Menindaklanjuti Pelatihan Keragaman Budaya dan Dialog Bersama, dengan tema Budaya Sumba Masa Kini yang dilaksanakan Jumat – Minggu, 13 – 15 September 2013 di GKS Okanggapi, Londalima, Stube-HEMAT Sumba mengadakan diskusi lanjutan, dengan narasumber Marius Mura Woki, S.Sos, mantan Camat Haharu, Sumba Timur. Diskusi di Aula Kantor Sinode GKS di Waingapu dengan moderator Yulius Anawaru, S.Pt, salah satu team Stube-HEMAT Sumba dihadiri 24 peserta, termasuk Trustha Rembaka, koordinator Stube-HEMAT Yogyakarta.
Marius Mura Woki terpanggil untuk memberi pencerahan kepada masyarakat Sumba mengenai adat istiadat Sumba.Gerakan pencerahan budaya ini dilakukan melalui lembaga Forum Peduli Adat. Marius mengungkapkan bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan telah diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya ini terbentuk dari unsur yang beragam bahkan cenderung rumit.
Marius Mura Woki, S.Sos |
Masyarakat Sumba sebagian besar masih berada dalam belenggu kemiskinan, jadi masyarakat perlu disadarkan dan dibangun supaya berada dalam taraf hidup yang layak, misalnya kebutuhan dasar terpenuhi, memiliki pekerjaan layak, anak-anak mendapat pendidikan yang baik, serta kesehatan terjamin. Namun kenyataan terjadi sebaliknya, keuangan keluarga yang seharusnya untuk pendidikan anak ataupun kesehatan keluarga terpaksa dialihkan untuk mencukupi tuntutan adat.
Adat istiadat merupakan hasil dari kebudayaan, yang diciptakan oleh manusia jaman dulu yang terwariskan hingga saat ini, untuk membawa manusia ke dalam keadaan yang mulia. Namun ironisnya, ritual budaya tertentu justru membelenggu bahkan memiskinkan, dan dinilai tidak sesuai lagi dengan keadaan masa kini. Beberapa produk budaya Sumba yang masih ada saat ini antara lain, pakaian adat, rumah adat, sirih pinang, tari-tarian, adat kematian, dan adat perkawinan.
Marius memberikan contoh adat kematian merupakan salah satu adat yang membutuhkan biaya mahal, karena banyak menggunakan hewan, misalnya babi, kerbau, kuda, dan kain. Ia menggarisbawahii bahwa ia tidak bermaksud menghilangkan adat istiadat tersebut, namun menyederhanakan aturan-aturan adat yang berlaku. Ia mengawali penyederhanaan aturan adat kematian itu dari marga keluarga besarnya di daerah Mangili, Sumba Timur.
Peserta menanggapi bahwa budaya Sumba sudah terbentuk sedemikian lama, jadi proses penyederhanaan pun tidak akan bisa dilakukan dengan cepat. Selain itu, ada peserta yang mengungkapkan bahwa penyederhanaan ini memerlukan kesepakatan sejauh mana penyederhanaan aturan adat istiadat itu bisa dilakukan, sehingga bisa diterima oleh marga-marga yang berkepentingan.
Diskusi yang diwarnai berbagai pertanyaan dan tanggapan ini ditutup dengan pernyataan bahwa kebudayaan itu akan berkembang terus menerus, seseorang jangan sampai terbelenggu oleh kebudayaan, dan harus mampu menunjukkan identitas kebudayaan yang dimiliki. (TRU)