‘Aku mendengar maka aku lupa, aku melihat maka aku ingat, aku melakukan maka aku paham’ ini adalah pepatah kuno dari Konfusius. Pepatah ini menjadi pendorong yang kuat bagi seseorang ketika belajar tidak cukup hanya mendengar tetapi perlu mengamati dan mempraktekkan apa yang dipelajari. Ketika seseorang mengalami sendiri sebuah proses pembelajaran maka ia akan mengerti.
Hal sama terjadi ketika dalam pelatihan Gereja dan Politikyang diadakan oleh Stube-HEMAT Yogyakarta pada 15-17 Februari 2019 dengan tema ‘Muda Milenial Melek Politik’, para peserta mendapatkan pencerahan dan pemahaman baru tentang sejarah gereja dan dinamika politik, bagaimana seharusnya anak muda Kristen bersikap dalam politik masa kini. Dalam pelatihan para peserta didorong tidak hanya menjadi pendengar tetapi membagikan pengalaman yang mereka peroleh kepada orang lain, baik itu pribadi maupun kelompok.
Salah satu kelompok adalah mahasiswa dari kepulauan Aru, yang mengadakan ‘sharing’ dengan pemuda pemudi Gereja Sahabat Indonesia (GSI) di Condongcatur pada hari Jumat, 1 Maret 2019. Dalam sharing ini Natasya Derman, mahasiwa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UST memulai sharing dengan menyampaikan pengalamannya mengikuti kegiatan di Stube-HEMAT Yogyakarta, seperti pelatihan, diskusi dan eksposur lokal. Selanjutnya ia mengajak peserta menulis persepsi mereka tentang dunia politik. Ada berbagai pendapat, seperti kekuasaan, korupsi, tidak tahu dan kotor. Ini sama seperti yang ia alami sebelumnya yang tidak tahu bahkan apatis terhadap politik, namun dalam pelatihan ia menemukan pencerahan, ternyata esensi politik tidak buruk, kotor dan nafsu kekuasaan, tetapi tindakan untuk menghadirkan kesejahteraan bersama. ‘Image’ negatif politik disebabkan oknum-oknum yang memiliki kekuasaan politik melakukan korupsi, kolusi dan penyalahgunaan wewenang. Karena itu kita terpanggil untuk memperbaiki keadaan itu, salah satunya ikut dalam pemilihan umum untuk menentukan pemimpin bangsa ini.
Berkaitan dengan gereja dan dunia politik, Lenora Nada, mahasiswa Teknik Informatika Universitas Kristen Imanuel membagikan topik tentang perjumpaan gereja dengan dunia politik. Gereja mula-mula terpisah dengan kekuasaan politik, bahkan dianggap sebagai ancaman. Tetapi sekalipun gereja mula-mula dihambat dan dianiaya, anggotanya semakin berperan di tengah masyarakat saat itu karena mereka dinilai sebagai orang-orang yang baik, memiliki spiritualitas kuat dan bisa dipercaya. Mau tidak mau penguasa saat itu mengakomodir mereka berkiprah di masyarakat. Perkembangan kekristenan semakin meluas. Puncaknya ketika kekristenan menjadi agama negara pada era Konstantinus. Orang-orang masuk Kristen karena mereka ingin mendapat hak sebagai warga Romawi. Gereja dan kekuasaan politis menjadi satu dan memicu penyalahgunaan kekuasaan baik itu pemimpin gereja dan pemimpin politik. Gereja tidak lagi menyuarakan pembelaan terhadap ketidakadilan, kemiskinan dan penindasan, tetapi justrumelanggengkan kekuasaan. Akhirnya reformasi gereja terjadi dan gereja menempatkan diri berada di luar kekuasaan politik, namun ini juga berdampak pada anggota gereja yang seperti takut untuk berbicara berkaitan politik.
Trustha Rembaka, koordinator Stube-HEMAT Yogyakarta yang mendampingi kelompok ini, mengingatkan peserta sebagai warga negara untuk ikut ambil bagian di pemilihan umum dengan ikut pemungutan suara. Ia juga membantu peserta untuk mengecek apakah namanya sudah terdaftar sebagai pemilih. Di akhir sesi, Tasya kembali mengungkapkan bahwa kita sebagai anak muda merenungkan kembali nilai-nilai kekristenan dan mendukung pemerintah untuk ikut ambil bagian dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. (Natasya Derman).