"Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali"
Ungkapan di atas merupakan tulisan Bung Karno untuk menyatakan pemikiran atas kesetaraan dan kesatuan yang saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan. Namun realitanya kesadaran akan kesetaraan belum dimiliki secara merata oleh setiap orang, bahkan permasalahan gender masih terjadi di Indonesia, khususnya di daerah-daerah tertentu.
Kutipan ini muncul dalam pengantar kegiatan dialog yang diadakan pada hari Jumat 2 Maret 2018 bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumba Timur dengan tujuan memperdalam pemahaman peserta terkait persoalan perempuan dan permasalahan lainnya yang ada di Sumba. Dialog ini merupakan kegiatan tindak lanjut atau follow-up pelatihan Stube-HEMAT Sumba tentang Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Gender yang berlangsung pada bulan Februari lalu.
Dialog tersebut membahas kesetaraan gender, yang berarti keadaan di mana adanya porsi, perlakuan, posisi, peran yang sama antara laki-laki dan perempuan dan di sisi lain terkait dengan diskriminasi, ketidakadilan, penindasan, subordinasi, marginalisasi, dll. Harus diakui bahwa di Indonesia masih rentan kasus ketidaksetaraan dan perempuan cenderung menjadi korban. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya peran perempuan di sektor publik dan maraknya kekerasan terhadap perempuan dari data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tentang partisipasi perempuan dalam Pilkada serentak 2017, yaitu hanya 44 perempuan (7,17%) dari total 614 calon kepala daerah di seluruh Indonesia.
Beberapa penyebab situasi ini adalah rendahnya pemahaman kesetaraan gender serta asumsi yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan itu lemah, tidak tahan banting, sasaran pelampiasan dan hanya sebagai pelengkap kaum Adam. Perempuan sering menjadi sasaran laki-laki untuk bertindak kekerasan. Kita pun tak bisa menampik bahwa faktor kebudayaan juga berperan dalam masalah ini, di mana budaya di negeri ini lebih cenderung ke sifat Patriarki, yaitu menganggap peran lelaki lebih penting dan superior sehingga perempuan tidak sederajat dengan laki-laki.
Dalam kunjungan tersebut, Yokhbet Martha Mara, dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) menyampaikan bahwa untuk melawan ketidakadilan gender di Indonesia, khususnya Sumba Timur, membutuhkan kerja sama dari semua pihak. Lembaga Swadaya Masyarakat dan generasi muda diharapkan berperan aktif mengubah paradigma masyarakat sekaligus membangkitkan kesadaran, pola pikir dan pemberdayaan perempuan agar mau berjuang untuk kehidupannya. Salah satu cara yang efektif adalah mengadakan pelatihan atau forum diskusi tentang kesetaraaan gender dan isu-isu perempuan agar terjadi pembaharuan perspektif di masyarakat.
Selanjutnya Anton Kila, dari LPA Sumba Timur mengatakan bahwa keluarga merupakan faktor paling dasar untuk mengajarkan tentang kesetaraan gender kepada anak agar ia tak menjadi pelaku maupun korban ketidakadilan. Perlu disadari bahwa segala sesuatu yang kita perbuat, cara pandang terhadap sesuatu dan bagaimana kita bersikap dan berkata-kata merupakan hasil dari pola didik yang dimiliki keluarga. Jadi mulailah dari keluarga untuk wujudkan kehidupan yang baik dan berkesetaraan gender.
Pengakuan HAM dan kesetaraan gender masih perlu diperjuangkan bahkan di Sumba. Anak muda dan mahasiswa perlu menyadari hal-hal ini dan menjadi aktor perubahan dalam memperjuangkan HAM dan kesetaraan gender, mulailah dari keluarga sendiri dan akhirnya masyarakat. (JUF).