Keistimewaan diawali dengan menulis sebab dari menulislah sejarah terbangun. Pernyataan ini disampaikan oleh Dr. Haryadi Baskoro pada bedah buku “Kuliah Keistimewaan Yogya” di ruang Vicon Digital Library, Universitas Negeri Yogyakarta (Selasa, 26/11/2024). Buku yang diterbitkan oleh Graha Ilmu ini menggarisbawahi pentingnya sejarah keistimewaan Yogyakarta.
Dalam kesempatan yang sama narasumber sekaligus penulis buku bertanya kepada seluruh hadirin sejauh mana para mahasiswa yang kuliah di DIY memahami Keistimewaan Yogya. “Jangan sampai saudara-saudara lulus dari Yogya, belum memahami kota ini sama sekali,” selorohnya. Hal ini menjadi pertanyaan serius bagi yang hadir agar mampu memahami sejarah kota ini.
Narasumber menjelaskan, buku yang ia tulis berisi sejarah Yogyakarta, dan ia mengajak para mahasiswa terlibat dalam menulis berbagai isu atau sejarah Yogyakarta menggunakan riset yang bisa dilakukan, karena AI (Artificial Intelligence) tidak bisa meriset apa yang manusia riset secara langsung di lapangan karena manusia mempunyai kelebihan mengelola potensi yang ada. Mesin belum bisa mengetahui hasil wawancara dengan informan di lapangan, sehingga hal itu yang membuat manusia berbeda dengan mesin.
Buku ini mempunyai kelebihan tersendiri karena menyajikan 15 materi Keistimewaan DIY untuk mahasiswa, dimulai dari pra-kemerdekaan, DIY bergabung dengan RI, UU keistimewaan, keistimewaan DIY, tujuan keistimewaan, Sultan dan Paku Alam sampai partisipasi mahasiswa dalam keistimewaan DIY. Berkaitan dengan diterbitkannya buku ini, kampus-kampus di Yogyakarta bisa berperan aktif mendorong mahasiswa melakukan riset tentang Yogyakarta. Buku ini juga menjadi sebuah terobosan untuk mengembangkan adanya mata kuliah khusus tentang kajian atau studi keistimewaan Yogyakarta. Buku ini juga memuat target pembelajaran yang berfokus untuk mahasiswa tingkat (S-1) dan setara untuk mengenalkan dan mengajarkan keistimewaan Yogyakarta kepada mahasiswa dan masyarakat DIY. Materi kuliah diberikan menurut standar akademis yang berlaku dan berbasis kompetensi yang jelas, seperti tertulis pada bagian pendahuluan yang berisi tentang rumusan masalah standar kompetensi (SK), kompetensi-kompetensi dasar (KD), dan indikator (I) perkuliahan.
Perkuliahan ini akan mendorong mahasiswa bukan hanya memahami keistimewaan Yogyakarta tetapi juga memampukan mereka beradaptasi dan terlibat aktif dalam pembangunan DIY, demikian juga pemerintah daerah DIY seperti dinas-dinas terkait serta lembaga Paniradya Keistimewaan akan terbantu melakukan pengembangan dan mengajak masyarakat berpartisipasi aktif dalam pembangunan DIY.
Bedah buku dihadiri oleh anggota DPRD DIY Fraksi PDIP, RB. Dwi Wahyu B, yang memberikan sambutan pembuka sekaligus menjadi narasumber, ”Sejarah perlu dipertahankan terutama sejarah Yogyakarta. Kita melihat bahwa negara yang maju itu mempertahankan dan mengembangkan sejarah. Kalau kita lihat pada tahun 400 beberapa kerajaan di Nusantara sudah maju dalam sistem pemerintahan dan sistem ekonomi namun mengapa negara kita masih begini saja? Sebab sejarah kita banyak ditulis di luar negeri namun kita sendiri belum menulisnya,” ucap Dwi Wahyu.
Penulis menyampaikan bahwa ia termotivasi ayahnya, R.Sudomo Sunaryo, seorang penulis pidato Gubernur/Wagub DIY selama 30 tahun. Penulis belajar dari sang ayah untuk mempertahankan sejarah DIY agar tidak tenggelam oleh waktu. Penulis berharap bahwa buku ini bisa menjadi bahan ajar untuk kuliah Keistimewaan Yogyakarta di perguruan tinggi, sehingga para mahasiswa bisa memainkan peran dan kontribusi yang lebih signifikan.***
Pilkada Serentak 27 November 2024
Meski tidak sebombastis gaung pilihan presiden 14 Februari 2024, PILKADA serentak di Indonesia harus mendapat perhatian seksama dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Ada 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota se-Indonesia yang mengikuti perhelatan politik memilih para calon pemimpin daerah yang akan menentukan nasib banyak orang untuk 5 tahun ke depan. Stube HEMAT yang mewadahi anak-anak muda dan mahasiswa mencoba menjaring opini beberapa mahasiswa mengenai perhelatan politik memilih pemimpin daerah. Mempercayakan masa depan kita kepada para pemimpin adalah situasi seperti membeli kucing dalam karung, pertaruhan gambling yang luar biasa. Tingkat kepercayaan kita seyogyanya didasarkan pada integritas, transparansi, kemampuan calon pemimpin untuk mendengarkan, dan model komunikasi yang dimiliki. Berikut ini adalah beberapa opini gen-z yang berhasil dijaring oleh Stube HEMAT saat diskusi berkaitan dengan PILKADA serentak (Rabu, 13/10/2024).
“Menjadi pemimpin bukan suatu hal kecil, pemimpin juga jangan hanya mengobral janji-janji saja, terutama di daerah-daerah seperti Papua misalnya, yang sangat membutuhkan pemimpin yang bisa mendengarkan kebutuhan masyarakat, membangun perumahan misalnya, atau fasilitas publik lainnya,” kata Shergino Antonio Ongkor, mahasiswa Ilmu Komunikasi-STPMD.
Hal senada juga disampaikan oleh Aristoteles Kaitana, mahasiswa Ilmu Pemerintahan-STPMD, ”Latar belakang seorang pemimpin penting menjadi pertimbangan, baik atau buruk, apakah waktu memimpin berjalan dengan baik, dan masyarakat bisa menerima kepemimpinannya. Semua warga negara punya hak untuk memilih”.
“Generasi-Z harus memiliki kriteria saat memilih pemimpin, etika moral adalah kriteria utama dan bisa menjadi tolok ukur, seperti pernahkah korupsi atau membuat janji-janji palsu, apakah perencanaan pembangunan yang dimilikinya berpihak memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan atau tidak. Mahasiswa gen-zi diharapkan menjadi agen perubahan dan terlibat aktif dalam diskusi-diskusi dan memberikan edukasi politik kepada masyarakat untuk memilih pemimpin secara benar,” papar Delano Iventus F. Turot, mahasiswa Ilmu Komunikasi-STPMD dengan penuh semangat.
Pendapat yang sama juga disampaikan Jerliyando George Korwa, mahasiswa Ilmu Komunikasi-STPMD, bahwa track-record merupakan hal penting saat memilih pemimpin sekaligus pemimpin itu harus merakyat dan mencintai rakyatnya.
Pilkada serentak 27 November 2024, merupakan ajang perebutan kekuasaan dan menentukan pemimpin-pemimpin baru untuk lima tahun kedepan, sehingga menurut Irene B.M. Zalukhu, mahasiswa Magister Politik Pemerintahan-UGM, pilkada serentak bukan hanya satu hari pada hari-H saja, tetapi ada lima tahun yang dipertaruhkan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak di tingkat daerah, supaya lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Berbeda dari pendapat sebelumnya, Daniel Prasdika, mahasiswa theologia-STAK MARTURIA mengamati bahwa Gen-Zi banyak yang bersikap biasa-biasa saja atas adanya perhelatan politik pilkada serentak, karena mereka berpikir bahwa pilkada tidak akan mengubah apa-apa. Untuk itu perlu diskusi-diskusi yang menyentuh mindset banyak gen-zi bahwa memilih pemimpin yang tepat akan menentukan arah kehidupan banyak orang.
“Growing mindset menjadi hal penting bagi gen-zi, karena pilkada menentukan nasib kita lima tahun ke depan, sehingga gen-zi itu sendiri harus terlibat aktif dalam diskusi-diskusi untuk membuka wawasan dan memahami pentingnya memilih dengan benar. Dengan memilih pemimpin sesuai kriteria ideal, maka kita bisa mempercayakan nasib kita kepada para pemimpin,” tegas Patrick Valdano Sarwom, mahasiswa Ilmu Komunikasi-STPMD, mengakhiri acara diskusi hari itu. ***