Oleh Elisabeth Uru Ndaya
Perempuan adalah pelopor perubahan, dan hal ini bisa dimulai dari lingkungan keluarga hingga di lingkungan masyarakat. Perempuan memiliki kekuatan ekstra dalam dirinya untuk bertahan di tengah situasi penuh krisis termasuk di masa pandemi Covid-19. Terbukti banyak perempuan yang mencari alternatif usaha lain selama masa pandemi Corona untuk kelangsungan hidup keluarganya.
Minggu, 26 Juli 2020 pada diskusi Multiplikasi Stube HEMAT di Sumba, narasumber Pdt. Suryaningsih Mila, M.Si, Teol, dosen STT GKS mengatakan bahwa pada prinsipnya, laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, perempuan (istri) seringkali menanggung beban lebih daripada suami karena mereka harus bekerja di ruang domestik dan ruang publik. Dalam konteks Indonesia, NTT dan khususnya Sumba, perempuan adalah penjaga lumbung keluarga, ujung tombak ekonomi keluarga.
Diskusi dengan dihadiri 30 peserta perempuan ini, mengangkat tema tentang perempuan dan potensi Sumba. Pdt Suryaningsih sangat mengapresiasi perjuangan para perempuan Sumba pada umumnya. “Siapakah yang paling peduli tentang kebutuhan rumah dan anak-anak? Jika tiba musim panen siapakah yang sering naik bis ke kota dan duduk di emperan toko untuk berjualan?”, tanya ibu pendeta. Dengan serentak, peserta pun menjawab “perempuan”. Selanjutnya nara sumber memetakan kekuatan, potensi, ketrampilan yang dimiliki perempuan.
Dalam banyak kasus, perempuan lebih tekun, teliti, rajin, bertanggung jawab, peka, peduli yang merupakan kekuatan perempuan untuk mengembangkan potensi yang ada. Perempuan juga lebih tahan banting, tangguh dan menjadi kreatif ketika berhadapan dengan krisis ekonomi. Di tengah diskusi, peserta diberi kesempatan dalam kelompok kecil untuk berbagi pengalaman. Iche Hana seorang guru muda di SMP, masih single membagikan pengalamannya di masa pandemic Covid ini, dengan mengembangkan potensi lain yakni menenun dan berjualan kue. Adriana, seorang ibu rumah tangga bercerita jika mau berjualan harus naik bis atau truk ke kota, sesampainya di kota (Waingapu) ia berjualan jagung keliling sambil berjalan kaki dan pada malam hari lanjut berjualan di emperan trotoar. Yohana seorang ibu rumah tangga bercerita, “Saya pernah berjualan kue di kota tetapi karna ada Corona saya di kejar polisi pamong praja, dan kue tidak ada yang laku. Saya menangis, akhirnya kue saya kasih untuk dihutang tetangga, tetapi sampai sekarang belum ada yang bayar. Tepung yang masih sisa busuk semua dan saya buang kasih makan babi”. Mereka pun berharap untuk terus dilibatkan dalam program Multiplikasi Stube-HEMAT ini.
Pdt. Suryaningsih Mila, M.Si, Teol kembali memberikan semangat dan memberikan pandangan bahwa ada banyak hambatan yang dialami oleh perempuan-perempuan Sumba saat ini. Budaya patriarki yang melahirkan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, dominasi laki-laki sebagai kepala/penerus keluarga cenderung meminggirkan peran perempuan, yang menempatkan perempuan sebagai pekerja di ruang domestik (rumah tangga), yang cenderung merendahkan kekuatan dan potensi perempuan. Relasi kuasa juga melemahkan posisi perempuan, menciptakan kekerasan dan eksploitasi pada perempuan dan anak perempuan. Dengan demikian, banyak perempuan tidak berani untuk menggali potensi dirinya dan mengembangkan potensi budaya/alam yang ada di sekitarnya. Perempuan menjadi kurang memiliki rasa percaya diri dan memiliki ketergantungan pada laki-laki.
Dengan adanya program pemberdayaan ini, sangat diharapkan perempuan Sumba dapat berkontribusi dengan kemauan yang kuat untuk memunculkan potensi diri dan mengembangkan potensi yang ada untuk kebaikan bersama. Perempuan Sumba juga perlu terus belajar memperlengkapi diri dengan sejumlah pengetahuan, informasi penting, dan ketrampilan yang dipakai. Sebagai bentuk dari follow up, langkah kecil yang akan dilakukan dalam waktu dekat oleh komunitas perempuan di tempat ini adalah pembuatan bedeng sayur dilengkapi pagar keliling dan pembibitan bahan alami untuk pewarnaan tenun.***