Eksposur Muncar:
Dari Potensi Ekonomi Hingga Ancamannya
Eksposur Muncar merupakan salah satu rangkaian pelatihan Ekonomi Kelautan tahun 2015. Semula ada kabar bahwa Muncar merupakan pusat industri dan penghasil ikan terbesar di pulau Jawa, sehingga tersirat pula ancaman akumulasi limbah dari tahun ke tahun. Hal inilah yang mendasari ketertarikan untuk melihat lebih dekat keadaan Muncar dan menyaksikan potensi laut serta belajar pengelolaannya.
Empat peserta yang melakukan eksposur adalah Nova Yulanda P. Sipahutar (Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi UGM), Nikson Retang (Mahasiswa Peternakan di Waingapu, Sumba), Ana Ndawi Ngana (Mahasiswa Bahasa Inggris, UST), dan Christian Apri Wijaya (Mahasiswa Komunikasi UGM).
Kamis pagi, 27 Agustus 2015, peserta berangkat dari stasiun Lempuyangan. Ketidaktahuan tentang Banyuwangi dan Muncar menyebabkan pertanyaan dalam benak dan terus membayangi perjalanan. Selama di kereta api ada sedikit rasa jemu tetapi terobati dengan pemandangan tanah Jawa Timur nan eksotis dan kereta api yang nyaman. Empat belas jam pulang dan pergi tak terasa bisa dilalui dengan gembira.
Aktifitas pertama yang dilakukan adalah berdiskusi dengan Pak Yulis, Ketua pepanthan Muncar GKJW Banyuwangi. Beliau bertutur tentang kondisi dan dinamika kehidupan Muncar seperti: saat tangkapan melimpah, maka kehidupan membaik, konsumsi meningkat dan barang mewah terbeli, namun saat tangkapan minim, tidak jarang warga nelayan menjual perabot untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Setelah berbincang dengan Pak Yulis, kelompok eksposur Muncar mengunjungi pabrik pengalengan ikan. Tidak ada gambar di dalam pabrik karena ada larangan memotret. Di pabrik inilah peserta menjadi tahu bahwa pengalengan ikan ternyata tidak sepele. Ada peralatan pembersih, pengepak, dan pengemas yang dirancang canggih dan higienis. Pemotong dan pembersihan ikan dikerjakan oleh ibu-ibu. Sementara pengalengan dan pembumbuan dilakukan mesin. Perjalanan ikan dari pembersihan sampai pengalengan tidak sampai sehari. Setiap hari pabrik bisa menghasilkan 5000 kaleng. Setelah dipacking, ekspor bisa sampai Afrika. Bila tangkapan ikan di Muncar surut, maka bahan baku didatangkan dari Thailand dan Filipina.
Jumat sore, peserta berkunjung ke sekretariat LSM Satu Hati. Ada Mas Kiki dan Mas Jalil yang mendampingi. LSM Satu Hati mengaku tidak berkonsentrasi pada studi kelautan. Fokusnya adalah pendidikan dan lingkungan. Pendidikan dikembangkan dengan menyelenggarakan bimbel dan pengadaan perpustakaan. Sementara lingkungan terkait dengan pola hidup dan pelestarian sumber daya yang ada di Muncar. Lingkungan biasanya terkait limbah. Limbah ada di pabrik-pabrik pesisir, maka secara tidak langsung, LSM Satu Hati juga bersinggungan dengan laut. Rupanya potensi tidak serta merta mendatangkan keuntungan dan dampaknya tidak selalu positif bagi lingkungan. LSM Satu Hati menyerukan agar masyarakat mulai sadar, ada perubahan pada sungai, tanah, dan udara di sekitar.
Sabtu pagi, peserta mengunjungi bengkel las di pelabuhan. Pak Jimat merupakan salah satu dari dua pemilik bengkel yang memiliki mesin bubut di Muncar. Kondisi bengkel terkesan usang tersalut oli. Hal ini memunculkan harapan dimasa mendatang ada program pemerintah untuk memperbaharuinya.
Sharing bersama Pdt. Soni Saksono Putro memunculkan harapan untuk menyelenggarakan pelatihan bagi pemuda gereja terkait dengan pelabuhan. Seorang warga jemaat yang bekerja di Komisi Penanggulangan AIDS mengungkapkan praktek Pekerja Seks Komersial dari kapal ke kapal dan mereka perlu pendampingan dan ini menjadi satu masukan berharga saat melihat potensi dan permasalahan di laut.
Beberapa potensi laut yang masih bisa digarap dan sudah diusahakan oleh beberapa jemaat GKJW Banyuwangi adalah Nasi Goreng Cumi Hitam, Industri Gula di kebun kelapa pesisir, persewaan kapal untuk wisata, perayaan tradisi kelautan, dan usaha keramba apung di laut. Selamat merespon peluang yang ada. (YDA)