Perempuan dan Tradisi Sumba adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, salah satu tradisi Sumba yang sampai saat ini masih terus dilestarikan adalah “Adat Perkawinan” dimana perempuan Sumba harus dibelis dengan hewan oleh calon mempelai laki-laki sesuai jumlah yang diminta oleh keluarga. Belis (hewan) yang dibawa oleh pihak laki-laki menandakan bahwa laki-laki sangat menghargai perempuan dan keluarganya. Namun seiring perkembangan jaman dan kemajuan teknologi yang sangat pesat ada oknum-oknum yang menyalahgunakan tradisi Sumba dan tidak sedikit yang memanfaatkan hal tersebut untuk mengambil keuntungan bahkan menindas perempuan setelah dibelis. Budaya sangat perlu dipahami oleh mahasiswa dan kaum perempuan sedini mungkin.
Program Multiplikasi Stube HEMAT di Sumba yang berfokus pada perempuan, budaya dan digital, memberikan kesempatan kepada mahasiswa dan kaum perempuan agar lebih mendalami dan memaknai budaya dan tradisi orang Sumba melalui forum diskusi (17/02/2022). Yang hadir dalam diskusi tersebut adalah para mahasiswa dari UNKRISWINA dan beberapa kaum perempuan yang sudah bekerja. Diskusi tersebut digelar outdoor di Grein kafe, taman Sandlewood, suasananya sejuk dan santai . Diskusi yang bertemakan ‘Perempuan dan Potensi Sumba’ di pandu oleh Mely Njurumana, SE. Selaku moderator diskusi.
Elisabeth Uru Ndaya sebagai Multiplikator program mengawali diskusi dengan memperkenalkan lembaga Stube HEMAT dan pentingnya mahasiswa juga kaum perempuan dalam memahami tradisi Sumba. Mayun E. Nggaba, M.Pd, dosen dan pemerhati perempuan dan budaya Sumba menegaskan bahwa sesungguhnya budaya Sumba itu unik. Seperti tradisi adat perkawinan, ketika adanya belis, harga diri perempuan Sumba diangkat. Namun seiring berkembangnya jaman, makna dari perkawinan Sumba mulai bergeser. Pemahaman yang salah tentang belis juga terkadang menjadi salah satu penyebab perempuan Sumba tidak dilibatkan dalam forum penting, contohnya ketika perempuan Sumba sudah dibelis tugasnya hanya mengurus rumah tangga saja dan mengikuti semua keputusan yang diambil oleh laki-laki atau suaminya. Padahal budaya sumba yang sesungguhnya tidak seperti itu, buktinya setiap mau acara perkawinan, pihak laki-laki pasti meminta pendapat dari perempuan atau si ibu untuk membahas jumlah belis berapa ekor yang harus dibebankan kepada mempelai pria. Perempuan tetap memiliki peran dalam kehidupannya baik sebagai istri maupun ibu, hanya terkadang perempuan sendirilah yang mengerucutkan pandangan tentang status perempuan.
Diskusi tersebut menjadi menarik ketika semua peserta saling berbagi pengetahuan tentang Perempuan dan tradisi Sumba. Salah seorang peserta bernama Novita menyampaikan, “Kita tidak dapat mengatakan tradisi Sumba itu menindas Perempuan tanpa mengetahui dan memahami terlebih dahulu budaya yang sebenarnya.” Sementara Etris mahasiswa Agrobisnis menegaskan bahwa ketika nanti saudara perempuannya dipinang, ia tidak akan meminta belis yang banyak, karna ia tidak mau saudara perempuannya nanti sengsara dan ditindas. Osin Njurumana, seorang bidan desa menceritakan pengalamannya selama menangani ibu hamil. Osin mengatakan bahwa banyak perempuan yang ia temui masih kategori di bawah umur tetapi sudah hamil dan memiliki anak karena dipaksa kawin oleh orangtuanya hanya agar mendapatkan belis. Ketika hal itu ditanyakan kepada mereka, pada umumnya jawabannya pasrah dengan keadaan karena takut dipukuli oleh keluarganya. Narasumber menanggapi bahwa kebiasaan seperti inilah yang perlu dihentikan dan itu semua dimulai dari sekarang oleh kita sebagai generasi penerus.
Ada dua poin penting yang disampaikan oleh narasumber, yaitu, semakin tinggi pendidikan diharapkan semakin kita mengerti akan budaya dan budaya Sumba tidak menindas perempuan. Dengan adanya diskusi ini maka diharapkan agar mahasiswa/i bahkan semua yang terlibat untuk bisa peka terhadap lingkungan, menolong perempuan-perempuan yang menjadi korban penindasan. Marilah menjadi perempuan-perempuan yang bermartabat dan berwawasan luas agar tidak ada satu orang pun yang dapat mempermainkan harga diri seorang perempuan. ***