pada hari Senin, 31 Agustus 2015
oleh adminstube
Eksposur Pelabuhan Sadeng dan

 

Pantai di Gunungkidul

 

Jumat – Minggu, 28 – 30 Agustus 2015

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 28 Agustus 2015 merupakan hari yang dinanti oleh peserta program ekonomi Kelautan, mengapa? Karena hari itu mereka akan berangkat eksposur  ke Sadeng Gunungkidul. Mereka adalah Yohana Kahi Leba, Dhany AA Umbu Tunggu, Abisag Ndapatara dan Fransisca Evawati, didampingi oleh Trustha Rembaka dan Stenly R. Bontinge.

 


 

Perjalanan menuju Sadeng ditempuh sekitar dua jam dari Yogyakarta ke arah tenggara membelah bumi Gunungkidul. Jalan yang berkelok mengikuti kontur geografis Gunungkidul yang berbukit-bukit menjadi daya tarik eksotisme daerah ini. Bulan Agustus ini alam Gunungkidul didominasi warna coklat karena tanah yang mengering dan tanaman yang meranggas. Di beberapa tempat bisa ditemukan bukit-bukit kapur yang tergali, terpotong, terbelah, dan membekas menjadi bopeng wajah bumi Gunungkidul. Perjalanan berakhir setelah memasuki turunan curam yang ternyata tebing sungai Bengawan Solo purba. Lambaian daun hijau puluhan pohon kelapa menyambut kedatangan kami di kawasan pelabuhan Sadeng.

 


 

Setibanya di kantor UPTD pelabuhan Sadeng, kami disambut hangat oleh Pak Soleman dan Pak Sunardi. Setelah saling berkenalan dan menjelaskan tujuan kegiatan, kami didampingi oleh Pak Sunardi berjalan berkeliling pelabuhan Sadeng. Beliau menceritakan bangunan-bangunan yang ada di kawasan pelabuhan, seperti perkantoran, dermaga, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), mess karyawan dan tamu, gudang dan dok bengkel kapal serta menunjukkan aktivitas yang terjadi di pelabuhan, antara lain proses bongkar muat  ikan, lelang ikan, jual beli ikan, menyiapkan kapal melaut dan rekreasi. Beliau juga menceritakan siapa saja yang tinggal di pelabuhan Sadeng.

 

 

 

Peserta eksposur beraktivitas sesuai minat masing-masing untuk mengenal dan mendalami ‘kehidupan’ pelabuhan Sadeng. Aktivitas pelabuhan dimulai sejak pagi, mempersiapkan logistik kapal untuk melaut, membersihkan lantai tempat pelelangan ikan, dan anak buah kapal yang bertugas menyiapkan jaring dan berbagai tali-temali. Di kawasan yang berbeda, para pedagang menyiapkan lapak-lapak ikan untuk jualan sementara pedagang yang lain bersiap dengan kios nasi rames mereka. Puluhan kapal berbagai ukuran tertambat di kolam pelabuhan. Beberapa diantaranya adalah kapal patroli milik Polairud, TNI AL  dan kapal nelayan. Tak ketinggalan ada pemandangan bangkai kapal yang terendam di salah satu sudut kolam pelabuhan.

 

  

 

Kehidupan nelayan merupakan kombinasi kehidupan yang keras penuh resiko dan kebersamaan. Mereka harus menembus ganasnya gulungan ombak dan meniti tepian karang tajam beberapa hari di tengah laut, di bawah terik sinar matahari dan berselimut dingin udara laut. Namun di balik itu, kehidupan nelayan menggambarkan kekuatan kebersamaan sesama nelayan dan pekerja pelabuhan. Menyiapkan jaring, menggulung tali dan menyiapkan logistik untuk melaut dikerjakan bersama-sama. Saat berlabuh, membongkar muatan ikan dan memperbaiki kapal pun tak bisa lepas dari kerjasama antar mereka.

Sabtu siang peserta eksposur meninggalkan Sadeng menuju Joglo Karangjati dengan kumpulan rasa penasaran yang belum terjawab. Joglo Karangjati menjadi ‘home-base’ untuk beristirahat dan menyusun catatan kegiatan.
  

 


 

Eksposur dilanjutkan Minggu pagi dengan susur pantai dan tebing dari pantai Trenggole – Watulawang – Pok Tunggal yang menjadi primadona wisata pantai Gunung Kidul. Ketiga pantai ini dulunya saling terpisah, namun kini bisa ditempuh dengan jalan kaki menyusuri pantai dan tebing karang.


 
Sayangnya, beberapa bagian tebing karang dipotong dan tanaman pandan laut ditebang demi pembuatan jalan setapak dan pengembangan wisata. Di beberapa bagian tebing pun bisa ditemukan jejak corat-coret vandalisme pengunjung. Sebuah ironi saat menikmati keindahan alam dan merusak alam.

 

 
 

 

Pantai Sundak, Ngandong dan Sadranan menjadi bidikan kami selanjutnya. Snorkling menjadi primadona di Sadranan. Belasan lapak menyediakan kacamata selam yang bisa disewa oleh pengunjung menjadi pemasukan tambahan bagi penduduk setempat. Namun di sisi lain, tingginya aktivitas para penikmat snorkling bisa mempengaruhi kelestarian alam bawah laut di pantai Sadranan.

 

 

Perjalanan kembali ke Yogyakarta melewati Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS), yang di beberapa bagian sedang dibangunan. JJLS ini diharapkan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat di kawasan selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. (TRU).


  Bagikan artikel ini

pada hari Senin, 31 Agustus 2015
oleh adminstube
Ayo Belajar Ke Baros!!!

 

 

 

 

 

 

Baros adalah sebuah dusun yang terletak di pesisir Selatan Yogyakarta, tepatnya di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul. Pesona dusun Baros tampaknya belum begitu akrab terdengar oleh masyarakat luas di Yogyakarta apalagi bagi kaum muda. Mungkin jikalau ada yang pernah akrab mendengar nama dusun Baros, mungkin karena dusun Baros adalah daerah pertanian dan penghasil tanaman bawang merah. Jika demikian, lantas mengapa tulisan tersebut berjudul: Ayo Belajar Ke Baros? Pesona apakah yang sebenarnya ditawarkan di dusun tersebut? Bukanlah pesona yang spektakuler yang ditawarkan disana, bukan pula keindahan alam yang kelasnya mendunia. Tetapi daerah tersebut bisa menjadi pusat perhatian dunia, karena Dusun Baros memiliki kawasan konservasi mangrove. Itulah yang menjadi pusat perhatian dari berbagai kalangan aktivis lingkungan hidup, baik tingkat mahasiswa maupun umum, dari lingkup regional hingga cakupan internasional.

 

 

 

   

 

Apa yang bisa dipelajari di sana? Yang bisa dipelajari ialah terbangunnya sebuah ekosistem dari hasil konservasi hutan mangrove serta manfaat mangrove bagi warga dusun Baros. Mangrove bagi warga dusun Baros adalah sebagai pelindung lahan pertanian. Mengapa demikian? Karena lahan pertanian warga dusun Baros berada di daerah pesisir pantai Selatan Yogyakarta, mangrove yang tumbuh disana adalah sebagai alat penyaring kadar garam laut yang dibawa oleh angin.  Selain sebagai penyaring kadar garam laut, mangrove diharapkan mampu menangkal abrasi pantai bahkan berguna sebagai pengikat endapan lumpur sehingga menjadi daratan baru di sekitar tanaman mangrove. Tumbuhnya mangrove juga akan diikuti dengan berkembangnya habitat lain disekitar mangrove, seperti terbentuknya habitat perkembangbiakan ikan air payau, kepiting, burung, dan ular. Tumbuhnya habitat baru tersebut berarti juga sebagai bentuk keseimbangan ekosistem dari ancaman kepunahan. Warga sekitar bisa menikmati hasil dari berkembangbiaknya ikan dan kepiting sebagai sumber tambahan gizi dan ekonomi.

 

 

 

 

 

Dimulai tahun 2003, tanaman mangrove ditanam di sekitar pesisir dusun Baros, kemudian pemuda KP2B (Keluarga Pemuda Pemudi Baros) menerima mandat untuk menjaga tanaman mangrove yang telah dirintis tersebut hingga saat ini. Saat ini genap sudah 15 tahun usia hutan mangrove di kawasan dusun Baros, dan kini hasil dari rimbunnya hutan mangrove sudah dapat dinikmati oleh warga sekitar dan bagi para pengunjung yang memiliki visi serupa tentang lingkungan hidup. Hal itu dibuktikan dengan kepedulian Stube HEMAT Yogyakarta mengangkat pelatihan ekonomi kelautan dengan tema: Ada Apa Dengan Laut Indonesia? Pada pelatihan tersebut Stube HEMAT Yogyakarta mengirim peserta pelatihan untuk terjun langsung ke lapangan dari tanggal 28 – 30 Agustus 2015 untuk menganalisis dan melihat realita di dusun Baros. Adapun peserta yang dikirim adalah Selsius Imanuel Malailo (APMD), Yoel Yoga Dwianto (STAK Marturia), dan Yakoba Ratundima (STT Terpadu, Sumba).

 

 

 

 

 

 

 

 

Banyak hal yang diperoleh selama peserta mengamati langsung di lapangan dari tanggal 28 – 30 Agustus 2015, baik terkait permasalahannya, perintisan, ekosistem yang terbentuk dari hasil konservasi hutan mangrove hingga dampak sosial ekonomi bagi warga dusun Baros yang terletak di pesisir laut Selatan. Bagi mahasiswa ataupun para penggiat lingkungan hidup yang tertarik dengan cara pelestarian alam kawasan pesisir laut, ayo kita belajar ke Baros. (PIAF)


  Bagikan artikel ini

pada hari Sabtu, 29 Agustus 2015
oleh adminstube
Eksposur Muncar:

 

Dari Potensi Ekonomi Hingga Ancamannya

 

 

 

 

 

 

Eksposur Muncar merupakan salah satu rangkaian pelatihan Ekonomi Kelautan tahun 2015. Semula ada kabar bahwa Muncar merupakan pusat industri dan penghasil ikan terbesar di pulau Jawa, sehingga tersirat pula ancaman akumulasi limbah dari tahun ke tahun. Hal inilah yang mendasari ketertarikan untuk melihat lebih dekat keadaan Muncar dan menyaksikan potensi laut serta belajar pengelolaannya.

 

 

 

 

Empat peserta yang melakukan eksposur adalah Nova Yulanda P. Sipahutar (Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi UGM), Nikson Retang (Mahasiswa Peternakan di Waingapu, Sumba), Ana Ndawi Ngana (Mahasiswa Bahasa Inggris, UST), dan Christian Apri Wijaya (Mahasiswa Komunikasi UGM).

 

 

 

 

 

 

 

Kamis pagi, 27 Agustus 2015, peserta berangkat dari stasiun Lempuyangan. Ketidaktahuan tentang Banyuwangi dan Muncar menyebabkan pertanyaan dalam benak dan terus membayangi perjalanan. Selama di kereta api ada sedikit rasa jemu tetapi terobati dengan pemandangan tanah Jawa Timur nan eksotis dan kereta api yang nyaman. Empat belas jam pulang dan pergi tak terasa bisa dilalui dengan gembira.

 

 

 

 

Aktifitas pertama yang dilakukan adalah berdiskusi dengan Pak Yulis, Ketua pepanthan Muncar GKJW Banyuwangi. Beliau bertutur tentang kondisi dan dinamika kehidupan Muncar seperti: saat tangkapan melimpah, maka kehidupan membaik, konsumsi meningkat dan barang mewah terbeli, namun saat tangkapan minim, tidak jarang warga nelayan menjual perabot untuk memenuhi kebutuhan hidup.

 

 

 

 

 

 

 

Setelah berbincang dengan Pak Yulis, kelompok eksposur Muncar mengunjungi pabrik pengalengan ikan. Tidak ada gambar di dalam pabrik karena ada larangan memotret. Di pabrik inilah peserta menjadi tahu bahwa pengalengan ikan ternyata tidak sepele. Ada peralatan pembersih, pengepak, dan pengemas yang dirancang canggih dan higienis. Pemotong dan pembersihan ikan dikerjakan oleh ibu-ibu. Sementara pengalengan dan pembumbuan dilakukan mesin. Perjalanan ikan dari pembersihan sampai pengalengan tidak sampai sehari. Setiap hari pabrik bisa menghasilkan 5000 kaleng. Setelah dipacking, ekspor bisa sampai Afrika. Bila tangkapan ikan di Muncar surut, maka bahan baku didatangkan dari Thailand dan Filipina.

 

 

Jumat sore, peserta berkunjung ke sekretariat LSM Satu Hati. Ada Mas Kiki dan Mas Jalil yang mendampingi. LSM Satu Hati mengaku tidak berkonsentrasi pada studi kelautan. Fokusnya adalah pendidikan dan lingkungan. Pendidikan dikembangkan dengan menyelenggarakan bimbel dan pengadaan perpustakaan. Sementara lingkungan terkait dengan pola hidup dan pelestarian sumber daya yang ada di Muncar. Lingkungan biasanya terkait limbah. Limbah ada di pabrik-pabrik pesisir, maka secara tidak langsung, LSM Satu Hati juga bersinggungan dengan laut. Rupanya potensi tidak serta merta mendatangkan keuntungan dan dampaknya tidak selalu positif bagi lingkungan. LSM Satu Hati menyerukan agar masyarakat mulai sadar, ada perubahan pada sungai, tanah, dan udara di sekitar.

 

 

 

Sabtu pagi, peserta mengunjungi bengkel las di pelabuhan. Pak Jimat merupakan salah satu dari dua pemilik bengkel yang memiliki mesin bubut di Muncar. Kondisi bengkel terkesan usang tersalut oli. Hal ini memunculkan harapan dimasa mendatang ada program pemerintah untuk memperbaharuinya.

 

 

 

Sharing bersama Pdt. Soni Saksono Putro memunculkan harapan untuk menyelenggarakan pelatihan bagi pemuda gereja terkait dengan pelabuhan. Seorang warga jemaat yang bekerja di Komisi Penanggulangan AIDS mengungkapkan praktek Pekerja Seks Komersial dari kapal ke kapal dan mereka perlu pendampingan dan ini menjadi satu masukan berharga saat melihat potensi dan permasalahan di laut.

 


Beberapa potensi laut yang masih bisa digarap dan sudah diusahakan oleh beberapa jemaat GKJW Banyuwangi adalah Nasi Goreng Cumi Hitam, Industri Gula di kebun kelapa pesisir, persewaan kapal untuk wisata, perayaan tradisi kelautan, dan usaha keramba apung di laut. Selamat merespon peluang yang ada. (YDA)


  Bagikan artikel ini

pada hari Senin, 24 Agustus 2015
oleh adminstube
Hegemoni Wisata di Pulau Surga

 

Sebuah pengalaman singkat

 

merasakan kehidupan laut di Karimunjawa

 

 

 


 

Pergi ke Karimun Jawa adalah keinginan banyak orang karena kepulauan ini memiliki segudang pesona alam. Kepulauan ini semakin hari semakin bersolek menantang wisatawan untuk menjejakan kaki kesana. Dari pelabuhan Jepara, antusiasme tinggi pengunjung sudah terlihat. Tidak perlu ada pertanyaan kemana anda akan pergi ketika di pelabuhan ini. Sebab pasti Karimun Jawa sajalah jawabannya.

 


 

Magnet wisata Karimun Jawa menguat sejak 8 tahun lalu. Awalnya, promosi dilakukan hanya dari mulut ke mulut hingga akhirnya saat ini calon pengunjung dimanjakan dengan berbagai jenis paket wisata. Mereka tinggal klik, transfer dan menikmati.

 

Fasilitas Pendukung

 

Akses ke kepulauan ini cukup mudah, tersedia dua pilihan, menggunakan Kapal motor cepat (waktu tempuh 2 jam) atau menggunakan kapal fery (waktu tempuh 5 jam). Biasanya, prosedur formal setelah menginjakkan kaki di pulau ini adalah bertemu guide masing-masing yang akan mengantar ke penginapan, tapi, tetap ada saja satu dua orang pelancong yang memilih hemat menggunakan metode back packer.

 

  

 

Di kiri kanan jalan terdapat home stay, hampir semua rumah di Karimun berubah menjadi Home stay, bersaing dengan hotel mewah milik investor. Masing-masing memiliki peminatnya sesuai ketebalan kantong. Memilih menginap di rumah teman ataupun kenalan untuk merasakan kehidupan asli masyarakat Karimun Jawa bisa menjadi pengalaman original berinteraksi dengan kearifan lokal dan bahkan masalah mendasar. Jangan samakan fasilitas rumahnya dengan home stay atau hotel, tapi di situlah letak kehidupan sesungguhnya, menjadi anak pantai yang cinta damai, mandi ramai-ramai di lokasi terbuka dekat mata air, sampai menikmati pemandangan pantai lewat toilet tak berdaun pintu.

 

 

 

Sisi Lain

 

Profesi pemandu wisata diakui sebagai ujung tombak pariwisata Karimun Jawa. Mereka  bekerja atas dasar kepercayaan dengan menjaga nama baik (teman seprofesi, pemberi kerja dan daerah Karimun Jawa) demi citra pariwisatanya. Mereka belumlah semapan guide di Yogyakarta atau Bali, tapi dituntut bekerja ramah seperti pramugara, kuat bak pengawal bahkan rajin layaknya pembantu. Hal ini terlihat dari kompaknya guide menyediakan makanan (memanggang ikan) bagi wisatawan, mencucikan peralatan makan dan snorkling sampai memberikan P3K pada pengunjung yang cedera di lokasi.

 

Pariwisata Karimun Jawa didukung banyak pihak. Masyarakatnya ikut berpartisipasi menggerakkan roda pariwisata, berkolaborasi dengan pemerintah dan investor (dalam maupun luar negeri). Perlahan, terjadi peningkatan ekonomi warga walau belum bisa dikatakan merata.

 

Dibalik gemerlap pariwisata yang selama ini tersamarkan, tertutupi hegemoni tawa canda riang, romantika ekspresi wisatawan penikmat pulau surga inibanyak hal yang menjadi pekerjaan rumah bersama. Ketersediaan energi listrik yang mencukupi bagi penduduk setempat, air bersih, kesempatan mendapat pendidikan tinggi, sanitasi sampai kehidupan malam dengan tawaran sex komersial menjadi tanggung jawab bersama yang harus segera mendapat penanganan. (SRB)


  Bagikan artikel ini

pada hari Minggu, 23 Agustus 2015
oleh adminstube
“Dari Among Tani ke Dagang Layar”
Ayo, Lihat (Lagi) Laut kita!
Pelatihan Sehari, Sabtu 22 Agustus 2015
 
 

 

Program Ekonomi Kelautan Stube-HEMAT Yogyakarta diwujudkan dalam satu rangkaian kegiatan Diskusi, Pelatihan Sehari, Eksposur dan Presentasi. Proses ini diharapkan membawa mahasiswa yang menjadi peserta mendalami ekonomi kelautan secara utuh. Pelatihan sehari  ini dilaksanakan pada Sabtu, 22 Agustus 2015 di Aula CD Bethesda Yogyakarta, diikuti duapuluh enam mahasiswa dari berbagai kampus dan asal daerah dengan menghadirkan beberapa narasumber, di antaranya adalah Dinas Perikanan dan Kelautan DIY.
 
 
Indah Theresia, salah satu team Stube-HEMAT Yogyakarta menyampaikan materi pengenalan Stube-HEMAT, khusus menggali makna motto H-E-M-A-T, yaitu Hidup, Efisien, Mandiri, Analitis dan Tekun. Peserta merenungkan motto tersebut dan kemudian menulis refleksi pribadi berkaitan motto Stube-HEMAT Yogyakarta.
 
Penjelasan Alur Program dipaparkan oleh Trustha Rembaka, S.Th, koordinator Stube-HEMAT Yogyakarta yang memaparkan latar belakang program ekonomi kelautan, di mana Indonesia yang wilayahnya sebagian besar adalah lautan, namun potensi yang ada di dalamnya belum secara optimal dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Dari hal inilah, Stube-HEMAT Yogyakarta memotivasi dan memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk melihat kembali laut dengan segala potensi dan masalah yang ada melalui interaksi langsung dengan kehidupan laut dan nelayanbeserta stake holder yang dimiliki. Setelah mengikuti kegiatan ini, peserta akan melihat dan menyadari potensi kelautan di Indonesia, yang akhirnya diharapkan mampu menemukan terobosan atau temuan baru untuk pertumbuhan ekonomi kelautan di berbagai daerah di Indonesia, khususnya daerah asal peserta masing-masing.
 

 

Dwiyanto, dari Dinas Perikanan dan Kelautan DIY mengungkap Potensi dan Masalah Maritim Indonesia. Ia menyampaikan bahwa ide atau gagasan presiden Joko Widodo tentang harapan dan peluang Indonesia menjadi poros maritim dunia merupakan gagasan cerdas dan cemerlang bagi Indonesia, karena mampu menjabarkan potensi Indonesia di kancah kelautan dunia intenasional. Sesungguhnya sebelum itu,  Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono x dalam pemaparan visi-misi DIY 2012-2017) menyatakan, “...maka, mengalihkan pusat pertumbuhan ekonomi dari wilayah Pantura ke Pantai Selatan (Pansel) dengan berkembangnya klaster-klaster industri kecil dan agribisnis di pedesaan, serta industri kelautan, perikanan dan pariwisata maritim di wilayah pesisir, yang didukung oleh infrastruktur jalan Selatan-Selatan, menjadi pilihan strategis yang harus diwujudkan.” Ini menegaskan bahwa ini saatnya DIY membangun sebuah peradaban baru, dari among tani ke dagang layar.

 

Dwiyanto juga menguraikan potensi maritim berdasar kegiatan, seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan produk perikanan, industri bioteknologi, pariwisata bahari dan pantai, pertambangan dan energi, perhubungan laut, industri dan jasa maritim dan pulau-pulau kecil. Masalah ekonomi kelautan sebenarnya berkutat pada tiga hal, yaitu, pertama, tingginya investasi pembangunan pelabuhan, pengadaan kapal dan aktivitas riset; kedua, budaya maritim belum dimiliki oleh sebagian besar masyarakat indonesia; ketiga, pemanfaatan sumber daya ikan oleh negara lain secara ilegal.
 
Mahasiswa juga dibekali dengan Analisa Sosial, agar memiliki kemampuan pengenalan, pemetaaan dan analisa terhadap suatu situasi secara menyeluruh dan mengambil pilihan respon secara holistik. Sesi ini disampaikan oleh Vicky Tri Samekto, salah satu team Stube-HEMAT Yogyakarta.
 
 
Sebagai studi lapangan, di akhir pelatihan peserta dibagi dalam tiga kelompok yang akan melakukan eksposur, yaitu kelompok satu ke pelabuhan Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur (27 – 30 Agustus 2015), kelompok dua di pelabuhan Sadeng dan pantai di Gunungkidul, dan kelompok tiga di kawasan Mangrove Baros, Bantul (28 – 30 Agustus 2015). Selamat berproses! Kobarkan semangat cinta bahari! (TRU).
 

  Bagikan artikel ini

pada hari Sabtu, 1 Agustus 2015
oleh adminstube
PROGRAM EKONOMI KELAUTAN
Ada Apa dengan Laut Indonesia?
Diskusi – Pelatihan – Eksposur – Presentasi
 
 
Indonesia memiliki kawasan maritim yang mencakup 70% wilayah Indonesia dan memiliki panjang total garis pantai Indonesia sepanjang 54.716 km. Namun, kenyataannya sektor maritim tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Hal ini berdampak pada banyaknya kasus pencurian ikan oleh negara lain di lautan Indonesia, rendahnya kesejahteraan sosial di kalangan pekerja dan nelayan, tidak adanya kebanggaan hidup sebagai nelayan di kalangan anak muda sebagai generasi penerus dan tidak adanya kurikulum pendidikan bagi anak-anak yang menanamkan cinta dunia maritim.
 
Keadaan ini melumpuhkan potensi kelautan yang dimiliki Indonesia dan masyarakatnya. Karena itu rasa cinta laut harus ditanamkan dalam hidup sejak anak-anak, sehingga memiliki pengetahuan tentang kelautan Indonesia yang membentang dari Samudera Hindia, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut  Sulawesi, Laut Maluku, Laut Pasifik, Laut Arafura, Laut Timor dan daerah-daerah kecil lainnya, area strategis ekonomi laut, daerah maritim, atau tempat maritim militer.
 
Sebenarnya pengetahuan didapat dari belajar, keahlian diperoleh dari melakukan dan cinta diperoleh dari mencintai. Melalui pelatihan ini, mahasiswa belajar kekayaan maritim Indonesia secara menyeluruh dan mengetahui potensi maritim yang bisa dikembangkan.
 
Tujuan
 
  • Peserta menyadari potensi kelautan di Indonesia dan memperkuat nilai tawar nelayan nasional.
  • Peserta berinteraksi dengan kehidupan laut, nelayan dan permasalahan ekonomi kelautan.
  • Peserta menemukan terobosan atau temuan baru untuk pertumbuhan ekonomi kelautan di berbagai daerah di Indonesia.

 

 
Pelaksanaan
 
Diskusi (28 Juli 2015 di Omah Limasan): Maritim Indonesia: antara Harapan dan Kenyataan
 
Pembekalan Peserta (Sabtu, 22 Agustus 2015 di Aula CD Bethesda, Klitren Lor GK III/347 Yogyakarta
 
Eksposur/Plunge into/Berbaur dalam Realita Kehidupan:
 
Sadeng dan Pantai Gunungkidul, 28 – 30 Agustus 2015.
Berbaur dengan masyarakat setempat yang berinteraksi dengan laut dan pesisir. Menemukan dinamika kehidupan sehari-hari, mata pencaharian, lingkungan, air bersih, hasil laut, pesisir dan wisata. Membidik potensi yang bisa dikembangkan di kawasan pantai dan pesisir gunungkidul, antara lain pantai, tebing, wisata, camping.

 

 
Konservasi Mangrove Baros di Bantul, 28 – 29 Agustus 2015.
Menyusuri kawasan pesisir yang mengalami kerusakan dan menemukan model-model konservasi yang dapat diadopsi dan diterapkan di kawasan lain di Indonesia, bahkan bisa dikembangkan menjadi kawasan ekowisata.
 
Pelabuhan Muncar, Banyuwangi, 27 – 30 Agustus 2015.
Menyelami kehidupan sehari-hari nelayan dan menemukan realitas kehidupan antara masalah dan kesempatan, misal kesehatan, taraf hidup, pendidikan, kesehatan.Selain itu, menemukan sisi lain yang potensial untuk peningkatan taraf hidup masyarakat setempat, misalnya hasil laut, kawasan pesisir, wisata. Stakeholder: Satuhati, GKJW Banyuwangi, pepanthan Muncar

 

 
Presentasi Eksposur dan Rencana Tindak Lanjut, 12 – 13 September 2015
 
Follow Up
 
  • Tulisan rekomendasi hasil pelatihan
  • Kurikulum pembelajaran cinta laut
  • Tulisan dan video ‘feature’ mereka yang hidup di laut
  • Proposal konsep pengembangan kawasan maritim dan atau kegiatan ekonomi (profit) berbasis laut
  • Lainnya (ide-ide yang ditemukan ketika berproses selama pelatihan dan eksposur)

 

 
Kontribusi
Rp 25.000,00
sertifikat, materi, akomodasi
dan subsidi transportasi
 

  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2024 (4)
 2023 (38)
 2022 (41)
 2021 (42)
 2020 (49)
 2019 (37)
 2018 (44)
 2017 (48)
 2016 (53)
 2015 (36)
 2014 (47)
 2013 (41)
 2012 (17)
 2011 (15)
 2010 (31)
 2009 (56)
 2008 (32)

Total: 631

Kategori

Semua  

Youtube Channel

Official Facebook