Berawal dari gambar brosur acara yang masuk di WhatsApp dari saudara saya, Erik, salah satu anggota team Stube-HEMAT Yogyakarta, di situ nampak ada kata-kata “Anda Gagal?” dan “Per Angusta Ad Augusta” yang lebih menonjol dibanding lainnya, ini membuat saya menjadi penasaran, karena saya baru pertama kali melihat kata-kata itu dan ingin tahu lebih dalam, akhirnya saya memutuskan ikut kegiatan tersebut.
Ternyata kegiatan ini adalah sebuah pelatihan tentang kegagalan! Namun bukan kegagalan semata tetapi Kegagalan dilihat dari sudut pandang Alkitab dan psikologi dengan tema Per Angusta Ad Augusta yang berarti Dari Kesulitan Menuju Kemuliaan. Saya menemukan semangat baru dan bersyukur karena Tuhan tidak pernah meninggalkan keluarga kami dan kami percaya diri untuk terus melangkah, dan beberapa pesan refleksi yang menguatkan, seperti “Teruslah melangkah dengan kaki kanan yang menuju masa depan dan kaki kiri di masa lampau” yang berarti, jika berhenti melangkah maka kita terjepit di antara dua masa yang dapat membuat kita bimbang, maka teruslah melangkah dan hadapi kehidupan bersama Tuhan.
Ada salah satu sesi yang membuat saya terkesan, yang menghadirkan beberapa orang yang telah mengalami gagal and bangkit kembali, seperti Andmesh Kamaleng, yang mengalami kedukaan tapi tidak menyerah, Maria Calista, yang mengangkat keluarganya melalu suara emas, Marco C Alvino, putus kuliah tak membuatnya menyerah dan Sudarmono meski kehilangan tangan tidak kehilangan harapan. Sungguh, ini pelatihan yang sangat menarik karena peserta mendapat ruang dan kesempatan untuk menceritakan kegagalan yang pernah dialami dan bagaimana menyusun strategi untuk bangkit dari kegagalan itu sendiri.
Temasuk pengalaman saya, ketika itu Mei 2006 menjelang kenaikan kelas di Sekolah Menengah Pertama, saya dan keluarga mengalami situasi yang sangat berat, ketika Ayah meninggalkan kami selamanya. Ayah tiada disaat saya masih bergantung padanya untuk menyelesaikan PR sekolah, saat kakak saya membutuhkan support dari segi mental and finansial untuk kuliah dan ibu yang kehilangan pendamping hidup. Saat mendengar tangisan ibu, saya merasakan suasana hati yang sangat kehilangan. Hadir di pikiran sebuah janji untuk tidak akan menyakiti hati ibu. Bertahun-tahun saya membantu ibu menyelesaikan pekerjaan rumah dan berjualan es kacang hijau dan roti bakar. Saya tidak ragu dan malu untuk berjualan karena ini menjadi jalan untuk melanjutkan kehidupan dan mencukupi kebutuhan kuliah kakak. Akhirnya tahun 2010 saya menyelesaikan SMA dan melanjutkan kuliah di Yogyakarta dibiayai oleh ibu saya.
Saat ada libur kuliah saya kembali ke kampung halaman, namun saya malah mendukakan hati ibu, yaitu berpacaran, karena ketika itu ibu mengingatkan saya untuk tidak berpacaran sampai selesai kuliah, tetapi saya melanggarnya. Kembali hati ibu tersakiti dan mengeluarkan air mata dengan kelakuan saya itu. Keadaan ini membuat saya ingat apa yang pernah saja janjikan dan merasa gagal untuk menjaga ibu. Saya menyesal dan meminta maaf kepada ibu. Saya tetap menjaga janji ini sampai saat saya melanjutkan kuliah di S2 dan menyelesaikannya.
Kegagalan tidak bisa lepas dari hidup manusia, bahkan tidak ada manusia yang tidak mengalami kegagalan, tapi bagaimana ia bangkit lagi dari kegagalan itu. Saya menemukan makna bahwa kegagalan membuat saya melihat dari arah yang berbeda dan melakukan sesuatu dengan niat baik dan kesungguhan, maka Tuhan akan mengizinkan dan berhasil melewatinya. Keberhasilan jika tanpa Tuhan, itu sementara, tapi berhasil bersama Tuhan itu abadi. (Refleksi kecil setelah pelatihan Per Angusta Ad Augusta).