisa belajar bercocok tanam. Setelah eksposur para peserta ditantang ide kreativitasnya memanfaatkan pekarangan rumah, misalnya mengolah pekarangan mereka menjadi kebun sayur rumah tangga.
 
Sekembalinya dari Wangga, para peserta berkumpul di sekretariat Stube-HEMAT Sumba dan memikirkan kembali pembelajaran yang baru saja mereka dapat dan akan memulai mengolah pekarangan rumah sebagai kebun kecil mereka. Sebagai langkah awal, team Stube-HEMAT Sumba menyediakan bibit sayuran seperti kangkung, sawi, bayam, terong, paria dan ubi jalar (petatas) dan mereka memilih bibit tanaman yang akan mereka tanam.

 

Jufri Adipapa, mahasiswa Unkriswina memanfaatkan pekarangan sekretariat Stube-HEMAT Sumba untuk menanam jagung, cabe paria dan terong. Marten Rangga Mbani, salah satu peserta, mahasiswa STT Terpadu, Waingapu yang tinggal di Mboka menanam kangkung, sawi, bayam dan petatas. Ia berhasil panen sawi, sedangkan kangkung tidak berhasil karena kesulitan air, sedangkan ubi petatas belum masanya panen. Yati dan Meli di STT GKS Lewa sudah panen petatas, sedangkan Desri dan Naomi di Waingapu gagal panen karena sayuran dimakan kambing.
 

 

Keberhasilan dan kegagalan dalam pertanian adalah bagian dari pembelajaran. Tetap jagalah semangat dan terus mencoba. Belajar dari pengalaman pertanian menuju kemandirian dan keragaman pangan rumah tangga. (TRU).
 

  Bagikan artikel ini

PERTANIAN ORGANIK: KERAGAMAN PANGAN   Mau Makan, Ya Nggak Harus Nasi

pada hari Senin, 19 September 2016
oleh adminstube
 
 
 
 
Sumba merupakan salah satu pulau di propinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani dan berladang seperti padi dan jagung karena Sumba mengalami kemarau lebih panjang dibanding daerah lain. Hal ini menuntut jenis tanaman pangan tertentu yang cocok ditanam di daerah ini. Ketergantungan terhadap bahan pangan tertentu beresiko jika bahan pangan tersebut gagal panen karena cuaca maupun hama, seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu. Belum lagi kecenderungan untuk memakai bahan kimia demi peningkatkan produksi pertanian tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya.
 
 
Kesadaran akan situasi ini perlu dimiliki sejak awal oleh penduduk di Sumba, khususnya mahasiswa, sebagai generasi penerus masyarakat Sumba. Meski ada stigma bahwa pertanian dianggap kurang menarik, ketinggalan jaman dan kurang bergengsi, namun sebenarnya pertanian menjadi penopang berlangsungnya kehidupan suatu bangsa.
 
 
 
 
Stube-HEMAT Sumba sebagai wadah pendampingan mahasiswa memikirkan hal ini dan membekali mereka melalui pelatihan Pertanian Organik: Keragaman Pangan dengan tema ‘Mau Makan? Ya Nggak Harus Nasi’ yang diadakan di GKS Kawangu, Sumba Timur pada hari Jumat – Minggu, 16 – 18 September 2016. Tema ini dipilih untuk memicu kreativitas anak muda dalam mengolah bahan pangan selain beras, serta termotivasi memanfaatkan pekarangan rumah sebagai kebun yang produktif.
 
Tiga puluh enam mahasiswa dari kampus-kampus di kawasan Sumba Timur mengikuti pelatihan. Narasumber pelatihan ini adalah orang-orang yang berpengalaman dalam bidang pertanian, seperti Yulius Anawaru, S.P (team Stube-HEMAT Sumba), Umbu Ndilu Hamandika, SP. MAP dari Badan Ketahanan Pangan, Rahmat Adinata (praktisi petanian organik) dan Bambang Broto Kiswarno, praktisi pertanian.
 
 
Presentasi enam mahasiswa Sumba yang belajar di Yogyakarta mengawali pelatihan ini. Mereka adalah Irmawati Rambu Konga (STT GKS Lewa) yang belajar menjahit dan membuat tas. Marten Rangga Mbani dan Sumitro Umbu Ndamung (STT Terpadu) yang belajar ternak ayam dan pertanian terpadu. Frans Fredi (Unwina) mengembangkan bisnis cetak pin dan kaos. Nikson KW Laki Hama (Unwina) tentang pemeliharaan kambing dalam kandang dan nutrisinya, dan Krisna Hamba Banju (AKN) tentang pemeliharaan babi secara intensif.
 
Yulius Anawaru, team Stube-HEMAT Sumba, mengingatkan kembali tentang revolusi hijau dan dampaknya di Indonesia. Lahan pertanian dibanjiri dengan pupuk kimia demi peningkatan produksi. Bahan pangan di daerah yang awalnya beragam dijadikan seragam yaitu padi. Bahan pangan lokal setempat tidak berkembang dan akhirnya terlupakan. Hal ini tidak boleh terjadi, dan gerakan pertanian organik harus terus dikembangkan dan dilakukan juga oleh anak muda mahasiswa.
 
Berikutnya adalah Umbu Ndilu Hamandika dari Badan Ketahanan Pangan, Kabupaten Sumba Timur, mengajak peserta melihat kembali keragaman pangan di Sumba. Selain itu, penting bagi mereka untuk memperhatikan mutu dan keamanan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat.
 
“Apa tujuan orang bertani atau menanam?” pertanyaan dilontarkan Rahmat Adinata, praktisi pertanian organik dan aktivis pertanian organik kepada peserta. Mereka bersemangat untuk jawab, seperti mencukupi kebutuhan pangan, sudah turun menurun dan sebagai mata pencaharian. Tetapi menurut pak Rahmat, jawaban yang paling tepat dari tujuan orang menanam adalah mendapat hasilnya atau panen.  Memang, menjadi petani itu tidak mudah, dari mengolah lahan menjadi siap tanam, menyiapkan benih yang baik, merawat tanaman dan seterusnya. Penyampaian materi cukup sederhana dan peserta bisa menangkap materi dengan baik.
 
Pertanian tak lepas dari gangguan hama. Bagaimana mengatasinya? Berbagai metode penanggulangan hama disampaikan oleh Bambang Broto Kiswarno dan Abner HR Liwar. Menariknya adalah bahan-bahan untuk membuat pestisida organik ini mudah dijumpai di Sumba.  Termasuk penanggulangan hama belalang yang sedang merebak di Sumba Timur.
 
Peserta tak hanya menjadi pendengar saja. Mereka termotivasi untuk mempraktekkan pengetahuan yang mereka dapat dari para fasilitator. Ada beberapa kelompok berbasis kampus yang akan menindaklanjuti pelatihan ini dengan praktek mengolah lahan, menyiapkan media tanam dan menanam sayur dan petatas (ubi jalar) di pekarangan rumah.
 

 

Selamat berproses mengembangkan keragaman pangan, anak muda. (TRU).

  Bagikan artikel ini

Program Eksposur ke Stube-HEMAT Yogyakarta Komitmen Baru untuk Belajar dan Bersinergi
 

 

pada hari Rabu, 31 Agustus 2016
oleh adminstube
 



Program Eksposur ke Stube-HEMAT Yogyakarta memberi kesempatan kepada mahasiswa aktivis Stube-HEMAT Sumba belajar di Yogyakarta selama kurang lebih satu bulan. Tahun ini pelaksanaan program dibagi menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama terdiri dari Sumitro Umbu Ndamung dan Marten Rangga Mbani, keduanya dari STT Terpadu, Waingapu dan Irmawati Rambu Konga, mahasiswa STT GKS Lewa. Mereka berangkat menggunakan KM Wilis 7 Juli 2016 dan kembali ke Sumba 6 Agustus 2016.
Selama di Yogyakarta, Sumitro Umbu Ndamung, sering dipanggil Mitro, belajar pertanian terpadu kepada TO Suprapto di Joglo Tani, Seyegan Sleman. Di tempat ini Mitro belajar pengelolaan kawasan pertanian menjadi satu sistem yang saling berkaitan dan menghasilkan panen yang berkelanjutan. Saat ini ia telah memulai mengolah lahan pertanian miliknya di Kombapari sebagai tempat praktek ilmu yang ia dapat di Yogyakarta.

Kemudian Marten Rangga Mbani yang belajar ternak ayam milik pak Gendut Minarto di Temon, Kulonprogo saat ini telah membuat kandang ayam untuk pembesaran ayam dan ayam petelur di Mboka, Kanatang.

Sedangkan Irma, yang belajar jahit menjahit dan membuat tas, sesampainya di Sumba, ia langsung mendapat pesanan tas-tas kecil. Ia juga mendapat support dari kampusnya, STT GKS Lewa berupa mesin jahit. Keuntungan dari penjualan tas ia gunakan untuk membiayai studinya.


Kelompok kedua adalah Krisna SH Banju, mahasiswa Akademi Komunitas Negeri Waingapu, Frans Fredi K. Bara dan Nikson KW Laki Hama keduanya mahasiswa Universitas Wirawacana, Waingapu yang berangkat 31 Juli dari Waingapu menggunakan KMP Awu dan tiba kembali di Waingapu 30 Agustus 2016.
 
Di Yogyakarta, Krisna mendalami teknik pemeliharaan ternak babi yang meliputi pengelolaan kandang dan perawatan kesehatan ternak babi. Hasil pembelajaran ini bisa langsung ia terapkan karena ia memiliki sejumlah babi di rumahnya di Lewa.

Kemudian Nikson selama belajar di Yogyakarta, ia mempelajari tentang pemeliharaan kambing dalam kandang dan pengelolaan bisnis kambing milik Pdt. Em. Eko Samodra. Pengalaman dan pengetahuan baru ini sangat membantunya dalam pengelolaan ternak dan bisnis kambingnya di Waingapu.

Sedangkan Fredi yang mempelajari teknik cetak mencetak, pembuatan pin, gantungan kunci dan sablon kaos di usaha percetakan “Tosan Aji” ternyata mendapat respon bagus dari konsumen dan sebagian diantaranya langsung memesan kaos dan pin.
 
Sebagai tambahan pengetahuan dan pengalaman, keenam utusan dari Stube-HEMAT Sumba berkesempatan mengenal kota Yogyakarta, berkunjung ke candi Borobudur dan pertama kali naik kereta api Prameks dari Yogyakarta ke Solo PP. Sentuhan sederhana tetapi cukup bermakna.

Para peserta berdialog tentang rencana mereka ke depan dan tanggung jawab untuk membagikan pengalaman dan pengetahuan yang mereka dapat kepada teman-teman di Stube-HEMAT Sumba dan masyarakat di mana mereka tinggal. Selain itu, mereka juga membangun komitmen bahwa mereka akan terus saling berkomunikasi dan memperkuat jaringan yang telah terbentuk, baik itu peternakan, kerajinan tas dan cetak mencetak pin dan sablon dan pertanian.
 
Akhirnya, tindakan nyata dari para peserta diharapkan mampu mendorong kemajuan di kalangan anak muda dan masyarakat Sumba. Ditunggu kerja dan karyanya!  (TRU).
 

  Bagikan artikel ini

Exposure to Stube Germany and   International Youth Camp 2017

pada hari Rabu, 24 Agustus 2016
oleh adminstube

 

 
 
 
Stube-HEMAT Indonesia merupakan program pengembangan diri yang berorientasi pada mahasiswa dari berbagai tempat di Indonesia. Exposure to Stube Germany and International Youth Camp dilaksanakan untuk meningkatkan persaudaraan internasional antar pemuda dan aktivis Stube yang ada di Jerman, serta berpartisipasi dalam International Youth Camp (IYC) peringatan 500 tahun reformasi gereja, yang akan diikuti sekitar 300 peserta dari 20 negara. Selain untuk mengenal pelayanan Stube Germany, peserta berkumpul untuk belajar mengenal Martin Luther, sejarah dan perkembangan sampai saat ini. Peserta juga aktif berpartisipasi dalam bentuk saling mengenal budaya dan keberagaman melalui pertunjukan seni, berbagi cerita dan ide dan diskusi kelompok.
 
Stube-HEMAT Indonesia mengundang mahasiswa menjadi peserta dalam kegiatan Exposure to Stube Germany and International Youth Camp yang diadakan mulai tanggal 26 Juli – 7 Agustus 2017 di Wittenburg, Jerman.
 
Persyaratan peserta
 
  1. Mahasiswa aktivis Stube-HEMAT Yogyakarta dan Sumba, dan kesanggupan mengikuti kegiatan Stube-HEMAT bagi peserta yang belum pernah mengikutinya.
  2. Berusia antara 18 – 25 tahun.
  3. Memiliki kemampuan komunikasi bahasa Inggris aktif.
  4. Memiliki keterlibatan dalam kegiatan masyarakat.
  5. Berpartisipasi secara aktif dalam setiap kegiatan program, dialog dan presentasi.
  6. Menunjukkan komitmen untuk mau belajar dan kerjasama internasional.
  7. Berpikiran terbuka, menghargai perbedaan dan penuh rasa ingin tahu.
  8. Memiliki kemampuan seni dan keterampilan.
  9. Kondisi kesehatan yang prima dan pribadi yang tangguh.
  10. Tahun 2018 peserta masih berada di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menerima kunjungan balik dari Stube-Germany.
  11. Lolos dalam tes seleksi peserta.

 

 
Biaya Kontribusi: 210 € per orang.
(akomodasi, konsumsi dan transport)
 
Pengambilan dan penyerahan formulir:
24 Agustus – 4 September 2016
 
Di Sekretariat Stube-HEMAT Yogyakarta.
Jl. Tamansiswa, Nyutran MG 2 / 1565 C.
Yogyakarta 55151
 
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Trustha Rembaka, S.Th., (081392772211)
Blog: stubehemat.blogspot.com
FB: Humas Stube

  Bagikan artikel ini

Program Hak Asasi Manusia Hak Asasi dan Pemenuhan Keadilan Sosial Londa Lima, Sumba Timur, 13 - 15 Mei 2016

pada hari Senin, 16 Mei 2016
oleh adminstube
 
 
 
 
Berbicara tentang Hak Asasi Manusia dalam berbagai macam perspektif maka pertama yang harus dipahami adalah defenisi HAM itu sendiri. Salah satu pakar pemahaman Hak Asasi Manusia, oleh Prof. Koentjoro Poerbo Pranoto mengatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang bersifat asasi, hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodrat dari Tuhan sehingga bersifat suci.

Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Jika ditinjau dari pandangan iman Kristen dalam (Kejadian. 1:26-29) tentang penciptaan manusia yang diciptakan segambar dengan Allah, maka HAM adalah hak-hak yang paling asasi yang melekat secara kodrati pada diri manusia sebagai karunia Allah.
 
Sumba, satu daerah di wilayah Nusa Tenggara Timur, sebagian besar masyarakatnya masih memiliki sistem primordial dan strata sosial yang kental. Hal ini bukan sesuatu yang salah dalam masyarakat dan akan menjadi keprihatinan manakala dalam praktek kehidupan konstruksi ini menimbulkan ketidakseimbangan atas pemenuhan hak asasi untuk strata yang paling rendah. Ketimpangan ini mestinya tidak terjadi, karena mayoritas masyarakat Sumba beragama Kristen, dan mengacu pada Galatia 3:28 yang berbunyi,“Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus”, maka strata sosial antara tuan dan hamba yang terjadi dalam masyarakat Sumba bukanlah salah, tetapi masing-masing seharusnya saling melengkapi satu dengan yang lainnya, dengan tidak mengabaikan hal asasi.
 
Pemenuhan hak asasi manusia merupakan perhatian dan tanggung jawab semua pihak, pemerintah, NGO, dan komponen masyarakat. Stube HEMAT Sumba sebagai sebuah lembaga yang memiliki perhatian terhadap persoalan sosial, khususnya pemenuhan hak asasi juga terpanggil menemukan solusi dan menjawab keprihatinan akan pemenuhan hak asasi bagi masyarakat di Sumba melalui sebuah pelatihan Hak Asasi Manusia dengan tema “Hak Asasi dan Pemenuhan Keadilan Sosial”. 

Pelatihan yang berorientasi pada kaum muda dari kalangan mahasiswa dan pemuda gereja, diadakan pada tanggal 13 – 15 Mei 2016 di Londa Lima, Waingapu, Sumba Timur dan diikuti 30 orang yang berasal dari Unwina, STT Terpadu Waingapu, Akademi Sandlewood Sumba dan beberapa pemuda gereja di Sumba Timur.


Sebagai pembuka pelatihan Dominggus Umbu Deta, S.Th, koordinator Stube-HEMAT Sumba, menyampaikan pentingnya pemenuhan hak asasi manusia karenakedaulatan Allah yang universal. Allah berdaulat atas manusia, HAM bersumber dari Allah, melanggar HAM berarti melanggar ketentuan Allah. Tidak ada satu lembaga atau satu orang pun termasuk negara berwenang membatalkan atau mengurangi hak-hak tersebut, kecuali Allah sendiri.
 
Pada sesi selanjutnya, Matius Remi Djawa, SH, menyampaikan dalam pemaparannya bahwa masyarakat harus menjadi pemerhati atas permasalahan HAM, khususnya di Sumba. Masyarakat terlebih peserta pelatihan dihimbau tidak melanggar hak asasi manusia karena jika ini terjadi maka ada konsekuensi hukum dari perilaku tersebut.
 
Pemenuhan hak anak menjadi bagian dari pelatihan ini. Masnauli Marbun, SE, MM, merupakan pembicara yang menyampaikan masalah hak asasi anak-anak. Berbagai macam regulasi sudah dikeluarkan pemerintah dan bisa menjadi acuan prinsip untuk memperhatikan hak asasi anak-anak.
 
Stepanus Makabombu, S.Kom, M.Si, berbicara tentang hak asasi dan kebijakan publik. Sesi ini menyoroti akan pemenuhan hak asasi oleh pemerintah terhadap masyarakatnya dimana setiap orang mempunyai hak untuk mengakses informasi ke pemerintah daerah baik yang berhubungan dengan program, maupun yang berhubungan dengan pendanaan.

 
Peserta pelatihan antusias merespon setiap materi pelatihan. Hal ini terlihat saat proses jalannya materi karena semuanya terlibat aktif menanggapi, bertanya dan bertukar pikiran dengan narasumber. Salah satu kegiatan lanjutan dari pelatihan ini adalah setiap peserta melakukan pengamatan di lingkungan sekitar tentang pelanggaran HAM dan hal ini akan dipresentasikan dalam pertemuan lanjutan. (DUD).




  Bagikan artikel ini

Nilai-nilai Kristiani dan Ketidakadilan “Siapakah Aku”  

pada hari Senin, 14 Maret 2016
oleh adminstube
 
 
Stube-HEMAT Sumba adalah wadah yang disediakan bagi kaum muda dan mahasiswa di Sumba untuk memperlengkapi diri agar mampu melihat dengan bijaksana berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam kehidupan manusia ketika berinteraksi dengan orang lain, dan dalam interaksi sering terjadi ketimpangan karena ada ketidakadilan yang dilakukan terus-menerus bahkan terstruktur.
 
Kemampuan melihat dan menganalisa ketidakadilan yang terjadi di masyarakat perlu diberikan kepada anak-anak muda dan mahasiswa. Melalui pelatihan tentang Nilai-nilai Kristiani dan Ketidakadilan dengan tema Siapakah Aku, Stube HEMAT Sumba berharap akan muncul generasi muda yang memiliki keberanian menyuarakan nilai-nilai Kristiani serta menegakkan keadilan sosial dan mampu menjawab persoalan ketidakadilan yang terus terjadi hingga saat ini.
 

 

Pelatihan berlangsung selama tiga hari, Jumat – Minggu 11- 13 Maret 2016 di GKS Kanjonga Bakul, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Sumba Timur, dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai kampus di Sumba dan pemuda Gereja setempat. Para peserta antusias dalam mendengarkan materi serta aktif menanggapi berbagai pertanyaan dan tanggapan yang diberikan.

Narasumber dalam pelatihan ini antara lain, Pdt. Dominggus Umbu Deta, S.Th, yang juga koordinator Stube-HEMAT Sumba, menyampaikan materi tentang nilai-nilai Kristiani dengan melihat berbagai ketidakadilan yang terjadi dalam Alkitab. Pembahasan ini lebih mengarah pada tokoh-tokoh Alkitab yang berjuang menegakan keadilan pada jamannya. Para peserta memiliki kesempatan fokus pada tokoh tertentu dalam diskusi kelompok.
 
Vicaris Lusandry Karanggu Limu, M.Th., salah seorang nara sumber pelatihan, berbicara tentang ‘Eksistensi orang muda yang berkarakter Kristiani’. Sesi ini mengajak peserta lebih fokus untuk menindaklanjuti atau menangani berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, terutama menjadikan Yesus sebagai sumber etika dalam melakukan hal tersebut.
 
Umbu Ndata Djawa Kori, SH yang bekerja sebagai pengacara, memaparkan dalam sesi yang diampunya tentang ‘Pemetaan masalah ketidakadilan di Sumba Timur dan solusinya’. Pada pembahasan ini, peserta diajak melihat berbagai kesenjangan yang terjadi baik internasional, nasional maupun lokal. Tidak hanya melihat masalah di Sumba Timur, tetapi bagaimana hukum berbicara tentang ketidakadilan. Hukum lebih cenderung mengarah pada suatu aturan baik tertulis maupun lisan dan apabila ada yang melanggar akan mendapat sanksi tegas. Karena itu, keadilan merupakan kelakuan atau perilaku untuk menegakkan hukum itu sendiri.
 
Irmawati Rambu Konga, yang akrab dipanggil Irma, mahasiswi STT GKS, yang menjadi peserta mengatakan, “Kegiatan yang diselenggarakan oleh Stube-HEMAT Sumba sangat membantu saya bagaimana  menerapkan nilai-nilai Kristiani dengan cara yang benar, terutama meneladani para tokoh Alkitab yang bertindak untuk menegakkan keadilan”.

Manfaat pelatihan ini juga dirasakan Jufrhy Adipapa, mahasiswa Unkriswina, Waingapu yang mengatakan, “Dimana ada kehidupan maka di situ pasti dimungkinkan ada pelanggaran hukum, kesenjangan dan ketidakadilan. Melalui kegiatan ini kita semua sebagai generasi muda diingatkan dan diharapkan dapat mulai menegakkan keadilan yang diawali dari diri sendiri saat berinteraksi dan hidup dengan orang lan.” (BET)

  Bagikan artikel ini

Stube-HEMAT Sumba   Menyongsong tahun 2016    

pada hari Jumat, 1 Januari 2016
oleh adminstube
 
 

  Bagikan artikel ini

Arsip Blog

 2024 (1)
 2023 (10)
 2022 (27)
 2021 (31)
 2020 (23)
 2019 (22)
 2018 (27)
 2017 (26)
 2016 (7)
 2015 (11)
 2014 (16)
 2013 (4)
 2012 (5)

Total: 210

Kategori

Semua